Anda di halaman 1dari 23

HAKIKAT DAN MAJAZ, ‘AMM DAN

KHASH, MUTHLAQ DAN MUQAYYAD

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 7

ZAINATUN AINI

ANNISA HUMAIRA

JURUSAN MANAJEMEN ZAKAT DAN WAKAF

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

LANGSA

2019

i
KATA PENGANTAR

Alhamdullillahhirabil’alamin, segala puji kita panjatkan kehadirat Allah


SWT atas segalah rahmat dan hidayahnya tercurahkan kepada kita yang tak
terhingga ini, sholawat serta salam kita panjatkan kepada junjungan Nabi besar
kita Muhammad SAW dan keluarganya, sahabatnya, beserta pengikutnya sampai
akhir zaman amin ya robal alamin. Karena anugerah dan bimbingan-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Hakikat dan Majaz, ‘Amm dan
Khash, Muthlaq dan Muqayyad“ dengan tepat waktu.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini banyak sekali


terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi kami khususnya dan kepada para pembaca umumnya.

Langsa, 21 Mei 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................i

DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 2

2.1 Hakikat dan Majaz ............................................................................................ 2


2.2 ‘Amm dan Khash .............................................................................................. 8
2.3 Muthlaq dan Muqayyad .................................................................................. 12

BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 19

3.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 20

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap lafal mengandung arti dan maksud tertentu yang dapat dipahami
seseorang ketika ia mendengar lafal itu diucapkan atau ketika ia membaca lafal itu
dalam tulisan. Ulama ushul fiqh membagi suatu redaksi/lafal ditinjau dari segi
penggunaannya digolongkan kepada hakikat dan majaz.
Untuk menginterpretasikan Qur’an dan sunah dalam upaya mendeduksi
ketentuan-ketentuan hukum dari petunjuk-petunjuk yang diberikannya. Bahasa
Qur’an dan Sunah harus dipahami secara benar agar dapat menggunakan sumber-
sumber ini mujtahid harus mengetahui kata-kata nash dan implikasi-implikasinya
secara tepat. Untuk tujuan ini para ulama ushul fiqh memasukkan klasifikasi kata-
kata dan pemakaian-pemakaiannya kedalam metodelogi Ushul Al-Fiqh. Biasanya
mujtahid tidak akan melakukan interpretasi jika nash itu sendiri sudah merupakan
dalil yang jelas. Tetapi sejauh ini, fiqh sebagian besar memuat ketentuan-
ketentuan yang dirumuskan melalui interpretasi dari ijtihad, sebagaimana nanti
akan dijelaskan. Dari sudut pemakaian yang sesunguhnya, seperti apakah suatu
kata digunakan dalam makna utamanya, makna harfiyah, makna teknis, ataukah
maknanya yang lazim, kata-kata juga diklasifikasikan ke dalam dua kategori
utama : harfiyah ( haqiqi) dan metaforsis (majazi)

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertisn Haqiqah dan Majaz?


2. Apa pengertian ‘Amm dan Khash?
3. Apa pengertian Mutlaq dan Muqayyad?

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hakikat dan Majâz

Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata haqqa yang berarti tetap. Ia
bisa bermakna subjek (fā’il), sehingga memiliki arti yang tetap atau objek
(maf’ul), yang berarti ditetapkan. Pengertian Hakikat adalah suatu lafaz yang
digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu.Maksudnya lafaz itu digunakan
oleh perumus bahasa memang untuk itu. Menurut Ibnu Subki menyatakan bahwa
hakikat adalah lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya.
Ibnu Qudamah mendefinisikannya sebagai lafaz yang digunakan untuk sasarannya
semula. Sementara Al-Sarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah setiap lafaz
yang ditentukan menurut asalnya untuk hal tertentu.1

Contohnya seperti kata “kursi” menurut asalnya memang digunakan untuk


tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki, meskipun kemudian kata
“kursi” itu sering digunakan pula untuk pengertian “kekuasaan”, namun tujuan
semula kata “kursi” bukan untuk itu tetapi “tempat duduk”.

Sedangkan pengertian majaz adalah suatu lafad yang digunakan untuk


menjelaskan suatu lafad pada selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks,
karena adanya persamaan atau keterkaitan baik antara makna yang tersurat di
dalam teks maupun maksud yang terkandung di dalam teks tersebut.2

Dapat dirumuskan pengertian lafaz majaz tersebut, yaitu:

a) Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti sebenarnya sebagaimana yang


dikehendaki oleh suatu bahasa
b) Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk
digunakan dalam memberi arti kepada apa yang dimaksud

1
Satria effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta:kencana,2008).hlm.42
2
Satria effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta:kencana,2008).hlm.44

2
c) Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang
dipinjam dari arti lafaz itu mrmang ada kaitannya.

Umpamanya kata “kursi” dipinjam untuk arti “kekuasaan”. Lafaz kursi menurut
hakikatnya digunakan untuk “tempat duduk”. Lafaz itu dipinjam untuk arti
“kekuasaan”. Antara “tempat duduk” dengan “kekuasaan” itu memang ada
kaitannya, yaitu bahwa kekuasaan itu dilaksanakan dari “kursi” (tempat duduk)
dan sering disimbolkan dengan kursi singgasana.

Pada dasarnya setiap pemakai kata ingin menggunakan lafaz untuk arti menurut
hakikatnya. Namun ada hal-hal tertentu yang mendorongnya untuk tidak
menggunakan haqiqah itu dengan menggunakan majaz. Di antara hal yang
mendorong ke arah itu adalah sebagai berikut3:

a) Karena berat mengucapkan suatu lafaz menurut haqiqah-nya. Oleh


karenanya ia beralih kepada majaz. Umpamanya lafaz ‫حنفقيق‬, dalam
bahasa arab yang berarti bahaya besar yang menimpa seseorang. Lafaz itu
berat untuk diucapkan seseorang. Karenanya ia lebih senang menggunakan
kata-kata maut (‫)مو ت‬.
b) Karenanya buruknya kata haqiqah itu bila digunakan, seperti kata ‫حراءة‬
dalam bahasa arab yang menurut hakikatnya berarti tempat berak. Karena
buruk dan joroknya tempat itu, maka digunakan kata lain, yaitu ‫ ئطالغا‬yang
artinya tempat yang tenang di belakang rumah. Dalam bahasa Indonesia
sebagai ganti ucapan kata pergi untuk “buang berak”, diganti dengan pergi
“ke belakang” karena keduaanya ada kaitan, yaitu sama-sama tempatnya
dibelakang. Sama halnya dalam hal alasan menggunakan kata majaz
tersebut adalah karena tidak etisnya suatu kata haqiqah kalau digunakan
ditengah orang banyak, seperti kata “bersetubuh” diganti dengan kata lain
yang lebih enak didengar yaitu, “bergaul”.
c) Karena kata majaz lebih dipahami orang dan lebih populer ketimbang kata
hahiqah. Umpamanya kata “ijma dalam arti “hubungan kelamin” kurang

3
Amir Syarifudin,Ushul Fiqih,(Jakarta:Kencana,2011).hlm.29

3
dipahami oleh orang banyak, diganti dengan kata lain yang lebih populer
yaitu “bergaul”.
d) Karena untuk mendapatkan rasa keindahan bahasa (balaghahnya) seperti
menggunakan kata “singa” untuk seorang pemberani lebih indah dari segi
sastra ketimbang kata “pemberani”.

Selanjutnya macam-macam haqiqah (hakikat) dari segi ketetapannya sebagai


haqiqah, para ulama’ membagi haqiqah itu kepada beberapa bentuk yaitu sebagai
berikut4:

a. Haqiqah Lughawiyah

Lafaz yang digunakan pada maknanya menurut pengertian bahasa atau


memaknai suatu lafad dengan menggunakan pendekatan bahasa, yang
penyusunannya pun dilakukan oleh ahli linguistik. Contoh dari hakikat ini
adalah penggunaan kata manusia pada hewan yang berbicara dan serigala pada
hewan yang buas.

b. Haqiqah Syar’iyyah

Yaitu lafaz yang digunakan untuk makna yang ditentukan untuk itu oleh
syara’ atau memaknai suatu lafad dengan menggunakan pendekatan syari’at,
yang penyusunannya pun dilakukan oleh ahli syari’at (fiqh), umpamanya lafaz
“shalat” untuk perbuatan tertentu yang terdiri dari perbuatan dan ucapan yang
dimulai dengan “takbir” dan disudahi dengan “salam”.

c. Haqiqah “urfiyah Khashhshah

Yaitu lafaz yang digunakan untuk arti menurut kebiasaan tertentu yang biasa
digunakan oleh suatu kelompok atau sebagian diantaranya, bisa juga
didefinisikan sebagai suatu lafaz yang didalam maknanya menggunakan
pendekatan kebiasaan yang tertentu. Hakikat ini juga bisa disebut dengan al-

4
Amir Syarifudin,Ushul Fiqih,(Jakarta:Kencana,2011).hlm.27

4
Hakikat al-Istilahiyyat.Umpamanya istilah ijma’ yang berlaku dikalangan
fiqh. Umpamanya istilah ijma’ yang berlaku dikalangan ahli fiqh

d. Haqiqah ‘Urfiyah Ammah

Yaitu lafaz yang digunakan dalam makna menurut yang berlaku dalam
kebiasaan hukum, atau lafad yang di dalam maknanya menggunakan
pendekatan kebiasaan yang umum dilakukan maupun dilakukan, umpamanya
penggunaan kata dabbah dalam bahasa arab untuk hewan ternak yang berkaki
empat5.

Keberdaan majaz dalam Al-Qur’an sangat berpengaruh terhadap perbedaan


penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. Berikut beberapa contoh yang dapat
menunjukkan hal tersebut;

1) Penafsiran terhadap ayat ُ‫ َحمالَةَ َو ْام َرأُتُه‬6‫طب‬


َ ‫ال َح‬

Para mufassir berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat ini, terutama lafadz
‫الحطب حمالة‬, ke dalam dua pendapat; pertama, dia (istri Abu Lahab) membawa
kayu berduri kemudian dia melemparkannya ke jalan yang dilewati oleh
Rasulullah saw. Ini adalah tafsir sahabat Ibnu Abbas ra. (w. 68 H.) Dan Ibnu
Zaid (w. 182 H). Lafadz tersebut dimaknai sesuai dengan makna haqiqahnya.
Penafsiran ini disampaikan oleh At-Thabary dalam kitabnya yang menukil
dengan sanad dari Ibn Abbas.7

Pendapat kedua, dia setiap berjalan selalu berbuat namimah. Ini adalah
pendapat Ikrimah (w. 105 H) dan Mujahid (w. 104 H.) Dan Qatadah (w. 117
H).8 Maka lafadz hathab dalam ayat tersebut dimaknai sebagai majaz. Al-
Qurthuby juga berpendapat senada. Ia mengatakan dalam tafsirnya: “‫تمشي كانت‬

5
Amir Syarifudin,Ushul Fiqih,(Jakarta:Kencana,2011).hlm.28
6
Q.S. Al-Masad: 4.
7
Lih. Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabary, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Aay al-Qur’an,
(Kairo: Dar hajr, 2001), Juz 24 hlm. 719.
8
Ibid., hlm. 720.

5
‫”الناس بين بالنميمة‬.9 Dua pendapat ini berbeda disebabkan perbedaan dalam
melihat penggunaan lafadz. Pendapat yang pertama melihatnya dengan
makna haqiqah, sedang yang kedua bermakna majaz. Al-Thabari sendiri lebih
memilih pendapat yang pertama. Ia mengatakan;10

‫عندي بالصواب ذلك في القولين وأولى‬, ‫قال من قول‬: ‫الشوك تحمل كانت‬, ‫هللا رسول طريق في فتطرحه‬
‫وسلم عليه هللا صلى‬, ‫ذلك معنى أظهر هو ذلك ألن‬.

2) Tafsir atas ayat ُ‫ض َحكَ ه َُو َوأَنه‬


ْ َ ‫ َوأ َ ْبكَى أ‬11

Ada beberapa pendapat mufassir atas ayat ini. Diantaranya; pertama,


pendapat imam Abu Ja’far an-Nahhas (w. 338 H) dalam kitabnya i’rab Al-
Qur’an. Ia menyampaikan bahwa Allah membuat tertawa orang-orang yang
Dia kehendaki ketika di dunia dengan cara membahagiakannya. Dan
membuat mereka menangis dengan cara menyusahkan mereka.12

Pendapat kedua, menafsirkan bahwa Allah swt membuat tertawa ahli surga
dengan memasukkan mereka ke dalamnya. Dan membuat menangis ahli
neraka dengan memasukkan mereka ke dalamnya. Pendapat ini salah satunya
disampaikan oleh Mujahid (w. 104 H).13

Pendapat ketiga, Allah membuat bumi tertawa dengan tumbuh-tumbuhan.


Dan membuat langit menangis dengan hujan. Ini adalah pendapat imam Ad-
Dhahak (w. 102 H) yang dinukil Ibnu Jauzi dalam tafsirnya.14

Pendapat keempat, Allah membuat pohon-pohon tertawa dengan bunga-


bunga, dan membuat awan menangis dengan hujan. Pendapat ini terdapat

9
Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurthuby, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Beirut:
Muassasah Ar-Risalah, 2006), Juz 22 hlm. 550
10
Lih. Abu Ja’far al-Thabary, Op. Cit., hlm. 721.
11
Q.S. An- Najm: 43.
12
Abu Ja’far an-Nahhas, I’rab Al-Qur’an, (Kairo: Maktabah an-Nahdlah al-‘Arabiyah, 1985), Juz
4 hlm. 278
13
Abu Muhammad Husain ibn Mas’ud al-Baghawy, Ma’alim al-Tanzil, (Riyadl: Dar al-
Thayyibah, 1412 H) Juz 7 hlm. 418.
14
Abu al-Faraj ibn Al-Jauzy, Zaad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir, (Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1984),
Juz 8 hlm. 83.

6
dalam tafsir Al-Qurthuby.15 Dua pendapat penafsiran yang pertama atas ayat
ini memperlakukan lafadz-lafadznya dengan bentuk makna haqiqah.
Sedangkan dua pendapat yang terakhir menggunakan makna majaznya.

3) Tafsir atas ayat;

ُ ‫سادًا ْاأل َ ْرض في َو َي ْس َع ْونَ َو َر‬


‫سولَهُ ّللاَ يُ َحاربُونَ الذينَ َجزَ ا ُء إن َما‬ َ َ‫صلبُوا أ َ ْو يُقَتلُوا أَن ف‬
َ ُ‫أَيْديه ْم تُقَط َع أ َ ْو ي‬
‫ م ْن َوأَ ْر ُجلُ ُهم‬16‫ْاأل َ ْرض منَ يُنفَ ْوا أ َ ْو خ ََلف‬

Ayat ini menjelaskan tentang hukuman atas orang-orang yang memerangi


(agama) Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang berbuat kejahatan di
muka bumi. Salah satu hukumannya adalah ‫األرض من ينفو‬. Kementerian
Agama RI menerjemahkannya dengan ”… atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya)”.

Para ulama’ berbeda pendapat atas penafsiran ayat ini. Jumhur ulama’
memaknainya secara haqiqah bahwa hukumannya adalah diasingkan dari
bumi atau dari tempat di mana ia melakukan kejahatan ke tempat yang lain.
Diantara yang berpendapat pendapat ini adalah kalangan
syafi’iyah.17 Sedangkan ulama’ dari kalangan hanafiyah berpendapat bahwa
maksud dari yunfa dalam ayat tersebut adalah dipenjara, dengan mengambil
makna majaznya. Mereka berpendapat, karena jika diambil
makna haqiqahnya, hukuman itu (mengasingkan dari bumi) tidak mungkin
bisa dilakukan kecuali dengan cara dibunuh, padahal nafy adalah hukuman
bukan dengan cara dibunuh. Maka makna yang diambil haruslah makna
yang majaz, dan hal itu tidak menghilang tujuan syari’at dari penerapan
hukuman tersebut.18

15
Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurthuby, Op. Cit., Juz 20 hlm. 58.
16
Q.S. al-Maidah: 33.
17
Lih. Al-Qurthuby, Op. Cit., Juz 7 hlm. 438.
18
Mahmud Syalthut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, (Kairo: Dar as-Syuruq, 2001), cet ke-18, hlm.
511.

7
2.2 ‘Amm dan Khash

2.2.1 Pengertian ‘Amm

Al ‘amm secara etimologi berarti merata, yang umum. Sedangkan


secara terminologi atau istilah, Muhammad Adib Saleh mendefinisikan
bahwa al ‘amm adalah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai
dengan pengertian tiap lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah
tertentu.19

Lafaz ‘amm ini adalah menurut kepada bentuk dari suatu lafadz, di
dalam lafadz itu tersimpul, atau masuk semua jenis yang sesuai dengan lafadz
itu. Sebagaimana kita katakan al-insan (manusia, maka di dalam kata-kata al-
insan ini termasuk semua manusia yang ada di dunia ini,baik manusia itu
kecil ataupun besar, baik dia merdeka maupun dia masuk golongan budak,
baik dia bebas maupun dia terikat.Adakalanya lafadz umum itu ditentukan
dengan lafadz yang telah disediakan untuk itu, seperti lafadz “kullu, jami’u,
dan lain-lain.

Maka yang dimaksud dengan ‘amm yaitu suatu lafadz yang


dipergunakan untuk menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh)
dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja.seperti
kita katakan arrijal, maka lafadz ini meliputi semua laki-laki.20

2.2.2 Lafaz-Lafaz ‘Amm

Berdasarkan hasil penelitian terhadap mufradat (sinonim) dan uslûb (gaya


bahasa) dalam bahasa arab, menunjukkan bahwa lafazlafaz yang arti
bahasanya menunjukkan kepada makna yang umum dan mencakup
keseluruhan satuan-satuannya para ulama ushul mengklasifikasikannya
sebagai berikut: 3

19
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), 196.
20
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996), 184

8
1) Lafaz jamak, seperti: kullu, jamî’, ayyu, ‘âmmah, sâir, kâffah, dan ‫كل راع‬
:Misalnya. qâthabah ‫ خلق لكم ما‬dan ‫ فى األرض جميعا‬. ‫ مسئول عن رعيته‬Dari
sekian lafaz jamak tersebut, lafaz kullu-lah yang paling umum.
2) lafaz mufrad yang dima’rifatkan dengan alif-lam jinsiyah. Contohnya QS.
2:275: ُ‫ ال‬. ْ ‫ب ْي َع َو َح رم‬
َ َ ‫ لَل ََ َل َح َ َوأ ال ر َبا‬Lafaz al-bai’ dan al-ribâ,
keduanya adalah ism mufrad yang dita’rifkan dengan aljinsiyah. Oleh
karena itu keduanya adalah lafas am yang mencakup seluruh satuan-
satuan yang dapat dimasukkan di dalamnya.
3) Lafaz jamak yang dita’rifkan dengan idhâfah. Misalnya QS. 4: ْ1: ‫والد ُ ْكم‬1 َ .
‫ يُو صي ُ ُكم ََ َلَلُ في أ‬Lafaz aulâd adalah lafaz jamak dalam posisi nakîrah.
Akan tetapi karena lafaz tersebut disandarkan dengan lafaz kum, maka ia
menjadi ma’rifah. Karena itu lafaz tersebut menunjukkan seluruh satuan-
satuan yang dapat dimasukkan ke dalamnya.
4) Isim maushûl, seperti: ،‫ما‬. ‫ الذى‬dan ‫ االلئ‬،‫ التى‬،‫ الذين‬Contohnya QS. An-Nur
[24], 4: ُ‫ي ْر ُمو َن ال َوال‬
َ ‫ م ْح َصنَا ت ْ ذي َن‬.
5) Isim syarth, seperti: ‫ من‬،‫ ما‬،‫ أيما‬. Contoh QS. Al-Baqarah [2], 245: ‫ر ُض‬
ََ َََ َ‫لَلَ قَ ْر ًضا ذي ي ُْق َم ْن َذا ال َح َسنًا‬
6) Isim nakirah yang dinafikan. ‫ ال ضرر وال ضرار‬:Contohnya Lafaz. ‫ال هجرة‬
‫ بعد الفتح‬dan dharar dan hijrah adalah isim nakirah. Akan tetapi karena lafaz
tersebut dalam susunan kalimat nafi yaitu didahului dengan lafaz lâ, maka
pengertian kedua kalimat di atas adalah umum, yaitu mencakup segala
pengertian mudharat dan hijrah.

2.2.3 Pengertian Khash

Lafadz khash merupakan lawan dari lafadz ‘am, jika lafadz ‘am
memberikan arti umum, yaitu suatu lafadz yang mencakup berbagai satuan-
satuan yang bnyak, maka lafadz khash adalah suatau lafadz yang menunjukan
makna khusus.21

21
Mohammad Nor Ikhwan, Memahami Bahasa Al-qur’an,( Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 185

9
Khash adalah lawan kata ‘amm, karena itu tidak menghabiskan semua
apa yang pantas baginya tanpa pembatasan. Takhsis adalah mengeluarkan
sebagian apa yang dicakup lafadz ‘amm. Dan mukhashsis (yang
mengkhususkan) ada kalanya muttasil, yaitu yang antara ‘amm dan
mukhashsis tidak dipisah oleh sesuatu hal, dan adakalanya munfasil, yaitu
kebalikan dari muttasil22

Jadi yang dimaksud dengan khash ialah lafadz yang tidak meliputi
mengatakannya sekaligus terhadap dua sesuatu atau beberapa hal tanpa
menghendaki kepada batasan.23

2.2.4 Pembagian Mukhassis

Manna’ Khalil Al-Qattan membagi mukhassin menjadi 2 bagian yaitu


mukhassin muttashil dan mukhassis munfasil. Mukhassis muttashil ada lima
diantaranya :

1. Istisna’ (pengecualian) seperti firman Allah : ‫ت ث ُ َّم لَ ْم‬ ِ ‫صنَا‬ َ ْ‫َوالَّ ِذيْنَ يَ ْر ُم ْونَ ْال ُمح‬
َّ‫ش َهادَة ً أَبَدًا َوأُولَئِكَ ُه ُم الفا َ ِسقُونَ اِال‬ ُ ‫يَأْت ُ ْو ِبأ َ ْر َبعَ ِة‬
َ ‫ش َهدَا َء فَاجْ ِلد ُْو ُه ْم ث َ َمانِيْنَ َج ْلدَة ً َوالَ ت َ ْقبَلُ ْوا لَ ُه ْم‬
ْ‫( الَّ ِذيْنَ تَابُوا‬An-Nur : 4-5)
2. Sifat, misalnya ‫سا ِئ ُك ُم الالَّ ِت ْي دَخ َْلت ُ ْم ِب ِه َّن‬
َ ‫ َو َر َبا ِئبُ ُك ُم الالتي ِف ْي ُح ُج ْو ِر ُك ْم ِم ْن ِن‬lafadz
‫ الالَّتِ ْي دَخ َْلت ُ ْم بِ ِه َّن‬adalah sifat bagi lafadz nisa’ukum. Maksudnya, anak
perempuan istri telah digauliitu haram dinikahi oleh suami, dan halal
bila belum menggaulinya.
3. Syarat, misalnya : َ‫صيَّةُ ِل ْل َوا ِلدَيْن‬ ِ ‫الو‬ َ ‫ض َر أ َ َحدَ ُك ُم ْال َم ْوتُ ا ِْن ت ََركَ َخي ًْر‬
َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم اِذَا َح‬
َ ِ‫ُكت‬
َ‫لى ْال ُمحْ ِسنِيْن‬ ِ ‫( َواالَ ْق َر ِبيْنَ ِبال َم ْع ُر ْو‬al-Baqarah : 180). lafadz َ‫ا ِْن ت ََرك‬
َ ‫ف َحقَّا َع‬
‫( َخي ًْر‬jika ia meninggalkan harta) adalah syarat dalam wasiat. Dan َ‫َو َّال ِذيْن‬
ً ‫َت أ َ ْي َمنُ ُك ْم فَكَاتِب ُْو ُه ْم ا ِْن َع ِل ْمت ُ ْم فِ ْي ِه ْم َخيْرا‬ َ ‫( يَ ْبتَغُ ْونَ ْال ِكت‬an-Nur : 33), yakni
ْ ‫َاب ِم َّما َملَك‬
mengetahui adanya kesanggupan untuk membayar ayau jujur dan
penghasilan.

22
Manna’ khalil Al-Qattan, 319
23
Nazar Bakri, 195

10
4. Ghayah (batas sesuatu), seperti dalam ‫ي‬ ُ ْ‫س ُك ْم َحت َّ ْى يَ ْبلُ َغ ْال َهد‬
َ ‫َوالَ تَحْ ِلقُ ْو ُر ُؤ‬
ْ َ‫(والَ تَ ْق َرب ُْوه َُّن َحتَّى ي‬Al-Baqarah
‫( َم ِحلَّه‬al-Baqarah : 196) dan َ‫ط ُه ْرن‬ َ : 222)
5. Badal Ba’d min kull (sebagian menggantikan keseluruhan) Misalnya
َ ‫ع اِلَ ْي ِه‬
:َ‫س ِب ْيال‬ َ ‫طا‬ ِ ‫اس ِح ُّج ْالبَ ْي‬
َ َ ‫ت َم ِن ا ْست‬ ِ َّ‫( َوهللِ َعلَى الن‬ali Imran : 97) lafadz ‫ع‬ َ َ ‫َم ِن ا ْست‬
َ ‫طا‬
ِ َّ‫الن‬. maka kewajiban haji hanya khusus bagi
adalah badal dari ‫اس‬
mereka yang mampu.24

Mukhassin munfasil adalah mukhassis yang terdapat di tempat lain, baik


ayat, hadis, ijma’ ataupun qiyas. Contoh yang ditakhsis oleh Quran ialah
:‫طلَّقَاتُ يَت ََربَّصْنَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَالَثَةَ قُ ُر ْوء‬
َ ‫( وال ُم‬al-Baqarah : 228). Ayat ini adalah ‘Amm,
mencakup setiap istri yang dicerai baik dalam keadaan hamil maupun tidak,
sudah digauli maupun belum. Tetapi keumuman ini ditakhsis oleh ayat : ُ‫وأوالَت‬
َ َ‫( االَحْ َما ِل أ َ َجلُ ُه َّن اَ ْن ي‬at-Thalaq : 4) dan firmannya ‫ت ث ُ َّم‬
‫ض ْعنَ َح ْم َل ُه َّن‬ ِ ‫اِذَا َن َكحْ ت ُ ُم ْال ُمؤْ ِمنَا‬
ْ ُ ‫طلَّ ْقت‬
‫موه َُّن ِم ْن قَ ْب ِل اَ ْن ت َ َمس ُّْوه َُّن فَ َما َل ُك ْم َع َل ْي ِه َّن ِم ْن ِعدَّة‬ َ (al-Ahzab : 49).

Contoh yang ditakhsis oleh hadis ialah ayat : ‫( َواَ َح َّل هللا البَ ْي َع َو َح َّر َم الّ ِربَا‬al-
Baqarah : 275). Ayat ini di takhsis oleh jual beli yang fasid sebagaimana
disebutkan dalam sejumlah hadis. Antara lain disebutkan dalam kitab sahih
bukhari, dari ibnu umar, ia berkata : “Rasulullah melarang mengambil upah
dari air mani kuda jantan”.

Dalam sahihain diriwayatkan dari ibnu umar bahwa Rasulullah melarang


jual beli kandungan binatang yang mengandung, jual beli seekor unta sampai
unta itu melahirkan, kemudian anaknya itu beranak pula. (redaksi hadis ini
adalah redaksi bukhari). Dan hadis-hadis lainnya.

Dan dari jenis riba didispensasikanlah jual beli ‘ariyah, yakni menjual
kurma basah yang masih di pohon dengan kurma kering. Jual beli ini
diperkenankan (mubah) oleh sunnah.

24
Manna’ khalil Al-Qattan, 319

11
‫ص فِ ْي بَيْعِ ْالعَ َرايَا‬
َ ‫سلَّ َم َر َّخ‬
َ ‫ص َّل هللا َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫س ْو َل هللا‬ ُ ‫ي هللاُ َع ْنهُ أ َ َّنََ َر‬َ ‫ض‬ ِ ‫َع ْن أَبِ ْي ه َُري َْرة َ َر‬
‫سق‬ ُ ‫س ِة أ َ ْو‬
َ ‫سق أَوء فِ ْي َخ ْم‬ ُ ‫س ِة أَ ْو‬
َ ‫رص َها فِ ْي َما د ُْونَ َخ ْم‬
ِ ‫بِ ِخ‬

“Dari Abi Hurairah, Bahwa Rasulullah member keringanan untuk jual


beli ‘ariyah dengan ukuran yang sama jika kurang dari lima wasaq’
(muttafaqun ‘alaihi)25

2.3 Mutlaq dan Muqayyad

2.3.1 Mutlaq

Mutlaq ialah lafaz yang menunjukkan sesuatu yang tidak dibatasi oleh
suatu batasan yang akan mengurangi jangkauan maknanya secara
keseluruhan. Contohnya‫ فَتَحْ ِري ُْر َرقَبَة‬.kata yang digaris bawahi adalah kata
mutlaq. Artinya mencakup budak secara mutlaq. Tidak terbatas satu atau
lebih dan tidak dibatasi apakah budak mukmin ataupun
Kaidah yang berhubungan dengan mutlaq :
‫المطلق يبقى على إطالقه ما لم يقم دليل على تقييده‬
“Hukum mutlaq ditetapkan berdasarkan kemutlakkannya sebelum ada
dalil yang membatasinya.”
َ ‫ َوأ ُ َّم َهاتُ ِن‬....
Contoh: ‫سا ِئ ُك ْم‬
“Dan ibu-ibu dari istri-istrimu”26
Ayat diatas mengandung arti mutlaq, bahwa ibu mertua tidak boleh
dinikahi, baik istrinya (anak ibu mertuanya) itu sudah dicampuri atau belum.
Hukum mutlak ditetapkan berdasarkan kemutlakannya sebelum ada
dalil yang membatasinya.Ketika ada suatu lafadz mutlaq, maka makna
tersebut ditetapkan berdasarkan kemutlakannya. Misalnya dalam surat an-
Nisa:23 yang menjelaskan tentang perempuan-perempuan yang haram
dinikahi laki-laki. Diantara perempuan itu adalah “ibu-ibu istrimu

25
Manna’ khalil Al-Qattan, 320
26
QS An-Nisa: 23

12
(mertua)”.Ayat ini sifatnya mutlak.Keharaman menikahi ibu mertua tidak
memedulikan apakah istrinya sudah digauli atau belum.

Hukum mutlaq yang sudah dibatasi : Lafadz mutlaq tidak boleh


dinyatakan mutlaq jika telah ada yang membatasinya. Jika suatu lafadz
mutlaq telah ditentukan batasannya, maka ia menjadi muqayyad.

Contohnya, ketentuan wasiat dalam Q.S an-Nisa:11 yang lafalnya


masih bersifat mutlaq, tidak ada batasan berapa jumlah yang harus
dikeluarkan. Kemudian ayat tersebut dibatasi ketentuannya oleh hadis yang
menyatakan bahwa wasiat paling banyak sepertiga harta yang ada,
sebagaimana hadis Nabi : “Wasiat itu sepertiga dan sepertiga itu sudah
banyak.“ (H.R.Bukhari dan Muslim)

2.3.2 Muqayyad

Muqayyad adalah lafaz yang menunjukkan sesuatu yang sudah dibatasi


baik oleh sifat, syarat, dan ghayah.Contohnya ‫ َفتَحْ ِري ُْر َرقَبَة ُّمؤْ ِمنَة‬. Kata budak
dalam ayat ini tidak lagi bersifat mutlaq karena sudah dibatasi oleh kata
mukmin.

Hukum muqayyad: ‫المقيد باقى على تقييده ما لم يقم دليل على إطالقه‬

“Lafaz muqayyad tetap dihukumi muqayyad sebelum ada bukti yang


memutlakkannya.”

Contoh, kafarat zhihar (perkataan suami kepada istrinya yang


menyamakan istri dengan ibunya) yaitu memerdekakan budak atau puasa dua
bulan berturut-turut atau kalau tidak mampu ia harus memberi makan
sebanyak 60 orang miskin. Dalam Qs. Al- Mujadalah: 3-4 telah dibatasi
kemutlakkannya maka harus diamalkan hukum muqayyadnya.

13
َ‫ظون‬ ُ ‫ير َرقَبَة ِم ْن قَ ْب ِل أ َ ْن يَت َ َماسَّا ذَ ِل ُك ْم تُو َع‬ ُ ‫سائِ ِه ْم ث ُ َّم َيعُود ُونَ ِل َما قَالُوا فَتَحْ ِر‬
َ ِ‫ظاه ُِرونَ ِم ْن ن‬ َ ُ‫َوالَّذِينَ ي‬
‫ش ْه َري ِْن ُمتَت َابِ َعي ِْن ِم ْن قَ ْب ِل أ َ ْن يَت َ َماسَّا فَ َم ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع‬َ ‫صيَا ُم‬ ِ َ‫) فَ َم ْن لَ ْم يَ ِجدْ ف‬3( ‫ير‬ ٌ ‫َّللاُ بِ َما ت َ ْع َملُونَ َخ ِب‬
َّ ‫بِ ِه َو‬
)4( ‫َّللاِ َو ِل ْلكَافِ ِرينَ َعذَابٌ أ َ ِلي ٌم‬ َّ ُ‫سو ِل ِه َوتِ ْلكَ ُحدُود‬ َّ ِ‫طعَا ُم ِستِّينَ ِم ْس ِكينًا ذَلِكَ ِلتُؤْ ِمنُوا ب‬
ُ ‫اَّللِ َو َر‬ ْ ِ ‫فَإ‬

“Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak


menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan (3). Siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka
(wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya
bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) member makan 40
orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah danRasul-
Nya.Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan
yang sangat pedih.” (QS. Al-Mujadalah: 3-4)

Lafadz muqayyad tetap dihukumi muqayyad sebelum ada bukti yang


memutlakannya.Muqayyad berfungsi membatasi lafal-lafal yang mutlaq.
Lafal muqayyad dianggap tetap muqayyad selama tidak ada bukti yang
menjadikannya bersifat mutlaq.Misalnya,Kifarat zihar. Orang yang telah
melakukan zihar diharuskan membayar kafarat berupa memerdekakan budak
atau puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan sebanyak 60 orang
miskin jika dua yang pertama tidak mampu.karena kemutlakannya telah
dibatasi, maka yang harus diamalkan adalah muqayyad-nya.

Hukum Muqayyad yang dihapuskan batasannya : Lafal Muqayyad jika


dihadapkan pada dalil lain yang menghapus sifat muqayyad-nya, maka ia
menjadi menjadi mutlaq, artinya, Muqayyad tidak akan tetap dikatakan
muqayyad jika ada dalil lain yang menunjukan kemutlakannya

Contohnya, Keharaman menikahi anak tiri mempunyai dua sebab,


yaitu:

14
 Anak tiri dalam pemeliharaan bapak tiri
 ibu dari anak tiri yang dikawininya telah digauli.

Sebab kedua (telah menggauli ibu dari anak tiri) dipandang sebagai hal
yang membatasi, sedangkan alasan pertama hanya mengikuti saja.

Jadi, bila ayah tiri belum menggauli ibu kandung dari anak tiri, maka
anak tiri boleh dinikahi, tentu saja dengan menceraikan terlebih dahulu ibu
dari anak tiri tersebut. Jadi, hukum mengawini anak tiri yang semula haram
(muqayyad) menjadi halal (karena batasan muqayyad telah dihapus).

2.3.3 Hukum Lafadz Mutlaq dan Muqayyad

Jika pada suatu tempat disebutkan dengan lafadz mutlaq, dan ditempat
lain dengan lafadz muqayyad, maka ada empat kemungkinan:

a. Jika Sebab dan hukum sama, maka Mutlaq harus ditarik ke


Muqayyad.Artinya muqayyad menjadi penjelas terhadap Mutlaq.
Kaidahnya adalah: “Mutlaq dibawa ke muqayyad jika sebab dan
hukumnya sama.”
Contoh Mutlaq :“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi.”(QS.Al-Maidah:3)
Contoh Muqayyad: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam
wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.”(QS.Al-
An’am : 145)
Karena kedua ayat tersebut memiliki sebab yang sama yaitu
hendak makan dan berisi hukum yang sama yaitu haramnya darah,
maka hukum mutlaq disandarkan kepada hukum muqayyad, yaitu
hanya darah mengalir yang diharamkan. Sedangkan hati ataupun

15
limpa yang merupakan darah yang tidak mengalir hukumnya halal
dimakan.
b. Jika Sebab dan hukum berbeda, maka masing-masing Mutlaq dan
Muqayyad tetap pada tempatnya sendiri.Artinya muqayyad tidak
menjadi penjelas Mutlaq. Kaidahnya adalah : “Mutlaq tidak
dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya berbeda.”
Contoh Mutlaq : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS.Al-Maidah : 38)
Contoh Muqayyad:“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”(QS.Al-Maidah : 6)
Dalam pada itu, ada hadis Nabi yang menjelaskan bahwa
pemotongan tangan pencuri sampai pergelangan. Contoh mutlaq
surat Al-Maidah:38 menjelaskan tentang potong tangan bagi
pencuri sedangkan contoh muqayyad surat Al-Maidah:6
menjelaskan tentang membasuh tangan sampai siku dalam wudlu.
Kedua ayat ini berlainan sebab, yaitu hendak salat dan pencurian,
dan berlainan pula dalam hukum, yaitu wudhu dan pemotongan
tangan. Karena lafal mutlaq dan muqayyad pada ayat di atas sebab
dan hukumnya berbeda, maka mutlaq tidak dapat disandarkan
kepada muqayyad. Keduanya ditempatkan pada posisinya masing-
masing.
c. Jika Sebab sama sedangkan hukum berbeda, maka masing-masing
Mutlaq dan Muqayyad tetap pada tempatnya sendiri. Kaidahnya
adalah :“Mutlaq itu tidak dibawa ke muqayyad jika yang berbeda
hanya hukumnya.”
Contoh mutlaq :“Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang
baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.”(QS.An-Nisa’ – 43)

16
Contoh Muqayyad : “Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki,”(QS.Al-Maidah : 6)
Muqayyad QS.Al-Maidah:6 tidak bisa menjadi penjelas bagi
mutlaq surat QS.An-Nisa:43, karena keduanya berbeda hukum,
yang dibicarakan,yaitu tayamum pada QS.An-Nisa:43 dan wudhu
pada surat QS.Al-Maidah:6 walaupun sebabnya sama, yaitu
hendak salat atau karena hadas (tidak suci). Tangan bisa diartikan
dari ujung jari sampai pergelangan, atau sampai siku-siku, atau
sampai bahu.
Jika hukum sama sedangkan sebab berbeda, maka dalam hal ini
terdapat dua pendapat :
 Menurut golongan syafi’i, mutlaq dibawa kepada
muqayyad
 Menurut golongan Hanafiyah dan Makiyah, mutlaq tetap
pada tempatnya sendiri, tidak dibawa kepada muqayyad.
Contoh Mutlaq :“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka,
kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka
ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”(QS.Al-Mujadilah : 3)
Contoh Muqayyad : “Dan barangsiapa membunuh seorang
mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman.”(QS.An-Nisa’ : 92)
Kedua ayat tersebut berisi hukum yang sama, yaitu pembebasan
budak sedangkan sebabnya berlainan, surat Al-Mujadalah:3 karena
zihar sedangkan surat an-Nisa:92 karena pembunuhan tidak
sengaja.
Menurut golongan Syafi’i, hamba sahaya dalam kifarat zihar
haruslah hamba sahaya yang beriman, tidak bisa hanya hamba
sahaya saja, karena dalil yang menunjukkan penggabungan ini

17
adalah bahwa hukum kedua kifarat itu sama yakni sama-sama
memerdekakan budak walaupun sebabnya berbeda, maka hamba
sahaya yang dalam pengertian mutalq dibawa kepada hamba
sahaya dalam pengertian muqayyad, yakni hamba sahaya mukmin.
Menurut golongan Hanafiyah dan Malikiyah, pengertian hamba
sahaya dalam kifarat zihar tetap saja diartikan hamba sahaya tidak
berubah menjadi hamba sahaya yang beriman.Dalam artian tidak
ada penggabungan antara pengertian mutlaq dan pengertian
muqayyad. Keduanya memiliki arti masing-masing. Hal ini
didasarkan karena adanya perbedaan sebab antara mutlaq dan
muqayyad, walaupun hukum keduanya sama.

18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hakikat adalah lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada
mulanya. Ibnu qudamah mendefinisikannya sebagai lafaz yang digunakan untuk
sasarannya semula. Sementara al-sarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah
setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk hal tertentu.
Sedangkan pengertian majaz adalah suatu lafad yang digunakan untuk
menjelaskan suatu lafad pada selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks,
karena adanya persamaan atau keterkaitan baik antara makna yang tersurat di
dalam teks maupun maksud yang terkandung di dalam teks tersebut.
‘Amm yaitu suatu lafadz yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu
makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan
sekali ucapan saja.seperti kita katakan arrijal, maka lafadz ini meliputi semua laki-
laki
Lafadz khash merupakan lawan dari lafadz ‘am, jika lafadz ‘am memberikan
arti umum, yaitu suatu lafadz yang mencakup berbagai satuan-satuan yang
banyak, maka lafadz khash adalah suatau lafadz yang menunjukan makna khusus.
Mutlaq ialah lafaz yang menunjukkan sesuatu yang tidak dibatasi oleh suatu
batasan yang akan mengurangi jangkauan maknanya secara keseluruhan.
Muqayyad adalah lafaz yang menunjukkan sesuatu yang sudah dibatasi baik
oleh sifat, syarat, dan ghayah

19
DAFTAR PUSTAKA

Satria effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta:kencana,2008)


Amir Syarifudin,Ushul Fiqih,(Jakarta:Kencana,2011).
Mohammad Nor Ikhwan, Memahami Bahasa Al-qur’an,( Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2002
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996)
Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurthuby, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
(Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2006)
Abu Ja’far an-Nahhas, I’rab Al-Qur’an, (Kairo: Maktabah an-Nahdlah
al‘Arabiyah, 1985),
Abu Muhammad Husain ibn Mas’ud al-Baghawy, Ma’alim al-Tanzil, (Riyadl:
Dar al-Thayyibah, 1412 H)
Abu al-Faraj ibn Al-Jauzy, Zaad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir, (Beirut: al-Maktab al-
Islamy, 1984),
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005),
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996),

20

Anda mungkin juga menyukai