Anda di halaman 1dari 19

KANDUNGAN AYAT TENTANG KONSUMSI

(Q.S. AL-A’RAF:31-32 DAN AL-FURQAN:67)

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir

Dosen Pengampu : Dr. M. Ircham, LC., M.Pd.I.

Oleh :

1. Mega Purwaning Putri (63040190170)


2. Nur Sa’idah (63040190172)
3. Nurul Septiana Safitri (63040190173)

KELAS 4E

PROGRAM STUDI S-1 MANAJEMEN BISNIS SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

TAHUN AKADEMIK 2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur dihaturkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat, dan
hidayahnya makalah yang berjudul “KANDUNGAN AYAT TENTANG
KONSUMSI (Q.S. AL-A’RAF:31-32 DAN AL-FURQAN:67)” ini dapat
selesai tepat waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Tafsir.
Semoga dengan membaca makalah ini dapat memberikan manfaat dan
menambah wawasan dalam menafsirkan makna yang terkandung dalam surat
al-A’raf ayat 31-32 dan surat al-Furqan ayat 67. Penyusun menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu penyusun memohon kritik
dan saran yang membangun agar dapat menyempurnakan makalah berikutnya.

           

Salatiga, 16 Maret 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
C. Tujuan............................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Teks Q.S. Al-A’raf Ayat 31-32...................................................................... 3


B. Asbabun Nuzul Q.S. Al-A’raf Ayat 31-32..................................................... 3
C. Kandungan dan Penafsiran Q.S. Al-A’raf Ayat 31-32.................................. 5
D. Teks Q.S. Al-Furqan Ayat 67........................................................................ 11
E. Kandungan dan Penafsiran Q.S. Al-Furqan Ayat 67..................................... 11
F. Implikasi dengan Isu Kontemporer................................................................ 13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................................... 15
B. Saran............................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Islam memberikan aturan terhadap semua hal, tidak terkecuali
dengan persoalan konsumsi. Konsumsi merupakan suatu hal yang niscaya
dalam kehidupan sehari-hari manusia, karena ia membutuhkan berbagai
konsumsi untuk dapat mempertahankan hidupnya. Akivitas konsumsi
dalam Islam merupakan salah satu aktivitas ekonomi manusia yang
bertujuan untuk meningkatkan ibadah dan keimanan kepada Allah SWT
dalam rangka mendapatkan kemenangan, kedamaian, dan kesejahteraan
akhirat (falah), baik dengan membelanjakan uang atau pendapatannya
untuk keperluan dirinya maupun untuk amal saleh bagi sesamanya.
Adapun dalam perspektif konvensional, aktivitas konsumsi sangat erat
kaitannya dengan maksimalisasi kepuasan (utility). Keseimbangan
konsumsi dalam ekonomi Islam didasarkan pada prinsip keadilan
distribusi.1
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana teks serta terjemahan dari Q.S. Al-A’raf ayat 31-32?
2. Apa yang melatarbelakangi turunnya Q.S. Al-A’raf ayat 31-32?
3. Apa saja kandungan dan bagaimana penafsiran Q.S. Al-A’raf ayat 31-
32?
4. Bagaimana teks serta terjemahan dari Q.S. Al-Furqan ayat 67?
5. Apa saja kandungan dan bagaimana penafsiran Q.S. Al-Furqan ayat
67?
6. Bagaimana implikasi dari ayat-ayat tersebut dengan isu kontemporer?
C. Tujuan
1. Mengetahui teks Arab maupun terjemahan dari Q.S. Al-A’raf ayat 31-
32.
1
H.M. Syahrial, Pandangan Islam Tentang Konsumsi (Analisis Terhadap Ayat Dan
Hadits Ekonomi Tentang Konsumsi), (Pekanbaru: An-Nahl No 5 Vol. 9, 2017), hal. 18
diakses pada 15 Maret 2021

1
2. Menjelaskan peristiwa penyebab turunnya Q.S. Al-A’raf ayat 31-32.
3. Menjelaskan dan memberi pemahaman mengenai kandungan yang
dimiliki serta penafsiran-penafsiran dari Q.S. Al-A’raf ayat 31-32.
4. Mengetahui teks Arab maupun terjemahan dari Q.S. Al-Furqan ayat
67.
5. Menjelaskan dan memberi pemahaman mengenai kandungan yang
dimiliki serta penafsiran-penafsiran dari Q.S. Al-Furqan ayat 67.
6. Memahami implikasi ayat-ayat tersebut berkenaan dengan isu
kontemporer.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teks Q.S. Al-A’raf Ayat 31-32


ٰ
)۳۱( َ‫ْرفِ ْين‬ ِ ‫ْرفُوْ ا ۚ اِنَّهُ اَل يُ ِحبُّ ْال ُمس‬
ِ ‫ٰيبَنِ ْٓي ا َد َم ُخ ُذوْ ا ِز ْينَتَ ُك ْم ِع ْن َد ُكلِّ َم ْس ِج ٍد َو ُكلُوْ ا َوا ْش َربُوْ ا َواَل تُس‬
‫ق قُلْ ِه َي لِلَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا فِي ْال َح ٰيو ِة ال ُّد ْنيَا‬ ِ ‫قُلْ َم ْن َح َّر َم ِز ْينَةَ هللاِ الَّتِ ْٓي اَ ْخ َر َج لِ ِعبَا ِد ِه َوالطَّيِّبَا‬
ِ ۗ ‫ت ِمنَ ال ِّر ْز‬
)۳۲( َ‫ت لِقَوْ ٍم يَّ ْعلَ ُموْ ن‬ ِّ َ‫ۗة َك ٰذلِكَ نُف‬Œِِۗ ‫صةً يَّوْ َم ْالقِ ٰي َم‬
ِ ‫ص ُل ااْل ٰ ٰي‬ َ ِ‫خَال‬
Terjemahan:
31. Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap
(memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.
Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.
32. Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan
dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki
yang baik-baik?” Katakanlah, “Semua itu untuk orang-orang yang
beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada
hari kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk
orang-orang yang mengetahui.
B. Asbabun Nuzul Q.S. Al-A’raf Ayat 31-32
Ulama menyatakan bahwa ayat ini turun ketika beberapa orang
sahabat Nabi SAW bermaksud meniru kelompok al-Hummas, yakni
kelompok suku Quraisy dan keturunannya yang sangat menggebu-gebu
semangat beragamanya sehingga enggan berthawaf kecuali memakai
pakaian baru yang belum pernah dipakai melakukan dosa, serta sangat
ketat dalam memilih makanan serta kadarnya ketika melaksanakan ibadah
haji. Sementara sahabat Nabi saw berkata: “Kita lebih wajar melakukan
hal demikian daripada al-Hummas.” Nah, ayat di atas turun menegur dan
memberi petunjuk bagaimana yang seharusnya dilakukan. 2
Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata,
"Seorang perempuan pada masa jahiliyyah thawaf di Ka'bah dalam
keadaan telanjang, pada kemaluannya ada kain. Dia berkata,'Pada hari ini
2
M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Jilid
5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 75

3
sebagian atau seluruhnya kelihatan. Apa yang kelihatan dari tubuhku,
tidak aku halalkan.' Lalu, turunlah ayat, (‫ ) ُخ ُذوْ ا ِز ْينَتَ ُك ْم‬turun pula ayat, ‫قل من‬
‫حرم زينة هللا‬.
Dalam Shahih Muslim dari Urwah, dia berkata, "Orang-orang Arab
dulu thawaf mengellingi Baitullah dengan telanjang kecuali al-Humus. Al-
Humus adalah orang-orang Quraisy dan peranakannya. Orang-orang Arab
thawaf di Baitullah. Hanya saja al-Humus member mereka pakaian. Laki-
laki memberikan kepada laki-laki, perempuan kepada perempuan. Al-
Humus tidak keluar dari Muzdalifah, sementara orang-orang semuanya
berdiri di Arafah."
Dalam riwayat selain Muslim, orang-orang Humus berkata, "Kami
adalah pemilik tanah haram maka tidak seyogianya ada seorang pun dari
orang-orang Arab yang thawaf, kecuali dengan pakaian-pakaian kami,
tidak makan ketika masuk tanah kami, kecuali dari makanan kami.
Barangsiapa yang tidak mempunyai teman dari orang Arab di Mekah yang
meminjaminya pakaian tidak pula orang yang disewai pakaian, dia ada
dalam salah satu dua hal. Mungkin dia thawaf di Baitullah dalam keadaan
telanjang, mungkin pula thawaf dengan pakaiannya. Jika dia selesai
thawaf, dia melemparkan pakaiannya dan tidak disentuh oleh siapa pun.
Pakaian itu dinamakan al-Laqiy (yang dibuang).
Mereka terus saja dalam kebodohan, bid'ah, dan kesesatan sampai
Allah mengutus Nabi-Nya, Muhammad saw. Kemudian, Allah
menurunkan ayat (‫)يا بني ادم خذوا زينتكم‬. Muadzdzinnya Rasulullah menyeru,
“lngat, tidak boleh thawaf di Baitullah dalam keadaan telanjang.” Al-Kalbi
mengatakan “Orang-orang jahiliyyah tidak makan makanan, kecuali
makanan pokok, tidak makan lemak pada waktu haji. Dengan demikian,
mereka mengagungkan haji mereka." Orang-orang Muslim berkata,
"Wahai Rasulullah, kita lebih semestinya melakukan itu". Lalu, Allah
ِ ‫ ) َو ُكلُوْ ا َوا ْش َربُوْ ا َواَل تُس‬makanlah daging dan lemak.
menurunkan ayat (‫ْرفُوْ ا‬ 3

3
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir Aqidah, Syariah, dan Manhaj (al-Maa’idah-al-
A’raaf) Juz 7&8, Jilid 4, (Jakarta: Gema Insani, 2016), hal. 437

4
C. Kandungan dan Penafsiran Q.S. Al-A’raf Ayat 31-32
1. Q.S. Al-A’raf ayat 31
a. Ayat ini mengajak: Hai anak-anak Adam, pakailah pakaian kamu
yang indah minimal dalam bentuk menutup aurat, karena
membukanya pasti buruk. Lakukan itu di setiap memasuki dan
berada di masjid, baik masjid dalam arti bangunan khusus, maupun
dalam pengertian yang luas, yakni persada bumi ini, dan makanlah
makanan yang halal, enak, bermanfaat lagi bergizi, berdampak baik
serta minumlah apa saja, yang kamu sukai selama tidak
memabukkan tidak juga mengganggu kesehatan kamu dan
janganlah berlebih-lebihan dalam segala hal, baik dalam beribadah
dengan menambah cara atau kadarnya demikian juga dalam makan
dan minum atau apa saja, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai, yakni tidak melimpahkan rahmat dan ganjaran bagi
orang-orang yang berlebih-lebihan dalam hal apa pun. Penggalan
akhir ayat ini merupakan salah satu prinsip yang diletakkan agama
menyangkut kesehatan dan diakui pula oleh para ilmuan terlepas
apapun pandangan hidup atau agama mereka. Perintah makan dan
minum, lagi tidak berlebih-lebihan, yakni tidak melampaui batas,
merupakan tuntunan yang harus disesuaikan dengan kondisi setiap
orang. Ini karena kadar tertentu yang dinilai cukup untuk
seseorang,,boleh jadi telah dinilai melampaui batas atau belum
cukup buat orang lain. Atas dasar itu, kita dapat berkata bahwa
penggalan ayat tersebut mengajarkan sikap proporsional dalam
makan dan minum. Dalam konteks berlebih-lebihan ditemukan
pesan Nabi saw: “Tidak ada wadah yang dipenuhkan manusia,
lebih buruk dari perut. Cukuplah bagi putra-putri Adam beberapa
suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Kalau pun harus
(memenuhkan perut), maka hendaklah sepertiga untuk
makanannya, sepertiga'untuk minumannya, dan sepertiga untuk
pernafasannya.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban

5
melalui Miqdam Ibnu Ma'dikarib). Ditemukan juga pesan yang
menyatakan: “Termasuk berlebih-lebihan bila Anda makan apa
yang selera Anda tidak tertuju kepadanya.” 4
b. Ayat ini merupakan bantahan atas tindakan orang-orang musyrik,
yang dengan sengaja mengerjakan thawaf di Baitullah dalam
keadaan telanjang. Allah berfirman, ( ‫ ِج ٍد‬ŒŒŒ‫ ِّل َم ْس‬ŒŒŒ‫ َد ُك‬ŒŒŒ‫ ُذوْ ا ِز ْينَتَ ُك ْم ِع ْن‬ŒŒŒ‫) ُخ‬
"Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki( masjid."
Karena ayat tersebut di atas dan juga beberapa pengertian (yang
menunjukkan) hal itu di dalam Sunnah, yaitu disunnahkan untuk
menghias diri ketika hendak mengerjakan shalat, lebih-lebih pada
hari Jum'at dan hari raya. Juga disunnahkan untuk memakai wangi-
wangian, karena itu termasuk perhiasan, serta bersiwak, karena
merupakan bagian dari kesempurnaan pakaian tersebut. Dan di
antara pakaian yang paling baik adalah yang berwarna putih,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Ibnu
'Abbas. Firman Allah Ta'ala selanjutnya, (‫" ) َو ُكلُوْ ا َوا ْش َربُوْ ا‬Makan
dan minumlah," dan ayat seterusnya. Sebagian ulama salaf
mengatakan, Allah Ta'ala telah menyatukan seluruh pengobatan
ِ ‫" َو ُكلُوْ ا َوا ْش َربُوْ ا َواَل تُس‬Makan dan minumlah
pada setengah ayat ini, ‫ْرفُوْ ا‬
dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Imam al-Bukhari
meriwayatkan, Ibnu 'Abbas berkata: "Makan dan berpakaianlah
sesuka kalian, asalkan engkau terhindar dari dua sifat; berlebih-
lebihan dan sombong."5
c. Yang dimaksud dengan perhiasan adalah pakaian yang bagus.
Minimal adalah yang bisa menutupi aurat. Menutup aurat adalah
wajib dalam shalat dan thawaf. Selain aurat, sunnah ditutupi
namun tidak wajib. Aurat laki-laki sebagaimana telah kita ketahui
dalam ayat-ayat sebelumnya adalah anggota tubuh antara pusar dan
lutut. Aurat perempuan adalah semua anggota tubuhnya selain
4
M. Quraish Shihab, Op. Cit., hal. 75-76
5
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2003), hal.
371-372

6
wajah dan dua telapak tangan. Pakaian adalah penampilan
berbudaya tinggi. Perintah memakai pakaian dan menutup aurat
adalah termasuk keindahan Islam. Kemudian, Allah membolehkan
makandan minum tanpa berlebih-lebihan. Allah SWT berfirman, (
‫ ) َو ُكلُوْ ا َوا ْش َربُوْ ا‬makan dan minumlah kalian yang baik-baik dan enak-
enak dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Kalian harus
seimbang, tidak terlalu hemat, tidak pula berlebih-lebihan, tidak
bakhil dan tidak pula melebihi belanja, tidak pula melewati batas
halal menuju yang haram dalam makan dan minum.
Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan dalam makan dan minum. Maksudnya Allah akan
menghukum mereka karena berlebih-lebihan yang menyebabkan
bahaya.6
2. Q.S. Al-A’raf ayat 32
a. Seperti terbaca sebelum ini, ada di antara kaum musyrikin yang
mengatasnamakan Allah dalam mengharamkan makanan dan
pakaian. Kelompok Hummas mengharamkan pakaian biasa dipakai
dalam thawaf, sehingga dalam pandangan mereka lebih baik
berthawaf tanpa busana kalau tidak memiliki pakaian baru,
makanan pun demikian, sekian banyak yang mereka haramkan.
Nah, terhadap mereka ayat ini ditujukan, karena itu kepada Nabi
saw. diarahkan ucapan: “Hai Nabi Muhammad saw., Katakanlah
kepada mereka sebagai kecaman atas apa yang mereka lakukan:
Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
Dia keluarkan untuk hamba-hamba-Nya, yakni diizinkan untuk
digunakan dan dinikmati oleh manusia, dan siapa pula yang
mengharamkan yang baik-baik dari rezeki yang dihamparkan
Allah di alam raya ini? Katakanlah: Ia, yakni semua itu, perhiasan,
makanan atau rezeki adalah disediakan untuk orang-orang yang
beriman dan juga yang tidak beriman dalam kehidupan dunia,

6
Wahbah az-Zuhaili, Op. Cit., hal. 438

7
tetapi ia akan menjadi khusus untuk mereka yang beriman saja di
hari Kiamat. Demikianlah, yakni seperti penjelasan inilah Kami
menjelaskan, yakni menganekaragamkan uraian dan pembuktian
tentang ayat-ayat, yakni ketetapan-ketetapan hukum atau bukti-
bukti kekuasaan Allah bagi kaum yang ingin mengetahui. Kata
akhraja/dikeluarkan dalam firman-Nya: (‫اده‬ŒŒŒ‫رج لعب‬ŒŒŒ‫ ) اخ‬akhraja
li‘ibadihi/perhiasan yang dikeluarkan untuk hamba-hamba-Nya,
dipahami dalam arti dinampakkan oleh-Nya dengan mengilhami
manusia mendambakan keindahan, mengekspresikan dan
menciptakan, kemudian menikmatinya, baik dalam rangka
menutupi apa yang buruk pada dirinya, maupun untuk menambah
keindahannya. Keindahan adalah satu dari tiga hal yang
mencerminkan ketinggian peradaban manusia. Mencari yang benar
menciptakan ilmu, berbuat yang baik membuahkan etika, dan
mengekspresikan yang indah melahirkan seni. Kata ath-thayyibat
dari segi bahasa berarti lezat, baik, sehat, menenteramkan dan
paling utama. Firman-Nya: (‫ )الطيبات من الرزق‬ath-thayyibat min ar-
rizq/yang baik-baik dari rezeki, mengisyaratkan bahwa ada yang
dinamai rezeki, tetapi tidak baik, lagi tidak sehat. Dengan
demikian, ada rezeki yang sifatnya buruk sehingga diharamkan
Allah swt. Memang, rezeki adalah segala macam perolehan, baik
secara halal maupun haram, demikian pendapat mayoritas ulama.
Firman-Nya: (‫ ُّد ْنيَا‬Œ‫ا ِة ال‬ŒŒَ‫وْ ا فِي ْال َحي‬ŒŒُ‫ ) ِه َي لِلَّ ِذ ْينَ اَ َمن‬hiya lillad^ina amanu ft
alhayatid dunya/la adalah untuk orang-orangyang beriman dalam
kehidupan dunia, tanpa menyebut orang-orang kafir, padahal Allah
menyiapkan rezeki itu juga buat mereka, dipahami oleh Al-Biqa‘i
sebagai isyarat bahwa pada dasarnya rezeki itu, Allah siapkan
untuk mereka yang beriman. Hemat penulis, agaknya lebih tepat
dikatakan bahwa ayat ini menekankan penyebutan orang-orang
beriman karena konteks ayat ini ingin menegaskan bahwa hal-hal
tersebut adalah halal buat orang-orang beriman, sehingga mereka

8
tidak perlu ragu menggunakannya seperti halnya sekelompok
orang-orang musyrik yang enggan menggunakannnya dengan dalih
bahwa Allah yang melarangnya. Huruf Lam pada firman-Nya ( َ‫لِلَّ ِذ ْين‬
‫ )اَ َمنُوْ ا‬lillad^ina amanu mengandung makna “dibolehkan.”
Ayat ini biasa dijadikan dasar oleh sementara orang untuk berkata
bahwa emas dan sutera tidak diharamkan Allah, karena keduanya
adalah perhiasan, sedang ayat ini mengecam mereka yang
mengharamkannya. Jika kita berpegang kepada teks hadits Nabi
saw. yang diriwayatkan melalui Sayyidina Ali ra. bahwa Rasul
memegang sutera di tangan kanan beliau dan emas di tangan
kirinya kemudian bersabda:
“Sesungguhnya kedua hal ini haram buat pria umatku” (HR. Abu
Daud dan an-Nasa’i). Kalau kita berpegang pada teks tersebut,
jelas bahwa emas dan sutera bukanlah termasuk perhiasan yang
dikeluarkan Allah untuk hamba-hamba-Nya yang pria.
Pengharaman Rasul terhadap keduanya adalah bersumber dari
Allah swt. juga.
Kata (‫ )خالصة‬khalishatan dipahami oleh banyak ulama dalam arti
khusus. Yakni khusus untuk orang-orang beriman di hari
Kemudian, tidak akan diperoleh orang-orang kafir. Kata tersebut
dapat juga dipahami dalam arti suci, tidak bercampur dengan
sesuatu yang kurang berkenan di hati, serta bebas dari segala
yang menodainya lahir dan batin. Makna ini menjadikan
penggalan ayat tersebut bermakna bahwa rezeki yang diperoleh
kaum mukminin di hari kemudian, bebas dari segala yang menodai
rezeki itu - bebas dari pengharaman, bebas dari pembatasan, bebas
dari ketiadaan atau kekurangan; bebas juga dari persaingan
memperebutkannya, bebas dari pikiran yang meresahkan guna
perolehan atau akibat menggunakannya serta bila rezeki itu

9
makanan, maka ia bebas dari kotoran yang diakibatkannya
sebagaimana halnya di dunia ini.7
b. Allah berfirman, sebagai bantahan terhadap orang-orang yang
mengharamkan beberapa makanan, minuman, atau pakaian
berdasarkan pendapat diri mereka sendiri bukan berdasarkan syari'
at Allah. ( ْ‫" )قُل‬Katakanlah," hai Muhammad, kepada orang-orang
musyrik yang mengharamkan apa yang mereka haramkan,
berdasarkan pendapat-pendapat mereka yang salah dan bid'ah
mereka. Allah menegaskan sunnah-Nya dan syari' at-Nya yang
mendasarkan pada keseimbangan. Dia menyanggah orang yang
mengharamkan sesuatu dari makanan, minuman, atau pakaian dari
dirinya sendiri bukan dari syari'at Allah SWT. 8
c. Dalam ayat ini dibahas empat masalah, yaitu:
1) ِ‫ةَ هللا‬Œَ‫“ 'قُلْ َم ْن َح َّر َم ِز ْين‬Katakanlah, Siapakah yang mengharamkan
perhiasan dari Allah” menjelaskan bahwa mereka
mengharamkan bagi diri sendiri apa-apa yang sebenarnya tidak
diharamkan Allah. Yang dimaksud perhiasan disini adalah
pakaian yang baik jika memang mampu diperoleh. Ada yang
berpendapat bahwa yang dimaksud adalah seluruh pakaian.
2) Berdasarkan hal tersebut, maka ayat tersebut dapat dijadikan
dalil yang membolehkan mengenakan pakaian yang mahal dan
berhias pada saat berkumpul dan melakukan shalat Id
(perayaan hari besar), serta di saat bertemu dengan banyak
orang dan mengunjungi saudara.
ِ ‫“ َوالطَّيِّبَا‬dan rezeki yang baik”, lafadz
ِ ‫ت ِمنَ ال ِّر ْز‬
3) Firman Allah ‫ق‬
‫ات‬ŒŒ‫ الطيب‬dalam ayat ini adalah ism yang bersifat umum dan
mencakup usaha dan makanan yang baik.
ِ ‫ا‬ŒŒŒŒَ‫وْ ا فِى ْال َحي‬ŒŒŒŒُ‫لْ ِه َي لِلَّ ِذ ْينَ اَ َمن‬ŒŒŒŒُ‫“ ق‬Katakanlah,
4) Firman Allah ‫ ُّد ْنيَا‬ŒŒŒŒ‫ت ال‬
semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman

7
M. Quraish Shihab, Op. Cit., hal. 76-79
8
Ibnu Katsir, Op. Cit., hal. 374

10
dalam kehidupan dunia”, maksudnya adalah hak orang yang
beriman karena mentauhidkan Allah dan membenarkannya.
Karena Allah itu Maha Pemberi nikmat dan rezeki. Jika
seseorang mengesakan dan membenarkan-Nya berarti dia telah
menunaikan kewajiban yang harus ditunaikan karena
memperoleh nikmat. Namun, jika dia kufur, maka dia telah
membuat syetan dapat mengganggu dirinya.9
D. Teks Q.S. Al-Furqan Ayat 67
)۶۷( ‫ْرفُوْ ا َولَ ْم يَ ْقتُرُوْ ا َو َكانَ بَ ْينَ ٰذلِكَ قَ َوا ًما‬
ِ ‫َوالَّ ِذ ْينَ اِ َٓذا اَ ْنفَقُوْ ا لَ ْم يُس‬
Terjemahan:
67. Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-
orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan,
dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.
E. Kandungan dan Penafsiran Q.S. Al-Furqan Ayat 67
Firman Allah SWT ‫وْ ا لَ ْم‬ŒŒُ‫ ِرفُوْ ا َوالَّ ِذ ْينَ اِ َذا اَ ْنفَق‬Œ ‫ي ُْس‬, para mufassir berbeda
pendapat tentang takwil ayat ini. An-Nuhas berkata, perkataan yang paling baik
tentang maknanya, bahwa orang yang menginfakkan selain untuk ketaatan
kepada Allah, maka ini temasuk berlebih-lebihan. Dan, orang yang menahan
diri dari menginfakkan untuk ketaatan kapada Allah, maka dia adalah orang
kikir. Orang yang menginfakkan untuk ketaatan kepada Allah, maka dia
adalah orang yang moderat diantara yang demikian.
Ibnu Abbas bekata, `Barangsiapa yang menginfakkan seratus ribu
dalam kebenaran, maka tidak temasuk berlebih-1ebihan. Akan tetapi orang
yang menginfakkan satu dirham bukan di jalan yang benar, maka dia telah
berlebih-lebihan. Orang yang menghalangi hak seseorang, maka dia adalah orang
yang kikir.
Adapun pelajaran yang terdapat dalam ayat ini adalah menginfakkan
harta untuk ketaatan kapada Allah dalam hal-hal yang mubah. Syariat Islam
mengajarkan agar seseorang tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan
hartanya hingga tidak menghilangkan hak orang laln atau keluarganya, dan
semacamnya, dan juga tidak kikir hingga keluarganya lapar dan berlebih-lebihan

9
Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi Jilid 7, (Jakarta: Pustaka Azzam), hal. 465-473

11
dalam menahan hartanya. Adapun yang baik dalam hal itu adalah yang tengah-
tengah, atau yang sedang-sedang saja.10
Para ahli takwil berbeda pendapat tentang nafkah (belanja) yang Allah
maksudkan dalam konteks ayat ini apakah hal itu berlebih-lebihan dan apakah
terlalu hemat dalam membelanjakan harta?
Sebagian berpendapat bahwa lafazh ُ‫ اَاْل ِ ْس َراف‬maksudnya adalah belanja
yang dikeluarkan pada kemaksiatan terhadap Allah, sekalipun sedikit. Mereka
mengatakan bahwa itulah maksudnya dan dinamakan-Nya ‫ َراف‬ŒŒŒ‫اِ ْس‬. Mereka
mengatakan bahwa lafazh ‫اَر‬ŒŒَ‫ اَاْل ِ ْقت‬maksudnya adalah tidak mengeluarkan hak
Allah.
Para ahli takwil lainnya berpendapat bahwa lafazh ُ‫ اَاْل ِ س َْراف‬maksudnya
adalah melampaui batas dalam pengeluaran belanja, sedangkan ‫اَر‬Œ َ‫ اَاْل ِ ْقت‬adalah
mengabaikan yang semestinya. Para ahli takwil lainnya berpendapat bahwa
lafazh ‫ اَاْل ِ ْس َراف‬maknanya adalah Anda makan harta orang lain tanpa alasan yang
benar. Abu Ja'far berkata: Pendapat yang benar mengenai hal tersebut
adalah pendapat orang yang mengatakan bahwa ُ‫“ اَاْل ِ ْس َراف‬berlebih-lebihan”
dalam belanja yang dimaksud Allah dalam konteks ayat ini adalah belanja
yang tidak melampaui batas, yang diperbolehkan Allah bagi hamba-
hamba-Nya. ‫“ اَاْل ِ ْقتَاَر‬pelit” adalah mengurangi apa yang Allah perintahkan,
sedangkan ‫ اَ ْلقَ َوا ُم‬yang berada di antara dua sikap tersebut.
Kami katakan maknanya seperti begitu, karena orang yang
berlebih-lebihan dan orang yang pelit memang seperti demikian. Jika sikap
berlebih-lebihan dan terlalu hemat dalam mengeluarkan belanja itu
diperbolehkan, tentu keduanya tidak dicela, dan tentu orang yang
berlebihan serta orang yang terlalu hemat tidak dicela; karena perbuatan
yang Allah izinkan, maka pelakunya tidak pantas mendapat celaan.
َ Œ ِ‫انَ بَ ْينَ َذال‬ŒŒ‫“ َو َك‬Dan adalah (pembelanjaan itu di
Firman-Nya ‫ك قَ َوا ًما‬
tengah-tengah antara yang demikian.” Maknanya adalah mengeluarkan
nafkah secara adil dan baik, seperti yang kami jelaskan.11
F. Implikasi dengan Isu Kontemporer

10
Ibid, hal. 177-178
11
Imam Thabari, Tafsir ath-Thabari Jilid 19, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hal. 467-473

12
Dalam ekonomi konvensional perilaku konsumsi dituntun oleh dua nilai
dasar, yaitu rasionalisme dan utilitarianisme. Kedua nilai dasar ini kemudian
membentuk suatu perilaku konsumsi yang hedonistik materialistik serta boros
(wastefull). Karena rasionalisme ekonomi konvensional adalah self interest,
perilaku konsumsinya juga cenderung individualistik sehingga seringkali
mengabaikan keseimbangan dan keharmonisan sosial. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa prinsip dasar bagi konsepsi adalah “saya akan mengkonsumsi
apa saja dan dalam jumlah berapapun, sepanjang (1) anggaran saya memadai dan
(2) saya memperoleh kepuasan maksimum. Pertanyaannya adalah, apakah
perilaku konsumsi seperti ini dibenarkan oleh Islam?
Menangkap semangat yang ingin ditawarkan Alquran, tampak terlihat
bahwasanya Alquran menggeser motif konsumsi manusia dari yang berdasarkan
keinginan (want) kepada need (kebutuhan). Sebagaimana yang diketahui,
penggerak awal kegiatan konsumsi dalam ekonomi konvensional adalah adanya
keinginan (want). Seseorang berkonsumsi karena ingin memenuhi keinginannya
sehingga dapat mencapai kepuasan maksimal. Tentu saja Islam, menolak perilaku
manusia yang selalu ingin memenuhi segala keinginannya karena pada dasarnya
manusia memiliki kecenderungan terhadap keinginan dan keinginan yang buruk
sekaligus (ambivalen-al-izhiwajiyah). Keinginan manusia di dorong oleh seuatu
kekuatan yang ada di dalam diri manusia (inner power) yang bersifat pribadi dan
karenanya seringkali berbeda dari satu orang dengan orang lain (subyektif).
Keinginan seringkali tidak selalu sejalan dengan rasionalitas, karenanya bersifat
tak terbatas dalam kuantitas maupun kualitasnya. Kekuatan dari dalam ini disebut
jiwa atau hawa nafsu (nafs) yang memang menjadi penggerak utama seluruh
perilaku manusia. Tegasnya, keinginan yang sudah dikendalikan dan diarahkan
sehingga membawa kemanfaatan disebut sebagai kebutuhan.
Tidak kalah menariknya, pada aspek lain, konsumsi dalam ekonomi
Syari’ah bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan individu sebagai konsumen
dalam rangka memenuhi perintah Allah, tetapi lebih jauh berimplikasi terhadap
kesadaran berkenaan dengan kebutuhan orang lain. Oleh karenanya dalam
konteks adanya keizinan untuk mengkonsumsi rezeki yang diberikan oleh Allah,
sekaligus terpikul tanggung jawab untuk memberikan perhatian terhadap
keperluan hidup orang-orang yang tidak punya, baik yang tidak meminta (al-
qani), maupun yang meminta (al-mu’tar), bahkan untuk orang-orang yang

13
sengsara (albais) dan fakir miskin (Q.S Al-Hajj:28, 36). Tegasnya, perilaku
konsumsi Islam di samping mempertimbangkankan maslahat, juga
mengedepankan infaq dan sadaqah.12

12
Azhari Akmal Tarigan, TAFSIR AYAT-AYAT EKONOMI Sebuah Eksplorasi Melalui
Kata-kata Kunci dalam Al-Qur’an, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2012), hal.
214-216

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan dan penafsiran terhadap surat al-A’raf
ayat 31-32 serta surat al-Furqan ayat 67, dapat diambil kesimpulan bahwa
konsumsi dalam Islam sudah diatur sesuai syariat dan fungsinya bagi
kehidupan manusia. Aturan-aturan tersebut seperti mengonsumsi makanan
dan minuman yang jelas kehalalannya, memberikan dampak yang baik
bagi kesehatan tubuh manusia itu sendiri, serta mengonsumsi dengan
kadar yang sewajarnya. Konsumsi dalam hal ini tidak hanya dari segi
mengonsumsi makanan dan minuman saja, akan tetapi juga dalam
mengonsumsi harta atau membelanjakan harta juga sewajarnya, tidak
berlebih-lebihan, maupun tidak dikurang-kurangkan.
B. Saran
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan, dikarenakan sumber yang didapat masih terlalu sedikit. Maka
dari itu, penyusun berharap agar selanjutnya bisa mengeksplor lebih
banyak sumber sehingga informasi yang didapat lebih bervariasi dan lebih
jelas dan gamblang.
Penyusun juga memohon kitikan maupun saran supaya dapat
mengembangkan karya tulis yang selanjutnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Syahrial, H. M. 2017. Pandangan Islam Tentang Konsumsi (Analisis Terhadap Ayat Dan
Hadits Ekonomi Tentang Konsumsi). Pekanbaru: Jurnal An-Nahl No 5 Vol. 9. diakses
pada 15 Maret 2021

Shihab, M. Quraish. 2002. TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur’an Jilid 5. Jakarta: Lentera Hati

Az-Zuhaili, Wahbah. 2016. Tafsir al-Munir Aqidah, Syariah, dan Manhaj (al-
Maa’idah-al-A’raaf) Juz 7&8, Jilid 4. Jakarta: Gema Insani

Katsir, Ibnu. 2003. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i

Al-Qurtubi. Tafsir al-Qurtubi Jilid 7. Jakarta: Pustaka Azzam

Thabari, Imam. 2007. Tafsir ath-Thabari Jilid 19. Jakarta: Pustaka Azzam

Tarigan, Azhari Akmal, 2012. TAFSIR AYAT-AYAT EKONOMI Sebuah Eksplorasi


Melalui Kata-kata Kunci dalam Al-Qur’an. Bandung: Citapustaka Media Perintis

16

Anda mungkin juga menyukai