Quwaid fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata ,yaitu dari kata
quwaid dan fiiqhiyah,kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri .Secara etimologi quwaid
berarti asas,landasan,dasar atau fondasi. Sedangkan kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh yang
berarti pengetahuan atau pemahaman.Quwaid Fiqhiyah merupakan pokok fiqh yang bersifat
universal yang mengandung hukum hukum syara"
Kepentingan qawaid fiqhiyyah dari segi penggalian dan penetapan hukum Islam
mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, qawaid fiqhiyyah
dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan hukum yang belum ada
ketentuan atau kepastian hukumnya
" امؼماُل َبلحاكُم امرًش ؼُةامؼمَو ُةمُنادههتُاامتفطَو ُةوىُو ػمُلمس تنبُطابمرٔأُيواالجهتاُد وحيتاُج ِفُو اىاُل منظُروامتٔبمُل
“Ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah yang diambil dari dalil-
dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan
perenungan”
Adapun obyek qawaid fiqhiyyah adalah amaliyah orangorang dewasa yang bersifat
praktis (af’al al-mukallaf al-‘amaliyyah) yaitu perbuatan mukallaf itu sendiri. Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy menyebutkan perbuatan hukum adalah pekerjaan-pekerjaan yang
dikerjakan mukallaf yang memiliki implikasi hukum. Perbuatan hukum adalah setiap
perbuatan atau tindakan subjek hukum yang mempunyai akibat-akibat hukum karena di
dalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram.
Menurut Ali Ahmad al Nadawi , perkembangan qawaid fiqhiyyah dapat dibagi kedalam tiga
fase, yaitu:
Pada dasarnya peletakan batu dasar ilmu qawaid fiqhiyyah telah di mulai sejak tiga kurun
pertama dari tahun Hijriyyah, yaitu sejak masa Rasulullah SAW, Sahabat, dan Tabi’in. hal ini
dapat di lihat dari hal-hal berikut ini:
Terdapat beberapa Ayat dari Al Quran yang secara inplisit telah menunjukan Qawaid
Fiqhiyyah. Diantaranya adalah yang terdapat dalam QS. Al Baqarah 228:
“…dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf….”
Ayat ini dikemudian hari di jadikan sebagai landasan lahinya kaidah “ Adat kebiasaan
merupakan hukum”.
Terdapat hadist-hadist Rasulullah yang padat dan singkat. Di antaranya adalah
hadist “Innamal a’malu binniyah….” Dan hadist “La darara wa la dirara”.
Terdapat Atsar Sahabat yang singkat dan padat yang dapat dijadikan sebagai sumber dalam
mengambil keputusan hukum. Di antaranya atsar Ali bin Abi Tahlib r.a (wafat 40 H) yang
diriwayatkan oleh Abdul Razaq (211 H) : “orang yang membagi keuntungan tidak harus
menanggung kerugian”.
Dan timbulnya kaidah-kaidah di kalangan para Tabi’in. di antaranya adalah pernyataan Imam
Syafi’i: “Apabila yang besar gugur, maka yang kecil pun gugur”.
Awal mula qawaid fiqhiyyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad ke
4 H dan terus berlanjut pada masa setelahnya. Ulama pertama yang melakukan pembukuan ilmu
Qawaid Fiqhiyyah adalah ulama dari mazhab Hanafi, yaitu Abu Hasan Al Karkhi (wafat 340 H).
Dalam risalahnya yang berjudul Ushul Al Karkhi, Abu Hasan Al Karkhi mengembangkan 17
kaidah dari Imam Abu Tahir al Dabbas menjadi 39 kaidah. Setelah Karkhi ulama mazhab Hanafi
yang mengembangkan ilmu Qawaid Fiqhiyyah adalah Abu Zaid Ubaidullah al Dabbusi (wafat
430 H) dalam kitabnya Ta’sis an Nadhar.
Selanjutnya Ilmu qawaid fiqhiyyah semangkin mengalami perkembangan. Pada abad ke-7 H
qawa’id fiqhiyyah mengalami perkembangan yang sangat signifikan walaupun terlau dini untuk
dikatakan matang. Diantara ulama yang menulis kitab qawa’id pada abad ini adalah al-‘Allamah
Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613 H) ia menulis kitab dengan judul “al-
Qawa’id fi Furu’I al- Syafi’iyah” , kemudian al-Imam Izzudin Abd al-Salam (w. 660 H) menulis
kitab “Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” yang sempat menjadi kitab terkenal. Dari
kalangan madzhab Maliki Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-bakri al-Qafshi (685 H)
menulis “al-Mudzhb fi Qawa’id al-Madzhab” dan masih banyak lagi. Karya-karya ini
menunjukan bahwa qawa’id fiqhiyyah menglami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H.
Qawa’id fiqhiyyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikt mulai meluas.
Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan
banyaknya bermunculannya kitab-kitab Qawa’if fiqhiyyah. Dalm hal ini, ulama Syafi’iyyah
termasuk yang paling kreatif. Diantara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:
al-Asyabah wa an-Nadhair karya Ibnu al-Wakil al-Syafi’I (w.716 H)
kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)
al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I (w.761 H). dll
Karya-karya besar yang mengkaji qawa’id fiqhiyyah yang disusun pada abad IX H banyak
mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Diantara karya-karya tersebut adalah:
Kitab al-Qawa’id karya Ibnu al-Mulaqqin (w. 840 H)
Asnal Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad bin Muhammad al-Zubairi (w. 808
H)
kitab al-Qawa’id karya Taqiyuddin al-Hishni (w. 829 H). dll
Dengan demikian, ilmu qawa’id fiqhiyyah berkembang secara berangsur-angsur. Pada abad VIII
H, perkembangan ini qawa’id fiqhiyyah terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya para
ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat misalnya pada
kitab Ibnu al-Mulaqqin dan Taqiyuddin al-Hishni.
Pada abad X H, pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah semakin berkembang. Imam al-Suyuti (w.
911 H) telah berusaha mengumpulkan qaidah fiqhiyyah yang paling penting dari karya al-‘Alai,
al-subaki, dan al-zarkasyi. Ia mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam kitabnya al-Asybah
wa al-Nadhai. Kitab-kitab karya ketiga tokoh ulama tersebut masih mencakup qawa’id ushuliyah
dan qawa’id fiqhiyyah, kecuali kitab karya al-Zarkasyi.
Pada abad XI dan XII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah terus berkembang. Dengan demikian, fase
kedua dari ilmu qawa’id fiqhiyyah adalah fase perkembangan dan pembukuan. Fase ini ditandai
dengan munculnya al-Karkhi dan al-Dabbusi. Para ulama yang hidup dalam rentang waktu ini
(abad IV-XII) hampir dapat menyempurnakan ilmu Qawa’id fiqhiyyah.
Qawaacid al-Ahkaam fi Masaalih al-‘Anaam oleh cIzzuddin cAbdul cAziz ibn cAbdus
Salam ( 577 - 660 H);
Kitaab Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir karya Sadraddin Abi cAbdullah ibn Murahhil, Ibn Wakil
al-Syafi ci (716 H);
Majmuuc al-Mudzhab fil-Qawaacid al-Madzhab oleh Salahuddin Abi Sa cid al-cAla’i as-
Syafi ci (761 H);
Al-Asybaah wa al-Nazhaa’ir oleh cAbdul-Wahhab ibn cAli Tajuddin as-Subki (771 H);
Al-Manthuur fi Tartiib al-Qawaacid al-Fiqhiyyah aw al-Qawaacid fi al-Furuuc oleh
Muhammad ibn Bahadur Badruddin az-Zarkashi (794 H);
Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir karya Sirajudddin cUmar ibn cAli al-Ansari, yang lebih terkenal
dengan pangggilan Ibnul-Mulaqqin (804 H);
Al-Qawaacid oleh Taqiyyuddin Abu Bakr ibn Muhammad ibn cAbdul-Mu’min, al-Hisni
(829 H);
Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir oleh Jalaluddin cAbdur Rahman ibn Abi Bakr ibn Muhammad
as-Suyuthi (al-Asyuthi) (804 H); dan
Al-Istighnaa’ fi al-Furuuq wa al-Istithnaa’ karya Badruddin Muhammad ibn Abi Bakr ibn
Sulaiman al-Bakri
4. Dari kalangan Mazhab Hambali