DISUSUN OLEH :
NAMA : KHOLIFI
NIM : 2281131880
KELAS : A 38
2. Istihsan
JAWABAN
1) Kaidah Ushuliyyah:
Kaidah ushuliyyah merupakan prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan
hukum Islam. Kaidah-kaidah ini membantu dalam interpretasi dan
penarikan hukum dari sumber-sumber utama Islam, seperti Al-Qur'an dan
Hadis. Beberapa kaidah ushuliyyah yang terkenal antara lain:
a) Al-'Illah (Penyebab): Kaidah ini menekankan identifikasi penyebab
atau rasionalitas di balik hukum-hukum Islam.
Contoh: Dalam hukum riba, al-'illah (penyebab) mungkin adalah
menghindari ketidaksetaraan ekonomi atau keadilan sosial.
b) Al-Maqsad al-Shari'ah (Tujuan Syariah): Hukum Islam diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, seperti menjaga agama, jiwa,
akal, harta, dan keturunan.
Contoh: Hukum-hukum yang melarang konsumsi alkohol dan riba
dapat dijelaskan dengan tujuan menjaga jiwa dan harta.
c) Al-'Adl (Keadilan): Prinsip keadilan sangat penting dalam hukum
Islam, dan kaidah ini menuntut penerapan keadilan dalam setiap aspek
kehidupan.
Contoh: Dalam hukum waris, prinsip keadilan menuntut pembagian
harta yang adil antara ahli waris.
2) Kaidah Fiqhiyyah:
Kaidah fiqhiyyah berkaitan langsung dengan hukum-hukum Islam yang
ditarik dari sumber-sumber utama. Ini lebih bersifat praktis dan terkait
dengan aplikasi hukum dalam situasi-situasi khusus. Beberapa kaidah
fiqhiyyah yang umum meliputi:
a) Al-Yaqin la yazulu bish-shak (Keyakinan tidak dapat ditiadakan
dengan keraguan): Dalam fiqih, suatu hukum diberlakukan jika ada
keyakinan (yaqin), dan keraguan tidak dapat menghapus keyakinan
tersebut.
Contoh: Jika seseorang yakin telah menunaikan shalat, namun ada
keraguan apakah ia melakukan rakaat keempat atau tidak, maka
keyakinan (yaqin) diutamakan.
b) Al-'Urf (Adat Istiadat): Adat istiadat masyarakat dapat dijadikan dasar
hukum, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Contoh: Pemahaman lokal tentang kontrak dan transaksi dapat
digunakan dalam menetapkan hukum-hukum ekonomi.
c) Al-Mashakkah tajlib at-Taysir (Kesusahan membuka pintu
kemudahan): Hukum-hukum Islam memperbolehkan kemudahan
dalam situasi kesulitan atau keberatan.
Contoh: Dalam keadaan sakit, seorang Muslim diizinkan untuk tidak
berpuasa dan menggantinya pada waktu lain.
3) Perbedaan Antara Kaidah Ushuliyyah dan Kaidah Fiqhiyyah:
Perbedaan mendasar antara kaidah ushuliyyah dan kaidah fiqhiyyah adalah
dalam cakupan dan tingkat abstraksi. Kaidah ushuliyyah bersifat umum
dan abstrak, membahas prinsip-prinsip dasar yang digunakan untuk
menarik hukum dari sumber-sumber utama. Di sisi lain, kaidah fiqhiyyah
bersifat lebih spesifik dan terkait langsung dengan aplikasi hukum dalam
kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh, kaidah ushuliyyah seperti Al-'Illah (penyebab) lebih
bersifat umum, sementara kaidah fiqhiyyah seperti Al-Yaqin la yazulu
bish-shak (keyakinan tidak dapat ditiadakan dengan keraguan) bersifat
lebih khusus dalam konteks aplikasi hukum fiqih.
3. Apa yang Anda ketahui tentang al-Ta'ârudh al-Dilâlah? Dan berikan contoh
serta cara penyelesaiannya
JAWABAN
Ta’arudl al-Adillah
Pengertian
ta’arud dalil berarti pertentangan dalil, yaitu satu dalil menghasilkan ketentuan
hukum yang berbeda bahkan berlawanan dengan ketentuan hukum yang
dihasilkan oleh dalil lain.
Secara terminology ada beberapa pengertian Ta’arudl al-Adillah, diantaranya :
a. Imam al-Syaukani : Suatu dalil menentukan hukum tertentu terhadap satu
persoalan sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan
itu.“
b. Kamal ibn al-Humam : pertentangan dua dalil yang tidak mungkin
dilakukan kompromi antara keduanya.
c. 'Ali Hasaballah : Terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu
dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil
tersebut berada dalam satu derajat
Syarat
Untuk terjadinya ta’arud, dalam ushul fikih disyaratkan beberapa syarat.
1. Kedua dalil yang bertentangan tersebut memiliki tingkat kekuatan hujah
yang sama;
2. Kedua dalil itu harus dalam posisi beroposisi (antara keduanya ada
keberlawanan;
3. Kedua dalil itu memiliki kesamaan dalam dalālah.
PenyelesaianTa'ârudh al-Adillah
1) Al-Jam'u wa al-Taufiq ( ( الجمع والتوفيق, yaitu mengumpulkan dalil-dalil
yang bertentangan itu kemudian mengkompromikannya. Apabila dengan
cara tarjih pun tidak bisa diselesaikan, maka menurut ulama Hanafiyyah
dalil-dalil itu dikumpulkan dan dikompromikan. Dengan demikian, hasil
kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya, karena kaidah fiqh
mengatakan,
"mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau
mengabaikan dalil yang lain.
Contoh Al-Jam’u wa al-Taufiq
Firman Allah, Swt:
َ َ ً ْ َ َّ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ َّ ُ ْ َ َ ْ ََّ َ َّ ً َ ْ َ َ ْ ُ َ َ َ ْ ُ ْ َ ْ ََّ َ ُ َ ْ َّ َ
وال ِذين يتوفون ِمنكم ويذرون ازواجا يتربصن ِبانف ِس ِهن اربعة اشه ٍر وعشراۚ ف ِاَا
َ َُ ه ْ ُ ْ َ ْ َّ ُ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ ْ ْ ُ ْ َ َ َ َ ُ َ َ َّ ُ َ َ َ َ ْ َ َ
بلغن اجلهن فلا جناح عليكم ِفيما فعلن ِف ْٓي انف ِس ِهن ِبالمعرو ِفِۗ واّٰلل ِبما
َ َ ُ َْ
٢٣٤ تع َمل ْون خ ِب ْي ٌر
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari.” (al-Baqarah: 234)
Didalam surat yang lain, Allah, Swt., juga berfirman:
َّ ُ َ ْ َ َ ْ َ َّ ْ َ َّ ُ ُ َ َ َ ْ َْ ُ ٰ َُ
ِۗال اجلهن ان يضعن حملهن ِ واولت الاحم
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya.... (Q.S. Al- Thalaq: 4)
Dari kedua ayat di atas, terjadi pertentangan dalil (ta’arud al-adillah), dalam
QS. Al-Baqarah: 234 ditentukan masa ‘iddah (menunggu) wanita yang
ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari dan tidak ditentukan apakah
wanita tersebut dalam kondisi hamil ataukah tidak.
Sedangkan dalam QS. al-Thalaq: 4 bahwa wanita yang hamil 'iddahnya
sampai melahirkan anaknya. Ayat ini juga tidak membedakan antara cerai
hidup (talak) atau cerai mati (kematian suami). Dengan demikian, terdapat
pertentangan kandungan kedua ayat tersebut bagi wanita hamil yang ditinggal
mati oleh suaminya.
Cara penyelesaian pertentangan kedua ayat di atas dengan mengkompromikan
antara dua dalil tersebut, agar kedua dalil tersebut dapat difungsikan. Oleh
sebab itu, apabila kedua ayat diatas dikompromikan, maka kesimpulan yang
dapat diambil adalah bahwa masa ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal
mati oleh suaminya adalah masa ‘iddah yang terpanjang dari keduanya, yaitu
4 bulan 10 hari atau sampai melahirkan.
2) Tarjih
Apabila tidak dapat dikompromikan, maka jalan keluarnya adalah dengan
tarjih, yaitu dengan menguatkan salah satu di antara dua dalil yang
bertentangan tersebut
3) Nasakh ( ) النسخadalah membatalkan hukum yang ada didasarkan adanya
dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda
dengan hukum pertama. Dalam hubungan ini, seorang mujtahid harus
berusaha untuk mencari sejarah munculnya kedua dalil tersebut. Apabila
dalam pelacakannya satu dalil muncul lebih dahulu dari dalil lainnya,
maka yang ia ambil adalah dalil yang dating kemudian. Nabi, Saw.,
bersabda: