Anda di halaman 1dari 7

UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh


Dosen Pengampu : A. Sya'roni, M.Pd.I

DISUSUN OLEH :
NAMA : KHOLIFI
NIM : 2281131880
KELAS : A 38

PROGRAM PENDIDIKAN JARAK JAUH (PJJ) PAI


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2023
1. Apa yang Anda ketahui tentang pengertian al-'Urf dan al-'Âdah (adat istiadat)
serta apa perbedaan antara keduanya? Dan berikan contoh masing-masing al-
'Urf dan al-'Âdah yang berlaku didaerah Anda masing-masing serta berikan
argumentasi secara hukum Islam!
JAWABAN
Pengertian al-‘Urf dan al-‘Adah
Al-‘Urf adalah apa yang sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka
menyetujui dan mengerjakannya baik dalam bentuk praktek ataupun perkataan
yang tidak bertentangan dengan Alquran al-Karim ataupun Sunnah Nabi.
Al-‘Adah adalah sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya
hubungan rasional dan hubungan nilai baik dan buruknya.
Perbedaan al-‘Urf dan al-‘Adah
1. Adat adalah kebiasaan masyarakat yang berulang-ulang dilakukan oleh
seseorang atau masayarakat tertentu, intinya kepada proses
pengulangannya. Sedangkan ‘Urf selain proses berulang-ulangnya juga
melihat dari segi kebaikan yang telah diterima oleh masyarakat.
2. Adat bersifat netral, dalam arti bisa sesuatu yang baik atau sesuatu yang
buruk, adapun ‘Urf adalah suatu kebaikan yang diterima oleh akal manusia
dan disepakati kebaikannya.
3. Adat bisa dilakukan oleh satu orang atau beberapa orang dalam ruang
lingkup yang kecil, sementara ‘Urf adalah kebiasaan dari orang banyak
dan secara universal manusia mengakui akan kebenaran hal tersebut.
Contoh al-‘Urf di Desa Sana Dajah
- Jual beli tanpa perkataan ijab dan qabul di msyarakat Desa Sana Dajah.
Di masyarakat desa Sana Dajah telah menjadi kebiasaan ketika seseorang
membeli atau menjual barang tanpa adanya ucapan ijab qabul. Namun
demikian ketika seseorang telah membayar sesuai harga yang disepakati,
maka barang tersebut telah menjadi hak pembeli.
Dalam hokum islam, Ijab dan Qabul dalam jual beli merupakan rukun
yang tidak bisa ditinggalkan. Artinya ada kejelasan ijab dan qabul anatara
penjual dan pembeli merupakan unsur yang menentukan keabsahan
transaksi tersebut. Ulama Madzhab Syafi’i berpendapat, transaksi jual
beli harus dilakukan dengan ucapan yang jelas atau sindiran, yaitu
dengan kalimat ijab dan kabul. Akantetapi, secara hakikat, ijab dan qabul
tidak hanya melalui ucapan, tetapi juga bisa dalam bentuk perbuatan.
Maka kebiasaan masyarakat yang menganggap bahwa ketika seseorang
membayarkan sejumlah uang sesuai harga barang dan barang tersebut
diberikan oleh si penjual kepada si pembeli, maka hal tersebut sudah
dianggap memenuhi syarat ijab dan qabul. Maka jual beli yang demikian,
jika telah menjadi kebiasaan yang diakui oleh masyarakat, maka
hukumnya sah.
Contoh adat di Desa Sana Dajah
- Rokat Bhume atau pekarangan (sedekah bumi). Rokat ini dilakukan
sebagai bentuk pengharapan masyarakat kepada sang pemilik bumi dan
tanah agar warga petanuni yang bercocok tanam dilimpahi keberkahan dari
hasil panen yang mereka petik. Juga warga memohon kepada-Nya agar
tanamannya terhindar dari hama.
Tradisi rokat di setiap daerah memiliki ritual yang berbeda. Namun yang
lumrah dilakukan di desa Sana Dajah adalah menymebelih hewan ternak,
membaca surat Yasin dan tahlil secara berjamaah, menyuguhkan makanan
dan minuman pada jamaah, serta bersedekah yang disesuaikan dengan
tujuan atau hajatnya masing-masing.

2. Istihsan
JAWABAN
1) Kaidah Ushuliyyah:
Kaidah ushuliyyah merupakan prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan
hukum Islam. Kaidah-kaidah ini membantu dalam interpretasi dan
penarikan hukum dari sumber-sumber utama Islam, seperti Al-Qur'an dan
Hadis. Beberapa kaidah ushuliyyah yang terkenal antara lain:
a) Al-'Illah (Penyebab): Kaidah ini menekankan identifikasi penyebab
atau rasionalitas di balik hukum-hukum Islam.
Contoh: Dalam hukum riba, al-'illah (penyebab) mungkin adalah
menghindari ketidaksetaraan ekonomi atau keadilan sosial.
b) Al-Maqsad al-Shari'ah (Tujuan Syariah): Hukum Islam diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, seperti menjaga agama, jiwa,
akal, harta, dan keturunan.
Contoh: Hukum-hukum yang melarang konsumsi alkohol dan riba
dapat dijelaskan dengan tujuan menjaga jiwa dan harta.
c) Al-'Adl (Keadilan): Prinsip keadilan sangat penting dalam hukum
Islam, dan kaidah ini menuntut penerapan keadilan dalam setiap aspek
kehidupan.
Contoh: Dalam hukum waris, prinsip keadilan menuntut pembagian
harta yang adil antara ahli waris.
2) Kaidah Fiqhiyyah:
Kaidah fiqhiyyah berkaitan langsung dengan hukum-hukum Islam yang
ditarik dari sumber-sumber utama. Ini lebih bersifat praktis dan terkait
dengan aplikasi hukum dalam situasi-situasi khusus. Beberapa kaidah
fiqhiyyah yang umum meliputi:
a) Al-Yaqin la yazulu bish-shak (Keyakinan tidak dapat ditiadakan
dengan keraguan): Dalam fiqih, suatu hukum diberlakukan jika ada
keyakinan (yaqin), dan keraguan tidak dapat menghapus keyakinan
tersebut.
Contoh: Jika seseorang yakin telah menunaikan shalat, namun ada
keraguan apakah ia melakukan rakaat keempat atau tidak, maka
keyakinan (yaqin) diutamakan.
b) Al-'Urf (Adat Istiadat): Adat istiadat masyarakat dapat dijadikan dasar
hukum, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Contoh: Pemahaman lokal tentang kontrak dan transaksi dapat
digunakan dalam menetapkan hukum-hukum ekonomi.
c) Al-Mashakkah tajlib at-Taysir (Kesusahan membuka pintu
kemudahan): Hukum-hukum Islam memperbolehkan kemudahan
dalam situasi kesulitan atau keberatan.
Contoh: Dalam keadaan sakit, seorang Muslim diizinkan untuk tidak
berpuasa dan menggantinya pada waktu lain.
3) Perbedaan Antara Kaidah Ushuliyyah dan Kaidah Fiqhiyyah:
Perbedaan mendasar antara kaidah ushuliyyah dan kaidah fiqhiyyah adalah
dalam cakupan dan tingkat abstraksi. Kaidah ushuliyyah bersifat umum
dan abstrak, membahas prinsip-prinsip dasar yang digunakan untuk
menarik hukum dari sumber-sumber utama. Di sisi lain, kaidah fiqhiyyah
bersifat lebih spesifik dan terkait langsung dengan aplikasi hukum dalam
kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh, kaidah ushuliyyah seperti Al-'Illah (penyebab) lebih
bersifat umum, sementara kaidah fiqhiyyah seperti Al-Yaqin la yazulu
bish-shak (keyakinan tidak dapat ditiadakan dengan keraguan) bersifat
lebih khusus dalam konteks aplikasi hukum fiqih.
3. Apa yang Anda ketahui tentang al-Ta'ârudh al-Dilâlah? Dan berikan contoh
serta cara penyelesaiannya
JAWABAN
Ta’arudl al-Adillah
Pengertian
ta’arud dalil berarti pertentangan dalil, yaitu satu dalil menghasilkan ketentuan
hukum yang berbeda bahkan berlawanan dengan ketentuan hukum yang
dihasilkan oleh dalil lain.
Secara terminology ada beberapa pengertian Ta’arudl al-Adillah, diantaranya :
a. Imam al-Syaukani : Suatu dalil menentukan hukum tertentu terhadap satu
persoalan sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan
itu.“
b. Kamal ibn al-Humam : pertentangan dua dalil yang tidak mungkin
dilakukan kompromi antara keduanya.
c. 'Ali Hasaballah : Terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu
dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil
tersebut berada dalam satu derajat
Syarat
Untuk terjadinya ta’arud, dalam ushul fikih disyaratkan beberapa syarat.
1. Kedua dalil yang bertentangan tersebut memiliki tingkat kekuatan hujah
yang sama;
2. Kedua dalil itu harus dalam posisi beroposisi (antara keduanya ada
keberlawanan;
3. Kedua dalil itu memiliki kesamaan dalam dalālah.
PenyelesaianTa'ârudh al-Adillah
1) Al-Jam'u wa al-Taufiq ( ‫( الجمع والتوفيق‬, yaitu mengumpulkan dalil-dalil
yang bertentangan itu kemudian mengkompromikannya. Apabila dengan
cara tarjih pun tidak bisa diselesaikan, maka menurut ulama Hanafiyyah
dalil-dalil itu dikumpulkan dan dikompromikan. Dengan demikian, hasil
kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya, karena kaidah fiqh
mengatakan,
"mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau
mengabaikan dalil yang lain.
Contoh Al-Jam’u wa al-Taufiq
Firman Allah, Swt:
َ َ ً ْ َ َّ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ َّ ُ ْ َ َ ْ ََّ َ َّ ً َ ْ َ َ ْ ُ َ َ َ ْ ُ ْ َ ْ ََّ َ ُ َ ْ َّ َ
‫وال ِذين يتوفون ِمنكم ويذرون ازواجا يتربصن ِبانف ِس ِهن اربعة اشه ٍر وعشراۚ ف ِاَا‬
َ ُ‫َ ه‬ ْ ُ ْ َ ْ َّ ُ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ ْ ْ ُ ْ َ َ َ َ ُ َ َ َّ ُ َ َ َ َ ْ َ َ
‫بلغن اجلهن فلا جناح عليكم ِفيما فعلن ِف ْٓي انف ِس ِهن ِبالمعرو ِفِۗ واّٰلل ِبما‬
َ َ ُ َْ
٢٣٤ ‫تع َمل ْون خ ِب ْي ٌر‬
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari.” (al-Baqarah: 234)
Didalam surat yang lain, Allah, Swt., juga berfirman:
َّ ُ َ ْ َ َ ْ َ َّ ْ َ َّ ُ ُ َ َ َ ْ َْ ُ ٰ َُ
ِۗ‫ال اجلهن ان يضعن حملهن‬ ِ ‫واولت الاحم‬
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya.... (Q.S. Al- Thalaq: 4)
Dari kedua ayat di atas, terjadi pertentangan dalil (ta’arud al-adillah), dalam
QS. Al-Baqarah: 234 ditentukan masa ‘iddah (menunggu) wanita yang
ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari dan tidak ditentukan apakah
wanita tersebut dalam kondisi hamil ataukah tidak.
Sedangkan dalam QS. al-Thalaq: 4 bahwa wanita yang hamil 'iddahnya
sampai melahirkan anaknya. Ayat ini juga tidak membedakan antara cerai
hidup (talak) atau cerai mati (kematian suami). Dengan demikian, terdapat
pertentangan kandungan kedua ayat tersebut bagi wanita hamil yang ditinggal
mati oleh suaminya.
Cara penyelesaian pertentangan kedua ayat di atas dengan mengkompromikan
antara dua dalil tersebut, agar kedua dalil tersebut dapat difungsikan. Oleh
sebab itu, apabila kedua ayat diatas dikompromikan, maka kesimpulan yang
dapat diambil adalah bahwa masa ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal
mati oleh suaminya adalah masa ‘iddah yang terpanjang dari keduanya, yaitu
4 bulan 10 hari atau sampai melahirkan.
2) Tarjih
Apabila tidak dapat dikompromikan, maka jalan keluarnya adalah dengan
tarjih, yaitu dengan menguatkan salah satu di antara dua dalil yang
bertentangan tersebut
3) Nasakh ( ‫ ) النسخ‬adalah membatalkan hukum yang ada didasarkan adanya
dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda
dengan hukum pertama. Dalam hubungan ini, seorang mujtahid harus
berusaha untuk mencari sejarah munculnya kedua dalil tersebut. Apabila
dalam pelacakannya satu dalil muncul lebih dahulu dari dalil lainnya,
maka yang ia ambil adalah dalil yang dating kemudian. Nabi, Saw.,
bersabda:

Artinya: Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, tapi (sekarang)


berziarahlah kalian, sesungguhnya ziarah kubur dapat melunakkan hati,
menitikkan (air) mata, mengingatkan pada akhirat, dan janganlah kalian
berkata buruk (pada saat ziarah).”
Berdasarkan sabda, Nabi Saw., di atas, pelarangan ziarah kubur yang
sebelumnya di tetapkan oleh Nabi, Saw., dihapuskan (naskh) dengan sabda
Nabi, Saw., di atas.
4) Tasâqut al-Dalîlain yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan.
Apabila cara ketiga di atas tidak bisa juga dilakukan oleh seorang
mujtahid, maka ia boleh menggugurkan kedua dalil tersebut; dalam arti ia
merujuk dalil lain yang tingkatannya di bawah derajat dalil yang
bertentangan tersebut. Apabila dalil yang bertentangan dan tidak bisa
dinaskh atau di-tarjih atau dikompromikan itu adalah antara dua ayat,
maka seorang mujtahid boleh mencari dalil lain yang kualitasnya di bawah
ayat al-Qur'an, yaitu Sunnah. Apabila kedua hadits yang berbicara tentang
masalah yang ia selesaikan itu juga bertentangan dan cara-cara di atas
tidak bisa juga ditempuh, maka ia boleh mengambil pendapat sahabat bagi
mujtahid yang menjadikannya dalil syara' atau menetapkan hukumnya
melalui qiyas
4. Apa yang Anda ketahui tentang al-ushûl al-khomsah? Dan sebutkan bagiannya
secara rinci serta berikan satu contoh penyelesaian hukum Islam dengan
menggunakan kaidah maqashid al-Syari'ah
JAWABAN
Al-Ushûl al-Khamsah merujuk pada lima prinsip dasar dalam hukum Islam
yang membentuk dasar bagi pemahaman dan aplikasi hukum. Kelima prinsip
tersebut melibatkan aspek-aspek penting dari hukum Islam dan digunakan
untuk memastikan bahwa keadilan dan tujuan-tujuan syariah terpenuhi.
Berikut adalah rinciannya:
1) Al-'Adl (Keadilan): Prinsip ini menekankan pentingnya keadilan dalam
sistem hukum Islam. Keadilan harus dijunjung tinggi dalam semua aspek
hukum, dan setiap individu harus diperlakukan secara adil.
2) Al-Maslaha (Kepentingan Umum): Prinsip ini menekankan pentingnya
memperhatikan kepentingan umum atau kesejahteraan masyarakat dalam
pembuatan hukum. Hukum harus mengakomodasi kebutuhan dan
kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
3) Al-Huriyyah (Kebebasan): Prinsip ini menegaskan pentingnya kebebasan
individu dalam batas-batas syariah. Hukum Islam melindungi hak-hak
individu untuk menjalankan kehidupan mereka dengan bebas, selama tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
4) Al-'Isma (Keselamatan Jiwa): Prinsip ini menempatkan kepentingan
keselamatan jiwa sebagai prioritas utama. Hukum Islam menuntut
perlindungan terhadap nyawa manusia, dan segala sesuatu yang dapat
membahayakan nyawa harus dihindari.
5) Al-Nasl (Keturunan): Prinsip ini menekankan pentingnya menjaga dan
melindungi institusi keluarga. Hukum Islam memberikan perhatian khusus
terhadap perlindungan hak-hak keluarga dan keturunan.
Contoh Penyelesaian Hukum Islam dengan Menggunakan Kaidah
Maqashid al-Syari'ah:
Kaidah Maqashid al-Syari'ah merujuk pada tujuan-tujuan atau maksud-
maksud hukum Islam. Salah satu contoh penyelesaian hukum Islam dengan
menggunakan kaidah ini dapat berkaitan dengan masalah ekonomi, seperti
dalam konteks riba.
Kaidah Maqashid al-Syari'ah menempatkan tujuan menjaga harta dan keadilan
ekonomi. Oleh karena itu, penyelesaian hukum Islam untuk masalah riba
dapat melibatkan penekanan pada keadilan ekonomi dan mencegah eksploitasi
ekonomi. Mungkin ditemukan solusi yang sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah yang memungkinkan transaksi ekonomi yang adil dan menghindari
riba, seperti dalam pengembangan instrumen keuangan yang mematuhi
prinsip-prinsip syariah (produk keuangan syariah). Ini mencerminkan upaya
untuk mencapai tujuan-tujuan syariah yang terkandung dalam kaidah
Maqashid al-Syari'ah.

Anda mungkin juga menyukai