Anda di halaman 1dari 5

1.

Pendahuluan

Sebagai sumber ajaran Islam ke dua, hadis berbeda dengan al-Qur’an yang semua ayatnya diterima
secara mutawatir. Sedang hadis periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi
secara ahad.[1] Bahkan, kodifikasi hadis yang resmi pun baru dirintis masa khalifah Umar bin Abd
al-Aziz (w. 110 H/720 M).[2] Oleh karenanya penelitian terhadap orisinalitas hadis memang sangat
diperlukan agar validitasnya sebagai hadis Nabi dapat dipertanggungjawabkan. Pentingnya problem
orisinalitas hadis ini terjawab, telah memotivasi para ulama’ hadis melahirkan kajian Ilmu yang
berkaitan dengan sanad, yaitu Ilmu Rijalil Hadis dan Ilmu Ilalil hadis.

Sebagai salah satu cabang Ulum al-Hadis, Ilmu Rijalil Hadis merupakan Ilmu yang secara spesifik
mengupas keberadaan para rijal hadis atau para perawi atau transmitter hadis. Ilmu Rijalil Hadis
memiliki dua cabang, yakni Ilmu Tarikh ar-Rijal- didefinisikan Muhammad Ajjaj al-Khatib sebagai Ilmu
yang membahas keadaan para perawi dari segi aktivitas mereka dalam meriwayatkan hadis dan
Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, Ilmu yang membahas keadaan para perawi dari segi diterima tidaknya
periwayatan mereka.

Dengan demikian, Ilmu Rijal al-Hadis dalam mengkaji para perawi pada dasarnya memiliki dua scope
bahasan, yang pertama biografi atau sejarah para perawi sebagai cakupan Ilmu Tarikh ar-Ruwah dan
kedua, sebagai tahapan kelanjutan bahasan pertama, yakni mengkaji rawi dari segi justifikasi
kualitas rawi.

Kemunculan kajian Rijal al-Hadis yang menjadikan manusia sebagai subyek-ahli hadis-sekaligus
obyek-rawi hadis- sejalan kemunculan periwayatan hadis itu sendiri, yakni sejak masa Nabi. Hanya,
sebagai bangunan Ilmu tersendiri, baru mewujudkan diri bersamaan dengan kemunculan ilmu-ilmu
hadis yang lain yakni setelah upaya kodifikasi hadis mulai dirintis. Hal ini memiliki pengertian, bahwa
semenjak masa Nabi sudah ada rintisan untuk memfilter berita dari sisi “siapa penyampai
berita-nya”, sebagaimana dituntunkan sendiri oleh al-Qur’an Q.S al-Hujurat (49);6 yang bermuatan
seruan untuk melakukan tabayyun atau konfirmasi dalam menerima informasi. Terlebih dalam
dataran praktis, Nabi sendiri melakukan penilaian terhadap para sahabat, seperti Khalid saif min
suyufillah, fulan bi’sa akhul asyirah, dsb.[3]

Mengkaji rijal hadis atau para perawi hadis berarti mengkaji semua orang yang menjadi rawi dalam
periwayatan hadis sampai terkodifikasi kitab-kitab hadis. Ini memiliki pengertian ada ratusan ribu
rawi yang harus dilibatkan, mengingat jimlah sahabat yang menjadi rawi saja jumlahnya belasan ribu
orang belum termasuk tabi’in, tabi’it tabi’in dan seterusnya. Oleh karenanya, bukan merupakan
pekerjaan yang mudah mengkaji para rijal al-hadis dari berbagai aspeknya. Terlebih lagi dengan
mengingat keberadaan subyektivitas pengumpul data tidak bias dinafikan dalam ilmu yang termasuk
human sciences ini.

Subyektifitas kritikus sangat mempengaruhi out-put penilaian mereka terhadap seorang rawi. Oleh
karenanya adalah wajar jika ada ulama’ hadis yang dikenal ketat atau tasyaddud, ada pula yang
longgar atau tasahul dan ada pula yang moderat atau tawasut. Al-Nasa’I (w. 303 H/905 M) dan Ibn
al-Madani (w. 234 H/849 M) dan Jalal al-Suyuthi (w. 911 H/1505 M), dikenal sebagai mutasahil
dalam menilai rawi hadis yang siqah, sedang Ibn al-Jauzi mutasahil dalam menilai rawi hadis yang
siqah, sedang Ib al-Jauzi mutasahil dalam menyatakan adanya jarh dalam rawi. Sedangkan al-Zahabi
(w. 748 H/ 1348 M), dikenal dalam menilai periwayat hadis.

Adapun untuk mengkaji para rawi yamg terlibat dalam periwayatan hadis yang memiliki masa
rentang yang panjang dengan kita, diperlukan kitab-kitab terkait yang telah dihasilkan para ulama’
sebelumnya. Diantara kitab Rijal Hadis yang sampai pada kita, ada kitab-kitab yang secara khusus
hanya memuat rawi-rawi dalam kitab hadis tertentu, seperti Rijalu Shahih Muslim karya Abu Bakar
Ahmad bin Ali Al-Asfahani (w. 428 H), al—Jam’u baina Rijal al-Shahihain buah tangan Ibn al-Qirani (w.
507 H), al-Ta’rif bi Rijal al-Muwatta’ karya al-Tamimi (w. 416 H). Ada pula kitab-kitab yang khusus
memuat rawi kutub al-sittah, seperti Tahdzib al-Kamal karya al-Mizzi, Tahzdib al-Tahzdib karya Ibnu
Hajar al-Asqalani, Khulasah Tazhib al-Kamal karya al-Khazraji. Ada pula kitab-kitab yang khusus
memuat para rawi yang siqah seperti: Kitab al-Siqqat karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban
al-Busti, Kitab al-Siqqat karya al-Ijli. Diantara kitab-kitab yang secara spesifik memuat para perawi
yang lemah atau masih diperselisihkan dan diperbincangkan kualitasnya seperti Kitab al-Du’afa
karya al-Uqaili, al-Kamil fi Du’afa al-Rijal karya al-Jurjani dan Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal karya
al-Zahabi.[4]

1. Pengertian

Secara terminologis, Ilmu Tarikh al-Ruwat didifinisikan sebagai[7]:

Ilmu yang menerangkan rawi-rawi hadis, dari aspek yang berkaitan dengan periwayatan mereka
terhadap hadis tersebut.

Ilmu Tarikh al-Ruwat atau ilmu Tarikh al-Rijal ini menjelaskan hal ihwal para rawi dalam hal
periwayatan hadisnya yang meliputi informasi tentang kurun hidupnya (lahir dan wafatnya), daerah
kelahirannya, guru-gurunya, murid-muridnya, negeri-negeri tempat kediaman gurunya, perlawatannya,
tarikh kedatangannya ke Negara-negara yang dikunjungi, pendengaran hadisnya dari guru sebelum
dan sesudah guru mengalami ikhtilat, dalam kasus di antara gurunya ada yang mukhtalit, madzhab
yang dipeganginya dan lain-lain yang ada hubungannya dengan urusan hadis.

Dengan ilmu ini akan dapat diketahui informasi yang terkait dengan semua rawi yang menerima dan
menyampaikan hadis atau yang melakukan transmisi hadis Nabi SAW sehingga para rawi yang
mentransfer hadis dan terlibat dalam periwayatan adalah semua rawi baik dari kalangan sahabat,
para tabi’in, para tabi’ al-tabi’in sampai mukharrij hadis. Mereka inilah yang menjadi focus kajian Ilmu
Tarikh Al-Rijal.

Sejarah pertumbuhan Ilmu Tarikh ar-Ruwat sendiri seiring dan sejalan dengan sejarah pertumbuhan
periwayatan dalam Islam, karena bagaimanpun juga untuk memilah dan memilih hadis-hadis shahih
melewati penelitian terhadap para perawi dalam sanadnya, yang pada akhirnya memungkinkan
untuk membedakan antara hadis yang maqbul dan yang mardud.

Para pakar dalam ilmu hadis member atensi yang cukup besar, karena mereka memerlukan untuk
mengetahui kredibilitas para rawi dalam sanadnya. Mereka mengkhususkan diri dan meluangkan
waktu untuk berlanglangbuana dalam kaitannya dengan input sekitar rawi, umur, kediaman,
pendengaran hadisnya dari para guru, perlawatannya rawi ke berbagai tempat, kecenderungan
madzhab rawi dan pada puncaknya mengarah kepada kredibilitas para rawi. Karena informasi
tentang sah tidaknya pendengaran para rawi dalam periwayatan hadis dari aspek pribadi dan
intelektualnya sangat mereka perlukan.

2. Latar Belakang Munculnya Ilmu Rijāl al-Hadῑś

Ketika hadis sudah bekembang ke berbagai daerah, namun setelah sepeninggal Nabi Saw, terjadi
sebuah konflik antar umat Islam itu sendiri, yakni antara kelompok Sayyidina Ali ra, kelompok
Muawiyah dan kelompok Khawarij. Masing-masing kelompok mencari legitimasi4 dari al-Qur‟an dan
Hadis dan ketika mereka tidak mendapatkannya maka mereka pun mulai membuat hadis-hadis
palsu. Pada masa ini baru terjadi adanya pemalsuan hadis yang terjadi pertama kali setelah tahun
40 H, yaitu tepatnya pada masa khalifah „Ali bin Abi Thalib.5

Dalam rangka upaya untuk menanggulangi adanya hadis palsu atau maudlu‟ supaya tidak bisa
berkembang semakin luas dan usaha untuk menjaga terpeliharanya hadis-hadis Nabi Saw dari
tercampur dengan yang bukan hadis, ada beberapa usaha untuk memelihara hadis nabi. Pertama,
memelihara Sanad hadis, sikap ketelitian dalam menerima hadis Nabi para sahabat dan tabi‟in
semakin berhati-hati dalam menerimanya terutama setelah terjadinya perpecahan umat Islam.
Kedua, meningkatkan kesungguhan dalam meneliti hadis. Ketiga, menyelidiki dan membasmi
kebohongan yang dilakukan terhadap hadis. Keempat, menerangkan keadaan para perawi. Kelima,
membuat kaidah-kaidah untuk memelihara hadis maudlu‟.6 Dari sini muncullah kajian ilmu rijal
hadis.

Ilmu Rijal al-Hadis ialah ilmu untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitas mereka sebagai
perawi hadis. Keberadaan ilmu ini sangat penting untuk dipelajari, sebab di dalam hadis terdapat dua
objek kajian yaitu matan dan sanad. Ilmu iniilah yang membahas tentang persoalan-persoalan yang
terdapat di dalam sanad.7

B. Perkembangan Penulisan dan kajian Kitab Rijāl al-Hadῑś

1. Awal Penulisan Kitab Rijāl Hadῑś

Pada perkembangan berikutnya kaidah-kaidah hadῑś semakin berkembang pesat sesuai dengan
perkembangan teorinya. Teori-teori tersebut kemudian disempurnakan dalam bentuk tulisan, yang
pertama kali muncul pada abad kedua hijriyah, baik yang mereka mengkhususkan diri pada bidang
hadis, maupun pada bidang lainnya, sehingga menjadi satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Dalam
sejarah perkembangannya, penulisan teori-teori hadis terutama yang membahas tentang perawi
yakni: - Yahya bin Ma‟in (w. 234 H) menyusun kitab tentang biografi perawi. - Muhammad bin Sa‟ad
(w. 230 H), menyusun kitab tentang Ṭabaqāt para rawi dan kitabnya merupakan kitab yang paling
bauk. Ahmad bin Hanbal (241 H) Al-I„lal wa al-Ma‟rifah al-Rijāl. Seorang Imam yang sangat mahir
dalam menyusun dan menulis kitab, yakni Ali bin Abdullah bin Al-Madini (w. 234 H) guru Imam
Al-Bukhari, menyusun kitab tentang banyak hal yang mencapai dua ratus judul.26 - al-Qadhi Abu
Muhammad ar-Ramahurmuzi (wafat 360 H), kitabnya bernama al-Muhaddῑś al-Fāşil Baina al-Rāwῑ wa
al-Wā„i, kemudian muncul al-Hakim Abu Abdillah An-Naysaburi (321-405) Ma‟rifah „Ulum al-Hadῑś,
setelah itu, Abu Nu‟aim Ahmad bin Abdillah alAsfahani (336-430 H), kemudian Khatib al-Baghdadi
dengan kitabnya yang berjudul al-Kifāyah Fῑ Qawānin al-Riwāyah
Pada perkembangan berikutnya kaidah-kaidah hadῑś semakin berkembang pesat sesuai dengan
perkembangan teorinya. Teori-teori tersebut kemudian disempurnakan dalam bentuk tulisan, yang
pertama kali

Anda mungkin juga menyukai