Anda di halaman 1dari 9

LEMBAR JAWABAN

ULANGAN TENGAH SEMESTER

MATA KULIAH AL-QAWA’ID AL-FIQHIYAH

Nama : Silviaturrohmah

Nim : 2002016075

Kelas : HKI D-5

1. Jelaskan definisi Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, mengapa MK ini perlu dipelajari, apa


kegunaan dan manfaatnya? Sebutkan contohnya!
Jawaban :
a. Qawa’id Secara Bahasa/etimologi, Qawaid jama’ dari qaidah, berarti asas, dasar,
panduan, prinsip, model, peraturan. Sedangkan Fikih secara bahasa adalah
pemahaman, pengetahuan, pengertian. Menurut istilah syara’, fikih adalah
pengetahuan tentang hukum-hukum syariah Islam mengenai perbuatan manusia
yang diambil dari dalil-dalil secara detail. Dapat di simpulkan bahwa al- qawa’id
al – fiqihiyah adalah Kaidah atau dasar fikih yang bersifat umum yang mencakup
hukum-hukum syara’ secara menyeluruh dari berbagai bab/bagian dalam masalah-
masalah yang masuk di bawah cakupannya.
b. Mengapa perlu mempelajari MK ini
Mata kuliah Qawaid Fiqhiyyah penting sebagai bekal untuk berkecimpung di
masyarakat, karena mempelajari Qawaid Fiqhiyyah, di samping secara teoritis
mampu mengetahui bagaimana terbentuknya hukum Islam, juga dapat digunakan
sebagai metode ijtihad dalam upaya menjawab masalah-masalah baru yang belum
ada rumusan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits
c. Manfaat dan kegunaan
 Mengelompokkan bagian-bagian yang bercerai- berai dalam fiqh,
disatukan dalam suatu aturan yang universal dan menyeluruh.
 Menghimpun berbagai masalah yang sama dan mengidentifikasi berbagai
hukum yang masuk dalam ruang lingkupnya.
 Menjawab berbagai permasalahan yang rumit dalam waktu singkat,
sehingga dapat menemukan pemecahan berbagai permasalahan yang
dinginkan.
 Membantu untuk memahami metoda berfatwa dan memudahkannya untuk
mencari hukum permasalahan yang baru.
 Membantu seorang pakar fiqh terhindar dari kontradiksi dalam masalah
fiqh dan memahami maqhasid As Syariah.
 Lebih arif dalam menerapkan fikih sesuai denga waktu dan tempat yang
berbeda untuk keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan
d. Contoh Kaidah fiqih yang diikhtilafkan di kalangan sunni
Ada kaidah yang diterima oleh mazhab tertentu tapi ditolak mazhab lain.
Ikhtilaf tersebut dapat dilihat pada kasus sewa dan pembayaran kerusakan bagi
Hanifah dan Syafi’iah. Menurut Hanafiah, sewa dan pembayaran kerusakan tidak
pernah dapat disatukan, masing-masing berdiri sendiri. 
2. Jelaskan bagaimana sejarah penyusunan Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, dan apa kaitannya
dengan ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh?
Jawaban :
a. Sejarah pemyusunan al- qawa’id al- fiqihiyah awal kemunculan kaidah fikih
bermula pada masa Nabi saw dalam bentuk hadis-hadis yang kalimatnya singkat
namun mengandung makna yang dalam (jawami’ ’Ammah) seperti al-kharaj bi al-
dhaman, dan La dharara wa la dhirara, dan atsar (pernyataan) sahabat yang
dikategorikan jawami’ al-kalim; Namun penyusun pemula kitab qawaid (kaidah-
kaidah) diperkirakan adalah Abi Thair al-Dabbas, seorang ulama abad III dan IV
Hijriyah. Dia mengumpulkan sebanyak 17 buah kaidah yang terpenting dari
mazhab Hanafi, kemudian diikuti oleh yang lainnya seperti Abu Said al-Harawi
al-Syafi’i (w.488 H), seorang ulama mazhab Syafi’i. Zainal Abidin Ibn Nuajair
(wafat 670 H) menyusun kitab yang berjudul Al-Asybah wa Al-Nazhair, yang di
dalamnya ia menyebutkan 25 kaidah, dibagi menjadi dua bagian, yaitu kaidah-
kaidah asasiyah dan kaidah-kaidah ghair asasiyah. Pada abad VIII-IX Hijriyah
dinilai sebagi masa keemasan penyusunan buku-buku kaidah fikih. Lebih dari 10
buku muncul pada masa ini. Di antara buku-buku tersebut adalah sbb:
 Al-Asybah wa al-Nadzair karya Ibn Wakil al-Syafi’i (w.716 H)
 Kitab al-qawaid karya Al-Maqqari al-Maliki (w.758 H)
 Al-Asybah wa al-Nazhair karya al-Subki al-Syafi’i (w. 771 H)
 Al-Asybah wa al-Nazhair karya al-Isnawi (w. 772 H)
 Qawa’id fi al-fiqh karya al-Zarkasi al-Hambali (w. 795 H)
 Kitab al-Qawa’id karya Ibn al-Mulaqqin (w. 804 H).
 Al-Qawa’id wa al-Dhawabit karya Ibn Abdil Hadi (w. 880
Pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika tersusun
majallah al ahkam al-‘adliyyah oleh komite (lajnah) fuqaha pada masa Sultan al-
Ghazi Abdul Aziz Khan al-Usmani (1861-1876 M) pada akhir abad XIII H (1292
H). Dalam penyusunan majallah ini komite melakukan penelitian pustaka terhadap
kaidah-kaidah yang ada sebelumnya terutama kitab al-Asybah wa al-Nazhair
karya Ibnu Nujaim (w. 970 H) &Majami’ al-Haqaiq karya al-Khadimi (w. 1176
H)
b. Hubungan dengan ilmu fiqih
Fiqih membahas tentang bagaimana cara tentang beribadah, tentang prinsip rukun
Islam dan hubungan antara manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam
Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karena itu hubungan diantara Qowa’id alfiqhiyah
dengan fiqih sangat erat sekali karena qowa’id fiqhiyah dapat dijadikan sebagai
kerangka acuan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf.
c. Hubungan dengan ushul fiqih
Ilmu qawā’id fikihiyah membahas tentang kaidah-kaidah hukum secara umum
yang diambil dari berbagai permasalahan fikih yang berserakan., Masalah-
masalah fikih yang mempunyai persamaan dalam hukum dijadikan satu, sehingga
menghasilkan sebuah kaidah. Ilmu ushul fikih membahas tentang kaidah-kaidah di
dalam fikih.

3. Sebutkan lima Al-Qawa’id al-Fiqhiyah induk atau dasar, dan bagaimana


penerapannya dalam formulasi hukum Islam. Jelaskan berikut contoh-contohnya!
a. Lima induk atau dasar al- qawa’id al – fiwihiyah
‫األمور بمقاصدها‬
Setiap sesuatu bergantung pada maksud/niat pelakunya
• ‫اليقين ال يزال بالشك‬
Keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan
• ‫المشقة تجلب التيسر‬
Kesukaran itu mendatangkan kemudahan
• ‫الضرر يزال‬
Kemudharatan itu harus dihilangkan
‫العادة محكمة‬
Adat kebiasaan itu menjadi hakim
b. Contoh – contohnya
 Kaidah: ‫األمور بمقاصدها‬
“segala sesuatu itu bergantung kepada maksud pelakunya”.
‫ وإنما لكل إمرئ ما نوى‬،‫ إنما األعمال بالنيات‬....
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan
(sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” (Q.S. 2:225)
Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi
(yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.
(Q.S.Al-Ahzab/33:5)

 Kaidah : ‫الضر يزال‬

‫الضرروالضرار‬

“Kemudharatan itu harus dihilangkan”


Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki
mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu
Menganiaya mereka. (Q.S.Al-Baqarah/2:231)
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Q.S. Al-
Baqarah/2:229).

 Kaidah : ‫اليقين ال يزال بالشك‬


“Keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan”

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: Apabila salah seorang
diantara kamu menemukan sesuatu dalam perutnya, kemudian sesuatu itu
membingungkannya, apakah dari perutnya keluar sesuatu atau tiadak?
Maka, janganlah orang tersebut keluar dari masjid (membatalkan salat)
sebelum mendengarkan suara atau mencium bau” (HR. Muslim).
Dari Sa’id Al-Khudri, Rasulullah bersabda: ”Apabila salah seorang di
antara kamu merasa ragu dalam salatnya, apakah ia telah mngerjakan tiga
atau empat raka’at, maka buanglah keraguan dan peganglah apa yang
meyakinkannya (HR. Muslim).

 Kaidah : ‫المشقة تجلب التيسر‬


“Kesukaran itu mendatangkan kemudahan”
Kesulitan yang membawa kepada kemudahan antara lain sedang dalam
perjalanan (safar), keadaan sakit (maridh), keadaan terpaksa yang
membahayakan kelangsungan hidup; lupa (nisyan), ketidaktahuan (al-
jahlu), dan kekurang mampuan bertindak hukum (al-naqash). Di antara
dasar hukum kaidah ini antara lain Q.S. Al-Baqarah/2:185

 Kaidah : ‫العادة محكمة‬


“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”
‫الثابت بالعرف كالثابت بالشرع‬
Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu
yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan
syara’).
Kebiasaan-kebiasaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan
syara’ dalam mu’amalat seperti dalam jual-beli, sewa menyewa, kerjasama
pemilik sawah dengan penggarapnya dan sebagainya, adalah merupakan
dasar hukum kebolehannya.

4. Sebutkan dua Al-Qawa’id al-Fiqhiyah pertama dan kedua dan pencabangan (furu’)-
nya, sebutkan dengan menuliskannya dengan huruf Arab! Dan bagaimana contoh
penerapannya masing-masing!

a. Cabang pertama Al-Qawa’id al-Fiqhiyah pertama ‫األمور بمقاصدها‬


“Segala perkara tergantung dengan niatnya”
Cabang Furu’ dan contonya
1. ‫ال ثواب إال بالنية‬

Contohnya : Perlu dikemukakan bahwa mengenai sahnya suatu perbuatan ada


yang disepakati ulama tentang niat sebagai syaratnya umpamanya shalat dan
tayamum; ada juga yang masih dipeselisihkan umpamanya niat wudhu‟. Dalam
hal ini ulama Syafi‟iyah dan Malikiyah menganggapnya wajib (rukun), sedangkan
ulama Hanafiyah menganggapnya sunnah mu‟akkadah. Ini berarti, ada niat maka
berwudhu mendapat pahala, tetapi bila tanpa niat maka ber-whudu‟ tidak
berpahala sekalipun shalat yang dilakukan adalah sah. Ulama Hanabilah
menganggapnya syarat sah.

2. ‫مايشترط فيه التعيين• فالخطأ فيه منطل‬

Contohnya : Ada seseorang yang akan menunaikan shalat dzuhur, tetapi


dengan ta‟yin niat shalat „ashar, atau seseorang menunaikan puasa qadha` dengan
ta‟yin niat puasa sunnah. Maka kesalahan semacam ini membuat tidak sahnya
shalat atau puasa yang dilakukannya. Karena menurut hukum Islam, ada tuntutan
ta‟yin niat yang fungsinya membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang
lain.
3. ‫مايشترط التعرض له جملة واليشترط تعيينه• تفصيالً إذا عينه و أخطأضر‬

Contohnya : Umpamnya seorang shalat di rumah sendiri, padahal dia shalat di


rumah orang lain maka shalat seseorang tersebut adalah sah. Sebab niat shalat
telah dilakukan sedangkan yang keliru hanya pernyataan tempat. Pernyataan
tempat ini tidak ada kaitannya dengan niat shalat baik secara global maupun
terperinci.

4. ‫ماال يشترط التعرض له جملة وال تفصيالً إذا عينه و أخطأ لم يضر‬

Contohnya : Seseorang shalat dan meniatkan shalatnya itu pada hari Sabtu,
padahal hari itu hari jum‟at, maka shalatnya tetap sah, sebab meniatkan hari dan
tanggal ia shalat tidaklah disyaratkan dalam shalat.

5. ‫مقاصد اللفظ على نية الال فظ إال في موضع واحد وه••و اليمين عن••د القاض••ي فإنه••اعلى‬
‫نية القاضي‬
Contohnya : Seandainya seorang suami memanggil dengan panggilan thaliq
(orang yang tertalaq), maka apabila niat pemanggilnya itu adalah untuk
menceraikan istrinya maka jatuhlah thalaq. Tetapi, kalau ucapan itu hanya semata-
mata bermaksud memanggil bukan niat mentalaq maka tidaklah jatuh thalaq

6. ‫العبرة في العقود للمقاصد والمعاني ال لأللفاظ والمبانى‬

Contohnya : Suatu ungkapan terkadang muncul dari seseorang tanpa ada niat
untuk mengungkapkannya, seperti ungkapan orang tidur, orang pingsan (pitam),
orang gila dan orang mabuk

7. ‫النية في اليمين تخصص اللفظ العام وألنعيم اللفظ الخاص‬

Contohnya : seseorang bersumpah tidak akan berbicara dengan manusia


dengan manusia,tetapi yang dimaksud adalah Hasan, maka sumpah seseorang
tersebut hanya berlaku pada Hasan, tidak kepada semua manusia.

b. Al-Qawaid al fiqhiyya yang kedua


‫اليقين اليزال بالشت‬
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”
Cabang Furu’ dan contohnya
1. ‫األصل بقاء ماكان على ماكان‬

Contohnya : seseorang membeli kulkas mengajukan gugatan kepada


penjualnya dengan alasan kulkas yang dibelinya setelah sampai di rumah tidak
berfungsi. Gugatan pembeli tersebut, tidak dapat dibenarkan. Karena menurut
hukum asalnya kulkas itu dalam keadaan baik. Hal ini, dikecualikan kalau ada
perjanjian–perjanjian tertentu sebelum menjadi transaksi jual beli, umpamanya
perjanjian garansi.

2. ‫األصل برائة الذمة‬

Contohnya : Umpamanya seorang terdakwa tidak mau bersumpah, maka tidak


dapat diterapkan hukuman. Karena menurut hukum asalnya seseorang itu bebas
dari tanggungan atau beban. Yang harus bersumpah adalah pendakwa.

3. ‫األصل العدم‬
Contohnya : seseorang pekerja dengan modal orang lain (mudharabah)
melapor kepada pemilik modal bahwa ia memiliki keuntungan hanya sedikit,
maka laporan pekerja tersebut harus dibenarkan. Karena sejak semula memang
belum ada keuntungannya. Kecuali ada indikasi lain, berupa tanda-tanda penipuan

4. ‫األصل في األشياء اإلباحة حتى يدل الدليل على التخريم‬

Contohnya : Umpamanya ada seekor hewan yang sulit ditentukan


keharamannya, karena tidak ditemukan sifat-sifat dan ciri-ciri yang dapat
dikategorikan hewan haram, maka hukumnya halal dimakan

5. ‫األصل في المعامالت اإلباحة حتى يذل الدليل على التخريم‬


6. ‫األصل في العبادات التخريم حتي يدل الدليل على اإلباحة‬
7. ‫االضل في كل حادث تقديره بأقرب زمنه‬

Contohnya : “Pada suatu saat ada seorang dokter melakukan operasi


kandungan seorang ibu untuk mengeluarkan bayi yang ada di dalam rahimnya.
Operasi tersebut ternyata sukses, dengan berhasilnya sang dokter mengeluarkan
bayi dalam kandungan itu, dan dapat hidup selama beberapa hari. Tetapi
seminggu kemudian bayi tersebut ditakdirkan Allah meninggal dunia.
Berdasarkan kaidah di atas, maka dalam kasus semacam ini, sang dokter diminta
pertanggung jawaban berupa keterangan logis atas kematianya, umpamanya
tentang teknis penangannya. Sebab ada kemungkinan, bahwa kematiannya
disebabkan sebab-sebab lain yang lebih dekat dengan peristiwa kematianya. Hal
ini dikecualikan, manakala ada tanda-tanda lain yang dilakukan orang lain dan
waktunya lebih dekat dengan kematian sang bayi”

8. ‫من شك أفعل شيئا أم ال فاألصل أنه لم يفعله‬

Contohnya : apabila seseorang ragu-ragu dalam pelaksanaan shalat, apakah ia


mengerjakan i‟tidal atau tidak, maka ia hendaklah mengulangi pekerjaannya.
Sebab, ia dianggap seakan-akan tidak atau belum mengerjakannya.

9. ‫من تيقن الفعل و شك في القليل أوالكثير حمل على القليل‬

Contohnya : Debitur yang berkewajiban mengangsur uang yang telah


disepakati bersama kreditur merasa ragu apakah angsuran yang telah dilakukan itu
enam kali atau tujuh kali, maka harus dianggap baru mengangsur enam kali.
Karena, yang sedikit itulah yang sudah diyakini.

10. ‫األصل في الكالم الحقيقة‬

Contohnya : Ada seseorang mengatakan: Saya mewakafkan harta milik saya


kepada anak-anak saya. Dalam hal ini, maka apabila ada di antara cucunya yang
menggugat, dengan maksud bahwa harta wakaf itu juga menjadi haknya, maka
gugatan tersebut tidak dapat dibenarkan. Sebab, menurut arti hakikat perkataan
„anak‟ terbatas pada anak kandung dari pihak yang berwakaf, tidak termasuk
cucunya.

5. Sebutkan qa’idah fiqhiyah yang berlaku dalam ibadah puasa, mengapa orang yang
bepergian (safar) diperbolehkan tidak berpuasa, dan bagaimana aturan pengqadlaan
(membayar) puasanya? Jelaskan berikut dasar hukum dan kaidahnya?
Jawaaban :
Qaidah fiqhiyah yang berlaku dalam ibadah puasa yaitu ‫المشقة تجلب التيسر‬
“Kesukaran/kesulitan itu dapat mendatangkan/ menarik kemudahan”.
Orang yang berpergian dibolehkan tidak puasa jika berpergiannya itu bertujuan untuk
tetap melakukan ibadah kepada Allah SWT.
Melalui pelaksanaan perintah-perintahNya. Oleh karena itu suatu rukhsah tidak dapat
diberlakukan pada hal-hal yang sifatnya maksiat kepada Allah SWT.
Di antara dasar hukum kaidah ini antara lain Q.S. Al-Baqarah/2:185; 286;
al-Nisa/4:28; al-Maidah/5/6; al-A’raf/7:157; al-Hajj/22:78; dan al-Nur/24:61.

Anda mungkin juga menyukai