Anda di halaman 1dari 6

No.

Dokumen : FTK-FR-AKD-019
KEMENTERIAN AGAMA Tgl. Terbit :
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI No. Revisi : 00
FORM (FR)
SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG Hal : 1/1
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

SOAL UTS

Nama : Annisa Fitriyani Kelas : PAI VI A

NIM : 1172020035

Jurusan/Prodi : PAI Hari/Tangga : Selasa, 21April 2020


l
Mata Kuliah : Masail Fiqhiyah Waktu : 100 menit
Bobot SKS : 2 SKS Jenis Ujian : UTS Ujian Tulis
Semester/Tahu : VI/2020 Dosen : Dr. H. Asis Saefudin, M.Si
n
Hamdan Hambali, M.Ag

No Uraian Pertanyaan Bobot Nilai

1 a. Kemukakan metode ijtihad dalam masalah menikah beda agama!


b. Jelaskan hukum menikah beda agama berdasarkan kajian metode ijtihad 20
tersebut!
2 a. Kemukakan metode ijtihad dalam masalah jual beli online!
20
b. Jelaskan hukum jual beli online berdasarkan kajian metode ijtihad tersebut!
3 a. Kemukakan metode ijtihad dalam masalah bayi tabung!
20
b. Jelaskan hukum bayi tabung berdasarkan kajian metode ijtihad tersebut!
4 a. Kemukakan metode ijtihad dalam masalah rokok dan kopi!
20
b. Jelaskan hukum rokok dan kopi berdasarkan kajian metode ijtihad tersebut!
5 a. Kemukakan metode ijtihad dalam masalah transplantasi organ tubuh!
b. Jelaskan hukum transplantasi organ tubuh berdasarkan kajian metode ijtihad 20
tersebut!
Jawaban:

1. A. Memakai metode ijtihad ijma’ yang berarti:


persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu
masa. Persetujuan itu diperoleh dengan suatu cara di tempat yang sama. Namun, kini sukar dicari
suatu cara dan sarana yang dapat dipergunakan untuk memperoleh persetujuan seluruh ahli mengenai
suatu masalah pada suatu ketika di tempat yang berbeda. Ini disebabkan karena luasnya bagian dunia
yang didiami oleh umat Islam, beragamnya sejarah, budaya dan lingkungannya. Ijma’ yang hakiki
hanya mungkin terjadi pada masa kedua khulafaur rasyidin (Abu Bakar dan Umar) dan sebagian masa
pemerintahan khalifah yang ketiga (Usman). Sekarang ijma’ hanya berarti persetujuan atau kesesuaian
pendapat di suatu tempat mengenai tafsiran ayat-ayat (hukum) tertentu dalam al-Qur’an.
Bisa juga memakai metode Al-Ijtihad al-Bayani, yaitu suatu kegiatan ijtihad yang bertujuan untuk
menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terdapat dalam nash al-Qur’an dan as-Sunnah.
Menurut metode ijtihad Yusuf Al-Qardhawi seorang cendikiawan muslim dikenal sebagai
mujtahid pada era modern ini. Bahwasanya ia menyebutkan empat sumber atau dalil-dalil hukum
secara beruntutan yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak, Al-Qawaid asyar’iyyah al-kulliyah (Kaidah
Prinsipil Syariat). Al-Qardhawi juga menggunakan sumber lain dalam berijtihad, yakni logika. Salah
satu metode ijtihad nya adalah Ijtihad Tarjih Intaqo’i bahwasanya dalam berfatwa adalah memilih-
milih beberapa pendapat dan menetapkan pendapat yang paling kuat dan mengikutinya berdasarkan
dalil-dalil hukum tertentu.selain pertimbangan dalil, tarjih yang dilakukan oleh Al-Qardhawi juga
mempertimbangkan identifikasi masalah serta keadaan kontemporer mencakup perubahan keadaan
sosial politik, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Begitupun saya kaitkan perihal menikah
beda agama banyak sekali problema dalam hal sosial.
B. Menurut Qardhawi (2007: 260) menyebutkan bahwa perempuan musyrik termasuk perempuan yang
haram dinikahi. Yaitu perempuan yang menyembah berhala seperti kaum musyrikin Arab dan
sejenisnya. Allah Swt berfirman:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah [2]: 221)
Ayat diatas menjelaskan bahwa seorang muslim haram menikah dengan perempuan musyrik,
sebagaimana seorang mukminah haram dinikahkan dengan seorang musyrik, karena perbedaan yang
sangat mencolok diantara dua keyakinan itu. Mereka mengajak kepada surga sedang pihak lain
mengajak ke neraka. Pihak pertama beriman kepada Allah, kenabian dan hari akhir, sedangkan pihak
kedua menyekutukan Allah, mengingkari kenabian dan menyangkal adanya akhirat. (Qardawi, 2007:
260).
Saya mengambil juga jenis pernikahan beda agama, pernikahan dengan ahl kitab (laki-laki ahli kitab
dengan perempuan muslimah). Berdasarkan Q.S Al-Mumtahanah [60]: 10 yang artinya sebagai
berikut.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan
mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah
kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi
orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada
(suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka
apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah
kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum
Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Qardhawi (2007: 263) menjelaskan bahwa tidak ada nash yang mengecualikan ahli kitab dari hukum
ini. Karena itulah, hukum haram ini telah menjadi kesepakatan kaum muslimin. Di bolehkannya laki-
laki muslim menikah dengan perempuan Yahudi atau Nasrani, sementara perempuan muslimah tidak
boleh menikah dengan mereka, tidak lain karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa
terhadap isterinya dan bertangungjawab tentang dirinya. Islam menjamin kebebasan akidah bagi istri
yang ahli kitab itu dalam naungan suaminya, bahkan melindungi hak-hak dan kehormatannya dengan
syariat dan bimbingan-bimbingannya. Akan tetapi agama lain, seperti yahudi dan Nasrani misalnya,
tidak pernah memberikan jaminan kepada isteri yang berlainan agama, tidak menjamin kebebasan
akidah dan hak-haknya. Bagaimana mungkin Islam harus mengorbankan masa depan anak-anak
gadisnya dan menyerahkan mereka ke tangan orang-orang yang tidak mengindahkan perjanjian dan
perlindungan terhadap agama mereka. Sungguh mustahil jika seorang muslimah tetap memliki
kehormaan aqidah dan perlindugan agamanya jika laki-laki yang menguasainya adalah seorang yang
menentang agamanya dengan segala bentuk pertentangan.
Dari pembahasan ini dapat kita ambil pelajaran bahwa Islam sangat rasional ketika mengharamkan
laki-laki muslim menikah dengan perempuan musyrik dan penyembah berhala. Karena Islam tidak
mengakui kemusyrikan dan keberhalaan, bahkan mengingkarinya dengan segala bentuk pengingkaran.
Karena itu, bagaimana mungkin akan tercipta kedamaian, ketentraman, cinta dan kasih sayang diantara
mereka. (Qardhawi, 2007:265).

2. Memakai metode ijtihad, Al-Ijtihad al-Bayani, yaitu suatu kegiatan ijtihad yang bertujuan untuk
menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terdapat dalam nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Atau bisa juga
dengan metode Adat-istiadat atau ‘urf yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dikukuhkan
tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
Menurut Wahbah Zuhaili, prinsip dasar dalam transaksi muamalah dan persyaratannya yang terkait
dengannya adalah boleh selama tidak dilarang oleh syari’ah atau bertentangan dengan dalil atau nash
qath’i. Oleh karena itu hukum transaksi dengan sara online adalah dibolehkan berdasarkan prinsip
maslahah, kebutuhan manusia seiring dengan kemajuan teknologi yang semestinya dimanfaatkan untuk
meningkatkan taraf hidup melalui usaha jual beli online. Syeikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i
menghalalkan jual beli secara online dengan beberapa alasan berikut. Berdasarkan pendapat banyak
ulama di masa silam yang menyatakan sahnya transaksi yang dilakukan via surat menyurat dan jika ijab
(pernyataan pihak pertama) adalah sah setelah sampainya surat ke tangan pihak kedua.

3. Memakai metode ijtihad, Al-Ijtihad al-Istishlahi, yaitu suatu kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum
syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nash-nya, baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah,
melalui cara penalaran berdasarkan prinsip al-Istishlah (kemaslahatan).
Mengenai status anak hasil inseminasi dengan donor sperma atau ovum menurut hukum islam adalah
tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil prostitusi. UU Perkawinan pasal 42 No.1/1974: ”Anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” maka
memberikan pengertian bahwa bayi tabung dengan bantuan donor dapat dipandang sah karena ia
terlahir dari perkawinan yang sah.
Ada 2 hal yang menyebutkan bahwa bayi tabung itu halal, yaitu:
1) Sperma tersebut diambil dari si suami dan indung telurnya diambil dari istrinya kemudian disemaikan
dan dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
2) Sperma si suami diambil kemudian di suntikkan ke dalam saluran rahim istrinya atau langsung ke
dalam rahim istrinya untuk disemaikan.
Hal tersebut dibolehkan asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan
untuk membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh keturunan.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa istimna’ pada prinsipnya diharamkan, namun istimna’
diperbolehkan dalam keadaan tertentu bahkan wajib, jika dikhawatirkan jatuh kepada perbuatan zina.
Hal ini didasari oleh kaidah ushul adalah: “Menghindari madarat (bahaya) harus didahulukan atas
mencari/menarik maslahah/kebaikan”

4. Memakai metode ijtihad, istishab yaitu menetapkan hukum sesuatu hal menurut keadaan yang terjadi
sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya. Atau dengan perkataan lain dapat dikatakan istishab
adalah melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena belum ada ketentuan lain yang
membatalkannya.
Pada dasarnya tidak ada nash yang shorih (jelas) yang mengatakan bahwa rokok itu haram. Dan dalam
kaidah ushul fiqih Syafi’i bahwa segala sesuatu pada asalnya adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang
mengharamkannya dalam arti menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya. karena tidak ditemukan
dalil baik dari al-Qur’an maupun al-Hadits yang mengharamkan rokok, maka pengambilan hukumnya
dengan istishab (kembali ke hokum asalnya) yaitu mubah. Jadi hukum rokok pada asalnya adalah mubah.
Kopi adalah sebuah minuman hasil seduhan biji kopi yang telah disangrai dan dihaluskan menjadi bubuk.
Melalui perdebatan panjang yang melibatkan pakar-pakar fiqh, hakim/qadi, para dokter, dan pemimpin-
pemimpin politik di seluruh dunia Muslim, minum kopi akhirnya bukan hanya dianggap halal tetapi justru
dianjurkan karena dinilai bermanfaat untuk pencerahan spiritual melalui jalan “markaha,” yakni persekutuan
deliberatif untuk berkumpul dan berbicara tentang kebaikan dalam persaudaraan dan persahabatan.

5. Memakai metode ijtihad, Al-Ijtihad al-Bayani, yaitu suatu kegiatan ijtihad yang bertujuan untuk
menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terdapat dalam nash al-Qur’an dan as-Sunnah.
Zallum, berpendapat bahwa syara' membolehkan seseorang mendonorkan sebagian organ tubuhnya ketika ia
hidup, dengan syarat suka rela atau tidak dipaksa oleh siapapun. Organ yang didonorkan bukanlah organ
vital, seperti jantung dan hati. 3 Hal ini karena penyumbangan tersebut dapat mengakibatkan kematian
pendonor, padahal Allah Swt melarang untuk membunuh dirinya sendiri. Allah SWT berfirman : “Dan
janganlah kalian membunuh diri-diri kalian”. (Q.S. An Nisa : 29)
Allah SWT berfirman:
"...dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan
sesuatu (sebab) yang benar." (Q.S. Al An'am : 151)
Sementara Mujtana, mengatakan bahwa hukum transplantasi organ tubuh sebagai berikut:
(1) Apabila transplantasi dilakukan dengan tidak ada hajat syar'i, yakni untuk pengobatan, maka hukumnya
haram. Sebab ada unsur taghoyyurul khilqoh (perubahan ciptaan) dan dikhawatirkan mencerminkan sikap
tidak rela menerima taqdir Illahi.
(2) Apabila ada hajat syar'iyyah, transplantasi organ tubuh dengan tujuan untuk memulihkan penyakit, yang
termasuk masalah hajiyah (primer), maka hukumnya boleh.
Jumhur ulama Fiqh yang terdiri dari sebagian ulama Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi' dan Hambali,
berpendapat bahwa memanfaatkan organ tubuh manusia sebagai pengobatan dibolehkan dalam
keadaan darurat. Dan selaras juga dengan qaidah fiqhiyyah: Darurat akan membolehkan yang
diharamkan. Selanjutnya, dalam qaidah fiqhiyah yang lain disebutkan Bahaya harus dihilangkan.

Anda mungkin juga menyukai