Anda di halaman 1dari 8

periode ulama dalam Bangkitnya Tasyri’

Dengan kejatuhan Baghdad oleh hulagu khan raja mongol, maka berakhirlah periode kelima dalam
tasyri’ al-islami. Pada prinsipnya perkembangan tasyri’ pada periode ini hanyalah terbatas dalam hal
memperbaiki susunan materi fiqh, meneliti permasalahan-permasalahan para ulama terdahulu
disamping berusaha menetapkan hukum bagi berbagai problema baru yang muncul di saat itu
dengan melalui metode qiyas.

Pada masa itu, taklid sudah merajalela, akan tetapi bukan berarti ijtihad tidak ada, bahkan pada
permulaan periode ini sejumlah orang yang tidak layak berijtihad, melakukan ijtihad. Maka al-
Karakhi(440 H) mengeluarkan fatwa bahwa bagi yang ingin berijtihad supaya mengikuti madzhabnya.
Sesungguhnya pada periode ini, tidak ada lagi sesuatu yang dapat dibanggakan oleh sejarah sebagai
produk pemikiran ilmiah yang menuju ke jenjang mujtahid. Namun walaupun serba sedikit, kita
masih bisa memunculkan ulama yang berpengetahuan cukup luas, sebagai mujtahid
madzhab.kenyataannya memang dalam kurun waktu itu sampai abad ke-13 para ulam fiqih cukup
aktif mendalami, mengkaji, menganalisa, mengolah, dan mengkritik hasil pemikiran fuqaha-fuqaha
terdahulu walaupun hanya diungkapkan oleh imam madzabnya saja, seperti dalam kitab al-Majmu’
karya al-Nawawi, al-Mustashfa dan Ihya Ulum al-Din karya Al-Ghozali. Para fuqaha sangat giat
meneliti dan mengklasifikasikan permasalahan fiqh, kemudian memperdebatkannya dalam forum-
forum ilmiah untuk mendapatkan kesepakatan, mana yang sama dan mana yang berbeda kemudian
mereka bukukan seperti al-Inshof karya al-Bathliyusi, Bidayah al-Mujahid karya Ibnu al-Rusyd, al-
I’tishom karya al-Syatibi, al-Mizan karya al-Sya’roni, dan lain-lain yang merupakan cikal bakal bagi
kelahiran fiqh Muqaran.

Langkah mundur terjadi pada saat ini dengan munculnya pendapat dikalangan fuqoha untuk tidak
membuat pilihan fatwanya. Tidak boleh menentukan mana yang kuat dan mana yang lemah diantara
pendapat imam-imam madzhab, serta tidak boleh berpegang langsung kepada al-Quran dan as-
sunah dan harus bertaklid. Dan siapa yang dalam fatwanya keluar dari pendapat ulama madzhab
empat, dipandang sesat(as-shiddiqi:184)

Pada masa ini,tahapan tasyri’ dibagi menjadi dua bagian : dari tahun 650 H sampai dengan
permulaan abad ke-10 H, dan dari awal abad ke-10 H hingga akhir abad ke-13 H. dari permulaan
abad ketujuh sampai dengan abad kesepuluh, masih ditemukan ulama-ulama yang berbobot, baik
dari segi ilmu maupun kemampuan berijtihadnya, seperti : Khalil al-malik al subki al-rimli, ibnu rif’ah,
al kamal bin al-humam, al syayuthi dan lain sebagainya, tetapi ternyata mereka juga tidak
mengaplikatifkan untuk takhrij dan ijtihad, cukup hanya memfokuskan diri untuk mengarang,
menyusun dan mengumpulkan pendapat-pendapat dari kitab-kitab yang ada dengan cara
mengikhtisar, mensyarah, membuat syarah dan membuat hasyiah , takmilah, koleksi fatwa, hasil
penelitian fatwa-fatwa dan sebagainya. Yang terkadang isi dari arya mereka seakan-akan bentuk
teka-teki yang sulit dipecahkan.
Mulai dari awal abad ke-10 H sampai dengan akhir abad ke-13 H, keadaan tasyri’ memang cukup
memprihatinkan. Adapun sebab-sebabnya ada beberapa faktor, yang antara lain:

1. para ulama hanya memusatkan perhatian untuk mempelajari ibarat-ibarat yang sukar, tetapi
mereka memutuskan hubungan dengan kitab-kitab terdahulu yang bernilai cukup tinggi.

2. Tidak adanya konsultasi dan kunjung mengunjungi diantara ulama dari satu tempat ke tempat
yang lain, sedangkan hidup dan berkembangnya ilmu itu karena konsultasi dan saling mengunjungi.

3. Berkembangnya aneka macam susunan dalam satu disiplin ilmu, maka tentu akan mempersulit
bagi ulama yang ingin melangkah menuju jenjang ijtihad, sebabnya harus melalui dahulu bermacam
macam tumpukan kitab yang cukup banyak.

Dari seluruh yang menjadi sebab dan kendala pada periode ini,myang sangat mendasar adalah
jauhnya ulama untuk menuju gelanggang ijtihad.

Namun pada bidang ushul fiqih mereka banyak mengalami keajuan, yakni dengan mempelajari
metode-metode yang telah dirumuskan oleh ulama sebelumnya, menyempurnakan dan
menganalisa hasil penerapan masing-masing metode kepada furu’ fiqhiyah. Sehingga pada periode
ini telah dihasilkan puluhan kitab qawa’id fiqhiyah, seperti : al asybah wa-ak-nadhoir karya imam al-
sayuthi (wafat tahun 911 H), al qawanin al-fiqhiyah karya ibnu al-jizzi (wafat tahun 741 H), dan al
qawa’id karya ibnu rajab (wafat tahun 790 H).

Secara umum, periode ini memang periode kemunduran, namun dengan adanya limpahan rahmat
Allah SWT masih ada ulama fuqoha yang bangun dari tidur untuk melakukan ijtihad, dengan tidak
menghiraukan cari maki dan umpatan. Mereka terus jalan membawa pikiran ulama salaf yang sholih,
diantara mereka adalah al-Imam Muhammad bin ismail al-kahlani al-shon’ani dengan karyanya
subuh al-salam, dan imam al syaukani mengarang kitab hadits hukum yang berujudul Nail al-Author.

Beberapa ulama pada periode keenam

Dalam pertumbuhan dan perkembangan tasyri’ islam akan sangat dipengaruhi oleh munculnya
tokoh ulama yang ada dari masing-masing aliran mazhab. Secara singkat dapat disebutkan sebagai
berikut:

1. Pakar pakar fuqoha dari aliran hanafiyah


a. Ibnu al-Humam, ialah Kamaluddin Muhammad bin Abdi al-Wahdi bin Abdi al-Hamid ibni
Mas’ud al-Siwaisyi al-Iskandari, terkenal dengan Ibnu al-Huma. Seorang imam yang dapat
memahami arti dan pokok-pokok syariat, tafsir, faraid, fiqh, lughoh, mantik dan musik. Lahir pada
tahun 790 H dan wafat pada tahun 861 H, dan diantara tulisannya yang terpenting ialah: fathu al-
Qodir syarah dari al-Hidayah, al-Tahrir dalam bidang ushul fiqh dan al-Musamarah dalam bidang
ushul al-din.

b. Al Nasafi, Abu al-Barakat hafiduddin Abdullah bin Ahmad bin Mahmud al-Nasafi, wafat tahun
710 H. Beliau adalah seorang ulama ahli fiqh yang terkenal dari mazhab hanafi, dan beliau pun
terkenal sebagai seorang musafir ulung. Diantara kitabnya ialah al-Madarik dalam ilmu tafsir, Kanzu
al-Aqoiq, al-Wafi, al-Kafi (Syarrah al-Wafi), al-Musyasyafa dalam bidang fiqh dan al-Manar dalam
bidang ushul fiqh.

c. Al-Zaila’iy , Fakhruddin Usman bin Ali BIN Mihjan al- Zala’iy, sebagai seorang mufti di kairo,
termasuk fuqoha hanafiyah. Diantara kitab yang beliau karang adalah: tabyin al-Haqoiq, Syarah al-
Daqoiq, barokah al-Kalam fi Ahadits al-Ahkam, kemudian syarah al-jami’ al-Kabir.

d. Al-A’ini, badrudin Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad al-‘aini, lahir pada tahun 762 H,
wafat tahun 855 H, seorang ulama fiqh juga ahli sejarah. Diantara kitab karangannya ialah : umdah
al-qori syarrah shohih bukhari, Maghoni al-Akhyar Syarrah Ma’ani al-Astar, nukhab al-Afkar, Syarrah
al-Bihari al-Dzohiroh.

2. Pakar-pakar fuqoha abad keenam dari aliran Malikiyah

a. Ibnu al-Hajib, Jamaluddin Usman bin Umar bin Abi baker bin Yunus, lahir tahun 570 H, dan
wafat tahun 646 H, karena ayahnya seorang penjaga pintu istana, maka ia dikenal dengan Ibnu al-
Hajib. Di antara kitabnya ialah: Muntaha al-Suh wa al-Amal, Mukhtashor Muntahassul wa ala-Amal
dan Jami’ al-Ummahat dalam soal fiqh.

b. Kholil bin Ishak, bin Musa al-Jundi, wafat pada tahun 767 H, seorang ahli fiqh dari mazhab
Malikik, seorang mufti di mesir. Diantara karangan nya ialah : al-mukhtashor yang disalain dalam
nahasa prancis, kemudian syarah ibnu Al-hajib dan al-manasik.

c. Ibnu juzai muhammad bin ahmad bin juzai al-kalibi, wafat pada tahun 741 H, seorang ulama
besar dalam aliran malikiyah, telah mengarang kita : al-qawanin Al-fiqiyah, sebuah kitab yang
meliputi pembahasan tentang ilmu kalam fiqh, sirah rasul, tarikh serta tashauf
d. Al-kaththob, muhammad bin ahmad bin abdi rohman al-hathob, lahir pada tahun 902 H, dan
wafat tahun 902 H. Beliau termasuk seorang ulama malikiah golongan tashauf, buku karangan nya
ialah : al-qorrot al-‘ain, hidayat al-salik, muwahib al-jalil dan tahrir al-kalam.

3. Para pakara fuqoha abad keenam dari madzhab Syafi’i

a. Ibnu Abdi al-Salam, izuddin Abdu al-‘Aziz bin Abdi al-Salam al-Dimasqi, lahir pada tahun 694
H, dan wafat pada tahun 660 H dikenal dengan sebutan Raja Ulama, seorang ahli fiqh mazhab Syafi’i
yang mencapai tingkat mujtahid mutlak. Beliau lama memangkut jabatan seorang qodhi di Mesir,
dan di antara kitab karangannya ialah: al-Fawaid al-Ghoyah, Mukhtashshor al-Nihayah, al-Qowaid al-
Kubro, al-Qowaid al-Shughro dan al-Ri’ayah.

b. Ibnu Jama’ah, Abdu al-‘Aziz bin Muhammad bin Ibrohim bin jama’ah al-Kinani al-Hamawi,
lahir tahun 694 H dan wafat tahun 767 H. Beliau termasuk seorang ulama hadits dan Ketua
Pengadilan. Buku karangannya antaralain: Bidayah al-Salik dan Takhrij Ahadits al-Rafi’i.

c. Al-Bulqini, Sirajuddin Uamr bin Ruslah bin Masher al-Kinani al-Asqolani al-Syafi’i, seorang
mujtahid dan Huffaz al-Hadits, lahir pada tahun 724 H, wafat tahun 805 H. Karangannya adalah: al-
Tadrib dalam masalah fiqh, Tashhih al-Minhaj, al-Mulimmat, Mahasin al-Istilah dan hasyiyah al-
Roudhoh.

d. Jalaluddin al-Mahalli, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrohim al-Mahalli, seorang
ulama ahli ushul dan ilmu tafsir serta ilmu fiqh. Di antara kitabnya adalah: Tafsir al-Jalalin, Kanzu al-
Roghibin, Syarah Minhaj al-Tholibin, Syarah Jam’u al-Jawami’ dan Syarah al-waroqot.

4. Pakar fuqoha mazhab hambali pada periode keenam

a. Majdu al-Din al-Harani, Abu al-Barokat Abdu al-Salam bin Abdillah bin Abi al-Qosim al-Harani,
lahir tahun 590 H dan wafat tahun 652 H, bergelar syaikh al-Islam, Nenek dari ibnu taimiyah.
Terkenal sebab ulama fiqh, hadits dan tafsir serta ushul fiqh dan madzhab ulama islam. Diantara
kitabnya ialah al-ahkam, syarah al-hidayah,m untaq al akabar, al muharror dalam ilmu fiqh.

b. Imam ibnu taimiyah, taqiyudidn abu al-abbas ahmad bin abdi al-Salam bin Taimiyah al-Harani,
lahir pada tahun 661 H dan wafat tahun 728 H. Seorang ulama bear imamah dari para imam mazhab,
lautan ilmu pengetahuan, bergelar Syaikh al-islam. Di antara kitab-kitabnya ialah: Minhaj al-Sunnah
al-Nabawiyah al-Jawab al-Shohih, al-tawassul wa al-Washilah, Bayanu al-Dalil ‘ala Buthlan al-Tahlil,
Iqtidhou al-Shirot al-Mustaqim, Rof’u al-Malam, al-Siyasah Syari’iyah, Syarah al-Muharror, Syarah al-
Umdah, al-Fatwa, dan sungguh masih banyak lagi yang dapat mengembalikan pancaran cahaya
ijtihad terhadap kalangan ulama dan intelektual muslim modern.
Mentransformasikan prinsip-prinsip hukum Islam ke dalam hukum nasional sangat-sangat
dimungkinkan. Hal ini dapat dilihat ada beberapa kekuatan dan peluang dalam hukum Islam,antara
lain dalam hal kekuatan :

(a) Karakter hukum Islam yang universal dan fleksibel serta memiliki dinamika yang sangat tinggi
karena ia memiliki dua dimensi, yaitu tsabat (konsistensi) dan tathawwur (transformasi) yang
memungkinkan Islam selalu relevan dengan perubahan sosial dan temporal yang selalu terjadi,

(b) Sebagai hukum yang bersumber kepada agama, hukum Islam memiliki daya ikat yang sangat
kuat, tidak terbatas sebagai aturan yang berdimensi profan humanistik, akan tetapi juga berdimensi
transendental,

(c) Hukum Islam didukung oleh mayoritas penduduk Indonesia, karena mayoritas penduduk
Indonesia beragama Islam,

(d) Secara historis dan sosiologis hukum Islam telah mengakar dalam praktek kehidupan hukum
masyarakat.

Adapun peluang hukum Islam ditransformasikan ke dalam hukum nasional, antara lain:

(a) Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia dan UUD 1945 sebagai
konstitusi negara memberi kedudukan penting bagi agama. Hal ini membuka peluang bagi
dikembangkannya hukum yang bersumber 11 Abdurrahman Wahid, “Menjadikan Hukum Islam
sebagai Penunjang Pembangunan,“, dalam Eddi Rudiana Arief et. el. (Peny), Hukum Islam di
Indonesia Pemikiran dan Praktek, ( Bandung: Rosdakarya, 1991), hal. 1-17. 12 Maksun, “
Konstitusionalisasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,“ Mimbar Hukum No. 51 Thn. XII
2001, hal. 33-34. 6 H. A. Khisni bari agama (hukum Islam),

(b) Pengembangan hukum diarahkan untuk tumbuhnya kesadaran hukum masyarakat dan
kesadaran hukum masyarakat yang mayoritas beragama Islam tidak bisa dilepaskan dari hukum
Islam. Ini berarti hukum nasional yang dikehendaki negara RI adalah hukum yang menampung dan
memasukkan hukum agama dan tidak memuat norma yang bertentangan dengan hukum agama, (c)
Adanya political will dari pemerintah untuk dikembangkannya hukum Islam dalam sistem hukum
nasional meskipun masih terbatas,

(d) Masyarakat muslim Indonesia memiliki keinginan kuat untuk berhukum dengan hukum agama
(hukum Islam) sesuai tuntutan akidahnya.

Ada dua cara yang ditempuh dalam pembinaan hukum nasional, yaitu melalui pembentukan
perundang-undangan dan melalui putusan-putusan hakim atau yurisprudensi

Wujud transformasi dari putusan atau yurisprudensi dari Peradilan Agama dalam (pembinaan)
hukum nasional, yaitu: putusan (yurisprudensi) Peradilan Agama yang digali dari ajaran atau hukum
Islam atau penerapan ajaran atau hukum Islam, akan menjelma dalam bantuk sebagai berikut.

Pertama, penemuan asas dan prinsip hukum. Asas dan prinsip hukum merupakan sub sistem
terpenting dari suatu sistem hukum. Tiada sistem hukum tanpa asas hukum.

Kedua, Pembentukan kaidah-kaidah hukum. Peran putusan (yurisprudensi) Peradilan Agama di sini
adalah sebagai media transformasi kaidah-kaidah yang bersumber dari ajaran dan hukum Islam
menjadi bagian dari sistem hukum nasional.
Ketiga, Tidak pula kurang pentingnya kalau yurisprudensi Peradilan Agama dapat
mentransformasikan, melahirkan, atau mengadaptasi ajaran (doktrin) hukum menurut ajaran Islam
menjadi ajaran (doktrin) dalam sistem hukum nasional.

hukum Islam dapat ditransformasikan dengan menggunakan teknikteknik sebagai berikut, yaitu:

(1) takhsish al-qadla, yaitu negara dapat mengambil kebijakan prosedural untuk memberikan
wewenang kepada peradilan agar tidak menerapkan ketentuan hukum keluarga dalam situasi
tertentu, tanpa berusaha untuk merubah substansi hukum Islam tersebut,

(2) takhayyur, yaitu memilih ajaran-ajaran fikih selain dari mazhab mayoritas masyarakat, apabila
pendapat tersebut lebih sesuai dengan perkembangan masyarakat tersebut. Teknik ini juga dikenal
dengan teknik talfiq, yaitu menggabungkan beberapa ajaran mazhab yang berbeda,

(3) Reintrepretasi, yaitu melakukan reinterpretasi baru terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah
berkenaan dengan perubahan sosial,

(4) siyasah syar’iyyah, yaitu berupa kebijakan penguasa untuk menerapkan peraturan perundang-
undangan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syari’ah

1. Pengertian Fiqh Muqaran

Terdapat beberapa definisi tentang pengertian fiqh Muqaran yang diungkapkan oleh para sarjana
muslim diantaranya adalah sebagai berikut.

Fiqh Muqaran adalah Suatu ilmu yang mengumpulkan pendapat-pendapat suatu masalah
ikhtilafiyah dalam fiqh, mengumpulkan, meneliti dan mengkaji serta mendiskusikan dalil masing-
masing pendapat secara objektif, untuk dapat mengetahui pendapat yang terkuat, yaitu pendapat
yang didukung oleh dalil-dalil yang terkuat, dan paling sesuai dengan jiwa, dasar, dan prinsip umum
syariat Islam.

Fiqh Muqaran atau dalam istilah lain disebut Perbandingan Mazdhab adalah ilmu pengetahuan yang
membahas pendapat-pendapat fuqaha’ (Mujtahidin) beserta dalil-dalilnya mengenai berbagai
masalah, baik yang disepakati, maupun yang diperselisihkan dengan membandingkan dalil masing-
masing, yaitu dengan cara mendiskusikan dalil-dalil yang dikemukakan oleh mujtahidin untuk
menemukan pendapat yang paling kuat dalilnya. Terdapat tujuh kata kunci terkait dengan hal ini,
yaitu : Imam mujtahid, metode istinbath hukum, materi fiqh, madzhab sebagai aliran fiqh yang
kemudian menjadi komunitas, kelompok pendukung/pengikut, istilah hukum yang digunakan, dan
karya fiqh Imam Madzhab.
Definisi Fiqh Muqaran Menurut Syeikh Mahmud Syaltut adalah Mengumpulkan pendapat para imam
mujtahid berikut dalil-dalil tentang suatu masalah yang diperselisihkan dan kemudian
membandingkan serta mendiskusikan dalil-dalil tersebut satu sama lain untuk menemukan pendapat
yang terkuat dalilnya.

Dalam kajian fiqh muqaran akan sangat erat sekali dengan ikhtilaf fuqaha’, adapun sebab-sebab
ikhtilaf tersebut adalh sebagai berikut :

a. Perbedaan pemahaman tentang lafadz nash.

b. Perbedaan dalam masalah hadits.

c. Perbedaan dalam pemahaman dan penggunaan kaidah-kaidah lughawiyah nash.

d. Perbedaan dalam mentarjihkan dalil-dalil yan berlawanan.

e. Perbedaan tentang qiyas.

f. Perbedaan dalam penggunaan dalil-dalil hukum.

g. Perbedaan dalam masalah nash

h. Perbedaan dalam pemahaman illat hukum.

Syaikh Muhamad al-Madaniyah dalam bukunya Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha membagi sebab-sebab
ikhtilaf itu kepada empat macam, yaitu:

1. Pemahaman Al-Qur’an dan sunnah rasul.

2. Sebab-sebab khusus tentang sunnah rasul

3. Sebab-sebab yang berkenaan dengan kaidah-kaidah ushuliyah atau fiqhiyah.


4. Sebab-sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil-dalil di luar Al-Qur’an dan sunnah Rasul.

Anda mungkin juga menyukai