Anda di halaman 1dari 20

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

AL GHAZALI DAN IBNU KHALDUN


SERTA RELEVANSINYA PADA PENDIDIKAN
DI ERA GLOBALISASI
Hardika Saputra*
*Dosen PGMI IAI Agus Salim Metro Lampung
*Guru SMP Muhammadiyah Ahmad Dahlan Metro Lampung

Abstract. Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai-nilai


moral untuk membentengi diri dari akses negatif globalisasi. Tetapi yang
paling urgen adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan
pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan
pembebasan dari himpitan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan
sosial budaya dan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan
Islam memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembentukan
individu yang yang tidak hanya cerdas, tapi juga berkepribadian yang
baik serta memilliki pemahaman beragama yang tidak hanya dipahami
tapi juga diterapkan dalam kehidupan.

Keyword: Pendidikan, Islam, Al Ghazali, Ibnu Khaldun, Globalisasi

A. PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui bahwasannya pendidikan Islam memiliki
peran aktif dalam pembentukan karakter anak didik. Namun pada era
globalisasi seperti saat ini kehadiran pendidikan Islam masih bersifat
formalitas belaka bukan berpuncak pada tuntutan dalam rangka melahirkan
generasi insan kamil sebagaimana tujuan akhir dalam pendidikan Islam.
Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai-nilai moral
untuk membentengi diri dari akses negatif globalisasi. Tetapi yang paling
urgen adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan
Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebasan dari himpitan
kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi. 1
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam memiliki peran yang sangat
penting dalam proses pembentukan individu yang yang tidak hanya cerdas,
tapi juga berkepribadian yang baik serta memilliki pemahaman beragama
yang tidak hanya dipahami tapi juga diterapkan dalam kehidupan.

1
Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik (Jogjakarta: Ciputat Pers, 2002). hlm. 28.
Berbicara tentang pendidikan Islam, pastilah berbicara tentang konsep
pendidikannya. Konsep-konsep pendidikan Islam yang ada dewasa ini tidak
lepas dari bayang-bayang konsep pendidikan Islam di era klasik, yang terlahir
dari pemikiran- pemikir para tokoh filosof pendidikan Islam. Cukup banyak
tokoh-tokoh pendidikan Islam di era klasik yang menyumbangkan pemikiran-
pemikirannya terhadap dunia pendidikan, salah satunya konsep pendidikan
Islam itu sendiri.
Di antara tokoh-tokoh pendidikan Islam yang lain, penulis mencoba
menjabarkan konsep pendidikan Islam menurut Al-Ghazali dan Ibnu
Khaldun, yang masing-masing dari kedua tokoh tersebut pasti memiliki
pemikiran yang berbeda.
Keduanya terkenal juga sebagai tokoh filosof dan pakar pendidikan
yang pastinya memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam menyusun suatu
konsep dan menetapkan tujuan pendidikan tergantung pada latar belakang
dan bidang kajian pendidikan para tokoh tersebut. 2
Suatu rumusan konsep pendidikan maupun tujuannya harus
mempunyai muatan subyektifitas dari yang merumuskannya, artinya setiap
pemikiran dari seorang tokoh pasti menggambarkan tokoh tersebut,
contohnya seperti tokoh pemikir pendidikan Islam yang seringkali mengaitkan
tujuan suatu pendidikan dengan kebahagiaan yang abadi setelah kehidupan
dunia, yakni kebahagiaan di akhirat. Sedangkan jika dilihat dari pendidikan
umum, biasanya hanya berorientasi pada masalah kehidupan dunia, seperti
pekerjaan yang akan didapat setelah menyelesaikan pendidikan.
Berdasarkan uraian diatas yang merupakan gambaran untuk
mengetahui lebih jauh dan lebih baik lagi mengenai konsep pendidikan dalam
Islam, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai “Konsep Pendidikan
Islam Al Ghazali dan Ibnu Khaldun Serta Relevansinya Pada Pendidikan di Era
Globalisasi”.

B. PEMBAHASAN
1. Al-Ghazali
a. Biografi Al-Ghazali
Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali (lebih dikenal
dengan sebutan al-Ghazali), lahir di Thus (wilayah Khurasan) pada

2
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I (Jakarta: Logos, 1997). hlm. 45.
tahun 450 H/1058 M. al- Ghazali memiliki keahlian berbagai disiplin
ilmu, baik sebagai filsuf, sufi, maupun pendidik. Ia menyususn
beberapa kitab dalam rangka menghidupkan kembali ilmu- ilmu agama
(Ihya ulum al-din).3 Sejak kecil, Al-Ghazali dikenal sebagai anak yang
senang dengan ilmu pengetahuan. Sehingga tak mengherankan jika
sejak masa anak-anak ia telah belajar kepada sejumlah guru di kota
kelahirannya.4
Imam Ghazali sejak kecilnya dikenal sebagai seorang anak pencinta
ilmu pengetahuanndan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki,
sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa dan
sengsara.5
Al-Ghazali memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya, Tus
dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke
Nisyafur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut
terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam. Di
kota Nisyafur inilah al-Ghazali berguru kepada Imam al-Haramain Abi
al-Ma’ali al-Juwainy.6

b. Konsep Pendidikan Al-Ghazali


Al-Ghazali mengatakan jika anak menerima ajaran dan kebiasaan
hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya jika anak itu
dibiasakan melakukan perbuatan buruk dan dibiasakan kepada hal-
hal yang jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek. 7
a) Tujuan Pendidikan
Menurutnya, tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedudukan yang
menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan
bukan pada mendekatkan diri pada Allah SWT, akan dapat
menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan.
Pemikirannya tentang tujuan pendidikan Islam dapat diuraikan
menjadi tiga:

3
Al-Rasyid dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2005). hlm. 85.
4
Djalaludin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994). hlm. 139.
5
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005). hlm.
82.
6
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005). hlm. 209.
7
Nata. Ibid. hlm. 159-160.
1) Tujuan mempelajari ilmu semata-mata untuk ilmu pengetahuan
itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT.
2) Tujuan utama pendidikan Islam yakni sebagai sarana
pembentukan akhlak al- karimah.
3) Tujuan pendidikan Islam untuk mengantarkan peserta didik
mencapai kebahagian dunia dan akhirat.8
Rumusan tersebut mencerminkan sikap kezuhudan dari Imam
Ghazali terhadap dunia, merasa cukup dengan yang ada, dan lebih
banyak memikirkan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia.
Rumusan tujuan pendidikan beliau yang itu juga karena Al-Ghazali
memandang dunia ini bukan merupakan hal yang penting, tidak
abadi dan akan rusak, sedangkan maut dapat memutuskan
kenikmatan kapan saja.9
Al-Ghazali menempatkan dua hal penting sebagai orientasi
pendidikan; pertama mencapai kesempurnaan manusia untuk
secara kualitatif mendekatkan diri kepada Allah SWT, kedua,
mencapai kesempurnaan manusia untuk meraih kebahagiaan di
dunia dan akhirat.10
Secara rincinya Al-Ghazali membagi tujuan pendidikan menjadi
dua, yakni tujuan religius dan tujuan non-religius. Menurutnya
tujuan pendidikan dilihat dalam kaitannya dengan sIstem
pengajaran berdasarkan sifat pengetahuan yang dikaji, yakni ilmu-
ilmu agama, non agama, dan sufi.
Al-Ghazali dengan tegas menyatakan bahwa sekalipun ilmu-
ilmu agama bisa membantu seseorang mendapatkan tujuan-tujuan
duniawi, seperti jabatan, pengaruh, kekuasaan dan kekayaan, itu
semua tidak boleh dijadikan sebagai tujuan dalam mempelajari
ilmu-ilmu agama.
Berbeda persoalan ketika yang dibicarakan adalah pendidikan
di bidang ilmu-ilmu non-agama. Al-Ghazali secara gamblang
menyatakan bahwa seseorang boleh mempelajari ilmu-ilmu

8
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam. Op.Cit. hlm. 91.
9
Nata, Filsafat Pendidikan Islam. Op.Cit. hlm. 211-212
10
Asrorun Ni‟am Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam Mengurai Relevansi Konsep Al- Ghazali
Dalam Konteks Kekinian, 3 ed. (Jakarta: Elsas, 2006). hlm. 79.
semacam kedokteran dan matematika untuk tujuan material dan
kewibawaan.

b) Kurikulum Pendidikan
Dalam menyususun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi
perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana
dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi
masyarakat.11 Pendapat Al-Ghazali terhadap kurikulum dapat
dilihat dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan yang
dibaginya dalam beberapa sudut pandang.12
Sebagaimana yang dikutip oleh Zainuddin dkk, dalam bukunya
Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali yang dikutip dari Ihya
Ulumuddin juz I bagian pembahasan ilmu pada bab kedua dan
ketiga yang diterangkan secara luas dan mendalam mengenai Ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan tatanan sosial
masyarakat, Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga
bagian, yaitu:
 Berdasarkan tingkat kewajibannya
 Berdasarkan sumbernya
 Berdasarkan fungsi sosialnya.13
Terkait dengan penjabaran ilmu di atas, Al-Ghazali juga
menambahkan aspek- aspek pendidikan yang terbagi menjadi lima
bagian:
 Pendidikan keimanan
 Pendidikan akhlak
 Pendidikan akliah
 Pendidikan Sosial
 Pendidikan jasmaniah

c) Metode Pendidikan
Al-Ghazali mengklasifikasikan metode pendidikan menjadi dua
bagian: pertama, metode khusus pendidikan Agama, metode
pendidikan agama ini memiliki orientasi kepada pengetahuan
11
Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Op.Cit. hlm. 216.
12
Nata, Filsafat Pendidikan Islam. Loc. Cit., hlm. 217.
13
Zinuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali (Jakarta: Bumi Aksara, 1991). hlm. 34.
aqidah karena pendidikan Agama pada nyatanyanya lebih sulit
dibanding dengan pendidikan umum yang lainnya, karena
pendidikan Agama menyangkut permasalahan keyakinan dan lebih
menitikberatkan kepada pembentukan kepribadian peserta didik.
Dengan demikian pendidikan akal yang terkait pada diri
peserta didik selama dalam proses pendidikan akan dapat
dikendalikan, sehingga bukan hanya mementingkan aspek rasio,
rasa, berpikir sebenar-benarnya tanpa dzikir, melainkan peserta
didik yang memiliki kepribadian yang kamil. Dengan begitu, agama
bagi peserta didik menjadi pembimbing akal, maka terciptalah
kehidupan yang seimbang.
Kedua, metode khusus pendidikan akhlak, Al-Ghazali memberi
pengertian tentang akhlak “Al-Khuluq (jamaknya Al-Akhlaq) ialah
ibarat (sifat atau keadaan) dari perilaku yang konstan (tetap) dan
meresap dalam jiwa.14 Beliau mengatakan “wajib atas para murid
untuk membersihkan jiwanya dari kotoran/kerendahan akhlak dan
dari sifat-sifat yang tercela, karena bersihnya jiwa dan baiknya
akhlak menjadi asas bagi kesempurnaan ilmu yang dituntutnya.”15
Pendidikan akhlak ini bias diterapkan dengan menggunakan
metode latihan dan pembiasaan, selain itu juga dapat
menggunakan nasihat dan anjuran sebagai alat pendidikan dalam
usaha membina kepribadian anak didik sesuai dengan ajaran
agama Islam tentunya. Dalam pembentukan kepribadian ini
diperlukan tahapan secara berangsur-angsur guna mencapai
kesempurnaan.16
Dengan penjelasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa metode pendidikan akhlak harus dilakukan dengan cara
praktek secara kontinu dan dibutuhkan waktu untuk pembiasaan
bahwasannya dalam pendidikan akhlak sebaiknya dibentuk dengan
cara praktek secara terus menerus dan pendidikan akhlak juga
memerlukan waktu untuk berproses. 17

14
Zinuddin, Op .Cit., h. 10

15
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005). hlm. 95.
16
Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007). hlm.
240.
17
Ni‟am Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam Mengurai Relevansi Konsep Al- Ghazali Dalam
Kemudian seiring dengan perkembangan usianya dan
kemampuan intelektualitasnya barulah pendidikan diteruskan
dengan memberikan penjelasan dan pengertian atas suatu materi.
Anak didik diajak untuk memahami substansinya dengan disertai
argumentasi yang rasional.
Beliau lebih menekankan pada perbaikan sikap dan tingkah
laku para pendidik dalam mendidik anak didik, seperti berikut:
a) Guru harus mencintai muridnya seperti anaknya sendiri.
b) Guru tidak boleh mengharapkan upah.
c) Guru harus memberi semangat kepada muridnya untuk mencari
ilmu yang manfaat.
d) Guru harus memberi contoh dan teladan yang baik.
e) Guru harus mengajarkan materi yang sesuai dengan
kemampuan anak didiknya.
f) Guru harus mengamalkan ilmu yang sudah dipelajari, karena
guru menjadi idola di mata anak didiknya sehingga apapun yang
dilakukan atau apapun yang terlihat dari seorang guru
sedikitbanyak akan ditiru oleh muridnya.
g) Guru harus paham terhadap jiwa anak didiknya.
h) Guru harus mendidik keimanan anak didiknya, sehingga tunduk
kepada agama.18
Maka dari itu jelaslah bahwa metode pendidikan yang harus
dipergunakan oleh para pendidik/pengajar adalah yang berprinsip
pada child centered yang lebih mementingkan anak didik daripada
pendidik sendiri.
2. Ibnu Khaldun
a. Biografi Ibnu Khaldun
Abd al-Rahman Abu Zaid Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn
Khaldun (lebih dikenal dengan Ibn Khaldun)lahir di Thunisia pada
tanggal 1 Ramadhan 732 H/27 Mei 1332 M. dan meninggal di Cairo
tanggal 25 Ramadhan 808 H/19 Maret 1406 M.42 Sejak kecil, Ibnu
Khaldun adalah seorang yang haus akan ilmu pengetahuan, Ia tidak
pernah merasa puas dengan apa yang telah diperolehnya. Hal ini

Konteks Kekinian.

18
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam. Op.Cit. hal. 94
menyebabkan beliau mempunyai banyak guru.Tidak heran jika beliau
termasuk orang yang pandai dalam ilmu Islam, tidak saja dalam
bidang agama, tapi juga di bidang-bidang umum lainnya, seperti
sejarah, ekonomi, sosiologi, antropologi, dan lain-lain.19
Ketika sudah mencapai usia untuk belajar, beliau melanjutkan
pelajarannya dan berguru kepada sejumlah ahli. Ibnu Khaldun mulai
menghafal Al-Qur’an dan tajwidnya sesuai dengan metode yang berlaku
di sebagian besar Negara Islam.Ibnu Khaldun juga belajar tentang
dasar-dasar ilmu bahasa Arab, kesusastraan, gramatika, lalu
mendalami ilmu ushul fiqh dan fiqh dari mazhab Maliki. 20
Sebagaimana parapemikir Islam lainnya, pendidikan masa
kecilnya berlangsung secara tradisional. Artinya, ia harus belajar
membaca al-Qur’an, hadits, fiqih, sastra, dan nahwu sharaf dengan
sarjana-sarjana terkenal pada masanya. Pada umur 20 tahun ia telah
bekerja sebagai sekretaris Sultan Fez di Maroko.21
Dalam menuntut berbagai ilmu tersebut, ada beberapa ulama
yang dikenal sebagai gurunya, diantaranya dalam pelajaran bahasa
beliau peroleh dari Abu Abdullah Muhammad bin al-Arabi al-Hasyayiri,
Abu al-Abbas Ahmad bin al- Qaushhar, dan Abu Abdillah. Pelajaran
hadis diperolehnya dari Syamsuddin Abu Abdillah al-Wadiyasyi.Beliau
juga belajar fiqh kepada Abdillah Muhammad al-Jiyani dan
Muhammad al-Qashir.22

b. Konsep Pendidikan
Menurut Khaldun, manusia bukan merupakan produk nenek
moyangnya, akan tetapi produk sejarah, lingkungan sosial, lingkungan
alam, adat istiadat. Karena itu, lingkungan sosial merupakan
pemegang tanggung jawab dan sekaligus memberikan corak perilaku
seorang manusia. Hal ini memberikan arti, bahwa pendidikan
menempati posisi sentral dalam rangka membentuk manusia ideal
yang diinginkan.23

19
A Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2009). hlm. 45.
20
Muhammad Kosim, Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun (Jakarta: Rineka Cipta, 2012). hlm.
15.
21
Nata, Filsafat Pendidikan Islam. hlm. 171.
22
Kosim, Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun. hlm. 15.
23
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam. hlm. 93.
Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan pada
segi kepribadiannya, sebagaimana yang acapkali dibicarakan para
filosof, baik Islam maupun luar Islam. Ia lebih banyak melihat manusia
dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok
yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah ia sering disebut sebagai
salah seorang pendiri sosiologi dan antropologi.24
Menurut Ibnu Khaldun, manusia memiliki perbedaan dengan
makhluk lainnya, khususnya binatang. Perbedaan ini antara lain
karena manusia di samping memiliki pemikiran yang dapat menolong
dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, juga memiliki sikap
hidup bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu
masyarakat yang antara satu dan lainnya saling menolong. Dari
keadaan manusia demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan
masyarakat.Pemikiran tersebut pada suatu saat diperlukan dalam
menghasilkan sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh panca indera.
Ilmu yang demikian mesti diperoleh dari orang lain yang telah dahulu
mengetahuinya. Mereka itulah yang kemudian disebut guru. Agar
proses pencapaian ilmu yang demikian itu maka perlu diselenggarakan
kegiatan pendidikan.25
Dalam proses belajar, akal pikiran memungkinkan orang untuk
menangkap pengertian baik dari ucapan maupun dari tulisan serta
mampu pula mengambil kesimpulan-kesimpulan tentang hukum-
hukum yang membentuk susunan dan relasi antara berbagai
pengertian yang berbeda.26
Ibnu Khaldun juga berpendapat dalam proses belajar atau
menuntut ilmu pengetahuan manusia di samping harus bersungguh-
sungguh juga harus memiliki bakat. Menurutnya dalam mencapai
pengetahuan yang bermacam-macam itu seseorang tidak hanya
membutuhkan ketekunan, tetapi juga bakat. Berhasilnya suatu
keahlian dalam suatu bidang ilmu atau disiplin memerlukan
27
pengajaran.
a) Tujuan Pendidikan
24
Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. hlm. 174
25
Zianuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan (Bandung:
Angkasa Press, 2003). hlm. 72
26
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam. hlm. 96
27
Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan. hlm. 72.
Ibnu Khaldun tidak menuliskan dalam satu pembahasan
tentang tujuan pendidikan Islam. Meskipun demikian para tokoh
pendidikan Islam mencoba untuk menyimpulkan tujuan
pendidikan Islam yang ditawarkan Ibnu Khaldun dengan melacak
pemikirannya tentang pendidikan sebagaimana tertuang dalam
kitab Muqaddimah.28 Ibnu Khaldun percaya bahwa upaya
mencapai dan memiliki pengetahuan adalah kebutuhan pokok
kehidupan manusia, karena manusia memiliki kemampuan
berpikir dan bernalar.29
Menurut Ibnu Khaldun, paling tidak ada 3 tingkatan tujuan
yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:
1. Pengembangan kemahiran (al-makalah atau skill) dalam
bidang tertentu. Orang awam bisa memiliki pemahaman yang
sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuan. Akan
tetapi, potensi al-makalah tidak bisa dimiliki oleh setiap
orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami dan
mendalami satu disiplin tertentu.
2. Penguasaan keterampilan professional sesuai dengan
tuntutan zaman link and match. Dalam hal ini pendidikan
hendaknya ditujukan untuk memperoleh keterampilan yang
tinggi pada profesi tertentu. Pendekatan ini akan menunjang
kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta
peradaban umat manusia di muka bumi. Pendidikan yang
meletakan keterampilan sebagai salah satu tujuan yang
hendak dicapai, dapat diartikan sebagai upaya
mempertahankan dan memajukan peradaban secara
keseluruhan.
3. Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir
merupakan garis pembeda antar manusia dengan binatang.
Oleh karena itu, pendidikan hendaknya diformat dan
dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan
pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis
peserta didik.30

28
Kosim, Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun. hlm. 58.
29
Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan. hlm. 72.
30
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam. hlm. 94
Tujuan Pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah “untuk
membuat kaum Muslimin percaya dan meyakini Tuhan melalui
mempelajari Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan keagamaan. Ilmu
pengetahuan yang berkenaan dengan keyakinan dan hukum Islam
akan membuat kaum Muslimin mengetahui realitas yang
31
diarahkan pada upaya mendapatkan akhlak yang baik.”
Dari tujuan di atas tampak bahwa menurut Ibnu Khaldun
pendidikan atau ilmu dan mengajar merupakan suatu kemestian
dalam membangun masyarakat manusia. Pernyataan ini
mengindikasikan bahwa maksud dari pendidikan menurut Ibnu
Khaldun adalah mengubah nilai-nilai yang diperoleh dari
pengalaman untuk dapat mempertahankan eksistensi manusia.32

b) Kurikulum Pendidikan
Dalam kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun memang tidak
membicarakan tentang definisi, komponen, atau karakteristik
kurikulum secara sistematis. Beliau juga tidak menggunakan istilah
kurikulum dalam kitab tersebut.Namun Ibnu Khaldun banyak
berbicara tentang ilmu dan klasifikasinya.Untuk itu, Muhammad
Kosim dalam bukunya mengelompokkan pemikiran tentang ilmu dan
klasifikasi ini dalam kurikulum.sebab, ilmu dan klasifikasinya
tersebut merupakan materi dalam pendidikan dan materi tersebut
merupakan salah satu komponen dasar dalam kurikulum.Dengan
demikian, kurikulum yang dibicarakan disini bukanlah kurikulum
dalam arti luas, melainkan dalam arti sempit dan hanya terbatas
pada materi saja.33
Macam-macam ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh
Ibnu Khaldun di dalam bukunya “Muqaddimah Ibnu Khaldun” ada
dua macam yaitu:
1) Alami bagi manusia yaitu dengan melalui bimbingan pikirannya.
2) Tradisional yaitu pengetahuan yang diperoleh dari orang yang
menciptakan.

31
Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan. hlm. 72.
32
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-ruz Media, 2011). hlm. 41.
33
Suharto. ibid. hlm. 64.
Menurut Ibnu Khaldun, manusia memperoleh ilmu itu
melalui kemampuannya untuk berfikir, yang demikian itu sudah
merupakan watak baginya dan dengan persepsi manusiawinya
manusia terbimbing kepada objek dengan problem argument dan
metode pengajaran sehingga mengetahui perbedaan antara yang
benar dan yang salah di dalam suatu ilmu. Ilmu yang tradisional
yang semuanya bersandar kepada informasi berdasarkan autoritas
syari‟at yang diberikan, dasar dari semua ilmu tradisional ini adalah
materi al-Qur‟an dan sunah, yaitu hukum yang telah berhubungan
dengan materi tersebut, dalam arti bahwa kita dapat memetik
manfaat dari padanya.34
Menurut Ibnu Khaldun yang telah dikutip oleh Suwito dan
Fauzan di dalam bukunya “Sejarah Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan” bahwa Ibnu Khaldun sangat memiliki perhatian yang
besar terhadap ilmu-ilmu naqliyah, yaitu al-Qur’an, Hadist,
Pengklasifikasian Ibnu Khaldun yang dikutip oleh M. Arifin tentang
ilmu dasar pengetahuan Islam yang bersumber dari al-Qur‟an
meliputi sebagai berikut:
1. Ilmu pengetahuan filosofis dan intelektual, Semua ilmu
pengetahuan dapat dipelajari oleh manusia melalui akal pikiran
dan penalaran yang bersifat alami, yang terbawa sejak lahir.
2. Ilmu pengetahuan yang disampaikan (transmitted sciences)
3. Ilmu tersebut terdiri dari ilmu al-Qur‟an, tafsir, dan tajwid, ilmu
hadist, ilmu fiqih, teologi (ilmu ketuhanan), dan bahasa.
Walaupun tidak semua ilmu pengetahuan ditransmisikan
melalui institusi pendidikan formal, namun ilmu tersebut dapat
berkembang dari zaman ke zaman.
Menurut Arifin, ilmu pengetahuan di atas banyak
bergantung pada kepandaian guru dalam mempergunakan metode-
metode yang tepat dan baik. Oleh karena itu, guru wajib mengetahui
kegunaan dari suatu metode yang akan dipakai.35
Dalam sumber lain, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa
pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh
peradaban. Terjadinya perbedaan lapisan sosial dalam masyarakat
34
Ahmadie Thoha, Muqaddimah Ibnu Khaldun (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000). hlm. 543-544
35
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam. Op.Cit. hlm. 138.
akibat dari hasil kecerdasan yang diperoses melalui pengajaran.
Beliau tidak setuju dengan pendapat sebagian kalangan yang
mengatakan terjadinya lapisan sosial disebabkan perbedaan hakikat
kemanusiaaan. Ia membagi ilmu pengetahuan menjadi 3 kelompok
yaitu:
1. Ilmu lisan (bahasa), yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika)
sastra atau bahasa yang tersusun secara puitis.
2. Ilmu naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah
Nabi. Ilmu ini berupa membaca kitab suci Al-Qur’an dan
tafsirnya, sanad dan hadits pentashihannya serta istinbat
tentang kaidah-kaidah fiqih.
3. Ilmu aqli, yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan
daya pikir kecerdasannya kepada filsafat dan semua
pengetahuan, yang termasuk dalam kategori ini adalah ilmu
mantiq (logika), ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu teknik, ilmu
hitung, ilmu tingkah laku (psikologi), ilmu sihir, dan ilmu
nujum.36

c. Metode Pendidikan
Mengenai metode pendidikan dalam mengajara, Ibnu Khaldun
memiliki enam metode sebagaimana yang penulis kutip dari Kosim,
yaitu:
1) Metode Hafalan
Tidak semua bidang ‟mata pelajaran cocok
menggunakan metode hafalan ini. Metode ini lebih cocok
digunakan dalam pelajaran yang terkait dengan bahasa. Beliau
beranggapan bahwa dengan banyak membaca dan menghafal
seseorang akan memperoleh keahlian berbahasa.
2) Metode Dialog
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa tidak semua
bidang pelajaran cocok dengan metode hafalan terutama dalam
hal penguasaan tentang suatu ilmu secara utuh hingga memiliki
kompetensi dalam ilmu tersebut. Menurut Ibnu Khaldun, metode
dialog lah yang paling tepat untuk digunakan dalam memperoleh

36
Thoha, Muqaddimah Ibnu Khaldun. Opc.Cit. hlm. 106-107.
penguasaan terhadap disiplin ilmu. Hal ini dikarenakan metode
hafalan tidak dapat membuat anak didik menguasai persoalan,
sehingga ia tidak dapat memiliki kemampuan mengenai ilmu
tersebut.
3) Metode Widya Wisata
Metode ini ditunjukkan oleh Ibnu Khaldun untuk orang
yang menuntut ilmu hanya melalui kitab-kitab, tanpa bertemu
langsung dengan penulis kitab tersebut dapat membuat bingung
mereka dan tidak mengerti secara utuh apa yang dimaksud oleh
penulis kitab tersebut. Widya wisata yang dimaksud dari metode
ini adalah, mengunjungi penulis kitab secara langsung dan
meminta penjelasan langsung dari penulis/guru tersebut,
sehingga dapat membuat peserta didik lebih paham dan
mengerti.
4) Metode Keteladanan
Seorang individu pasti memiliki kecenderungan untuk
meniru karakter orang lain. Seperti, kaum lemah yang
cenderung meniru orang kuat, bawahan cenderung meniru
atasannya, termasuk anak-anak yang suka meniru orang
dewasa.
Hubunganya dengan peserta didik adalah, seorang peserta
didik sering kali memperhatikan gurunya, baik sikap, gaya
bicara ataupun penampilan. Seorang guru secara tidak disadari
merupakan idola bagi anak didiknya. Lalu jika dikaitkan dengan
pembelajaran metode keteladanan ini merupakan sarana bagi
guru untuk mengajarkan suatu materi kepada peserta didik,
terutama materi yang berkaitan dengan kepribadian. Hal
tersebut dikarenakan sekalipun seorang guru telah
mempersiapkan materi dengan matang tapi jika tidak diimbangi
dengan keteladanan seorang guru, niscaya akan sulit
membentuk kepribadian peserta didik.
5) Metode Pengulangan dan Bertahap
Metode ini juga biasa disebut dengan at-tikrar dan at-
tadrij, metode ini secara tidak langsung menegaskan bahwa
kemampuan peserta didik dalam menerima ilmu itu
membutuhkan proses. Metode ini dappat dilakukan melalui tiga
tahapan: pertama, guru memberikan baahasan maalah terkait
dengan topic pokok suatu bab, kemudian menerangkan secara
umum tanpa menge-nyampingkan kemampuan anak didik
untuk memahaminya. Kedua, karena kemampuan anak didik
masih lemah, maka sebaiknya guru mengulangi lagi dengan
pembahasan yang sama hanya saja ditambahkan cakupannya
dengan memberikan komentar dan penjelasan mengenai
perbedaan-perbedaan pandangan pada objek kajian. Ketiga, jika
anak didik telah memahami apa yang dijelaskan oleh guru, maka
seorang guru hendaknya kembali menerangkan materi pelajaran
secara mendalam. Dengan demikian maka murid dapat memiliki
keahlian yang sempurna.

6) Metode belajar Al-Qur’an


Dalam mempelajari Al-Qur’an, Ibnu Khaldun memiliki
pandangan khusus yang cukup keras. Beliau tidak menyukai
apabila seorang anak membaca Al- Qur’an tetapi mereka
tidak memahami maksudnya. Maka dari itu, beliau
menjadikan bahasa Arab sebagai dasar studi segala
penegetahuan. Bahkan beliau lebih mendahulukan pengajaran
bahasa Arab dari pengetahuan-pengetahuan lain, termasuk Al-
Qur’an. Karena menurut Ibnu Khaldun jika seorang anak belajar
Al-Qur’an terlebih dahulu sebelum belajar bahasa Arab hanya
akan mengacaukan anak. Anak hanya akan mampu membaca
tapi tidak memahami maksudnya.37

3. Relevansi Konsep Pendidikan Islam Al Ghazali dan Ibnu Khaldun Pada


Pendidikan di Era Globalisasi
Konsep Pendidikan Al Ghazali dan Ibnu Khaldun sampai saat ini
masih sangat relevan dengan pendidikan modern saat ini, konsep yang
masih nyata dan tampak sampai saat ini adalah konsep budi pekerti atau
akhlaq.

37
Kosim, Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun. Op. Cit., hlm. 83-95.
Budi pekerti berasal dari bahasa Indonesia. Akhlak berasal dari
bahasa Arab. Sedangkan kata moral berasal dari bahasa Latin, dan etika
berasal dari bahasa Yunani. Akhlak adalah istilah yang tepat dalam
bahasa Arab untuk arti moral dan etika. Seperti halnya akhlak, secara
etimologis etika juga memiliki makna yang sama dengan moral.
Pengertian pendidikan budi pekerti mengacu pada pengertian dalam
bahasa inggris, yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas
mengandung beberapa pengertia antara lain, Adat istiadat, Sopan santun
dan Perilaku. Sebagaimana di kutip oleh Nurul zuriah pengertian budi
pekerti secara hakiki adalah perilaku. Sementara itu menurut draft
kurikulum berbasis kompetensi, budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku
manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui
norma agama, norma norma hukum, tata krama dan sopan santun.
Pembahasan filosofis tentang budi pekerti terus berkembang dengan
berbagai pendapat atau aspek budi pekerti itu sendiri. Ajaran budi pekerti
di sekolah yang di tempuh melalui proses panjang itu dapat menghasilkan
semangat pada diri siswa untuk memberontak atau melawan tatanan budi
pekerti.38
Salah satu sebabnya adalah siswa mencampakkan norma moral atau
budi pekerti yang diajarkan dalam bentuk himpunan perintah dan
larangan. Keadaan ini menjadikan siswa melawan norma yang disebabkan
oleh hal mendasar, yaitu siswa tidak percaya lagi kepada norma moral,
yang ternyata tidak mengatasi masalah kemasyarakatan yang terus
berkembang, bahkan kenyataan di masyarakat malahan menjadi hal yang
sebaliknya. Berbagai usulan tentang perlunya pendidikan budi pekerti
dalam pembangunan karakter dan pembentukan moralitas bangsa,
bukanlah suatu hal yang baru. Sebagaimana pendapat Azyumardi Azra
yang disampaikan oleh Nurul Zuhriah bahkan sebelum pelajaran agama
menjadi mata pelajaran wajib, dalam rencana pelajaran pada tahun 1947,
yang ada hanyalah mata pelajaran “didikan budi pekerti” yang bersumber
dari nilai-nilai traditional, khususnya yang terdapat dalam cerita
pewayangan.39

38
Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan (Jakarta: Bumi
Aksara, 2011). hlm. 86.
39
Zuriah. Ibid. hlm. 88.
Setelah melalui perdebatan panjang antara pihak Diknas dan
Kemenag, akhirnya sejak tahun 1975 pendidikan budi pekerti
diintregasikan ke dalam mata pelajaran Pendidikan kewarganegaraan
(Civics), yang kemudian menjadi mata pelajaran Pendidikan Moral
Pancasila (PMP). Dalam kurikulum 1984, Moral pancasila diintregasikan
ke dalam empat mata pelajaran, yaitu PMP, Pendidikan Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), P4 dan Sejarah Nasional.
Dalam kurikulum 1994 pelajaran ini tercakup dalam mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Dan pada kurikulum
terakhir tercakup dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn). Sejalan dengan menghilangnya mata pelajaran budi pekerti masalah
bangsa yang kian kompleks juga memunculkan masalah akhlak dan moral
di kalangan peserta didik pada berbagai level atau tingkatan. Sekali lagi,
pikiran dan logika yang sedikit implisit menganggap masalah ini
disebabkan lenyapnya pendidikan budi pekerti dan kegagalan pendidikan
agama.
Dalam kajian budaya nilai merupakan inti dari setiap kebudayaan.
Lebih-lebih dalam era globalisasi ini yang berada di dunia yang terbuka,
ikatan nilai-nilai moral mulai melemah. Masyarakat mengalami multikrisis
yang dimensional, dan krisis yang dirasakan sangat parah adalah krisis
nilai-nilai moral. Analisis di atas menjadikan pendidikan di Indonesia
mengkaji dan membangkitkan pendidikan moral atau pendidikan budi
pekerti atau pendidikan karakter.
Hal ini bukan hanya dirasakan oleh bangsa dan masyarakat
Indonesia saja sebenarnya, akan tetapi juga oleh negara-negara maju.
Bahkan di negara-negara Industri dimana ikatan moral menjadi semakin
longgar, masyarakatnya mulai merasakan perlunya revival dari pendidikan
moral yang pada akhir-akhir ini mulai di telantarkan.
Pendidikan budi pekerti bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi
juga tanggung jawab keluarga dan lingkungan sosial yang lebih luas. Jadi
meskipun sekolah misalnya menyelenggarakan pendidikan budi pekerti,
tetapi lingkungan masyarakatnya tidak atau kurang baik maka pendidikan
budi pekerti di sekolah tidak ada artinya.
Pendidikan budi pekerti sesungguhnya telah terkandung dalam
pendidikan agama dan mata pelajaran lain. Akan tetapi, kandungan budi
pekerti tersebut tidak bisa teraktualisasi karena adanya kelemahan mata
pelajaran agama dalam segi metode maupun muatan yang lebih
menekankan pengisian aspek kognitif daripada aspek afektif.
Dengan demikian pendidikan budi pekerti diintregasikan ke dalam
semua mata pelajaran dan program pendidikan, seperti pendidikan agama
dan PKn. Seperti terlihat rincian nilai-nilai budi pekerti yang diberikan
Depdiknas dan Depag pada intinya merupakan nilai-nilai keagamaan dan
akhlak, yang secara sosial dan kultural dipandang dan diakui sebagai
nilai-nilai luhur bangsa.

C. KESIMPULAN
Konsep pendidikan menurut Al-Ghazali yakni seorang anak terlahir
dalam keadaan fitrah maka orang yang mendidiknya lah yang mempengaruhi
anak tersebut. Ini berarti jika seorang anak tumbuh dan berkembang dalam
lingkungan yang baik, dididik dengan cara yang baik dan dibiasakan
melakukan hal-hal yang baik, maka anak tersebut akan menjadi baik. Dan
sebaliknya, jika anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang
buruk, dididik dengan cara yang buruk dan dibiasakan melakukan hal-hal
keburukan, maka anak tersebut akan menjadi buruk. Konsep pendidikan
Ibnu Khaldun yakni manusia merupakan hasil dari sejarah, lingkungan
sosial, lingkungan alam, dan adat istiadat. Menurutnya lingkungan sosial
memiliki peran penting, tanggung jawab terhadap pembentukan kepribadian
seseorang.
Pandangan Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun mengenai konsep pendidikan
memiliki persamaan yakni berpaham empiris yang berarti bahwa manusia
bukan produk nenek moyangnya melainkan dibentuk berdasarkan
lingkungan dan adat istiadat. Selain itu persamaan yang didapat dari
keduanya terletak pada metode keteladanan yang harus dimiliki oleh seorang
guru, hanya saja Al-Ghazali menempatkan keteladanan tersebut merupakan
sikap yang harus dimiliki oleh seorang guru.
Konsep pendidikan Al-Ghazali berbeda dengan Ibnu Khaldun, beliau
lebih spesifik dan berhati-hati dalam memilih tujuan pendidikan. Hal ini
dapat dilihat dari pengklasifikasian tujuan pendidikan beliau yang telah
penulis uraikan. Al-Ghazali lebih mengarah kepada realisasi religius dan
moral, yang penekanannya adalah keutamaan dan pendekatan diri kepada
Allah SWT.
Dalam kurikulum pendidikan Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun memiliki
pengklasifikasian yang berbeda dalam penjabaran ilmu pengetahuan.
Pengklasifikasian ilmu dari pemikiran Al- Ghazali sangat rinci, selain itu
beliau juga menambahkan lima aspek pendidikan terkait dengan ilmu.
Sedangkan Ibnu Khaldun hanya membagi ilmu pengetahuan menjadi dua,
yakni aqliyah dan naqliyah. Aqliyah yakni ilmu yang bersifat rasional,
sedangkan ilmu naqliyah adalah ilmu yang berkaitan dengan agama.
Konsep Pendidikan Al Ghazali dan Ibnu Khaldun masih sangat relevan
dengan pendidikan modern saat ini, konsep yang masih nyata dan tampak
sampai saat ini adalah konsep budi pekerti atau akhlaq.

Daftar Pustaka

Alavi, Zianuddin. Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan


Pertengahan. Bandung: Angkasa Press, 2003.
Al-Rasyid, dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press,
2005.
Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005.
Djalaludin, dan Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 1994.
Ihsan, Hamdani, dan Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2007.
Kosim, Muhammad. Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun. Jakarta: Rineka
Cipta, 2012.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
———. Filsafat Pendidikan Islam I. Jakarta: Logos, 1997.
———. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama,
2005.
Ni‟am Sholeh, Asrorun. Reorientasi Pendidikan Islam Mengurai Relevansi
Konsep Al- Ghazali Dalam Konteks Kekinian. 3 ed. Jakarta: Elsas, 2006.
Shofan, Moh. Pendidikan Berparadigma Profetik. Jogjakarta: Ciputat Pers,
2002.
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-ruz Media, 2011.
Susanto, A. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah, 2009.
Thoha, Ahmadie. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Zinuddin dkk. Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara,
1991.
Zuriah, Nurul. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan.
Jakarta: Bumi Aksara, 2011.

Anda mungkin juga menyukai