Anda di halaman 1dari 23

Makalah Istihsan dan Istishab

Latar Belakang
Dewasa ini seiring dengan berkembanganya zaman banyak permasalahan-
permasalahan timbul yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW sehingga perlu
dipecahkan dan semuanya itu harus dikembalikan kepada al-Qur’an dan al-hadits.
Sumber-sumber hukum (Mashadirul Ahkam) ada yang disepakati dan ada pula yang
tidak disepakati. Ada sumber pokok (Mashadir Ashliyah) yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah
Rasul-Nya dan ada sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok yang disepakati
oleh jumhur fuqaha (Mashadir Thabi’iyah) yaitu: Ijma dan Qiyas. Adapula yang di ikhtilafi
oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu: Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah, Urf,
Saddudzari’ah, dan Madzhab sahabi.
Walaupun para fuqoha telah menentukan Ijma’ dan Qiyas sebagai metode untuk
menemukan hukum yang dipautkan pada sumber pokok (al-Qur’an dan al-Hadits) namun
para tokoh ahli ijtihad juga menemukan metode lain yang tujuannya untuk mendapatkan
hukum yang baik dan benar berdasarkan sumber pokok dengan hukum yang menyesuaikan
perkembangan zaman karena seperti yang kita ketahui bahwasannya hukum-hukum yang
dihasilkan dari ijtihad bersifat relatif dan elastis.

Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan menjelaskan metode yang digunakan
untuk menemukan hukum dalam berbagai kasus yang tidak ada nash (ayat atau haditsnya)
yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad , diantaranya adalah metode istihsan, maslahah
al-mursalah, istishab, qiyas, ijma’, dan lain-lain, tetapi dalam makalah ini kami hanya akan
membahas tentang istihsan, dan istishab, dan metode-metode yang lainnya akan dibahas pada
kesempatan yang lain.
A. Pengertian Istihsan dan Istishab
1. ISTIHSAN
a. Pengertian Istihsan
Secara etimologi, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik atau
menilai sesuatu sebagai baik.1 Sedangkan menururt istilah ushul fiqih, ialah meninggalkan
hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan
dalil syara’, menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena
ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir
disebut sandaran istihsan.2
Secara terminologi imam al-Sarakhsi (w.483. H/1090M ahli ushul fiqih Hanafi)
menyatakan.
“Istihsan itu berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena
adanya dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.”
Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul
Wahab Khalaf, istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang
jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada
ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu
adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.

Definisi istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari
seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang
diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang
menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.

Definisi istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil
ruksah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain pada
sebagian kasus tertentu.

Sementara itu, Ibnu Anbary, ahli fiqih dari mazhab Maliki memberi definisi istihsan
bahwa istihsan adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan dengan
qiyas kully.3 Istihsan merupakan sumber hukum yang banyak dalam terminology dan
istinbath hukum oleh dua imam mazhab, yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi
pada dasarnya imam Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas selama masih
dipandang tepat.4

Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:
1.) Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut ulama Hanafiyah
bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan istihsan, tetapi haram
menurut qiyas.
a.) Qiyas: wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama
tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang Haid haram membaca
Al-Qur’an.
b.) Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena itu, wanita
yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang
itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap
saat.
2.) Pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam (pesanan)
berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat melarang jual beli yang
barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad
seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.
Dari berbagai definisi diatas, dapat difahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu
adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya
secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini
tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus
dan spesifik.

Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih
cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu
hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Artinya, persoalan khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi
karena tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus
sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.

b. Macam-macam Istihsan

Dari definisi-definisi diatas secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya


istihsan terdiri dari dua macam yaitu:5

1.) Istihsan Qiyasi

Istihsan qiyasi ialah, suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang
didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi,
karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut.

Contohnya air sisa minuman burung buas adalah suci dan halal diminum, seperti: sisa
minuman burung gagak atau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman
binatang buas, seperti anjing dan burung buas adalah najis dan haram untuk diminum, karena
sisa minuman tersebut telah tercampur dengan air liurnya, yaitu meng-qiyas-kan kepada
dagingya.

Sebagaimana diketahui, binatang buas itu minum dengan mulutnya, sehingga air
liurnya masuk ke tempat minumnya. Akan tetapi, paruh burung buas berbeda dengan mulut
binatang buas tang tidak langsung bertemu dengan dagingya. Mulut binatang buas terdiri atas
daging yang haram dimakan, sedang paruh burung buas merupakan tulang atau zat tanduk.
Sedangkan tulang atau zat tanduk tidak najis. Ketika burung buas minum, danging dan air
liurnya tidak secara langsung bertemu dengan air, jarerna dipisahkan oleh paruh yang terdiri
atas tulang atau zat tanduk itu. Oleh karena itu, air sisa minuman burung buas tidak najis dan
halal menurut Istihsan Qiyasi.

1.) Istihsan Istitsna’i

Istihsan Istitsna’i ialah, qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang
berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus.
Istihsan bentuk yang kedua ini disebut istihsan istitsna’i. Istihsan bentuk yang kedua ini dapat
dibagi menjadi beberapa macam sebagai berikut:

a.) Istihsan bi an-Nashsh


Yaitu perkara pada setiap masalah yang menunjukkan hukum yang bertentangan dan berbeda
dengan kaedah yang ditetapkan yang mempunyai nash dari Allah SWT. Contohnya dalam hal
wasiat. Menurut ketentuan umum atau qiyas wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan
hak milik kepada orang yang berwasiat dilakukan ketika orang yang berwasiat tidak cakap
lagi, yaitu setelah ia wafat.
b.) Istihsan bi al-Ijma’
Istihsan dengan ijma’ ialah suatu peralihan dari hukum pada satu-satu masalah yang telah
menjadi kaedah umum kepada hukum yang diistinbat melalui ijma’. Contoh yang dewasa ini
sering terjadi adalah dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa
pemandian umum itu harus jelas yaitu berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air
yang ia pakai. Akan tetapi, apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan orang banyak.
Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa
pemandian umum, sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang dipakainya.
c.) Istihsan bi ad-Dharurah
Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang
menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah
kemudharatan. Contohnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah
umum, sumur itu sulit untuk dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air sumur tersebut,
karena sumur yang sumbernya dari mata air sulit untuk dikeringkan.
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa dalam dalam keadaan seperti ini, untuk menghilangkan
najis cukup dengan memasukkan beberapa galon air ke dalam sumur, karena keadaan darurat
menghendaki agar orang tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan air untuk
beribadah dan kebutuhan lainnya.
d.) Istihsan bi al-‘urf
Yaitu meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda
karena ‘urf yang umum berlaku, baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan.
Contohnya sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijma’ no dua diatas, yaitu dalam
maslah pemandian umum yang tidak ditentukan banyak airnya dan lama pemandian yang
digunakan oleh seseorang, karena adat kebiasaan setempat bisa dijadikan ukuran dalam
menentukan lama dan banyaknya air yang terpakai.

e.) Istihsan bi al- muslahah

Yaitu mengevualikan ketentuan hukum yang belum berlaku umum berdasarkan


kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prisnip kemaslahatan.
Adapun ulama malikiyyah mencntohkan dengan membolehkan dokter melihat aurat wanita
dalam berobat.

c. Dasar Hukum Istihsan

Berdasarkan ayat al-Qur’an yaitu “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu.”(QS. Al-Baqarah (2): 185) dan hadis Rasulullah yakni Anas
r.a berkata “Rasulullah SAW bersabda, sebaik-baik agamamu adalah lebih mudah ajarannya,
dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya”. (HR.
Ibnu Bar)6

Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Mazhab Hanafi menurut mereka, istihsan
sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali, karena
menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahah mursalah diperbolehkan, tentulah
melakukan istihsan juga begitu karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama. Selain
Mazhab Hanafi, mazhab lain yang menggunakan istihsan ialah sebagai Mazhab Maliki dan
sebagian Mazhab Hambali.

Pendapat istihsan menurut Mazhab Hanafi berbeda dengan Mazhab Syafi’i. Menurut
Mazhab Hanafi istihsan ialah semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan
berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Mazhab Syafi’i istihsan itu timbul karena rasa
kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.

Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian


yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu Asy-Syathibi
dalam kitabnya Al-Miwafaqaat menyatakan: “Orang yang menetapkan hukum berdasarkan
istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah
berdasarkan hal-hal yang benar diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT,
menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum.

Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan
Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan
istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18

‫ واولئك هم اولو االلبابز‬. ‫اولئك الذين هدهم هللا‬. ‫الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه‬

Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah
orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18).

Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang
memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk
sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.

‫واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم‬

Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan


kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)

Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang
terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah
hujjah. Hadits Nabi saw:

.ٌ‫س ِيئ‬ ‫س ِيئًا فَ ُه َو ِع ْندَ ه‬


َ ِ‫َّللا‬ ‫َف َما َر َأى ا ْل ُم ْس ِل ُمونَ َحسَ ًنا َف ُه َو ِع ْند َ ه‬
َ ‫َّللا ِ َحسَ ٌن َو َما َرأ َ ْوا‬

Artinya: “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di
sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah
adalah buruk pula”.

1. ISTISHAB
a. Pengertian Istishab
Secara etimologi, istishab berarti ‫ طلب الصحبة واستمرارها‬yaitu meminta kebersamaan,
atau berlanjutnya kebersamaan atau mencari sesuatu yang ada hubungannya.7 Istishab
menurut bahasa arab ialah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut
istilah ulama ushul fiqh adalah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu
peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan
perkataan lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu, sampai ada dalil yang
mengubah ketetapan hukum itu.8
Pengertian Istishab menurut para Ahli Ushul Fiqh yaitu :
.‫استبقاءالحكم الذ ى ثبت بد ليل فى الما ضى قا ئما فى الحا ل حتى يو جد د ليل يغير ه‬
“Membiarkan berlangsungnya suatu hokum yang sudah ditetapkan pada masa
lampau dan masih diperlukan ketentuannya sampai sekarang kecuali jika ada dalil lain yang
merubahnya”.
Sedangakan menurut Ibn Qoyyim, Istishab yaitu melanjutkan ketetapan suatu hukum
yang telah ada atau meniadakan suatu hukum yang sejak semula tidak ada.9
Definisi istishab menurut Abu Bakar Ismail Muhammad miqa yaitu :
‫اال بقا ء عل حكم المسأ لة الذي ثبت لها فى الما ضى نفيا واثبا تا قا ئما عل ما هو عليه في الحال حتى يو جد دليل‬
‫يغيره‬
“Melanggengkan hokum suatu masalah yang sudah tetap dari jaman lampau, baik ia
di cegah maupun diperintahkan ; ketentuan itu tetap berlaku hingga sekarang sehingga
terdapat dalil yang merubahnya”.
Imam Syihab al-Din Abu al-‘Abbas al-Qurafi, dalam karyanya Syarh Tanqih al-
Fushul fi Ikhtishar al-Mahshul fi al-Ushul, menjelakan bahwa yang dimaksud dengan
Istishab yaitu :
‫اعتقاد كون الشيء في الما ضى أوالحا ضر يو جب ظن ثبو ته فى الحال اواالستقبال‬
“Keyakinan (mujtahid) tentang suatu pada masa lalu atau sekarang ini, ia mewajibkan untuk
menetapkan (hukumnya) berdasarkan dugaan sekarang dan pada masa akan datang.”

Imam al-Syaukani, pengarang kitab Irsyad al-Fukhul menjelaskan bahwa yang


dimaksud dengan Istishab adalah :
‫بقاءاألمر مالم يو جد ما يغيره‬
“Tetapnya sesuatu selama tidak ada sesuatu yang lain mengubahnya”.
Definisi yang dikemukakan oleh al-Syaukani dikomentari oleh Abu Bakar Ismail
Muhammad Miqa sebagai berikut :
‫ان ما ثبت فى الما ضى فا ألصل بقاؤه على ماكان عليه في الزمن الحاضر والمستقبل حتى يأ تي دليل يغيره‬
“Sesungguhnya sesuatu yang telah tetap pada zaman lampau, tetap sebagaimana adanya
hinggga sekarang ini dan mendatang sebelum ada dalil yang mengubahnya”.
Ali Hasab Allah dalam kitab Ushul al-Tasyri’ al-Islami menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan al-Istishab adalah :
‫الحكم عل سيء بما كان ثابتا له أو منفيا عنه لعد م قيا م الد ليل على خال فه‬
“Kebenaran ketetapan (hukum) sesuatu, baik ia dibolehkan maupun dicegah karena tidak
ada dalil yang mengubahnya”.

Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa, dalam buku Methodologi Ijtihad Hukum
Islambememberikan defenisi tentang Istishab yaitu:10
“Ketetapan masa lampau tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengubahnya.” Artinya,
ketentuan masa lampau tetap berlaku hingga sekarang selama tidak terdapat dalil-dalil
hukum baru yang mengubah kedudukan hukum lampau tersebut”.
Semua definisi yang dikemukakan oleh ulama diatas menuju pada kesamaan arti yang
didasari oleh tiga segi/aspek yaitu :
a. Segi Waktu
b. Segi ketepatan
c. Segi dalil

Dari segi waktu ai-Istishab dihubungkan dengan tiga waktu yaitu lampau, sekarang
dan mendatang. Dari segi ketetapan ada dua kemungkinan yaitu diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan. Serta dari segi dalil, ketidak adaan dalil yang mengubah ketetapan masa lalu
merupakan kunci dari Istishab. Apabila terdapat dalil yang mengubah suatu ketetapan,
Istishab tidak berlaku lagi.11

b. Macam-macam Istishab
Secara umum Istishab dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
1.) Istishab hukm al-‘aql bi al-ibahat aw al-bara’at al-ashliyyat.
2.) Istishab hukm syar’iy bi al-dalil wa lam yaqum alil ‘ala taghayyurib.
Sedangkan secara rinci, Abu Bakar Isma’il Muhammad Miqa membagi Istishab
kedalam tiga macam yaitu :12
1.) Istishab al-bara’at al-ashliyyat
2.) Istishab al washf al-mutsbit li al-hukm batta yatsbuta khilafuh
3.) Istishab al-hal al-sabiqat.
Sedangkan menurut Abu Zahrah Istishab dibagi dalam emapat macam yaitu :
1.) Istishab al-ibahah al-ashliyah
Yaitu Istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu adalah mubah (boleh).
Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang
mu’amalat. Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan bahwa hukum dasar dari
sesuatu yang bermanfaat itu boleh dilakukan dalam kehidupan umat manusia selama tidak
ada dalil yang melaranganya. Firman Allah QS Al-Baqarah ayat 29.
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu …”.
Ayat diatas menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi untuk umat manusia dalam
pengertian boleh dimakan makanannya boleh dilakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi
kehidupan.
2.) Istishab al-baraah al-ashliyah
Istishab yang didasarkan pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai
ada dalil yang mengubah status itu. Seorang yang menuntut bahwa haknya terdapat pada diri
seseorang ia harus mampu membuktikannya karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari
segala tuntutan, dan setatusnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali ada bukti yang
jelas. Jadi seseorang dengan prinsip istishab akan selalu dianggap berada dalam status tidak
bersalah sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
3.) Istishab al-hukm
Istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti
yang mengubahnya. Misalnya: seorang yang memiliki sebidang tanah atau harta bergerak
seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan
peristiwa yang mngubah status hukum itu, seperti duijual atau di hibahkan kepada pihak lain.
4.) Istishab al-washf
Istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya
sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya: sifat hidup yang dimiliki seseorang yang
hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat.
c. Dasar Hukum Istishab
Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishab itu tidak lain hanyalah untuk
mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishab
bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia
hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang
mengubahnya. Jika demikian halnya istishab dapat dijadikan dasar hujjah.
Contoh Istishab: Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B,
kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena
telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat
kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan
hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum
yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang
ditetapkan dengan istishab.13
Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya
istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya
adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan
karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan.
Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan
hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh di
atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan
C atau terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan
antara yang halal dengan yang haram.
Jadi diperhatikan proses terjadi atau perubahan undang-undang dalam suatu negara
atau keputusan pemerintah, maka istishab ini adalah kaidah yang selalu diperhatikan oleh
setiap pembuat undang-undang atau peraturan.
d. Perbedaan Pendapat Ulama’ tentang al-Istishab
Para ulama’ Ushul Fiqh seperti dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, sepakat
bahwa tiga macam Istishab yang disebut pertama distas adalah sah dijadikan landasan
hukum. Mereka berbeda pendapat pada macam yang ke empat yaitu istishab al-
washf. Dalam hal ini ada dua pendapat :
1.) Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa Istishab al-washf dapat dijadikan
landasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam
mempertahankan haknya yang sudah ada.
2.) Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa, Istishab al-washf hanya berlaku
untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru.
B. Syarat dan Rukun Istihsan dan Istishab
1. Syarat dan Rukun Istihsan
Dalam penetapan hukum Istihsan ini, para Ulama Fiqh menetapkan persayaratan sebagai
berikut:14
a. Tidak boleh bertentangan dengan Maqasid Syariah, dalil-dalil kulli, dan juz’i yang qath’i
wurud dan dalalahnya, dari nash al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Kemaslahatan tersebut harus bersifat rasional artinya harus ada penelitian dan pembahasan,
hingga yakin hal tersebut memberikan manfaat atau menolak kemudaratan, bukan
kemaslahatan yang dikira-kirakan.
c. Kemaslahatan tersebut bersifat umum
d. Pelaksanaanya tidak menimbulkan kesulitan yang tidak wajar.
2. Syarat dan Rukun Istishab
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat
dipahami bahwa yang dimaksud dengan istishab memiliki beberapa ketentuan sebagai
berikut:15
a. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa
sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya. Contoh: Telah terjadi perkawinan
antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat
yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu mak B ingin kawin dengan
laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat perkawinan
dengan A dan nelum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama
berpisah. Berpegang dengan hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan
antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan Istishab.
b. Perubahan hukum yang ada hanya dapat terjadi, jika terdapat dalil yang mengubahnya.
Contoh: Menurut firman Allah Swt:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (manusia).” (QS. al-
Baqarah (2): 29)
Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk
kemanfaatan dirinya, kecuali kalau ada yang mengubah atau mengecualikan hukum itu.
Karena itu ditetapkanlah kehalalan memakan sayur-sayuran dan binatang-binatang selama
tidak ada yang mengubah atau mengecualikannya.
c. Hukum yang ditetapkan dengan yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh hukum yang
ditetapkan dengan ragu-ragu.
C. Perbedaan Pendapat tentang Istihsan dan Istishab sebagai Sumber dan Metodologi
1. Kedudukan Istihsan sebagai Sumber dan Metodologi
Terdapat pebedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam menetapkan istihsan sabagai
salah satu metode atau dalil dalam menetapkan hukum syara’. Menurut ulama Hanafiyah,
Malikiyyah dan sebagian ulama Hanabilah, istihsan merupakan dalil yan kuat dalam
menetapkan hukum syara’. Alasan mereka adalah:
a. Ayat-ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempatan dari umat
manusia , yaitu firman Allah dalam surat al Baqarah, 2: 185, yang berbunyi,
“....Allah mengendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi
kamu.....”
Dalam surat az Zumar, 39:55, Allah berfirman: “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu...”
b. Rasulullah dalam riwayatnya Abdullah bin Mas’ud mengatakan: Sesuatu yang dipandang
baik oleh umat islam, maka di sisi Allah juga baik. (H.R Riwayat Ahma Hanbal).
c. Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadits terhadap berbagai permasalahan yan terperinci
menunjukkan bahwa memberlakukan hukum dengan sesuai kaidah umum dari qiyas
adakalanya membawa kesusahan bagi umat manusia, sedangkan syari’at islam ditujukan
untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia, Oleh sebab itu, apabila seorang
mujtahid dalam menetapkan hukum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak
diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang akan dapat memberikan
hukum yang sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. Ulama Syafi’iyyah, Zhahiriyyah.
Syi’ah dan Mu’tazilah tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan
hukum syara’ (Prof. Dr. H. Rachmad Syafe’i. M. A. 2009). Alasan mereka, sebagaimana
yang dikemukakan Imam al-Syafi’i, adalah :
d. Hukum-hukum syara’ itu ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an atau Sunnah) dan
pemahaman terhadap nash melalui kaidah qiyas. Istihsan bukanlah nash dan bukan pula
qiyas.
e. Sejumlah ayat telah menuntut umat Islam untuk taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya
dan melarang secara tegas mengikuti hawa nafsu. Dalam berbagai persoalan yang dihadapi
manusia, Allah memerintahkan mereka untuk merujuk al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana
yang dijumpai dalam surat al-Nisa, 4:59 Istihsan, menurut Imam al-Syafi’i tidak termasuk
dalam al-Quran atau Sunnah.
f. Istihsan adalah upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu saja .
g. Rasulullah saw. Tidak pernah mengeluarkan fatwanya berdasarkan istihsan.
h. Rasulullah saw. telah membantah fatwa sebagian sahabat yang berada didaerah ketika
mereka menetapkan hukum berdasarkan istihsan (sangkaan baik) mereka.
i. Istihsan tidak mempunyai kriteria dan tolok ukur yang jelas dan dapat dipertanggung
jawabkan.
Sementara itu kelompok ulama yang menolak kehujjahan istihsan mengemukakan
dalil antara lain :

Firman Allah SWT pada surah al-Maidah (5): 49:


“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka”.
Firman Allah SWT surah an-Nahl (16): 44:
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya.”

2. Kedudukan Istishab sebagai Sumber dan Metodologi


Para Ulama Ushul Fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan Istishab ketika tidak
ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.16

Pertama, menurut mayoritas mutakallimin (ahli kalam), istishab tidak bisa dijadikan
dalil. Karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil.
Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan
datang. Istishab bukanlah dalil, karenanya menetapkan hukum yang ada pada masa lampau
berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil.
Hal ini sama sekali tidak dibolehkan dalam syara’.

Kedua, menurut mayoritas ulama Hanafiah, khususnya mutaakhirin, istishab bisa


dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap
hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum
yang akan ada. Alasan mereka seorang mujtahid dalam meneliti hukum suatu masalah yang
sudah ada, mempunyai gambaran bahwa hukumnya sudah ada atau sudah di batalkan. Akan
tetapi ia tidak mengetahui atau tidak menemukan dalil yang menyatakan bahwa hukum itu
sudah dibatalkan.

Dalam kaitan ini, mujtahid tersebut harus berpegang kepada hukum yang sudah ada,
karena ia tidak mengetahui adanya dalil yang membatalkan hukum itu. Namun penetapan ini
hanya berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya dan tidak berlaku bagi kasus yang akan
ditetapkan hukumnya. Artinya, istishab hanya bisa dijadikan hujjah untuk mempertahankan
hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang membatalkan hukum itu, tetapi tidak
berlaku untuk menetapkan hak yang baru muncul.

Ketiga, ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, zhahiriyah dan syiah berpendapat


bahwa istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada,
selama belum ada dalil yang mengubahnya.

Alasannya adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada
dalil yang mengubahnya, baik secara qath’i maupun zhanni, maka semestinya hukum yang
telah ditetapkan itu berlaku terus, karena di duga keras belum ada perubahan. Alasan yang
menunjukkan berlakunya berlakunya syari’at di zaman Rasulullah Saw sampai hari kiamat
adalah menduga keras berlakunya syariat itu sampai sekarang, tanpa ada dalil yang
menasakh-kannya.

Secara sederhana menurut para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang
kuhujahan istishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
a. Menurut ulama mutakalimin (ahli kalam) istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum
yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk
menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang harus pula
berdasarkan dalil.
b. Menurut mayoritas ulama hanafiyah khususnya muta’akhirin (generasi belakangan) istishab
bisa menjadi hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelum dan menganggap
hukum itu tetap berlaku. Pada masa yang akan datang tetapi tidak bisa menetapkan hukum
yang akan ada.
c. Ulama malikiyah, syafi’iyah, hanabilah, zahiriyah dan syi’ah berpendapat bahwa istishab
bisa menjadi hujjah secara mutlak untuk mentapkan hukum yang sudah ada, selama belum
ada dalil yang mengubahnya.

Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali seorang Mujtahid
untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapkan kepadanya, karena ulama’ Ushul
berkata :“Sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredar fatwa “. Yaitu mengetahui atas
suatu hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya.
Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi
manusia dalam segala pengelolaan dan ketetapan mereka. Maka barang siapa yang
mengetahui seorang masih hidup, maka dihukumi atas kehidupannya, dan didasarkan
pengelolaan atas kehidupan ini sampai ada dalil yang menunjukkan atas terputusnya.
Sebagai yang dikemukakan oleh Abu bakar Ismail Muhammad Miqa, bahwa ulama’
terbagi menjadi dua dalam menentukan kehujjahan Istishab. Ulama yang menerima dan
ulama yang menolaknya. Ulama yang menerima Istishab sebagai hujjah berarguman bahwa
dalam mu’amalah dan pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat yang sudar berlaku
diantara mereka. Ia dapat dijadikan dasar untuk penentuan hukum tersebut selama tidak ada
dalil yang mngubahnya. Rujukan tekstualnya adalah Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 29.
Firman Allah SWT pada surah al-Baqarah (2): 29 yang berbunyi :
“Dia (Allah) yang menciptakan semua yang ada di bumi untuk kamu.”
Firman Allah SWT pada surah al-Maidah (5): 87 yang berbunyi :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan sesuatu yang baik
yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Akan tetapi perlu ditegaskan, ketentuan yang sebaliknya yaitu, pada dasarnya, segala
sesuatu yang membahayakan (menimbulkan mudharrah) adalah haram, meskipun tidak ada
dalil khusus yang menegaskannya. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang
berbunyi :
“Tidak ada kemudratan dan tidak ada yang memudaratkan (didalam islam).”

C. Menguraikan Beberapa Permasalahan yang Ditetapkan Melalui Istihsan dan Istishab


1. Permasalahan yang Ditetapkan Melalui Istihsan
a. Mewaqafkan sebidang tanah pertanian
Menurut madzhab Abu Hanifah, bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian,
maka dengan menggunakan istihsan, yang termasuk diwaqafkan adalah hak pengairan, hak
membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Sebab kalau menurut qiyas (jali), hak-
hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan
jual beli.
Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli.
Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang
menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-
menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat
dari pemilik barang kepada penyewa barang.
Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang
yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika
memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali),
maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan
hak milik. Karena itu perlu dicari asalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa.
Kedua peristiwa ini ada persamaan `illat-nya yaitu mengutamakan manfaat barang
atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu
tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi,
yang disebut istihsan.

b. Sisa minuman burung buas


Menurut Madzhab Hanafi, sisa minuman burung buas, seperti elang, burung gagak
dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Padahal seharusnya kalau menurut qiyas
(jali), sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram
diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan
kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya
masuk ke tempat minumnya.
Sedangkan menurut qiyas khafi, burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut
binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut
burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat
tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan
dagingnya yang haram dimakan, sebab di antara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya.
Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang
membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari
qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
c. Hukum potong tangan pada waktu paceklik
Tidak memotong tangan pencuri di waktu paceklik, yang menurut pemahaman umum
terhadap ayat al-Qur’an (QS. Al-Maidah: 37) apabila seorang melakukan pencurian dan
memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman potong tangan, maka berlaku baginya hukuman
potong. Namun, bila pencurian itu dilakukan pada masa paceklik, maka hukuman potong
tangan yang bersifat umum itu tidak diberlakukan, karena dalam kasus ini berlaku hukum
khusus.
d. Memperjualbelikan barang yang belum ada wujudnya
Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang
sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Halini berlaku untuk
seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kulli. Tetapi syara’
memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi
barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau
dengan pembelian secara pesanan (salam).
Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan
dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitsna) dari
hukum kulli dengan menggunakan hukum juz’i, karena keadaan memerlukan dan telah
merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat
e. Kasus pemandian umum
Menurut ketentuan kaedah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas berapa lama
seseorang mandi dan berapa jumlah air yang dipakai, akan tetapi apabila hal ini dilakukan
maka akan menyulitkan orang banyak. Oleh sebab itu secara istihsan boleh mempergunakan
jasa pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang
dipakainya, karena sudah berlaku umum dalam masyarakat.
f. Kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan
Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam
keadaan tertentu seorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya. Maka untuk
kemaslahatan orang tersebut, menurut kaidah istihan seorang dokter dibolehkan melihat aurat
wanita yang berobat kepadanya.
g. Kerusakan barang
Tanggung jawab mitra dari tukang yang memperbaiki barang, bila barang yang
diperbaikinya itu rusak di tangannya. Berdasarkan qiyas, ia tidak wajib menggantinya karena
kerusakan itu terjadi ketika ia bekerja. Namun berdasarkan pendekatan istihsan, ia wajib
menggantinya demi terwujudnya kemaslahatan, yaitu memelihara dan menjamin harta orang
lain.

h. Penentuan harga pada saat melakukan jual-beli


Seorang penjual dan pembeli bertengkar mengenai harga barang yang belum
disepakati oleh pembeli. Pembeli merasa harga barang telah ditentukan Rp 90.000,-,
sedangkan penjual menuntut harga tambahan menjadi Rp 100.000,- sebab ia merasa belum
menentukan harga Rp 90.000,-.
Karena kedua belah pihak sama-sama menuntut, menurut qiyas jaly penjual harus
mengemukakan bukti (bayyinah) yang membuktikan bahwa penjual belum menentukan harga
Rp 90.000,- (sebagaimana yang diklaim pembeli) dan pembeli diperintahkan mengucapkan
sumpah yang menerangkan bahwa harga yang disepakati adalah Rp 90.000,-. Bila kemudian
penjual tidak bisa membuktikkan bahwa harga barang yang disepakati adalah Rp 100.000,-.
Menurut qiyas khafy yang dikuatkan adalah harga Rp 90.000,- sebab si penjual juga
mengucapkan sumpah.
i. Makan atau minum saat puasa karena lupa
Kaidah umum, puasanya batal karena salah satu rukunnya, yaitu alimsak telah rusak.
Namun karena ada dalil khusus yang mengkecualikannya, maka puasanya tidak batal. Yaitu
sabda Nabi saw: “Siapa yang lupa padahal ia tengah puasa lalu ia makan atau minum,
hendaknya ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya itu adalah makan dan minum yang
diberikan Allah”.
j. Sumur yang kejatuhan najis
Apabila sumur itu dikuras sangat tidak mungkin. Karena alat yang digunakan pasti
terkontaminasi kembali dengan najis tersebut. Namun dengan pertimbangan darurat hal itu
dapat dilakukan.
2. Permasalahan yang Ditetapkan Melalui Istihsan
a. Mempertahankan Wudhu
Seseorang yang memiliki wudu pada salat Zuhur, kemudian datang waktu Asar,
Wudu pada waktu salat Zuhur dapat digunakan untuk melakukan salat Asar sebelum adanya
keadaan yang mengubahnya, seperti buang air.
b. Pewarisan Orang yang Hilang (al-Mafqud)
Orang yang hilang (al-mafqud) adalah orang yang menghilang dari keluarganya
hingga beberapa waktu lamanya, dimana tidak ada bukti yang dapat digunakan untuk
membuktikan apakah ia masih hidup atau sudah mati. Dalam kasus ini, para ulama berbeda
pendapat antara memvonis ia masih hidup sehingga peninggalannya tidak boleh dibagikan
kepada ahli warisnya dan ia tetap berhak mendapatkan warisan jika ada kerabatnya yang
meninggal saat kehilangannya; dan memvonis ia telah meninggal sehingga peninggalannya
dapat dibagikan kepada ahli warisnya. Dalam hal ini, ada tiga pendapat di kalangan para
ulama:
Pendapat pertama, bahwa ia tetap dianggap hidup baik untuk urusan yang terkait
dengan dirinya maupun yang terkait dengan orang lain. Karena itu semua hukum yang
berlaku untuk orang yang masih hidup tetap diberlakukan padanya; hartanya tidak
diwariskan, istrinya tidak boleh dinikahi, dan wadi’ah yang ia titipkan pada orang lain tidak
boleh diambil. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik dan al-Syafi’i. Hujjah mereka adalah
bahwa orang yang hilang itu sebelum ia hilang ia tetap dihukumi sebagai orang yang hidup.
Karena itu hukum ini wajib diistishhabkan hingga sekarang sampai ada bukti yang mengubah
hukum tersebut.
Pendapat kedua, ia dianggap hidup terkait dengan hak dirinya sendiri. Pendapat ini
dilandaskan pada pandangan bahwa istishhab hanya dapat digunakan untuk mendukung
hukum yang telah ada sebelumnya, tapi bukan untuk menetapkan hukum baru.
Pendapat ketiga, ia dianggap hidup baik terkait dengan hak dirinya maupun hak orang
lain selama 4 tahun sejak hilangnya. Jika 4 tahun telah berlalu, maka ia dianggap telah
meninggal terkait dengan hak dirinya maupun hak orang lain; hartanya dibagi, ia tidak lagi
mewarisi dari kerabatnya yang meninggal dan istrinya dapat dinikahi. Pendapat ini dipegangi
oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Alasan pembatasan jangka waktu 4 tahun adalah pengqiyasan kepada jika ia
meninggalkan istrinya selama 4 tahun, dimana menurut pendapat ini- jika ia meninggalkan
istrinya selama itu, maka hakim dapat memisahkan keduanya dan istrinya dapat dinikahi
setelah masa iddah sejak pemisahan itu berakhir.
c. Berwudhu Karena Apa yang Keluar Dari Selain “2 Jalan”
Semua ulama telah berijma’ bahwa segala sesuatu yang keluar melalui “2 jalan”
(qubul dan dubur) itu membatalkan thaharah seseorang. Namun bagaimana dengan najis yang
keluar tidak melalui kedua jalan tersebut?
Dalam kasus ini, ada beberapa pendapat yang dipegangi oleh para ulama:
Pendapat pertama, bahwa hal itu membatalkan thaharahnya, sedikit ataupun
banyaknya yang keluar. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik dan al-Syafi’i. Hujjah
mereka adalah istishhab, yaitu bahwa hukum asalnya hal itu membatalkan, maka ia tetap
diberlakukan hingga ada dalil yang menunjukkan selain itu.
Pendapat kedua, bahwa apapun yang keluar dari selain kedua jalan itu, seperti muntah
jika telah memenuhi mulut, maka ia membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam
Abu Hanifah. Pijakannya adalah beberapa hadits seperti:
“Wudhu’ itu wajib untuk setiap darah yang mengalir.” (HR. Al-Daraquthni)
dan juga hadits:
“Barangsiapa yang muntah atau mengeluarkan ingus dalam shalatnya, maka hendaklah ia
pergi dan berwudhu lalu melanjutkan shalatnya selama ia belum berbicara.”(HR. Ibnu
Majah)
Hanya saja hadits-hadits ini didhaifkan oleh sebagian ulama, sehingga mereka tidak
dapat menjadikannya sebagai dalil
Pendapat ketiga, bahwa apa yang keluar dari selain kedua jalan tersebut membatalkan
wudhu jika ia sesuatu yang najis dan banyak, seperti muntah atau darah yang banyak. Adapun
jika ia sesuatu yang suci, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam
Ahmad bin Hanbal. Hujjah pendapat ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Ma’dan bin
Thalhah dari Abu al-Darda’ r.a., bahwa Nabi saw pernah muntah, lalu beliau berwudhu.
Ma’dan bin Thalhah berkata: “Aku pun menemui Tsauban di Masjid Damaskus lalu
menyebutkan hal itu padanya. Maka ia pun berkata: ‘Engkau benar! Aku-lah yang
menuangkan air wudhu beliau.” (HR. Al-Tirmidzy)
Landasan lainnya adalah pengamalan para shahabat Nabi akan hal itu, dan tidak ada
satu pun yang mengingkari hal tersebut, maka dengan demikian ini adalah ijma’ dari mereka
akan hal itu.
d. Thalaq Setelah Terjadinya Ila’
Salah satu masalah furu’iyah yang terkait dengan istishhab adalah jika seorang
seorang suami bersumpah untuk tidak mendekati istrinya (ila’), apakah thalaq yang terjadi
setelah ila’ ini termasuk thalaq yang raj’i atau ba’in?
Para fuqaha berbeda pendapat menjadi 3 pendapat dalam hal ini:
Pendapat pertama, bahwa thalaq yang terjadi adalah thalaq raj’i, baik thalaq
dijatuhkan oleh sang suami ataupun oleh sang hakim. Pendapat ini dipegangi Imama Malik
dan al-Syafi’i. Landasan mereka dalam hal ini adalah bahwa hukum asalnya thalaq itu jika
dijatuhkan pada sang istri yang telah digauli, dan bukan dalam khulu’ atau thalaq tiga, maka
ia adalah thalaq raj’i yang memungkinkan rujuk kembali. Dan kita tidak boleh meninggalkan
hukum asal ini kecuali dengan dalil, sementara dalam hal ini tidak ada dalil yang
menunjukkan itu.
Pendapat kedua, jika yang menjatuhkan thalaq adalah suami maka yang jatuh adalah
thalaq raj’i, namun jika yang menjatuhkannya adalah hakim maka thalaqnya adalah ba’in.
Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Dan mungkin yang menjadi landasan
mereka adalah bahwa jika penjatuhan thalaq itu dilakukan oleh sang hakim, maka ini seperti
jika hakim memutuskan suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama, dimana
pendapat manapun yang dipilih oleh hakim maka itulah yang berlaku.
Pendapat ketiga, bahwa thalaq yang terjadi karena ila’ adalah menjadi thalaq ba’in
secara mutlak. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu Hanifah.
Landasan mereka adalah karena penjatuhan thalaq itu bertujuan untuk melepaskan sang
wanita dari kemudharatan, dan itu tidak dapat terwujud hanya dengan menjatuhkan thalaq
raj’i saja. Pendapat ini juga dilandasi oleh apa yang diriwayatkan dari sebagian sahabat
bahwa mereka berkata: “Jika telah berlalu 4 bulan (sejak terjadinya ila’), maka sang istri
tertalak dan ia lebih berhak atas dirinya sendiri.” Dalam riwayat lain: “Dan ia terthalak
secara ba’in.”
Demikianlah beberapa masalah furu’iyah yang dapat diangkat di sini untuk
menunjukkan bagaimana pengaruh istishhab dalam perbedaan ijtihad para fuqaha.
A. Kesimpulan
Istihsan adalah mengambil masalah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat
kully (menyeluruh) dengan mengutamakan al- istidlal al-mursal dari pada qiyas. Dari Ta’rif
diatas, jelas bahwa al- istihsan lebih mementingkan masalah juz’iyyah atau masalah tertentu
dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan
bahwa al- istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat
dilihat dari tujuan syari’at diturunkan.
Istishhab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah
ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan hukum
tersebut. Atau dengan perkataan lain; Istishhab ialah menganggap hukum sesuatu soal yang
telah ada menyertai tetap soal tersebut, sampai ada dalil yang memutuskan adanya penyertaan
tersebut. Jika sesuatu dalil syara` menetapkan adanya sesuatu hukum pada sesuatu waktu
yang telah lewat dan menetapkan pula berlakunya untuk seterusnya, maka hukum tersebut
tetap berlaku, tanpa diragukan lagi.
B. Saran
Diharpakan hukum-hukum fiqih islam terutama yang telah ditetapkan melalui metode
istihsan dan istishab alangkah baiknya diaplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari, agar
memperoleh ridho dari Allah SWT. Namun sebelum melakukan istihsan dan istishab kita
juga harus melihat permasalahannya apakah sesuai dengan syariat islam atau tidak.

1
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, (Jakarta: AMZAH, 2014), hal 197
2
Ahmad Sanusi, Ushul Fiqih, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), hal 75
3
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hal 401
4
Ibid. 402
5
Saifudin Nur, ilmu fiqh; suatu pengantar komprehensip kepada hokum islam, (Bandung: HUMANIORA,
2007), hal 55

6
Nazar bakry, fiqih dan usul fiqih (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993) hal 61

7
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), hal 133
8
Sohari, Ushul Fiqih, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), hal 86
9
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1988), hal 137
10
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: cet I UII, 2002), hal.35
11Ibid, hal 133-135
12
Masykur Anhari, Ushul Fiqih, (Surabaya: Diantama, 2008), hal. 107-108
13
Narun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1996), hal 114
14
AmirSyarifudin . Ushul Fiqih jilid 2. (Jakarta: Prenada Media Group. 2008) hal 319
15
Ahmad Sanusi, Ushul Fiqih, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), hal 87
16
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, (Jakarta: Logos, 2001), hal. 313-314

DAFTAR PUSTAKA:
Nazar bakry, fiqih dan usul fiqih, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993
Saifudin Nur, Ilmu fiqh: Suatu Pengantar Komprehensip kepada Hokum Islam, Bandung:
HUMANIORA, 2007
Masykur Anhari, Ushul Fiqih, Surabaya: Diantama, 2008
Narun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1996
Abd. Rahman Dahla, Ushul Fiqih, Jakarta: AMZAH, 2014
Ahmad Sanusi, Ushul Fiqih, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2002
Sohari, Ushul Fiqih, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1988
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, Jakarta: Logos, 2001

Anda mungkin juga menyukai