A. Pendahuluan
Setiap lafal mengandung arti dan maksud tertentu yang dapat dipahami seseorang
ketika ia mendengar lafal itu diucapkan atau ketika ia membaca lafal itu dalam tulisan. Ulama
ushul fiqh membagi suatu redaksi/lafal ditinjau dari segi penggunaannya digolongkan kepada
hakikat dan majaz. Untuk menginterpretasikan Qur an dan sunah dalam upaya mendeduksi
ketentuan-ketentuan hukum dari petunjuk-petunjuk yang diberikannya. Bahasa Quran dan
Sunah harus dipahami secara benar agar dapat menggunakan sumber-sumber ini mujtahid
harus mengetahui kata-kata nash dan implikasi-implikasinya secara tepat. Untuk tujuan ini
para ulama ushul fiqh memasukkan klasifikasi kata-kata dan pemakaian-pemakaiannya
kedalam metodelogi Ushul Al-Fiqh.
Biasanya mujtahid tidak akan melakukan interpretasi jika nash itu sendiri sudah
merupakan dalil yang jelas. Tetapi sejauh ini, fiqh sebagian besar memuat ketentuan-
ketentuan yang dirumuskan melalui interpretasi dari ijtihad, sebagaimana nanti akan
dijelaskan.
Dari sudut pemakaian yang sesunguhnya, seperti apakah suatu kata digunakan dalam
makna utamanya, makna harfiyah, makna teknis, ataukah maknanya yang lazim, kata-kata
juga diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama : harfiyah ( haqiqi) dan metaforsis
(majazi)
1
c. Menurut Al-Sarkhasi:
Setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang tertentu.1
Seluruh defenisi tersebut mengandung pengertian tentang hakikah, yaitu: suatu lafaz
yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu. Maksudnya, lafaz itu digunakan
oleh perumus bahasa memang untuk itu. Contohnya seperti kata kursi menurut asalnya
memang digunakan untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki. Meskipun
kemudian kata kursi itu sering digunakan untuk pengertian kekuasaaan, namun tujuan
semula kata kursi bukan untuk itu tetapi tempat duduk.
Sedangkan penggunaan suatu kata untuk sasaran (pengertian) lain dinamai majaz.
Para ulama Ushul juga memberikan defenisi yang beragam tentang majaz. Tetapi semuanya
berdekatan artinya dan saling melengkapi, yaitu:
1. Al-Sarkhisi memberikan defenisi:
Nama untuk setiap lafaz yang dipinjamkan untuk digunakan bagi maksud diluar
apa yang ditentukan.
2. Menurut Ibnu Qudamah:
Lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang
dibenarkan.
3. Defenisi majaz menurut Ibnu Subki:
Lafaz yang digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya keterkaitan.
Dari beberapa defenisi diatas dapat dirumuskan pengertian lafaz majaz tersebut,
yaitu:
a. Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti sebenarnya sebagaimana yang
dikendaki oleh suatu bahasa.
b. Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan
dalam memberi arti kepada apa yang dimaksud.
c. Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang
dipinjamkan dari arti lafaz itu memang ada kaitannya.
Sebelum lebih jauh menjelaskan perincian lafaz hakikat dan majaz, perlu ditegaskan
bahwa suatu lafaz tidak dapat dinilai dan diberi predikat sebagai haqiqat atau majaz, sebelum
digunakan untuk menunjukkan suatu pengertian secara terminologis oleh penggunanya.
Dengan kata lain, jika suatu komunitas menggunakan suatu lafaz sesuai dengan makna
terminologis (istilah), maka lafal tersebut diberi predikat hakikat. Tetapi jika yang mereka
1
Al-Sarakhsi, h.170.
2
maksud bukan terminologinya, maka lafaz tersebut diberi predikat majaz. Pemberian sifat
kepada suatu lafal sebagai hakikat atau majaz, tergantung pula pada komunitas pengguna
lafal tersebut. Makna hakikat atau majaz suatu lafaz dapat dinisbahkan kepada penggunaan
menuru kebahasaan, kesyariahan, kebiasaan masyarakat umum, dan menurut kebiasaan
masyarakat tertentu. Berikut ini beberapa contoh penggunaan lafal berdasarkan makna
hakikat dan majaz.
Dalam Quran surah al-Hajj(22):77:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah
Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
Perintah rukuk dan sujud pada ayat di atas adalah makna hakikat, yaitu rukuk dan
sujud dalam pengertian syara. Demikian juga firman Allah pada surah al-Isra(17):33:
33. Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar[853]. dan barangsiapa dibunuh secara zalim,
Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan[854] kepada ahli warisnya, tetapi
janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang
yang mendapat pertolongan.
Larangan membunuh pada ayat diatas adalah makna hakikat, yaitu menghilangkan
nyawa seseorang.
Adapun contoh majaz yang menunjukkan makna majaz, antara lain dalam surah an-
Nisa(4):43:
Atau kamu datang dari (buang air) atau kau telah menyentuh perempuan, kemudian
kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).
3
Lapal al-ghaith dalam ayat 43 suarat an-Nisa secara hakikat berarti tempat yang rendah.
Kemudian dipakai untuk menunjukkan pengertian buang air (berhadas kecil) secara majaz.2
Hakikat ialah lafal yang digunakan untuk menunjukkan pengertian sesuatu secara
tertentu berdasarkan pengguna yang asli (yang pertama;sejak terbentuknya lafal tersebut).
Dan Majaz adalah suatu lafal yang digunakan untuk menunjukkan suatu pengertian yang
bukan maknanya yang asli (bukan makna ynag pertama; bukan sejak semula).
Dari segi ketetapannya sebagai haqiqah, para ulama membagi haqiqah itu kepada
beberapa bentuk :
1) Haqiqah lughawiyah yang ditetapkan oleh bahasa itu sendiri, yaitu : lafal yang
digunakan pada maknanya menurut pengertian bahasa. Contohnya, kata manusia untuk
semua hewan yang berakal.
2) Haqiqah syariyyah yang ditetapkan oleh syari (pembuat hukum sendiri) yaitu :
lafadz yang digunakan untuk makna yang ditentukan untuk itu oleh syara.
Umpamanya lafaz shalat untuk perbuatan tertentu yang terdiri dari perbuatan dan
ucapan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam.
3) Haqiqah urfiyah khashshah yang ditetapkan oleh kebiasaan suatu lingkungan tertentu,
yaitu :
lafadz yang digunakan untuk arti menurut kebiasaan tertentu yang biasa digunakan
oleh suatu kelompok atau sebagian diantaranya.
Umpamanya istilah ijma yang berlaku di kalangan ahli fiqih.
4) Haqiqah urfiyah ammah yang yang ditetapkan oleh kebiasaan yang berlaku secara
umum, yaitu :
lafadz yang digunakan dalam makna menurut yang berlaku dalam kebiasaan umum.
Umpamanya penggunaan kata dabbah dalam bahasa arab untuk hewan ternak yang berkaki
empat.
2
Adb. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh,( Jakarta: Amzah,2010), h. 299.
4
Hakikat Urfiyah Ammah yang ditetapkan oleh kebiasaan yang berlaku secara umum, yaitu
lafaz digunakan dalam makna menurut yang berlaku dalam kebiasaan umum.
Contohnya : Ad-Dabbah (), maka sesungguhnya hakikatnya secara urf adalah hewan
yang mempunyai empat kaki, maka dibawa pada makna tersebut menurut perkataan ahli urf.
Dan manfaat dari mengetahui pembagian hakikat menjadi tiga macam adalah : Agar kita
membawa setiap lafaz pada makna hakikat dalam tempat yang semestinya sesuai dengan
penggunaannya. Maka dalam penggunaan ahli bahasa lafaz dibawa kepada hakikat
lughowiyyah dan dalam penggunaan syari dibawa kepada hakikat syariyyah dan dalam
penggunaan ahli urf dibawa kepada hakikat urfiyyah.
Macam-macam Majaz
Adapun Majaz Dari segi pembentukannya, bisa dibedakan menjadi 4 bagian antara lain
sebagai berikut:
a. Adapun tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebenarnya. Seandainya
dihilangkan tambahan kata itu, sebenarnya tidak mengurangi arti hakikatnya.
Contahnya: menambahkan makna yang berarti seperti dalam surat asy-syara(42) ayat
11, tidak ada seperti semisal sesuatupun, tanpa kata itupun sebenarnya tidak mengurangi
artinya.[7]
b. Adanya kekurangan dalam susunan suatu kata dari yang sebenarnya dan kebenaran
dari lafaz itu terletak pada yang kurang itu.
Contohnya: dalam surat yusuf (12) ayat 82, tanyakan kampung itu secara makna
hakikat adalah tanyalah penduduk kampung itu. Adanya kekurangan kata penduduk
dalam kata kampung itu menjadikannya sebagai majaz.
c. Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam pengertian, menukar kedudukan
suatu kata.[8]
Contahnya: dalam surat an-Nisa (4) ayat 11. Sesudah mengeluarkan wasiatnya dan
membayar hutangnya. Maksud sebenarnya sesudah membayar hutang dan mengeluarkan
wasiatnya.
d. Meminjamkan kata atau istiarah adalah menambahkan sesuatu dengan
menggunakan (peminjamkan) kata lain.
Contohnya memberi nama si A pemberani dengan singa.
5
Pada dasarnya, dalam percakapan cenderung digunakan kata dengan makna hakikat,
kecuali jika ada sesuatu hal yang memaksa pembicara untuk menggunakan makna majaz.
Untuk itu, pentinglah kiranya melakukan verifikasi apakah pembicara menggunakan makna
majaz atau hakikat sehingga jelaslah perbedaan keduanya. Dalam mengatahui majaz dan
hakikat dapat dilakukan dengan dua cara; normativitas teks atau istidll.
Melalui normativitas teks dapat diketahui secara lugas dari pembicara yang menjelaskan
bahwa ini adalah majaz sedangkan ini hakikat atau dengan menyatakan ini kata dipakaikan
pada tempatnya sementara ini dipakaikan pada selain tempatnya.
Dengan cara istidll, dapat diketahui melalui beberapa cara sebagai berikut:
a. Makna hakikat dapat difahami secara langsung oleh pendengar (tabdur al-ihni)
sementara makna majaz tidak demikian.
b. Suatu kata yang bermakna majzi dapat menerima term negatif (nafi), sementara
pada waktu dan kata yang sama, hakikat tidak menerimanya.
c. Diskontinuitas pada majaz, dalam artian jika suatu kata majaz telah dipakaikan
pada suatu kondisi, maka tidak lagi bisa dipakaikan pada yang lain. Seperti kata nakhlah
yang berarti pohon kurma dipinjam untuk menjelaskan arti laki-laki yang tinggi, maka
tidak lagi dipakaikan pada objek yang lain.
d. Hakikat berlaku pada makna global sementara majaz lebih parsial sebagaimana
pada contoh wasal al-qaryah di atas.
e. Hakikat menerima derifasi kata, seperti kata amara yang bisa menjadi
yamuru dan sebagainya. Jika tidak dapat dipecah sebagaimana di atas, seperti kata
amru, maka ia adalah majaz.3
f. Jika terdapat perbedaan antara term plural dengan singular, maka salahsatunya
adalah majaz.
g. Sebuah kata itu hakikat apabila ada ketergantungan makna kepada yang lain
(taalluq). Sebagai contoh kata qudrah, apabila dimaksudkan dengannya sifat
kekuasaan, maka ia mempunyai ketergantungan makna kepada objek yang dikuasai.
Namun, pada opsi kedua ia juga bisa berarti objek kekuasaan secara langsung, seperti
tumbuhan atau ciptaan lainnya, sehingga ia tak lagi mempunyai ketergantungan makna
(taalluq) kepada yang lainnya. Selain itu, pada dasarnya kata hakikat dapat diketahui
secara simi dari orang yang berbahasa. Ia tidak dapat diketahui dengan analogi (qiys)
3
Amir Syarifuddin h.321
6
sebagaimana biasa dilakukan dalam fiqh dan ushul fiqh. Sementara majaz dapat diketahui
melalui usaha mengenal kebiasaan orang arab dalam penggunaan istirah.
E. Penutup
DAFTAR PUSTAKA
Arufin, Miftahul dan A. Faisal Haq. 1997. Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan
Karim, Syafii. 2001. Fiqih-Ushul Fiqih. Cet. II,. Bandung: Pustaka Satia.
Syarifudin, Amir. 2008. Ushul Fiqih. Jilit 2, Cet. V,. Jakatra: Kencana.
9
Bakry, Nazar. 2003. Fiqih dan Ushul Fiqih, Cet. IV,. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[7]Ibid.
[8]Ibid., h. 252.
[21] Miftahul Arufin dan A. Faisal Haq. Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan Hukum
Islam....., h. 346.
[22] Ibid.
10