Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH HADIST-HADIST EKONOMI

Tentang:

“Ariyah dan Qard”

Oleh:

1. Maria Ulfhawan (1930402043)


2. Muhammad Rafly (1930402054)

Dosen Pembimbing :

ARIF HENDRA ERIZAL, Lc. M. A

JURUSAN EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM (FEBI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR
TAHUN 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena rahmat,
taufik,hidayah dan inayah-Nya, makalah hadist- hadist ekonomi ini dapat diselesaikan.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga,sahabat dan seluruh orang yang senantiasa mengikuti sunnah beliau.

Makalah hadist-hadist ekonomi ini dibuat berdasarkan kepada panduan dan garis-
garis besar program pengajaran yang diberikan oleh Institut Agama Islam Negeri
Batusangkar(IAIN).Juga saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu
dalam penyusunan materi kuliah ini saya ucapkan terimakasih, karena tanpa arahan,
bimbingan dan motivasi yang diberikan, tentunya belum bisa tersaji kepada para
pembaca,walaupun tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu.

Akhir kata, sebagai makalah hadist-hadist ekonomi yang baik tentunya memerlukan
sebuah celah untuk menyempurnakan materi kedepan,untuk itu saya dengan segala
kerendahan hati Menerima masukan demi peningkatan dan penyempurnaan dalam makalah
dan pembelajaran ini.

Batusangkar, November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang ..............................................................................................................1

B. Rumusan Masalah .........................................................................................................1

C. Tujuan Masalah .............................................................................................................2

BAB II Pembahasan

A. Pensyariatan Ariyah........................................................................................................3

B. Kewajiban Mengembalikan Ariyah dan Mempercepat Pembayaran Ariyah ................4

C. Menangguhkan Tagihan Ariyah dari Orang yang Kesulitan .........................................5

D. Qard dan Hukumnya, Syarat Kelebihan pada Qard.......................................................6

BAB III Penutup

A. Kesimpulan ..................................................................................................................13

B. Saran ............................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peminjaman barang („ariyyah) -dengan huruf ya‟ terbaca tasydid- dan terkadang tanpa
tasydid (takhfif), ialah sebutan untuk sesuatu yang dipinjamkan. Akad peminjaman barang,
diambil dari kata dasar ta‟awur yang artinya adalah bergiliran, atau berulang-ulang antara
pergi dan datang. Pinjaman bermakna bergiliran.
Hakikat peminjaman menurut syara‟ adalah kewenangan pengambilan manfaat suatu
barang secara halal serta wujud barangnya tetap utuh ketika hendak dikembalikan.
Peminjaman adalah pemberian berbagai kemanfaatan suatu barang. Menurut pendapat yang
ashah, peminjaman barang merupakan akad, sebagaimana telah disebutkan dalam
pembahasan tentang penitipan barang.
Dasar hukum peminjaman barang ialah firman Allah SWT, “Tolong-menolonglah kalian
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa…,” (QS. al-Ma‟idah [53]:2) dan sebagian besar
mufassir mengartikan ayat, “Enggan (memberikan) bantuan,” (QS. al-Ma‟un [107]: 7)
dengan penolakan sebagian tetangga meminjamkan suatu barang kepada tetangga lainnya,
misalnya timba, kampak, dan jarum. Hal tersebut pada masa awal Islam hukumnya wajib,
sebagaimana disampaikan oleh Imam Ruyani dan Iain-lain, karena mengikuti ayat tersebut,
namun kemudian kewajiban itu dinasakh menjadi sunah.
Di dalam ash-Shahihain, “Nabi pernah meminjam kuda dari Abu Talhah, lalu beliau
menaikinya,” dalam riwayat Abu Dawud, Imam Ahmad, dan lain-lainnya dengan kualitas
sanad yang sangat baik juga disebutkan, “Nabi pernah meminjam baju perang dari Shafwan
bin Umayah pada saat Perang Hunain, lalu dia berkata, „Apakah itu ghashab wahai
Muhammad?‟ Beliau menjawab, „Tidak demikian, tetapi pinjaman yang menjadi
tanggungan.'”

B. Rumusan Masalah
1. Apa pensyariatan ariyah ?
2. Apa kewajiban mengembalikan ariyah dan mempercepat pembayaan ariyah ?
3. Bagaimana menangguhkan tagihan ariyah dari orang yag kesulitan
4. Apa qard dan hukumnya ?

1
C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pensyariatan ariyah


2. Untuk mengetahui kewajiban mwngwmbalikan ariyah dan mempercepat ariyah
3. Untuk mengetahui bagaimana menangguhkan tagihan ariyah dari orang yang kesulita
4. Untuk mengetahui pengertian qard dan hukum qard.

BAB II

2
PEMBAHASAN

A. Pensyariatan Ariyah
Peminjaman barang („ariyyah) -dengan huruf ya‟ terbaca tasydid- dan terkadang tanpa
tasydid (takhfif), ialah sebutan untuk sesuatu yang dipinjamkan. Akad peminjaman
barang, diambil dari kata dasar ta‟awur yang artinya adalah bergiliran, atau berulang-
ulang antara pergi dan datang. Pinjaman bermakna bergiliran.
Hakikat peminjaman menurut syara‟ adalah kewenangan pengambilan manfaat suatu
barang secara halal serta wujud barangnya tetap utuh ketika hendak dikembalikan.
Peminjaman adalah pemberian berbagai kemanfaatan suatu barang. Menurut pendapat
yang ashah, peminjaman barang merupakan akad, sebagaimana telah disebutkan dalam
pembahasan tentang penitipan barang.
Dasar hukum peminjaman barang ialah firman Allah SWT, “Tolong-menolonglah
kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa…,” (QS. al-Ma‟idah [53]:2) dan
sebagian besar mufassir mengartikan ayat, “Enggan (memberikan) bantuan,” (QS. al-
Ma‟un [107]: 7) dengan penolakan sebagian tetangga meminjamkan suatu barang kepada
tetangga lainnya, misalnya timba, kampak, dan jarum. Hal tersebut pada masa awal Islam
hukumnya wajib, sebagaimana disampaikan oleh Imam Ruyani dan Iain-lain, karena
mengikuti ayat tersebut, namun kemudian kewajiban itu dinasakh menjadi sunah.
Di dalam ash-Shahihain, “Nabi pernah meminjam kuda dari Abu Talhah, lalu beliau
menaikinya,” dalam riwayat Abu Dawud, Imam Ahmad, dan lain-lainnya dengan kualitas
sanad yang sangat baik juga disebutkan, “Nabi pernah meminjam baju perang dari
Shafwan bin Umayah pada saat Perang Hunain, lalu dia berkata, „Apakah itu ghashab
wahai Muhammad?‟ Beliau menjawab, „Tidak demikian, tetapi pinjaman yang menjadi
tanggungan.'”
Peminjaman barang merupakan ibadah sunah. Sesuai dengan firman Allah SWT,
(Tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa…,” (QS. al-
Ma‟idah [5]: 2).Dalam hadits Jabir ra disebutkan, dia menyampaikan hadits itu yang di
dalamnya memuat pertanyaan tentang kewenangan yang berkaitan dengan unta. Kami
bertanya, “Wahai Rasulullah, kewenangan apa yang boleh dilakukan terkait dengan
unta?” Beliau menjawab, “Meminjamkannya untuk membuahi (betina), meminjamkan
timbanya, memerahnya (untuk diambil susunya) saat orang berkumpul mencari air, dan
meminjamkannya dalam rangka berperang di jalan Allah,” (HR. Imam Ahmad dan

3
Muslim). Yakni di antara hak-hak ternak ialah hendaknya pemilik ternak meminjamkan
timba yang digunakan untuk mengambil air minum ternak ketika ada seseorang
mencarinya untuk suatu keperluan; memerah susu di lokasi sumber air untuk
dimanfaatkan oleh orang-orang miskin yang hadir, dan di antara hak unta ialah
hendaknya seorang pemilik menyerahkan untanya terhadap seseorang yang hendak
meminjamnya untuk digunakan dalam berjihad. Semua ungkapan di atas bertujuan
mendorong agar tertarik meminjamkan kemanfaatan suatu barang.Meminjam atau
menyewa salah seorang dari kedua orang tua dan seatasnya untuk melayani, hukumnya
makruh tanzih, agar kedua orang tua tetap terlindungi dari bentuk penghinaan1

B. Kewajiban Mengembalikan Barang yang Dipinjam

Orang yang meminjam berkewajiban untuk mengembalikan barang pinjaman setelah


dia mendapatkan manfaat yang diperlukan,30 kalau mengembalikan barang yang
dipinjam tadi berhajat pada ongkos maka ongkos itu hendaknya dipikul oleh yang
meminjam. Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa‟ (4) ayat 58:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memerintah kamu agar
menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.

1
Moch Abdul Wahab. Fikih Pinjam Meminjam.(2018). Hal 19

4
Pada tiap-tiap waktu, yang meminjam dan yang meminjamkan tidak berhalangan buat
mengembalikan atau minta kembali pinjaman karena „ariyah adalah akad yang tidak
tetap. Kecuali bila meminjam untuk pekuburan, maka tidak boleh dikembalikan sebelum2

hilang bekas-bekas mayat, berarti sebelum mayat hancur menjadi tanah, dia tidak
boleh meminjam kembali. Atau dipinjamkan tanah untuk menanam padi, tidak boleh
mengetam. Ringkasnya keduanya boleh memutuskan akad asal tidak merugikan kepada
salah satu seseorang dari yang meminjam atau yang meminjamkan. Begitu juga sebab
gila maka apabila mati yang meminjam, wajib atas warisnya mengembalikan barang
pinjaman dan tidak halal bagi mereka memakainya, kalau mereka pakai juga, mereka
wajib membayar sewanya. Kalau berselisih antara yang meminjamkan dengan yang
meminjam (kata yang pertama belum dikembalikan, sedangkan yang kedua mengaku
sudah mengembalikannya), hendaklah dibenarkan yang meminjamkan dengan
3
sumpahnya, karena yang asal belum kembali

C. Hadis Menangguhkan Tagihan ‘Ariyah dari Orang yang Kesulitan

َ ‫َٔإِ ٌْ َكاٌَ ُرٔ ُعس َْش ٍة فَُ َِظ َشةٌ إِنَى َي ٍْ َس َش ٍة َٔأَ ٌْ ت‬
ًٌَُٕ َ‫َص َّذقُٕا َخ ٍْ ٌش نَ ُك ْى إِ ٌْ ُك ُْتُ ْى تَ ْعه‬
Jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. al-Baqarah: 280)[5]
Al-Hafidz Ibnu Katsir mengatakan,
‫ { َٔإِ ٌْ َكاٌَ ُرٔ ُعس َْش ٍة فَُ َِظ َشةٌ إِنَى َي ٍْ َس َشة } ال‬:‫ فقال‬،‫ٌأيش تعانى بانصبش عهى انًعسش انزي ال ٌجذ ٔفاء‬
ٌٍ‫كًا كاٌ أْم انجاْهٍت ٌقٕل أحذْى نًذٌُّ إرا حم عهٍّ انذ‬: ‫إيا أٌ تقضً ٔإيا أٌ تشبً ثى ٌُذب إنى‬
‫ ٌٔعذ عهى رنك انخٍش ٔانثٕاب انجزٌم‬،ُّ‫انٕضع ع‬
Allah perintahkan kepada orang yang memberi utang untuk bersabar terhadap orang
yang kesulitan, yang tidak mampu melunasi utangnya. ”Jika (orang yang berhutang itu)
dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan..” tidak seperti tradisi
jahiliyah. Mereka mengancam orang yang berutang kepadanya ketika jatuh tempo
pelunasan telah habis, ‟Kamu lunasi utang atau ada tambahan pembayaran (riba).‟

2
Zainuddin, Muhammad Jamhari, All Islam 2 (Muamalah dan Akhlak), Cet 1 (Bandung: CV, Pustaka Ceria. 1999)
hal 16
3
Hendi Suhendi, Fikih Mualmalah, ( Jakarta: PT. Raja gravindo Persada, 2002 ), hal 91

5
Kemudian Allah menganjurkan untuk menggugurkan utangnya, dan Allah menjanjikan
kebaikan dan pahala yang besar baginya (Tafsir Ibnu Katsir, 1/717).
Orang yang memberikan pinjaman boleh mengambil kembali barangnya kapan saja
selama itu tidak menimbulkan kesulitan bagi peminjam. Namun apabila pengambilan
barang tersebut menimbulkan kesulitan bagi peminjam, maka pengambilan barang
tersebut harus ditunda sampai peminjam terhindar dari kesulitan yang dihadapinya.[6]
Allah memerintahkan kepada orang yang memberikan utang, agar memberi penundaan
waktu pembayaran, ketika orang yang berutang mengalami kesulitan pelunasan.
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam menjanjikan baginya pahala sedekah selama
masa penundaan. Beliau bersabda,
َ ‫ فًِ ُكمِّ ٌَْٕ ٍو‬،ُُّ‫ َٔ َي ٍْ أَ َْظَ َشُِ بَ ْع َذ ِحهِّ ِّ َكاٌَ نَُّ ِي ْثه‬،ٌ‫ص َذقَت‬
ٌ‫ص َذقَت‬ ِ ‫َي ٍْ أَ َْظَ َش ُيع‬
َ ‫ْسشًا َكاٌَ نَُّ بِ ُك ِّم ٌَْٕ ٍو‬
Siapa yang memberi tunda orang yang kesulitan, maka dia mendapatkan pahala
sedekah setiap harinya. Dan siapa yang memberi tunda kepadanya setelah jatuh tempo
maka dia mendapat pahala sedekah seperti utang yang diberikan setiap harinya. (HR.
Ahmad 23046, Ibnu Majah 2418 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).4

Dalam hadits lain Rasulullah juga bersabda:

‫ َفس هللا عُّ كشبت يٍ كشب ٌٕو انقٍايت‬، ‫يٍ َفس عٍ يسهى كشبت يٍ كشب انذٍَا‬

“Barangsiapa meringankan suatu beban dari seorang muslim di dunia ini, maka Allah
akan meringankan salah satu dari kesulitan-kesulitan hari kiamat darinya.”
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam menjanjikan pahala yang besar. Dari Abu
Hurairah ra, Rasulullah saw. bersabda,
َّ َُّّ‫ أَظَه‬،َُّ‫ض َع ن‬
ُُّّ‫هللاُ فًِ ِظهِّ ِّ ٌَْٕ َو ال ِظ َّم إِال ِظه‬ َ َٔ َْٔ‫َي ٍْ أَ َْظَ َش ُي ْع ِسشًا أ‬
Barangsiapa yang memberi waktu tunda pelunasan bagi orang yang kesusahan
membayar utang atau membebaskannya, maka Allah akan menaunginya dalam naungan
(Arsy)-Nya pada hari Kiamat yang tidak ada naungan selain naungan (Arsy)-Nya. (HR.
Ahmad, 2/359, Muslim 3006, dan Turmudzi dan dishahihkan al-Albani).
Analisa Penulis:

4
Wahbah Al Zuhaily, Mausu’ah Al Fiqh Al Islami Wal Qodoya Al muasiroh. (Damaskus: Dar al- fikr, 2008), 509

6
Dari keempat hadis diatas menjelaskan bahwa orang yang memberikan pinjaman
harus memberikan tenggang waktu atau kemudahan kepada orang yang dalam kesusahan
untuk membayar hutangnya tersebut.
1306,
Hadist yang pertama mengatakan bahwa orang yang memberikan hutang harus
bersabar terhadap orang yang kesulitan dan tidak mampu untuk membayar hutangnya, dan
berikanlah tenggang waktu terhadapnya. Janganlah seperti orang jahiliyah yang
menambah jumlah hutang orang yang tidak mampu membayarnya (riba).
Hadis kedua mengatakan bahwa orang yang memberikan waktu tunda terhadap orang
yang kesusahan akan mendapatkan pahala sedekah setiap harinya.
Pada hadis ketiga dan keempat Rasulullah saw menyatakan bahwa orang yang
memudahkan orang lain dalam pembayaran hutangnya, maka Allah akan memberi
kemudahan juga di akhirat kelak.5
D. Qardh dan Hukumnya,syarat kelebihan pada Qardh

ُ‫ص ََدقَة‬
‫ب ا ْن َجىه ِة َم ْكتُىبًا ان ه‬
ِ ‫ي بًِ َعهَى بَا‬ ْ ُ ‫سهه َم َرأَ ٌْتُ نَ ٍْهَةَ أ‬
َ ‫س ِر‬ ‫صههى ه‬
َ ‫َّللاُ َعهَ ٍْ ًِ َو‬ َ ‫َّللا‬ِ ‫سى ُل ه‬ ُ ‫قَا َل َر‬
‫ص ََدقَ ِة قَا َل‬ َ ‫ض أَ ْف‬
‫ض ُم ِمهْ ان ه‬ ِ ‫ش َر فَقُ ْهتُ ٌَا ِج ْب ِرٌ ُم َما بَا ُل ا ْنقَ ْر‬ َ ‫ض بِثَ َماوٍَِةَ َع‬ ُ ‫ش ِر أَ ْمثَانِ َها َوا ْنقَ ْر‬
ْ ‫بِ َع‬
ُ ‫ستَ ْق ِر‬
َ ‫ض إِ هَل ِمهْ َح‬
‫اجة‬ ْ ٌَ ‫ض ََل‬ ْ ‫سأ َ ُل َو ِع ْى ََديُ َوا ْن ُم‬
ُ ‫ستَ ْق ِر‬ ‫ِِلَنه ان ه‬
ْ ٌَ ‫سائِ َم‬

Artinya: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pada malam aku


diisrakan aku melihat di atas pintu surga tertulis 'Sedekah akan dikalikan menjadi sepuluh
kali lipat, dan memberi pinjaman dengan delapan belas kali lipat'. Maka aku pun
bertanya: "Wahai Jibril, apa sebabnya memberi hutang lebih utama ketimbang sedekah?"
Jibril menjawab: "Karena saat seorang peminta meminta, (terkadang) ia masih memiliki
(harta), sementara orang yang meminta pinjaman, ia tidak meminta pinjaman kecuali
karena ada butuh (HR. Ibnumajah No.2422)

Berdasarkan hadits Abdullah bin Mas‟ud, riwayat Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Baihaqi
sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:

َ ‫« َيا ِي ٍْ ُي ْسهِ ٍى ٌُ ْق ِشضُ ُي ْسهِ ًًا قَشْ ضًا َي َّشتٍَ ٍِْ إِالَّ َكاٌَ َك‬
»ً‫ص َذقَتَِٓا َي َّشة‬

5
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Qudus: Menara Qudus), 40.

7
“Seorang muslim yang memberikan pinjaman dua kali kepada muslim yang lain, sama
dengan bershadaqah satu kali.” [10]
Dalam hadis, dari Ibn Mas‟ud, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
‫كم قشض صذقت‬
“Setiap menghutangi orang lain adalah sedekah.” (HR. Thabrani dengan sanad hasan, al-
Baihaqi, dan dishahihkan al-Albani)
Analisa Penulis:
Dalam hadis diatas dikatakan bahwa memberikan pinjaman kepada orang yang
sedang kesusahan lebih utama daripada bersedekah, dan Rasulullah menyerukan kepada
umatnya untuk membantu seseorang yang sedang mengalami kesusahan dengan
memberikan pinjaman, hal itu merupakan salah satu bentuk ibadah bagi umat muslim
karena Rasulullah saw mengatakan bahwa saat seorang muslim memberikan pinjaman
kepada muslim lainnya, jika sudah dua kali maka pahalanya sama dengan satu kali
bersedekah.6
Dasar disyari‟atkannya qardh (hutang piutang) adalah al-qur‟an, hadits, dan ijma‟:
1. Dasar dari al-Qur‟an adalah firman allah swt:

ً‫ضا ِعقَُّ نَُّ أَضْ َعافًا َكثِ ٍْ َشة‬


َ ٍَُ‫َي ٍْ َرا انَّ ِزي ٌُ ْق َشضُ هللاَ قَشْ ضًا َح َسًُا ف‬
Artinya:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada allah pinjaman yang baik
(menafkahkan harta di jalan allah), maka allah akan melipatgandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Q.S Al-Baqarah :245)
Sisi pendalilan dari ayat diatas adalah bahwa allah swt menyerupakan amal
salih dan memberi infaq fi sabilillah dengan harta yang dipinjamkan. Dan
menyerupakan pembalasannya yang berlipat ganda dengan pembayaran hutang.
Amal kebaikan disebut pinjaman (hutang) karena orang yang berbuat baik
melakukannya untuk mendapatkan gantinya sehingga menyerupai orang yang
menghutangkan sesuatu agar mendapat gantinya.7[8]
2. Dasar dari as-sunnah :

6
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 419.

8
‫ َيا ِي ٍْ ُي ْسهِ ٍى ٌُ ْق ِشضُ ُي ْسهِ ًًا قَشْ ضًا‬: ‫صهَى هللاُ َعهَ ٍْ ِّ َٔ َلهَ َى قَا َل‬
َ ًًّ ِ‫َع ٍِ ا ْب ٍِ َي ْسعُْٕ ٍد اَ ٌَّ انَُّب‬
)ٌ‫ص َذ قَ ٍت َي َّشةً (سٔاْابٍ ياجّ ٔابٍ حبا‬ َ ‫َي َّشتَ ٍْ ٍِ اِ َّال َكاٌَ َك‬
Artinya:
“Dari Ibn Mas‟ud bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “tidak ada seorang muslim
yang menukarkan kepada seorang muslim qarad dua kali, maka seperti sedekah
sekali.” (HR. Ibn Majah dan Ibn Hibban)
3. Ijma‟
Kaum muslimin sepakat bahwa qarad dibolehkan dalam islam. Hukum qarad
adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid, berdasarkan
hadits diatas.

HUKUM QARDH
Hukum qardh (hutang piutang) mengikuti hukum taklifi: terkadang boleh, terkadang
makruh, terkadang wajib, dan terkadang haram. Semua itu sesuai dengan cara
mempraktekannya karena hukum wasilah itu mengikuti hukum tujuan.
Jika orang yang berhutang adalah orang yang mempunyai kebutuhan sangat mendesak,
sedangkan orang yang dihutangi orang kaya, maka orang yang kaya itu wajib memberinya
hutang.
Jika pemberi hutang mengetahui bahwa penghutang akan menggunakan uangnya untuk
berbuat maksiat atau perbuatan yang makruh, maka hukum memberi hutang juga haram
atau makruh sesuai dengan kondisinya.
Jika seorang yang berhutang bukan karena adanya kebutuhan yang mendesak, tetapi untuk
menambah modal perdagangannya karena berambisi mendapat keuntungan yang besar, maka
hukum memberi hutang kepadanya adalah mubah.8
Seseorang boleh berhutang jika dirinya yakin dapat membayar, seperti jika ia mempunyai
harta yang dapat diharapkan dan mempunyai niat menggunakannya untuk membayar
hutangnya. Jika hal ini tidak ada pada diri penghutang. Maka ia tidak boleh berhutang.
Seseorang wajib berhutang jika dalam kondisi terpaksa dalam rangka menghindarkan diri
dari bahaya, seperti untuk membeli makanan agar dirinya tertolong dari kelaparan.

8
Ibnu Hajar al- Asqalani, Bulughul Maram, (Surabaya: Al hidayah 1995), 351.

9
RUKUN DAN SYARAT QARDH
Rukun qardh (hutang piutang) ada tiga, yaitu (1) shighah, (2) „aqidain (dua pihak
yang melakukan transaksi), dan (3) harta yang dihutangkan. Penjelasan rukun-rukun tersebut
beserta syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.
1. Shighah
Yang dimaksud shighah adalah ijab dan qabul. Tidak ada perbedaan dikalangan
fuqaha‟ bahwa ijab itu sah dengan lafal hutang dan dengan semua lafaz yang menunjukkan
maknanya, seperti kata,”aku memberimu hutang” atau “aku menghutangimu”.
Demikian pula qabul sah dengan semua lafal yang menunjukkan kerelaan , seperti
“aku berhutang” atau “aku menerima” atau “aku ridha” dan lain sebagainya.
2. „Aqidain
Yang dimaksud dengan „aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah
pemberi hutang dan penghutang. Keduanya mempunyai beberapa syarat berikut.

a. Syarat-syarat bagi pemberi hutang


Fuqaha‟ sepakat bahwa syarat bagi pemberi hutang adalah termasuk ahli
tabarru‟ (orang yang boleh memberikan derma), yakni merdeka, baligh, berakal shat,
dan pandai (rasyid, dapat membedakan yang baik dan yang buruk). Mereka
berargumentasi bahwa hutang piutang adalah transaksi irfaq (memberi manfaat).
Oleh karenanya tidak sah kecuali dilakukan oleh orang yang sah amal kebaikannya,
seperti shadaqah.
Syafi’iyyah berargumentasi bahwa al-qardh (hutang piutang) mengandung
tabarru‟ (pemberian derma), bukan merupakan transaksi irfaq (memberi manfaat)
dan tabarru‟.
Syafi’iyah menyebutkan bahwa ahliyah (kecakapan, keahlian) memberi derma
harus dengan kerelaan, bukan dengan paksaan. Tidak sah berhutang kepada orang
yang dipaksa tanpa alasan yang benar. Jika paksaan itu ada alasan yang haq. Seperti
jika seseorang harus berutang dalam keadaan terpaksa, maka sah berhutang dengan
memaksa.
Hanafiyah mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru‟ (kecakapan member derma)
bagi pemberi hutang bahwa tidak sah seorang ayah atau pemberi wasiat
menghutangkan harta anak kecil.9

9
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Mualmalah, (Jakarta: Hamzah, 2010) , hal 273

10
Hanabilah mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru‟ (kelayakan member derma)
bagi pemberi hutang bahwa seorang wali anak yatim tidak boleh menghutangkan
harta anak yatim itu dan nazhir (pengelola) wakaf tidak boleh menghutangkan harta
wakaf.
Syafi’iyah merinci permasalahan tersebut. Mereka berpendapat bahwa
seorang wali tidak boleh menghutangkan hartaorang yang dibawah perwaliannya
kecuali dalam keadaan darurat jika tidak ada hakim. Adapun bagi hakim boleh
menghutangkannya meskipun bukan dalam kondisi darurat.
b. Syarat bagi penghutang
1. Syafi’iyah mensyaratkan penghutang termasuk kategori orang yang mempunyai
ahliyah al-mu‟amalah (kelayakan melakukan transaksi) bukan ahliyah at-tabarru‟
(kelayakan member derma). Adapun kalangan ahnaf mensyaratkan
penghutangkan mempunyai ahliyah at-tasharrufat (kelayakan memberikan harta)
secara lisan, yakni merdeka, baligh, dan berakal sehat.
2. Hanabilah mensyaratkan penghutang mampu menanggung karena hutang tidak
ada kecuali dalam tanggungan. Misalnya, tidak sah member hutang kepada
masjid, sekolah, atau ribath (berjaga diperbatasan dengan musuh) karena semua
ini tidak mempunyai potensi menanggung.
3. Harta yang dihutangkan
Rukun yang ketiga ini mempunyai beberapa syarat berikut.
a). Harta yang dihutangkan berupa harta yang ada padanannya, maksudnya
harta yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang
megakibatkan perbedaan nilai, seperti uang, barang-barang yang dapat di
takar, ditimbang, ditahan, dan dihitung
Tidak boleh menghutangkan harta yang nilainya satu sama lain dalam
satu jenis berbeda-beda. Yang perbedaan itu mempengaruhi harga, seperti
hewan, pekarangan dan lain sebagainya. Hal ini karena tidak ada cara untuk
mengembalikan barang dan tidak ada cara mengembalikan harga sehingga
dapat menyebabkan perselisihan karena perbedaan harga dan taksiran nilainya.
Demikian ini pendapat kalangan hanafiyah.
Malikiyyah dan Syafi’iyyah, menurut pendapat yang paling benar di
kalangan mereka, menyatakan bahwa boleh menghutangkan harta yang ada padanya.
Bahkan, semua barang yang boleh ditransaksikan dengan cara salam, baik berupa
hewan maupun lainnya, yakni semua yang boleh diperjual belikan dan dapat

11
dijelaskan sifat-sifatnya meskipun harta itu berupa sesuatu yang berubah-ubah
harganya. Mereka berargumentasi bahwa nabi Muhammad saw pernah berhutang unta
muda sehingga masalah ini dikiaskan dengannya.
Tidak boleh menghutangkan sesuatu yang tidak boleh diperjualbelikan dengan
cara salam, yakni sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan sifat, seperti permata
dan lain sebagainya. Hanya saja, Syafi’iyyah mengecualikan sesuatu yang tidak boleh
dijual dengan salam, yakni hutang roti dengan timbangan karena adanya kebutuhan
dan toleransi
Hanabilah berpendapat bahwa bole menghutangkan semua benda yang boleh
dijual, baik yang ada padanannya maupun yang berubah-ubah harganya, baik yang
dapat djelaskan dengan sifat maupun tidak.
b). Harta yang dihutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah menghutangkan
manfaat (jasa). Ini merupakan pendapat kalangan Mazhab Hanafiyyah dan
Hanabilah. Berbeda dengan kalangan syafi‟iyyah dan malikiyyah, mereka tidak
mensyaratkan harta yang dihutangkan berupa benda sehingga boleh saja
menghutangkan manfaat (jasa) yang dapat dijelaskan dengan sifat. Hal ini karena bagi
mereka semua yang boleh diperjualbelikan dengan cara salam boleh dihutangkan,
sedangkan bagi mereka salam boleh pada manfaat (jasa). Seperti halnya benda padaa
umumnya.
Pendapat yang dipilih oleh ibnu taimiyyah dan ahli ilmu lainnya adalah bolehnya
menghutangkan manfaat (jasa).
c). Harta yang dihutangkan diketahui. Syarat ini tidak dipertentangkan oleh fuqaha‟
karena dengan demikian penghutang dapat membayar hutangnya dengan harta
semisalnya (yang sama).
Syarat ketiga ini mencakup dua hal, yaitu 1) diketahui kadarnya dan 2) diketahui
sifatnya. Demikian ini agar mudah membayarnya. Jika hutang piutang tidak
mempunyai syarat ketiga ini, maka tidak sah.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Peminjaman barang („ariyyah) -dengan huruf ya‟ terbaca tasydid- dan terkadang tanpa
tasydid (takhfif), ialah sebutan untuk sesuatu yang dipinjamkan. Akad peminjaman barang,
diambil dari kata dasar ta‟awur yang artinya adalah bergiliran, atau berulang-ulang antara
pergi dan datang. Pinjaman bermakna bergiliran.
Hakikat peminjaman menurut syara‟ adalah kewenangan pengambilan manfaat suatu
barang secara halal serta wujud barangnya tetap utuh ketika hendak dikembalikan.
Peminjaman adalah pemberian berbagai kemanfaatan suatu barang. Menurut pendapat yang
ashah, peminjaman barang merupakan akad, sebagaimana telah disebutkan dalam
pembahasan tentang penitipan barang.
Dasar hukum peminjaman barang ialah firman Allah SWT, “Tolong-menolonglah kalian
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa…,” (QS. al-Ma‟idah [53]:2) dan sebagian besar
mufassir mengartikan ayat, “Enggan (memberikan) bantuan,” (QS. al-Ma‟un [107]: 7)
dengan penolakan sebagian tetangga meminjamkan suatu barang kepada tetangga lainnya,
misalnya timba, kampak, dan jarum. Hal tersebut pada masa awal Islam hukumnya wajib,
sebagaimana disampaikan oleh Imam Ruyani dan Iain-lain, karena mengikuti ayat tersebut,
namun kemudian kewajiban itu dinasakh menjadi sunah.
Hukum qardh (hutang piutang) mengikuti hukum taklifi: terkadang boleh, terkadang
makruh, terkadang wajib, dan terkadang haram. Semua itu sesuai dengan cara
mempraktekannya karena hukum wasilah itu mengikuti hukum tujuan.
Jika orang yang berhutang adalah orang yang mempunyai kebutuhan sangat mendesak,
sedangkan orang yang dihutangi orang kaya, maka orang yang kaya itu wajib memberinya
hutang.

B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini tentu saja tidak lepas dari kekurangan oleh karena itu
penyusun mengharapkan saran yang membangun. Semoga dengan adanya makalah ini dapat
membantu dunia hadist dan pendidikan khususnya dan menambah wawasan bagi pembaca
pada umumnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Moch Abdul Wahab.2018. Fikih Pinjam Meminjam.

Zainuddin, Muhammad Jamhari, All Islam 2 (Muamalah dan Akhlak), Cet 1 (Bandung: CV,
Pustaka Ceria. 1999) hal

Hendi Suhendi, Fikih Mualmalah, ( Jakarta: PT. Raja gravindo Persada, 2002 ),

Wahbah Al Zuhaily, Mausu‟ah Al Fiqh Al Islami Wal Qodoya Al muasiroh. (Damaskus: Dar
al- fikr, 2008)

Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Qudus: Menara Qudus),

Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992),

Ibnu Hajar al- Asqalani, Bulughul Maram, (Surabaya: Al hidayah 1995),

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Mualmalah, (Jakarta: Hamzah, 2010) ,

14

Anda mungkin juga menyukai