Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode untuk bisa mengenali dan
memahami bagaiamana penetapan suatu hukum Islam. Merupakan ilmu yang
membawa para mujtahid dalam mengistinbatkan hukum Islam secara benar dan
dapat dipertanggungjawabkan. Metode penetapan hukum Islam semakin
diperbaharui dengan bertujuan untuk melahirkan kemudhan dan kemaslahatan
bagi umat yang tetap berdasar pada nash.
Perkembangan tersebut salah satunya ditenggarai dengan kemunculan
teori Sadd al-dzari’ah dan Fath al-dzari’ah. Kemunculan Sadd al-dzari’ah dan
Fath al-dzari’ah pada dasarnya dilatarbelakangi oleh kaidah fikih yaitu sarana
yang bisa menyempurnakan perkara wajib maka mengusahakannya adalah
wajib. Namun ranah fikih adalah ranah perbedaan pendapat dengan terus
megalami perkembangan. Salah satu perkembangan ilmu fikih masa sekarang
adalah mengenai fikih muamalah. Lalu bagaimana metode penetapan hukum
Sadd al-dzari’ah dan Fath al-dzari’ah mampu diterapkan dalam fikih
muamalah terutama terkait kasus-kasus muamalah maaliyah mu’ashirah.
Berikut penulis mencoba memberikan pemaparan dan pendeksripsiannya.
B. Perumusan Masalah
1. Apa Pengertian Sadd Al-Dzari’ah dan Fath Al-Dzari’ah?
2. Apa Dasar Syariah Penggunaan Sadd Al-Dzari’ah?
3. Bagaimana Pandangan Ulama Tentang Sadd Al-Dzari’ah dalam Syariah?
4. Bagaiman Kontradiksi Sadd Al-Dzari’ah dengan Dalil-Dalil Syariah
lainnya?
5. Bagaimana Penerapan Kasus-kasus tentang Sadd Al-Dzari’ah dan Fath Al-
Dzari’ah kontemporer?

1
C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Sadd Al-Dzari’ah dan Fath Al-Dzari’ah
2. Mengetahui Dasar Syariah Penggunaan Sadd Al-Dzari’ah
3. Mengetahui Pandangan Ulama Tentang Sadd Al-Dzari’ah dalam Syariah
4. Memahami adanya dalil Kontradiksi Sadd Al-Dzari’ah dengan Dalil-Dalil
Syariah lainnya
5. Mempelajari ketentuan-ketentuan serta batasan yang dijadikan sebagai
landasan dalam penerapan Kasus-kasus tentang Sadd Al-Dzari’ah dan Fath
Al-Dzari’ah kontemporer
D. Manfaat
Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Akademisi
Untuk menambah khazanah pengetahuan, melengkapi dan memberikan
informasi yang berharga mengenai penerapan Sadd Al-Dzari’ah dan Fath Al-
Dzari’ah kontemporer
2. Praktisi
Menambah rujukan kepada para praktisi dalam mengimplementasikan
penerapan Kasus-kasus tentang Sadd Al-Dzari’ah dan Fath Al-Dzari’ah
kontemporer.
3. Mayarakat
Menambah pengetahuan masyarakat, serta memberikan informasi yang
bermanfaat terkait penerapan Kasus-kasus tentang Sadd Al-Dzari’ah dan Fath
Al-Dzari’ah kontemporer

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penerapan Metode Sadd Al-Dzari’ah dan Fath Al-Dzari’ah dalam Ekonomi dan
Keuangan Syariah
1. Pengertian Sadd Al-Dzari’ah dan Fath Al-Dzari’ah

Istilah Sadd Al-Dzari’ah ( ) berasal dari dua lafal sadd dan

al-dzari’ah. Sadd dalam bahasa Arab berarti menutup, sedangkan al-


dzari’ah berarti penyebab atau sarana yang menyebabkan kepada yang
1
haram. Sadd Al-Dzari’ah diartikan sebagai upaya mujtahid untuk
menetapkan larangan terhadap suatu kasus hukum yang pada dasarnya
mubah. Larangan itu dimaksudkan untuk menghindari perbuatan atau
tindakan lain yang dilarang. Metode ini lebih bersifat preventif. Artinya
segala sesuatu yang mubah tetapi akan membawa kepada perbuatan yang
haram maka hukumnya menjadi haram.2

Secara bahasa kata Fath Al-Dzari’ah merupakan gabungan

dua kata yang terdiri dari Fath dan Al-Dzari’ah. Fath dalam bahasa Arab
berarti membuka. Salah satu tujuan adanya pemberlakuan hukum Islam
adalah untuk menghindari kerusakan dan mewujudkan kemaslahatan.
Karena itu terkait dengan sarana atau perantara suatu perbuatan. Jika suatu
perbuatan diduga kuat akan menghasilkan suatu kebaikan dan mewujudkan
kemaslahatan, maka hal apapun yang menjadi sarana atau perantara untuk
mewujudkan perbuatan itu adalah menjadi suatu kewajiban.3 Fath Al-
Dzari’ah adalah sebuah metode hasil pengembangan dari konsep Sadd Al-

1
Oni Sahroni, Ushul Fikih Muamalah Kaidah-Kaidah dan Fatwa dalam Ekonomi Islam,
(Depok:Rajawali Pers:2019), cet.3, h.185
2
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta:Amzah 2013), cet.2, h.142
3
Nurdhin Baroroh, “Metamorfosis “Illat Hukum” dalam Sad Adz-Dzari’ah dan Ftah Adz-
Dzari’ah (Sebuah Kajian Perbandingan)”, Vol.5, No.2, Desember 2017, h.297

3
Dzari’ah yang menjadi sarana, alat atau perantara yang wajib dimunculkan
dan dipakai apabila hasil dari suatu perbuatan adalah kemaslahatan atau
kebaikan.
2. Dasar Syariah Penggunaan Sadd Al-Dzari’ah
a. Al-Qur`an
ۡ ۡ َ َۢ َ ۡ َ َ ‫ذ َ َ ُ ُّ ْ ذ‬ ُ َ ُ ۡ َ َ ‫َ َ َ ُ ُّ ْ ذ‬
)٨٠١(… ‫م‬ ‫ِل‬
‫ع‬ ‫ۡي‬
ٖۗ ِ ِ ‫غ‬‫ب‬ ‫ا‬ ‫و‬‫د‬‫ع‬ ‫ٱَّلل‬ ‫وا‬ ‫ب‬ ‫س‬ ‫ي‬‫ف‬ ِ ‫ٱَّلل‬ ‫ون‬
ِ ‫د‬ ‫ِن‬
‫م‬ ‫ون‬ ‫وَل تسبوا ٱَّلِين يدع‬

Artinya: “Janganlah kamu mencaci orang yang menyembah orang selain


Allah, karena nanti ia akan mencaci Allah secara memusuhi tanpa
pengetahuan”. (QS.Al-An’am:108)

Ayat ini melarang orang Islam memaki dan menghina sembahan orang-orang
musyrik karena dikhawatirkan mereka membalas dengan memaki dan
menghina Allah. Larangan memaki sembahan orang musyrik adalah menutup
jalan agar mereka juga tidak memaki dan menghina Allah.4
b. Hadis

4
Firdaus, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif,
Jakarta:Zikrul 2004 h.119
5
Shahih Muslim, “Bab Ambil yang Halal dan Tinggalkan Syubhat”, Juz 3, h. 1219, No hadis:
1599 (dalam Maktabah Syamilah)

4
Artinya: “Perkara yang halal itu sungguh sudah jelas dan perkara yang
haram juga sungguh sudah jelas. Di antara keduanya ada perkara yang
syubhat (samar-samar)” (HR.Bukhari-Muslim)6

Para ahli ushul fiqih membagi al-dzari’ah menjadi empat kategori yang
dianggap signifikan dengan kemungkinan membawa dampak negatif atau
kerusakan. Adapun pembagian sebagai berikut:7
a. Dzari’ah yang secara pasti membawa kepada mafsadah (kerusakan).
Misalnya menggali sumur di tengah jalan umum yang situasinya gelap atau
kurangnya pencahayaan, para ahli ushul fiqih sepakat menetapkan
keharamannya.8
b. Dzari’ah yang berdasarkan dugaan kuat akan membawa kepada
kerusakan. Misalnya menjual buah anggur kepada orang atau perusahaan
yang memproduksi minuman keras, para ahli ushul fiqih sepakat
menetapkan keharamannya.9
c. Dzari’ah yang kecil kemungkinan membawa kepada kerusakan. Misalnya
menanam dan membudidayakan tanaman anggur, para ahli ushul fiqih
menetapkan kebolehannya.
d. Dzari’ah berdasarkan asumsi biasa akan membawa kepada kerusakan.
Misalnya transaksi jual beli secara tangguh. Berdasarkan asumsi biasa
transaksi jual beli tersebut membawa mafsadah terutama bagi pihak
piutang. Namun para ushul fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan
hukumnya ada yang membolehkan dan ada yang melarangnya.10

Konsep penerapan metode Sadd Al-Dzari’ah dan Fath Al-Dzari’ah


adalah tetap menekankan pada sikap kehati-hatian dalam beramal ketika

6
Oni Sahroni, Ushul Fikih Muamalah Kaidah-Kaidah dan Fatwa dalam Ekonomi Islam,h.187
7
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta:Amzah 2013), cet.2, h.143
8
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2014), cet.7, h.452
9
Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta:Amzah 2013), cet.2, h.142
10
Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta:Amzah 2013), cet.2, h.143

5
menghadapi antara maslahat dan mafsadah. Jika adanya maslahat lebih banyak,
maka boleh dilakukan dan jika adanya mafsadah lebih banyak, maka harus
ditinggalkan.
3. Pandangan Ulama Tentang Sadd Al-Dzari’ah dalam Syariah
Ulama berbeda pendapat dalam menjadikan Sadd Al-Dzari’ah sebagai
dalil hujjah atau penetapan hukum. Berikut pendapat berbagai ulama mengenai
Sadd Al-Dzari’ah:
a. Kalangan Malikiyyah dan Hanabilah menerima Sadd Al-Dzari’ah yang
didasarkan pada surah Al-an’am ayat 108 dan hadis Nabi riwayat Bukhari
dan Muslim, yang melarang pembagian harta warisan kepada anak yang
membunuh bapaknya. Larangan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya
pembunuhan orang tua oleh anak-anak mereka dengan alasan agar segera
memperoleh harta warisan.11
b. Kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Syiah hanya menerima Sadd Al-
Dzari’ah dalam masalah tertentu dan mereka tidak menjadikannya sebagai
dalil dalam masalah-masalah lain. Misalnya Imam Syafi’I membolehkan
seseorang yang uzur seperti sakit atau musafir dapat meninggalkan sholat
jumat dan diganti dengan sholat zuhur. Namun hendaknya orang tersebut
mendirikan sholat zuhur secara diam-diam dan sembunyi agar terhindar dari
fitnah atas tuduhan sengaja meniggalkan sholat jumat.12
c. Kalangan Zhahiriyyah, terutama Ibnu Hazm menolak secara mutlak Sadd Al-
Dzari’ah.13 Kalangan ini memberikan penolakan dengan argumentasi bahwa
konsep dan aplikasi Sadd Al-Dzari’ah merupakan bentuk ijtihadi bi ar-ra’yi
yang tercela.

11
Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, h.120
12
Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, h.120
13
Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta:Amzah 2013), cet.2, h.144

6
4. Kontradiksi Sadd Al-Dzari’ah dengan Dalil-Dalil Syariah lainnya
Ulama yang menolak metode Sadd Al-Dzari’ah secara mutlak adalah
ulama Zhahiriyyah terutama Ibnu Hazm. Penolakan itu dikemukakan
berdasarkan dalil-dalil berikut:14
a. Dalam hubungannya dengan Sadd Al-Dzari’ah dalam bentuk kehati-hatian
yang ditetapkan hukumnya dengan nash atau ijma’, hanyalah hukum
pokonya, sedangkan hukum pada washilah (perantara) atau dzari’ah tidak
pernah ditetapkan okeh nash atau ijma’. Oleh itu cara seperti ini ditolak
berdasarkan firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 116:
ََ ْ َُ َِۡ ٞ َ َ َ َ َ ٞ َ َ َ َ َ َ ۡ ُ ُ َُ َۡ ُ َ َ ْ ُ َُ ََ
‫وَل تقولوا ل ِما ت ِصف ألسِنتكم ٱلكذِب هَٰذا حلَٰل وهَٰذا حرام ِّلفَتوا لَع‬

َ ۡ َ َ َ ۡ ‫ذ ۡ َ َ ذ ذ َ َۡ َُ َ ََ ذ‬
)٨٨١( ‫ِب َل ُيفل ُِحون‬
‫ِب إِن ٱَّلِين يفَتون لَع ٱَّللِ ٱلكذ‬
َۚ ‫ٱَّلل ِ ٱلكذ‬

Artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut


oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-
adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”.

Dengan argumentasi di atas Zhahiriyyah dengan tegas menolak Sadd


Al-Dzari’ah berdasarkan dalil yang berlawanan dengan konsep metode Sadd
Al-Dzari’ah.15
b. Penolakan dengan argumentasi bahwa konsep dan aplikasi Sadd Al-Dzari’ah
merupakan bentuk ijtihadi bi al-ra’yi yang tercela. Dan bahwa penetapan
hukum kehalalan dan keharaman sesuatau didasarkan atas dalil qath’iy tidak
bisa dengan dalil zanniy. Sedangkan Sadd Al-Dzari’ah merupakan penetapan
hukum berdasarkan dalil zanniy.16
Sesuai dengan surah An-Najm ayat 28:

14
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2014), cet.7, h.456
15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2014), cet.7, h.457
16
Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta:Amzah 2013), cet.2, h.146

7
َ ۡ ‫ٱلظ ذن ََل ُي ۡغِن م َِن‬
ۡ‫ٱۡل ِق َشٔا‬ ‫ذ ذ‬
‫… ِإَون‬
.)٨١( ِ ِ
artinya “Sesungguhnya zann itu tidak memadai bagi kebenaran sedikitpun”.
(QS.An-Najm:28)

5. Kasus-kasus tentang Sadd Al-Dzari’ah dan Fath Al-Dzari’ah kontemporer:

a. Larangan Riba Fadhl pada Transaksi Valuta Asing (Valas)


Diskusi mengenai hukum jual beli mata uang atau Sharf atau Valuta
Asing banyak dikaji dan dijelaskan pada bagian riba, terutama diskusi
mengenai harta ribawi dalam hal pertukaran emas dengan emas dan
pertukaran perak dengan perak. Ulama menjelaskan bahwa ‘illat hukum
pertukaran dua jenis harat ribawi tersebut adalah al-nuqud atau al-
tsamaniyah (uang).17 Fatwa DSN MUI telah menetapkan ketentuan
mengenai jual beli mata uang dalam fatwa Nomor 28 tahun 2002 dan
substansi yang terkandung didalam fatwa tersebut terdapat dua perbedaan
substansi, yaitu yang bersifat normatif atau harus berdasarkan pada
peraturan dan prinsip-prinsip jual beli mata uang secara hukum Islam.
Pertama, sebab pada prinsipnya jual beli mata uang itu dibolehkan dengan
ketentuan:18
1.1 Tidak untuk spekulasi atau untung-untungan
1.2 Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
1.3 Jika transaksi dilakukan pada mata uang sejenis, maka nilainya
haus sama dan harus secara tunai

17
Jaih.Mubarak,Hasanudin, Fikih Muamlah Maaliyah Akad Jual Beli, (Bandung:Simbiosa
Rekatama Media, 2017), cet.2, h.110
18
Fikih Muamlah Maaliyah Akad Jual Beli, h.110

8
1.4 Jika transaksi dilakukan pada mata uang berlainan jenis, maka
harus mengikuti (kurs) atau nilai tukar yang berlaku pada saat itu
dan harus dilakukan secara kontan.
Kedua, jual beli mata uang pada prinsipnya boleh, dengan ketentuan secara
mekanisme yang dibolehkan hanya untuk mekanisme transaksi spot.
Transaksi spot yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang
penyerahannya dilakukan pada saat itu atau penyelesaiannya paling lambat
jangka waktu dua hari yang tidak bisa dihindari sebab merupakan transaksi
internasional.19

Jadi, Transaksi jual beli Valuta Asing hukum asalnya adalah


dibolehkan, asal memenuhi ketentuan normatif dan mekanisme dalam
Fatwa DSN MUI yang berdasar pada nash (Al-Qur`an dan Hadis) dan
Ijma’. Dalam kasus hukum ekonomi syariah kontemporer ini, metode Fath
Al-Dzari’ah mengisyaratkan urgensinya. Sebab larangan riba fadhl sebagai
hukum pokok memang termaktub dalam nash dan tidak mungkin bisa
bergeser hukum awalnya. Sedangkan jual beli valas spot sebagai
dzari’ah dalam konteks ini merupakan perbuatan yang diduga kuat akan
menghasilkan suatu kebaikan atau menjadi washilah kemaslahatan untuk
transaksi perekonomian dunia. Transaksi jual beli valas spot termasuk
dalam kategori Dzari’ah yang kecil kemungkinan membawa kepada
kerusakan, sebab bertujuan bukan untuk spekulasi dan terhindar dari riba
fadhl. Sehingga transaksi jual beli valas dengan mekanisme spot boleh
dilakukan sesuai penetapan hukum dengan metode Fath Al-Dzari’ah.
b. Larangan Jual Beli al-Inah
Para ulama menafsirkan bai’ al-inah yaitu seseorang membeli barang
secara tidak tunai, dengan kesepakatan bahwa pembeli akan menjualnya

19
Ahmad Ifham Sholoihin,Zukhrufah az-Zahra, Masterpiece Ngaji Bisnis Zaman Now,
(Jakarta:Rafikatama,2019), h.130

9
kembali kepada penjual dengan harga lebih kecil secara tunai. 20 Bai’ al-
inah termasuk transaksi yang dilarang sesuai dengan hadis Rasulullah Saw.
yaitu “Apabila manusia kikir akan dinar dan dirham, melakukan bai’ al-
inah, mengikuti ekor-ekor sapi dan meninggalkan jihad di jalan Allah,
maka Allah Swt. akan menurunkan musibah dan tidak akan menarik
kembali kecuali mereka kembali komitmen dengan agama mereka”
(HR.Imam Ahmad).
Larangan di atas memiliki maqasid untuk menghindarkan dari transaksi
hilah ribawiyah (manipulasi) yaitu melakukan praktik riba atau praktik
simpan pinjam berbunga dengan modus jual beli.21 Jadi dalam kasus ini
larangan jual beli ‘inah terimplementasi dalam metode sadd al-dzari’ah.
Sebab hukum asal jual beli adalah boleh, namun ada dzari’ah yang secara
pasti membawa kepada mafsadah (kerusakan) berupa praktik riba.
c. Murabahah Lil Al-Aamir bi Syira’
Saat akad murabahah dipraktikkan di lembaga keuangan syariah, akad
murabahah tidak lagi merupakan akad yang berdiri sendiri. Pada umumnya
akad murabahah digandengkan dengan al-wa’ad (janji) dan al-wakalah
(pemberian kuasa). Penggandengan akad secara paralel ini disebut ‘aqd
murabahah li al-aamir bi-al-syira’ yang secara harfiah berarti akad
murabahah yang disertai dengan perintah membeli.
Jika dalam fatwa DSN MUI tentang murabahah, LKS dalam
mempraktikkan akad murabahah lebih bersifat hati-hati. Artinya LKS
harus mewakalahkan kepada nasabah untuk membeli objek murabahah
terlebih dahulu sebelum adanya akad murabahah, sebab LKS tidak boleh
menjual barang. Maka berbeda dengan akad Murabahah Lil Al-Aamir bi
Syira (standar syari) yang setelah adanya al-wa’d lalu langsung melakukan
akad murabahah dan dilanjutkan dengan akad wakalah untuk pembelian
objek murabahah oleh nasabah. Berarti objek murabahah belum menjadi

20
Ushul Fikih Muamalah Kaidah-Kaidah dan Fatwa dalam Ekonomi Islam,h.189
21
Ushul Fikih Muamalah Kaidah-Kaidah dan Fatwa dalam Ekonomi Islam,h.190

10
milik LKS pada saat akad murabahah dilangsungkan.22 Pada dasarnya
kedua mekanisme murabahah disertai perintah pemberian kuasa di atas
adalah dibolehkan.
Mengenai kedudukan hukum praktik Murabahah Lil Al-Aamir bi Syira
ulama kontemporer berbeda pendapat ada yang membolehkan dan ada
yang melarang. Namun mayoritas ulama membolehkan praktik ini, sebab
melihat kepada kemaslahatan yang dihasilkan. Awalnya tujuan utama
adanya Murabahah Lil Al-Aamir bi Syira adalah sebagai perantara untuk
menghindari bunga bank.23 Lalu semakin berkembang dan menjadi praktik
pembiayaan yang paling diminati oleh nasabah di LKS karena manfaat
yang dihasilkan.
Jadi sesuai dengan metode penetapan hukum Fath Al-Dzari’ah yaitu
membuka atau memberikan jalan untuk perbuatan, dalam hal ini
Murabahah Lil Al-Aamir bi Syira sebagai sarana yang menghasilkan
kemaslahatan. Dan pastinya menghindari kerusakan yaitu menghindari
praktik bunga bank.
d. Larangan Ba’i Tawarruq bil Wadiah untuk Keperluan Dana Cash
Kata al-tawarruq berasal dari kata waraqa yang berarti kertas atau warq
yang berarti mata uang. Namun, pengertiannya secara bahasa tidak begitu
relevan dengan pengertiannya secara istilah. Menurut Rafiq Yunus al-
mishri Ba’i Tawarruq adalah jual beli mirip dengan jual beli ‘inah, tetapi
pembeli pada jual beli kedua adalah pihak lain (bukan penjual pada jual
beli pertama).24
Para ulama salaf memiliki pandangan yang berbeda-beda ada yang
membolehkan ada yang tidak.
Ulama yang melarang ba’i tawarruq memiliki pendapat bahwa ba’i
tawarruq sama dengan ba’i ‘inah. Persamaannya terletak pada motif utama

22
Fikih Muamlah Maaliyah Akad Jual Beli, (Bandung:Simbiosa Rekatama Media, 2017), cet.2, h.224
23
Hary Hoiruman Abdillah, Jurnal Hukum, “Murabahah Lil Al-Aamir bi Syira and its
Implementation in Concept of Finance at Sharia Financial Institutions in indonesia”, h.11
24
Fikih Muamlah Maaliyah Akad Jual Beli, h.200

11
pelaku yaitu untuk mendapatkan hutangan uang. sehingga ulama
berpandangan bahwa ini hanyalah sebuah siasat untuk menghindari riba.
Pelaku mendapatkan hajatnya yaitu memperoleh pendapatan berasal dari
utang. Tetapi utang yang didapat merupakan utang di salah satu pihak
menerima kelebihan dan dipihak lain mendapatkan kekurangan.
Pengurangan atau selisih antara kelebihan dan kekurangan dari pihak-pihak
tersebut ini menyerupai riba.25
Jadi, jika kasus ini terkonsep dalam sebuah metode penetapan hukum,
maka metode sadd al-dzari’ah menjadi metodenya. Karena Sebab hukum
asal jual beli adalah boleh, namun ada dzari’ah yang secara pasti membawa
kepada mafsadah (kerusakan) berupa praktik riba.
e. Keniscayaan Manajemen Resiko Ilmu Akuntansi dalam Praktek Perbankan
dan LKS
Penerapan sistem manajemen resiko pada pebankan syariah sangat
diperlukan. Baik untuk menekan kemungkinan terjadinya kerugian akibat
resiko maupun memperkuat struktur kelembagaan. Beberapa alasan bahwa
penerapan manajemen resiko ilmu akuntansi adalah sebuah keniscayaan
dalam perbankan dan LKS, yaitu pertama bank merupakan perusahan jasa
yang pendapatannya diperoleh dari interaksi dengan nasabah sehingga
pasti ada resiko. Kedua untuk mengetahui, mengantisipasi dan mampu
mengambil tindakan terhadap nasabah bermasalah. Ketiga untuk
menumbuhkan pengawasan yang berfungsi penting dalam sistem
operasional perbankan dan LKS.26
Jadi, urgensi adanya metode penetapan hukum fath al-dzari’ah dapat
terimplementasi dalam kebolehan atau keniscayaan adanya Manajemen
Resiko Ilmu Akuntansi dalam Praktek Perbankan dan LKS. Sebab dengan
membuka jalan atas perbuatan yang baik berupa adanya manajemen resiko

25
Muhammad syamsudin, “Mengenal Akad Tawarruq dalam Hukum Islam”, Pegiat Kajian
Fiqih Terapan, 2017
26
Tasriani dan Andi Irfan, “Penerapan dan Pengelolaan Manajemen Resiko dama Industri
Perbankan Syariah”, Vol.12, No.1, Juni 2015, h.2

12
terhadap perbankan terdapat dugaan kuat dan secara pasti akan
menghasilkan kemaslahatan yaitu hadirnya perbankan yang sehat. Dan
bagi nasabah adanya manajemen resiko mampu memberikan bagi hasil
yang lebih baik serta keamanan dalam menggunakan jasa bank.
f. Larangan Forward, Swap dan Options pada Sharf
Jual beli sharf (mata uang) dengan mekanisme Forwad, Swap dan
Options termasuk jual beli sharf yang dilarang. Sebab ketiganya memiliki
unsur maysir (spekulasi), karena terkait adanya harga yang diperjanjikan
dan waktu penyerahan objek jual beli di masa yang akan datang. 27 Pada
dasarnya hukum jual beli sharf adalah dibolehkan, namun jika ada
perbuatan yang menjadi perantara kepada hasil berupa keharaman maka
harus dihindari.
Jadi adanya larangan jual beli sharf dengan mekanisme forwad, swap
dan option menerapkan metode penetapan hukum dengan Sadd Al-
dzari’ah. Yaitu ketiga mekanisme jual beli sharf tersebut sebagai Dzari’ah
yang secara pasti membawa kepada mafsadah (kerusakan). Mafsadah yang
harus ditutup atau dihindari berupa adanya riba fadhl dan unsur spekulasi.
g. Larangan Kombinasi Akad Qardh dan Ijarah
Para ulama telah menyepakati larangan terhadap multiakad antara jual
beli dan qardh dalam satu transaksi sesuai dengan larangan nash dalam
hadis Rasulullah Saw. Semua akad yang yang mengandung unsur jual beli
dilarang untuk dihimpun dengan qardh dalam satu transaksi, seperti antara
qardh dan ijarah. Para ulama berpandangan bahwa kombinasi akad-akad
tersebut menimbulkan ketidakjelasan harga dan menjerumuskan riba, pada
hakikatnya tidak terjadi jual beli dalam transaksi tersebut.28
Jadi, larangan kombinasi akad qardh dan ijarah merupakan hasil
dengan penerapan metode saad al-dzari’ah. Dengan maksud mencegah

27
Masterpiece Ngaji Bisnis Zaman Now, h.110
28
Yosi Aryanti, “Multi Akad di Perbankan Syariah Perspektif Fiqih Muamalah”, Jurnal Ilmiah
Syari’ah, Vol.15.No.2, 2016, h.181

13
perbuatan yang menjadi sarana kepada mafsadah dengan timbulnya
ketidakjelasan harga dan adanya riba.
h. Larangan Mengiklankan Minuman Keras
Dalam Islam hukum mengenai minuman keras disamakan dengan
khamr, yaitu haram sesuai dengan yang tercantum dalam nash. Minuman
keras dilarang dalam Islam karena memiliki banyak mudharat atau akibat
buruk yang dapat ditimbulkan. Secara hukum positif minuman keras pun
dianggap banyak menimbulkan akibat buruk. Sehingga hukum positif juga
memiliki peran penting dalam mengantisipasi bahaya dari minuman keras.
Salah satunya dengan melarang iklan mempromosikan minuman keras
diberbagai media promosi khususnya melalui media penyiaran. Sebab
iklan merupakan media yang sering bersentuhan langsung dengan generasi
muda.
Jadi, adanya iklan untuk minuman keras menjadi salah satu sarana atau
perantara yang sudah secara pasti menghasilkan kepada kerusakan.
Sehingga wajib hukumnya pelarangan terhadap iklan minuman keras.
i. Larangan Minum Minuman Keras dengan Jumlah Sedikit
Pelarangan minuman keras dalam Islam sudah jelas tercantum dalam
nash. Begitupun dengan mayoritas ulama, apapun yang apabila diminum
atau digunakan dalam keadaan normal oleh seseorang yang normal lalu
memabukkan maka ia adalah khamr dan ketika itu hukumnya haram, baik
sedikit ataupun banyak. Pelarangan minuman keras baik dalam jumlah
sedikit ataupun banyak bukan tanpa alasan, sebab dampak kerusakan oleh
minuman keras sangat besar, terutama mampu merusak perilaku remaja
dan dewasa.29
Minum - minuman keras baik dalam jumlah sedikit maupun banyak
menjadi dzari’ah yang mampu membawa dampak negatif atau kerusakan.

29
Taufikin, “Hukum Islam Tentang Minuman Keras Pencegahan dan Penaggulangan Perilaku
Minuman Keras”, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam”, Vol.6,No.2, 2015, h.485

14
Sehingga penyebab tersebut harus dicegah dengan penerapnnya dalam
metode sadd al-dzari’ah.
j. Larangan Bunga dalam Jumlah sedikit yaitu 1-3%
Mayoritas ulama sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena itu
hukumnya adalah haram. Begitu pula dengan bunga yang diterapkan dalam
perbankan. Dalam praktik sehari-harinya sistem bunga yang ada di
perbankan konvensional cenderung msenyerupai atau bahkan sama dengan
riba.
Mengenai larangan bunga dalam jumlah sedikit atau banyak, Yusuf al-
Qardhawi dan Al-Syirbashi berpendapat bahwa bunga bank konvensional
yang didapatkam seseorang yang melakukan penyimpanan uang di bank
adalah riba tanpa melihat banyak sedikitnya bunga yang diperoleh tersebut.
Islam tegas yang namanya haram walaupun sedikit berarti tetap haram.
Kecuali dalam keadaan darurat maka agama membolehkan meminjam
uang di bank konvensional.30
Hukum asal riba adalah haram dan transaksi melalui bank konvensional
dan mengharapkan bunga walaupun hanya 1% merupakan dzari’ah yang
secara pasti menghasilkan kepada mafsadah, maka harus dihindari sesuai
dengan metode sadd al-dzari’ah.
k. Menjual Senjata Kepada Kelompok Musuh
Pada dasarnya perbuatan menjual senjata itu tidak ada larangannya
dalam syariat atau mubah. Berbeda halnya jika perbuatan dilakukan di
daerah-daerah konflik, maka dapat terindikasi seperti memberi bantuan
kepada pembelinya untuk memerangi kelompok lainnya.31 Apalagi jika
perbuatan menjual senjata diperuntukan kepada kelompok musuh, maka
menjadi dzari’ah atau perantara kepada kerusakan seperti semakin

30
Abdul Haris, Muhammad Tho’in, Agung Wahyudi, “Sistem Perbankan Berlandaskan Bunga,
Analisis Bunga Bank Riba atau Tidak”, Vol.13, No.1, 2012, h.25
31
Fikih Muamlah Maaliyah Akad Jual Beli, (Bandung:Simbiosa Rekatama Media, 2017), cet.2,
h.91

15
memperparah konflik yang sedang berlangsung dan untuk membunuh
lawan konfliknya, maka harus diterapkan metode penetapan hukum sadd
al-dzari’ah.
Dalam hal ini dapat dianalogikan seperti menjual suatu objek halal,
namun objek halal tersebut digunakan untuk perbuatan terlarang. Sebab
jual beli senjata yang tujuannya sudah diketahui untuk dipergunakan
kelompok musuh, maka menjadi tidak sah, terlarang dan hukumnya haram.
l. Larangan Iklan dengan Tampilan Porno
Iklan merupakan hal yang sering kita jumpai baik di media cetak
maupun media elektronik. Dan setiap produsen selalu menyuguhkan iklan
yang menarik perhatian konsumen. Dan salah satu hal terlarang yang
menjadi syarat dari iklan adalah menampilkan iklan dengan unsur
pornografi, sebab telah bertentangan dengan etika periklanan.32 Dan yang
terpenting adalah dampak buruk yang dihasilkan bagi konsumen yang
melihat iklan tersebut, khususnya remaja dan anak di bawah umur.
Ketika iklan adalah perbuatan yang dibolehkan, tetapi di sisi lain ada
perbuatan lain yang menjadi perantara kepada keburukan yaitu adanya
konten porno dalam periklanan. Maka dzari’ah tersebut harus ditinggalkan
atau dicegah.
m. Larangan Kartu Kredit Syariah Bagi Orang yang Belum Layak
Dalam Fatwa DSN MUI tentang Syariah Card menyebutkan salah satu
ketentuan tentang batasan Syariah Card yaitu pemegang kartu utama harus
memiliki kemampuan finasial untuk melunasi pada waktunya. Jika ada
calon nasabah yang tidak sesuai ketentuan itu, maka dikategorikan orang
yang belum layak. Kategori orang yang belum layak juga dapat dilihat latar
belakangnya seperti perilaku kejujuran, perilaku pembelian khususnya
keadaan finansialnya.

32
Setyowati Subroto, “Etika Periklanan”, Vol.13, No.2, 1998, h.3

16
Pelarangan ini dimaksud untuk mencegah terjadinya kemudharatan di
masa yang akan datang baik untuk pihak lembaga keuangan syariah
maupun pihak calon nasabah.
n. Larangan Pemberian Ujrah Bagi Rekruitmen Members (Up Line) yang
Tidak Wajar
Salah satu daya Tarik dalam bisnis dengan sistem rekruitmen member
adalah passive income. Artinya jika seseorang yang telah mencapai skema
tinggi dalam bisnis ini lalu berhasil melakukan rekruitmen member, maka
seseorang tersebut boleh mendapat komisi atau bonus atau ujrah secara
pasif tanpa melakukan pembinaan atau penjualan barang dan atau jasa.33
Dalam fatwa DSN MUI tentang Penjualan Langsung Berjenjang
Syariah pada point 7 mensyaratkan bahwa “tidak boleh ada komisi atau
bonus atau ujrah secara pasif tanpa melakukan pembinaan atau penjualan
barang dan atau jasa”. Artinya dalam fatwa tersebut bahwa komisi atau
bonus yang diberikan harus dari hasil prestasi kerja terkait dengan nilai
hasil penjualan barang atau produk jasa. Bukan karena hal yang tidak
wajar, seperti kegiatan memberikan komisi atau bonus dari hasil perekrutan
member yang baru bergabung.
Jadi larangan pemberian ujrah bagi rekruitmen member yang dianggap
tidak wajar, jika didalamnya terdapat money game yang mengandung unsur
gharar, maisir, zhalim dan pertaruhan. Dan adanya unsur-unsur yang
dilarang tersebut dalam suatu kegiatan bisnis menjadi perantara kepada
kerusakan. Sehingga adanya kegiatan bisnis yang memiliki unsur terlarang
tersebut harus dihindari dan dicegah.
o. Keharusan Bukti Transaksi Bagi Bank yang Mau Valas di atas 100
Adanya keharusan Bukti Transaksi Bagi Bank yang Mau Valas di atas
100 memiliki tujuan memperkuat upaya kehati-hatian suatu bank melalui
pengenalan nasabah. Sebagai upaya memenuhi kepentingan investor

33
Masterpiece Ngaji Bisnis Zaman Now, h.445

17
terhadap kebutuhannya di luar negeri, sehingga setiap transaksi oleh
nasabah diketahui oleh bank dan dapat dipertanggungjawabkan melalui
keharusan bukti transaksi tersebut.
p. Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh tentang Sadd Al-dzari’ah dan Fath Al-dzari’ah
1.1 Dasar pegangan ulama untuk menggunakan Sadd Al-dzari’ah adalah
kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara
maslahat dan mafsadah. Bila maslahat yang lebih banyak maka harus
dilakukan, namun bila mafsadah yang lebih banyak maka harus
ditinggalkan. Bila sama kuat diantara keduanya, maka untuk menjaga
kehati-hatian harus diambil prinsip yang berlaku, sesuai kaidah:34

Menolak kerusakan diutamakan ketimbang mengambil kemaslahatan.

Berikut merupakan kaidah dasar yang berangkat dari prinsip kaidah di


atas,(sebelumnya):

Setiap hal/urusan/perkara apabila dalam pelaksanaannya


menggunakan sarana atau washilah yang dilarang (dalam
penggunaannya), maka hal/urusan/perkara tersebut juga merupakan
sesuatu yang dilarang.

34
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2014), cet.7, h.455
35
Nurdhin Baroroh, “Metamorfosis “Illat Hukum” dalam Sad Adz-Dzari’ah dan Ftah Adz-
Dzari’ah (Sebuah Kajian Perbandingan)”, Vol.5, No.2, Desember 2017, h.295

18
Bila antara yang halal dan haram bercampur, maka prinsipnya
dirumuskan dalam kaidah:

Bila berbaur yang haram dengan yang halal, maka yang haram
mengalahkan yang halal.

Sadd al-dzari’ah bisa disandarkan kepada kedua kaidah ini, karena dalam
sadd al-dzari’ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari, juga
keyakinan pada perkara yang akan membawa kerusakan. Dari pemaparan
di atas, maka pengertian metode ini adalah sebuah pelarangan terhadap
saesuatu perbuatan yang mengarah kepada perkara-perkara yang dilarang
yang dapat berakibat pada kerusakan atau bahaya.

1.2 Fath Al-dzari’ah adalah sebuah metode hasil pengembangan dari konsep
Sadd Al-dzari’ah yang bermakna washilah atau perantara yang wajib
dimunculkan dan dipakai apabila hasil suatu perbuatan yang
menggunakan perantara ini adalah kebaikan.

Kaidah dasar dari metode ijtihad ini adalah:

Apabila pelaksanaan suatu kewajiban tidak bisa sempurna tanpa


disertai adanya keberadaan suatu hal lain, maka hal yang lain itu
pun (menjadi) wajib untuk diadakan

36
“Metamorfosis “Illat Hukum” dalam Sad Adz-Dzari’ah dan Ftah Adz-Dzari’ah (Sebuah
Kajian Perbandingan)”,h.297

19
Perintah untuk melaksanakan sesuatu berkaitan juga dengan
perintah untuk mengadakan sarana, alat atau washilah, terkait
pelaksanaan perintah tersebut.

20
BAB III

PENUTUP

Metode ijtihad sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah merupakan salah


satu bentuk keluasan inteletualitas ilmu fiqih yang telah diwariskan ulama
secara turun menurun. Keberadaannya bersifat preventif, fleksibel dan solutif
karena membantu memberikan penyelesaian melalui penetapan hukum sesuai
prinsip syariah dan mengikuti perkembangan zaman.Fath Al-dzari’ah adalah
sebuah metode hasil pengembangan dari konsep Sadd Al-dzari’ah yang
bermakna washilah atau perantara yang wajib dimunculkan dan dipakai apabila
hasil suatu perbuatan yang menggunakan perantara ini adalah kebaikan
Konsep penerapan metode Sadd Al-Dzari’ah dan Fath Al-Dzari’ah
adalah tetap menekankan pada sikap kehati-hatian dalam beramal ketika
menghadapi antara maslahat dan mafsadah. Jika adanya maslahat lebih banyak,
maka boleh dilakukan dan jika adanya mafsadah lebih banyak, maka harus
ditinggalkan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Aryanti.Yosi, 2016, “Multi Akad di Perbankan Syariah Perspektif Fiqih


Muamalah”, Jurnal Ilmiah Syari’ah
Baroroh.Nurdhin, 2017 “Metamorfosis “Illat Hukum” dalam Sad Adz-Dzari’ah
dan Fath Adz-Dzari’ah (Sebuah Kajian Perbandingan)”
Asmawi, 2013. Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah
Firdaus, 2004, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam
Secara Komprehensif, Jakarta: Zikrul
Hoiruman.Hari Abdillah, Jurnal Hukum, “Murabahah Lil Al-Aamir bi Syira
and its Implementation in Concept of Finance at Sharia Financial
Institutions in Indonesia”,
Ifham Sholoihin Ahmad.Zukhrufah az-Zahra, 2019, Masterpiece Ngaji Bisnis
Zaman Now, Jakarta: Rafikatama
Mubarak.Jaih, Hasanudin, 2017, Fikih Muamlah Maaliyah Akad Jual Beli,
Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2017
Oni Sahroni, 2019, Ushul Fikih Muamalah Kaidah-Kaidah dan Fatwa dalam
Ekonomi Islam, Depok: Rajawali Pers
Setyowati Subroto, 1998, “Etika Periklanan”
Shahih Muslim, “Bab Ambil yang Halal dan Tinggalkan Syubhat”, Juz 3, h.
1219, No hadis: 1599 (dalam Maktabah Syamilah)
Syamsudin.Muhammad, “Mengenal Akad Tawarruq dalam Hukum Islam”,
Pegiat Kajian Fiqih Terapan,
Syarifuddin.Amir, 2014, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana 2014
Tasriani dan Andi Irfan, “Penerapan dan Pengelolaan Manajemen Resiko dama
Industri Perbankan Syariah
Taufikin, “Hukum Islam Tentang Minuman Keras Pencegahan dan
Penaggulangan Perilaku Minuman Keras”, Jurnal Pemikiran Hukum
dan Hukum Islam
Setyowati Subroto, “Etika Periklanan”, Vol.13, No.2, 19

22
23

Anda mungkin juga menyukai