Anda di halaman 1dari 7

A.

Definisi Quwaid Fiqhiyyah Fill Muamalah

Quwaid fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata ,yaitu dari kata
quwaid dan fiiqhiyah,kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri .Secara etimologi quwaid
berarti asas,landasan,dasar atau fondasi. Sedangkan kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh yang
berarti pengetahuan atau pemahaman.Quwaid Fiqhiyah merupakan pokok fiqh yang bersifat
universal yang mengandung hukum hukum syara"

Kepentingan qawaid fiqhiyyah dari segi penggalian dan penetapan hukum Islam
mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, qawaid fiqhiyyah
dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan hukum yang belum ada
ketentuan atau kepastian hukumnya

Sedangkan secara terminologi fiqh Menurut al-Jurjani al-Hanafi:

‫" امؼماُل َبلحاكُم امرًش ؼُةامؼمَو ُةمُنادههتُاامتفطَو ُةوىُو ػمُلمس تنبُطابمرٔأُيواالجهتاُد وحيتاُج ِفُو اىاُل منظُروامتٔبمُل‬
“Ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah yang diambil dari dalil-
dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan
perenungan”

B. Dasar-Dasar Pengambilan Qawaid Fiqhiyyah

Yang dimaksud dengan dasar pengambilan Qawaid Fiqhiyyah ialah dasar-dasar


perumusan qaidah fiqhiyyah. Perumusan tersebut meliputi dasar formil dan materiilnya.
Dasar formil maksudnya apakah yang dijadikan dasar ulama dalam merumuskan qaidah
fiqhiyyah itu, jelasnya nash-nash manakah yang menjadi pegangan ulama sebagai sumber
motivasi penyusunan qaidah fiqhiyyah. Adapun dasar materiil maksudnya darimana materi
qaidah fiqhiyyah itu dirumuskan.
C. Obyek Qawaid Fiqhiyyah

Adapun obyek qawaid fiqhiyyah adalah amaliyah orangorang dewasa yang bersifat
praktis (af’al al-mukallaf al-‘amaliyyah) yaitu perbuatan mukallaf itu sendiri. Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy menyebutkan perbuatan hukum adalah pekerjaan-pekerjaan yang
dikerjakan mukallaf yang memiliki implikasi hukum. Perbuatan hukum adalah setiap
perbuatan atau tindakan subjek hukum yang mempunyai akibat-akibat hukum karena di
dalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram.

D Ruang Lingkup Qawaid Fiqhiyyah Qawaid fiqhiyah

Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-Fiqhiyyah berdasarkan


cakupannya yang luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta berdasarkan disepakati
atau diperselisihkannya qawaid fiqhiyyah tersebut oleh madzhab-madzhab atau satu madzhab
tertentu, terbagi pada 4 (empat) bagian, yaitu:

a. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al-Kubra, yaitu kaidahkaidah fiqh yang


bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh.
b. . b. Al-Qawa’id al-Kulliyyah, yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh
madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada
qawa’id yang lalu
c. c. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah, yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh pada
sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain
d. d. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang
diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dalam satu
furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dalam furu’ satu
madzhab.
E. Tujuan dan Kepentingan Mempelajari Qawaid Fiqhiyyah
Mempelajari Qawaid Fiqhiyyah tentu ada tujuannya. Adapun tujuan mempelajari
Qawaid Fiqhiyyah itu adalah agar dapat mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan
akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik
temu dari masalah-masalah fiqh. Dari tujuan mempelajari Qawaid Fiqhiyyah tersebut,
maka manfaat yang diperoleh adalah akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi; akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi
hukum dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda;
mempermudah dalam menguasai materi hukum.

A. Perkembangan dan Pengkodifikasian Qawaid Fiqhiyyah

Menurut Ali Ahmad al Nadawi , perkembangan qawaid fiqhiyyah dapat dibagi kedalam tiga
fase, yaitu:

1.Fase pertumbuhan dan pembentukan (Abad I-III H)

Pada dasarnya peletakan batu dasar ilmu qawaid fiqhiyyah telah di mulai sejak tiga kurun
pertama dari tahun Hijriyyah, yaitu sejak masa Rasulullah SAW, Sahabat, dan Tabi’in. hal ini
dapat di lihat dari hal-hal berikut ini:
 Terdapat beberapa Ayat dari Al Quran yang secara inplisit telah menunjukan Qawaid
Fiqhiyyah. Diantaranya adalah yang terdapat dalam QS. Al Baqarah 228:

“…dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf….”
Ayat ini dikemudian hari di jadikan sebagai landasan lahinya kaidah “ Adat kebiasaan
merupakan hukum”.
 Terdapat hadist-hadist Rasulullah yang padat dan singkat. Di antaranya adalah
hadist “Innamal a’malu binniyah….” Dan hadist “La darara wa la dirara”.
 Terdapat Atsar Sahabat yang singkat dan padat yang dapat dijadikan sebagai sumber dalam
mengambil keputusan hukum. Di antaranya atsar Ali bin Abi Tahlib r.a (wafat 40 H) yang
diriwayatkan oleh Abdul Razaq (211 H) : “orang yang membagi keuntungan tidak harus
menanggung kerugian”.
 Dan timbulnya kaidah-kaidah di kalangan para Tabi’in. di antaranya adalah pernyataan Imam
Syafi’i: “Apabila yang besar gugur, maka yang kecil pun gugur”.

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa pernyataan berikut ini:


 Kaidah fiqh telah ada semenjak masa Ulama Mutaqaddimin (abad 1, 2, 3 H) meskipun belum
dikenal sebagai kaidah dan belum menjadi satu disiplin ilmu tersendiri.
 Perkembangan qawa’id fiqhiyyah dapat ditelusuri lewat pernyatan-pernyatan para ulama di
atas, karena mereka adalah rujukan pertama ilmu ini.
 Beberapa kaidah yang dibentuk para ulama mutaqaddimin, terutama apa yang disampaikan
oleh Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Syafi’I , merupakan beberapa kaidah ulama
mutakhirin.
 Atsar dan pernyataan para ulama mutaqaddimin menjadi rujukan ulama mutakhirin dalam
membentuk, mangumpulkan, dan mengkodifikasikan qawa’id fiqhiyyah

2. Fase Perkembangan dan Pembukuan (Abad IV-XII H)

Awal mula qawaid fiqhiyyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad ke
4 H dan terus berlanjut pada masa setelahnya. Ulama pertama yang melakukan pembukuan ilmu
Qawaid Fiqhiyyah adalah ulama dari mazhab Hanafi, yaitu Abu Hasan Al Karkhi (wafat 340 H).
Dalam risalahnya yang berjudul Ushul Al Karkhi, Abu Hasan Al Karkhi mengembangkan 17
kaidah dari Imam Abu Tahir al Dabbas menjadi 39 kaidah. Setelah Karkhi ulama mazhab Hanafi
yang mengembangkan ilmu Qawaid Fiqhiyyah adalah Abu Zaid Ubaidullah al Dabbusi (wafat
430 H) dalam kitabnya Ta’sis an Nadhar.

Selanjutnya Ilmu qawaid fiqhiyyah semangkin mengalami perkembangan. Pada abad ke-7 H
qawa’id fiqhiyyah mengalami perkembangan yang sangat signifikan walaupun terlau dini untuk
dikatakan matang. Diantara ulama yang menulis kitab qawa’id pada abad ini adalah al-‘Allamah
Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613 H) ia menulis kitab dengan judul “al-
Qawa’id fi Furu’I al- Syafi’iyah” , kemudian al-Imam Izzudin Abd al-Salam (w. 660 H) menulis
kitab “Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” yang sempat menjadi kitab terkenal. Dari
kalangan madzhab Maliki Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-bakri al-Qafshi (685 H)
menulis “al-Mudzhb fi Qawa’id al-Madzhab” dan masih banyak lagi. Karya-karya ini
menunjukan bahwa qawa’id fiqhiyyah menglami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H.
Qawa’id fiqhiyyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikt mulai meluas.

Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan
banyaknya bermunculannya kitab-kitab Qawa’if fiqhiyyah. Dalm hal ini, ulama Syafi’iyyah
termasuk yang paling kreatif. Diantara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:
 al-Asyabah wa an-Nadhair karya Ibnu al-Wakil al-Syafi’I (w.716 H)
 kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)
 al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I (w.761 H). dll
Karya-karya besar yang mengkaji qawa’id fiqhiyyah yang disusun pada abad IX H banyak
mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Diantara karya-karya tersebut adalah:
 Kitab al-Qawa’id karya Ibnu al-Mulaqqin (w. 840 H)
 Asnal Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad bin Muhammad al-Zubairi (w. 808
H)
 kitab al-Qawa’id karya Taqiyuddin al-Hishni (w. 829 H). dll

Dengan demikian, ilmu qawa’id fiqhiyyah berkembang secara berangsur-angsur. Pada abad VIII
H, perkembangan ini qawa’id fiqhiyyah terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya para
ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat misalnya pada
kitab Ibnu al-Mulaqqin dan Taqiyuddin al-Hishni.

Pada abad X H, pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah semakin berkembang. Imam al-Suyuti (w.
911 H) telah berusaha mengumpulkan qaidah fiqhiyyah yang paling penting dari karya al-‘Alai,
al-subaki, dan al-zarkasyi. Ia mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam kitabnya al-Asybah
wa al-Nadhai. Kitab-kitab karya ketiga tokoh ulama tersebut masih mencakup qawa’id ushuliyah
dan qawa’id fiqhiyyah, kecuali kitab karya al-Zarkasyi.

Pada abad XI dan XII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah terus berkembang. Dengan demikian, fase
kedua dari ilmu qawa’id fiqhiyyah adalah fase perkembangan dan pembukuan. Fase ini ditandai
dengan munculnya al-Karkhi dan al-Dabbusi. Para ulama yang hidup dalam rentang waktu ini
(abad IV-XII) hampir dapat menyempurnakan ilmu Qawa’id fiqhiyyah.

3. Fase pemantapan dan penyempurnaan (Abad XIII H)

Pengkodefikasian ilmu qawaid fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika disusunya Al Majalla Al


Ahkam Al Adliyyah pada akhir abad ke 13 H oleh komite ulama pada masa khalifah Al Ghazi
Abdul Azis dari dinasti Ustmaniyyah. penyusunan dilakukan dengan melalui proses
pengumpulan dan penyeleksian terhadap berbagai kitab-kitab fiqh.

B. Kitab-Kitab dan Tokoh Ilmu Qawaid Fiqhiyyah

1. Dari Kalangan Mazhab Hanafi


 Usuul al-Karkhi karya cUbaidullah ibn Hasan al-Karkhi (260-340 H)
 Ta’siis al-Nadzr karya al-Qadhi, cUbaidullah ibn cUmar ad-Dabusi (430 H)
 Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir oleh Zainudddin ibn Ibrahim Ibn Nujaim (970 H)
 Majaamic al-Haqaa’iq yang ditulis oleh Abu Sa cid al-Khadimi. ( 1176 H),
 Al-Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah oleh Komite ‘Ulama Daulah cUsmaniyyah (1286 H),
dan
 Al-Faraa’id al-Bahiyyah fi al-Qawaacid al-Fawaa’id al-Fiqhiyyah karya Ibn Hamzah al-
Husaini (1305 H).

2. Dari Kalangan Mazhab Maliki


 Anwaar al-Buruuq fi Anwaar al-Furuuq atau lebih dikenal juga sebagai: Al-Furuuq; Kitab al-
Anwaar wal-Anwaa’; atau Kitab al-Anwaar wal-Qawaacid as-Sunniyyah oleh al-Imam
Syihabudin cAbdul-Abbas Ahmad as-Sonhaji al-Qarafi (260-340 H);
 Al-Qawaacid oleh Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Muqarri (758 H);
 Iidhaah al- Masaalik ilaa Qawaacid al-Imaam Maalik hasil karya Ahmad ibn Yahya ibn
Muhammad at-Tilmisani al-Winsyarinsi (914 H);
 Al-Iscaaf bit-Thalab Mukhtasar Sharh al-Manhaj al-Muntakhab calaa Qawaacid al-Madzhab
karya as-Syaikh Abul-Qasim ibn Muhammad at-Tiwani ( 995 H)

3. Dari Kalangan Mazhab Syafi’i

 Qawaacid al-Ahkaam fi Masaalih al-‘Anaam oleh cIzzuddin cAbdul cAziz ibn cAbdus
Salam ( 577 - 660 H);
 Kitaab Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir karya Sadraddin Abi cAbdullah ibn Murahhil, Ibn Wakil
al-Syafi ci (716 H);
 Majmuuc al-Mudzhab fil-Qawaacid al-Madzhab oleh Salahuddin Abi Sa cid al-cAla’i as-
Syafi ci (761 H);
 Al-Asybaah wa al-Nazhaa’ir oleh cAbdul-Wahhab ibn cAli Tajuddin as-Subki (771 H);
 Al-Manthuur fi Tartiib al-Qawaacid al-Fiqhiyyah aw al-Qawaacid fi al-Furuuc oleh
Muhammad ibn Bahadur Badruddin az-Zarkashi (794 H);
 Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir karya Sirajudddin cUmar ibn cAli al-Ansari, yang lebih terkenal
dengan pangggilan Ibnul-Mulaqqin (804 H);
 Al-Qawaacid oleh Taqiyyuddin Abu Bakr ibn Muhammad ibn cAbdul-Mu’min, al-Hisni
(829 H);
 Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir oleh Jalaluddin cAbdur Rahman ibn Abi Bakr ibn Muhammad
as-Suyuthi (al-Asyuthi) (804 H); dan
 Al-Istighnaa’ fi al-Furuuq wa al-Istithnaa’ karya Badruddin Muhammad ibn Abi Bakr ibn
Sulaiman al-Bakri
4. Dari kalangan Mazhab Hambali

 Al-Qawaacid al-Nuuraaniyyah al-Fiqhiyyah oleh Taqiyyuddin Abu al-cAbbas Ahmad ibn


cAbd al-Halim ibn Taymiyyah (661 - 728 H);
 Al-Qawaacid al-Fiqhiyyah oleh Sharifuddin Ahmad ibn al-Hasan, ibn Qadhi al-Jabal al-
Maqdisi (771 H);
 Taqriir al-Qawaacid wa Tahriir al-Fawaa’id (al-Qawaacid) karya cAbdurrahman Shihab ibn
Ahmad ibn Abi Rajab (Ibn Rajab) al-Hanbali (795H);
 Al-Qawaacid al-Kulliyyah wa al-Dhawaabit al-Fiqhiyyah (771 H) karya Jamaluddin Yusuf
ibn Hasan ibn Ahmad ibn cAbdul-Hadi (1309-1359 H); dan
 (Qawaacid) Majallah al-Ahkaam al-Shar ciyyah calaa Madzhab al-Imaam Ahmad ibn Hanbal
oleh Ahmad ibn cAbdullah al-Qari (1309-1359 H)

C. Kehujjahan Qawaid Fiqhiyyah

Al Hariri, seorang ahli ilmu hukum Islam mengatakan:


“sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa jika ada dalil yang jelas dari sumber-sumber yang
berurusan langsung dengan perkara tertentu, maka penyandaan hukumnya harus dengan dalil
tersebut. Tapi, jika tidak ada dalil apapun terhadap perkara tersebut, tidak ada masalah jika
kaidah-kaidah fiqh menjadi dalil dalam perkara tersebut, asal saja kaidah-kaidah tersebut tidak
melenceng dari Al Quran, Al Hadist, dan Sumber hukum Islam lainnya”.

Anda mungkin juga menyukai