Anda di halaman 1dari 23

Sejarah qawaid fiqhiyah

A. Perkembangan dan Pengkodifikasian Qawaid


Fiqhiyyah

 Menurut Ali Ahmad al Nadawi , perkembangan qawaid fiqhiyyah dapat


dibagi kedalam tiga fase, yaitu:

1.Fase pertumbuhan dan pembentukan (Abad I-III H)


 Pada dasarnya peletakan batu dasar ilmu qawaid fiqhiyyah telah di mulai
sejak tiga kurun pertama dari tahun Hijriyyah, yaitu sejak masa Rasulullah
SAW, Sahabat, dan Tabi’in. hal ini dapat di lihat dari hal-hal berikut ini:
 Terdapat beberapa Ayat dari Al Quran yang secara inplisit telah
menunjukan Qawaid Fiqhiyyah. Diantaranya adalah yang terdapat dalam
QS. Al Baqarah 228:

“…dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan


kewajibannya menurut cara yang ma’ruf….”

 Ayat ini dikemudian hari di jadikan sebagai landasan lahinya kaidah “


Adat kebiasaan merupakan hukum”.
Terdapat hadist-hadist Rasulullah yang padat dan
singkat. Di antaranya adalah hadist “Innamal a’malu
binniyah….” Dan hadist “La darara wa la dirara”.
Terdapat Atsar Sahabat yang singkat dan padat yang
dapat dijadikan sebagai sumber dalam mengambil
keputusan hukum. Di antaranya atsar Ali bin Abi Tahlib
r.a (wafat 40 H) yang diriwayatkan oleh Abdul Razaq
(211 H) : “orang yang membagi keuntungan tidak harus
menanggung kerugian”.
Dan timbulnya kaidah-kaidah di kalangan para Tabi’in.
di antaranya adalah pernyataan Imam Syafi’i: “Apabila
yang besar gugur, maka yang kecil pun gugur”.
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa pernyataan
berikut ini:
Kaidah fiqh telah ada semenjak masa Ulama
Mutaqaddimin (abad 1, 2, 3 H) meskipun belum dikenal
sebagai kaidah dan belum menjadi satu disiplin ilmu
tersendiri.
Perkembangan qawa’id fiqhiyyah dapat ditelusuri lewat
pernyatan-pernyatan para ulama di atas, karena mereka
adalah rujukan pertama ilmu ini.
2. Fase Perkembangan dan Pembukuan (Abad IV-XII H)

Awal mula qawaid fiqhiyyah menjadi disiplin ilmu


tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad ke 4 H dan
terus berlanjut pada masa setelahnya.

Ulama pertama yang melakukan pembukuan ilmu


Qawaid Fiqhiyyah adalah ulama dari mazhab Hanafi,
yaitu
1. Abu Hasan Al Karkhi (wafat 340 H). Dalam risalahnya
yang berjudul Ushul Al Karkhi,
Abu Hasan Al Karkhi mengembangkan 17 kaidah
dari Imam Abu Tahir al Dabbas menjadi 39 kaidah.
Setelah Karkhi ulama mazhab Hanafi yang
mengembangkan ilmu Qawaid Fiqhiyyah adalah
2. Abu Zaid Ubaidullah al Dabbusi (wafat 430 H)
dalam kitabnya Ta’sis an Nadhar
Pada abad ke-7 H

qawa’id fiqhiyyah mengalami perkembangan yang sangat


signifikan
 Diantara ulama yang menulis kitab qawa’id pada abad
ini adalah
1. al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al
Sahlaki (w.613 H) ia menulis kitab dengan judul “al-
Qawa’id fi Furu’I al- Syafi’iyah”,
2. al-Imam Izzudin Abd al-Salam (w. 660 H) menulis
kitab “Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” yang
sempat menjadi kitab terkenal
Dari kalangan madzhab Maliki

1. Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-bakri al-Qafshi


(685 H) menulis “al-Mudzhb fi Qawa’id al-Madzhab”

qawa’id fiqhiyyah menglami perkembangan yang pesat


pada abad ke-7 H. Qawa’id fiqhiyyah pada abad ini
nampak tertutup namun sedikit demi sedikt mulai
meluas.
Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyyah mengalami masa
keemasan,

banyak bermunculannya kitab-kitab Qawa’if fiqhiyyah.


Dalm hal ini,
ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Diantara
karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:
1. al-Asyabah wa an-Nadhair karya Ibnu al-Wakil al-
Syafi’I (w.716 H)
2. kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)
3. al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya
al-‘Alai al-Syafi’I (w.761 H). dll
Pada abad 10 H,

pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah semakin


berkembang.
Imam al-Suyuti (w. 911 H) telah berusaha
mengumpulkan qaidah fiqhiyyah yang paling penting
dari karya al-‘Alai, al-subaki, dan al-zarkasyi. Ia
mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam kitabnya
al-Asybah wa al-Nazhair.
Kitab-kitab karya ketiga tokoh ulama tersebut masih
mencakup qawa’id ushuliyah dan qawa’id fiqhiyyah,
kecuali kitab karya al-Zarkasyi.
Fase pemantapan dan penyempurnaan (Abad XIII H)

Pengkodefikasian ilmu qawaid fiqhiyyah mencapai


puncaknya ketika disusunya
Al Majalla Al Ahkam Al Adliyyah pada akhir abad ke 13
H oleh komite ulama pada masa khalifah Al Ghazi Abdul
Azis dari dinasti Ustmaniyyah. penyusunan dilakukan
dengan melalui proses pengumpulan dan penyeleksian
terhadap berbagai kitab-kitab fiqh.
B. Kitab-Kitab dan Tokoh Ilmu Qawaid
Fiqhiyyah

1. Dari Kalangan Mazhab Hanafi


a. Usuul al-Karkhi karya Ubaidullah ibn Hasan al-Karkhi (260-340 H)
b. Ta’siis al-Nadzr karya al-Qadhi, Ubaidullah ibn Umar ad-Dabusi
(430 H)
c. Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir oleh Zainudddin ibn Ibrahim Ibn Nujaim
(970 H)
d. Majaamic al-Haqaa’iq yang ditulis oleh Abu Sa’id al-Khadimi. ( 1176
H),
e. Al-Majallah al-Ahkaam al-Adliyyah oleh Komite ‘Ulama Daulah
Usmaniyyah (1286 H), dan
f. Al-Faraa’id al-Bahiyyah fi al-Qawaacid al-Fawaa’id al-Fiqhiyyah
karya Ibn Hamzah al-Husaini (1305 H).
2. Dari Kalangan Mazhab Maliki

a. Anwaar al-Buruuq fi Anwaar al-Furuuq atau lebih dikenal juga sebagai:


Al-Furuuq; Kitab al-Anwaar wal-Anwaa’; atau Kitab al-Anwaar wal-
Qawaacid as-Sunniyyah oleh al-Imam Syihabudin cAbdul-Abbas
Ahmad as-Sonhaji al-Qarafi (260-340 H);
b. Al-Qawaacid oleh Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Muqarri
(758 H);
c. Iidhaah al- Masaalik ilaa Qawaacid al-Imaam Maalik hasil karya
Ahmad ibn Yahya ibn Muhammad at-Tilmisani al-Winsyarinsi (914 H);
d. Al-Iscaaf bit-Thalab Mukhtasar Sharh al-Manhaj al-Muntakhab calaa
Qawaacid al-Madzhab karya as-Syaikh Abul-Qasim ibn Muhammad at-
Tiwani ( 995 H)
3. Dari Kalangan Mazhab Syafi’I

a. Qawaaid al-Ahkaam fi Masaalih al-‘Anaam oleh Izzuddin


Abdul cAziz ibn Abdus Salam ( 577 - 660 H);
b. Kitaab Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir karya Sadraddin Abi
Abdullah ibn Murahhil, Ibn Wakil al-Syafi (716 H);
c. Majmuu al-Mudzhab fil-Qawaaid al-Madzhab oleh
Salahuddin Abi Sa’id al-Ala’i as-Syafi’i (761 H);
d. Al-Asybaah wa al-Nazhaa’ir oleh Abdul-Wahhab ibn Ali
Tajuddin as-Subki (771 H);
e. Al-Manthuur fi Tartiib al-Qawaaid al-Fiqhiyyah aw al-
Qawaaid fi al-Furuu oleh Muhammad ibn Bahadur
4. Dari kalangan Mazhab Hambali

a. Al-Qawaaid al-Nuuraaniyyah al-Fiqhiyyah oleh Taqiyyuddin


Abu al-Abbas Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Taymiyyah (661 -
728 H);
b. Al-Qawaaid al-Fiqhiyyah oleh Sharifuddin Ahmad ibn al-
Hasan, ibn Qadhi al-Jabal al-Maqdisi (771 H);
c. Taqriir al-Qawaaid wa Tahriir al-Fawaa’id (al-Qawaaid) karya
Abdurrahman Shihab ibn Ahmad ibn Abi Rajab (Ibn Rajab) al-
Hanbali (795H);
d. Al-Qawaaid al-Kulliyyah wa al-Dhawaabit al-Fiqhiyyah (771
H) karya Jamaluddin Yusuf ibn Hasan ibn Ahmad ibn Abdul-
Hadi (1309-1359 H); dan
Pembagian qowaid fiqhiyah
Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu
1. sentral: al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat
2. Marginal: Turunan

 Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah


tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas.
Kaidah ini dikenal sebagai, umpamanya :
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan
hukum”
Kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang
berperan marginal, diantaranya :
“Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu
yang telah ditentukan sebagai syarat”
“Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti
ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah
kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit
sehingga tidak dihadapkan dengan furu’.
Lanjutan …
1. Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui
oleh seluruh aliran hukum Islam. Kaidah fiqh tersebut
adalah :
a. “Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
b. “Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
c. “Kesulitan mendatangkan kemudahan”
d. “Kerusakan / kemafsadatan itu harus dihilangkan”
e. “Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam
menetapkan hukum”
Lanjutan …
Segi mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. kaidah yang tidak memiliki pengecualian
dan
2. yang mempunyai pengecualian.
Kaidah fiqh yang tidak mempunyai pengecualian
adalah sabda Nabi Muhammad SAW. umpamanya
adalah :
“Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah
dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai
pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok
yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
Lanjutan …
Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi
beberapa macam, yaitu :
1. Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh
kaidah fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada
satu kaidah, yaitu :
“Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan
maslahat”
C. Kehujjahan Qawaid Fiqhiyyah

Al Hariri, seorang ahli ilmu hukum Islam mengatakan:

“sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa jika ada


dalil yang jelas dari sumber-sumber yang berurusan
langsung dengan perkara tertentu, maka penyandaan
hukumnya harus dengan dalil tersebut. Tapi, jika tidak
ada dalil apapun terhadap perkara tersebut, tidak ada
masalah jika kaidah-kaidah fiqh menjadi dalil dalam
perkara tersebut, asal saja kaidah-kaidah tersebut tidak
melenceng dari Al Quran, Al Hadist, dan Sumber hukum
Islam lainnya”.
f. Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir karya Sirajudddin Umar
ibn Ali al-Ansari, yang lebih terkenal dengan
pangggilan Ibnul-Mulaqqin (804 H);
g. Al-Qawaaid oleh Taqiyyuddin Abu Bakr ibn
Muhammad ibn Abdul-Mu’min, al-Hisni (829 H);
h. Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir oleh Jalaluddin Abdur
Rahman ibn Abi Bakr ibn Muhammad as-Suyuthi (al-
Asyuthi) (804 H); dan
i. Al-Istighnaa’ fi al-Furuuq wa al-Istithnaa’ karya
Badruddin Muhammad ibn Abi Bakr ibn Sulaiman al-
Bakri

Anda mungkin juga menyukai