Pendahuluan
Hadis merupakan salah satu dasar pengambilan hukum Islam setelah al-
Qur’an. Karena hadis mempunyai posisi sebagai penjelas terhadap makna yang
dikandung oleh Al-Qur’an. Apalagi banyak terdapatayat-ayat yang masih global
dan belum jelas maknanya sehingga seringkali seorang mufasir memakai hadis
untuk mempermudah pemahamannya.
Seiring dengan perkembangan ulumul hadis, maka terdapat beberapa
kalangan yang serius sebagai pemerhati hadis. Hal ini tidak lain bertujuan untuk
mengklasifikasikan hadis dari aspek kualitas hadis yang ditinjau dari segi matan
hadis maupun sanad hadis. Sehingga dapat ditemukan hadis-hadis yang layak
sebagai hujjah (alasan) dan hadis yang tidak layak sebagai hujjah.
Dalam memahami hadis nabi, realitas mempunyai posisi yang sangat
penting. Agar hadis nabi mampu mengakomodir segala realitas yang kompleks
dan beragam. Dengan itu, maka hadis Nabi tidak akan pernah mati dan terus hidup
sepanajang zaman. Akan tetapi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu
yang spesifik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan perhatian khusus.
BAB II
Pembahasan
A. Sejarah Pertumbuhan Ulumul Hadis
Pada dasarnya ulumul hadis telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadis
di dalam Islam, terutama setelah Rasulullah saw. wafat. Ketika itu umat Islam
merasakan perlunya menghimpun hadis-hadis Rasulullah saw. dikarenakan
adanya kekhawatiran hadis-hadis tersebut akan hilang atau lenyap.
Para Sahabat telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-
metode tertentu dalam menerima hadit, namun mereka belumlah menuliskan
kaidah-kaidah tersebut. Di dalam Surah al-Hujurat ayat 6, Allah Swt.
memerintah orang-orang yang beriman untuk meneliti dan mempertanyakan
berita-berita yang datang dari orang-orang yang fasik:
ٍ 2ِرُبَّ ُمبَل2َ ِم َعهُ ف2ا َس22 هُ َك َم2ض َر هللاُ إ ْم َر ًءا َس ِم َع منَّا ش ْيًئا فَبَلَّ َغ
.ا ِم ٍع2غ أوْ عى ِم ْن َس2 َّ َن
)(رواه الترمذي
“Semoga Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami
sesuatu (hadis), lantas dia menyampaikannya (hadis tersebut) sebagaimana dia
dengar, kadang-kadang orang yang menyampaikan lebih hafal daripada yang
mendengar.” (H.R. at-Tirmidzi).
Berdasarkan pada ayat Al-Qur’an dan hadis nabi di atas, maka para
Sahabat mulai meneliti dan bersikap hati-hati dalam menerima dan
meriwayatkan hadis-hadis nabi saw., terutama apabila mereka meragukan si
pembawa atau penyampai riwayat hadis tersebut. Dengan demikian, mulailah
lahir pembicaraan mengenai isnad dan nilainya dalam menerima dan menolak
suatu riwayat hadis.
Di antara sahabat ada yang saling menegur temannya ketika terjadi
kesalahpahaman terhadap suatu teks. Seperti yang dilakukan Aisyah ra.
terhadap kesalahan Anas bin Malik dalam hal mayat akan disiksa lantaran
ditangisi oleh keluarganya.
Demikian pula teguran Abu Bakar kepada Umar bin Khattab yang teks
tulisan hadisnya masih belum tuntas dan perlu dilengkapi sehingga melahirkan
perbedaan dalam mempersepsikan hadis. Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan
bahwa orang yang mula-mula meletakkan dasar-dasar ilmu hadis ini adalah
Imam Ibnu Syihab az-Zuhri (51-124).
Setelah terjadi kasus pemalsuan terhadap hadis-hadis nabi, barulah ada
gerakan yang signifikan dalam proses penerimaan dan periwayatan hadis.
Sejak itulah perhatian ulama tertuju kepada kredibilitas perawi dan peletakan
kaidah-kaidah yang dapat dijadikan acuan dalam penerimaan hadis dan
penolakannya.
Setelah terjadi fitnah di dalam kehidupan umat Islam, para sahabat mulai
meminta keterangan tentang orang-orang yang menyampaikan hadis atau
khabar kepada mereka. Mereka menerima atau mengambil hadis dari orang-
orang yang tetap berpegang kepada sunnah rasulullah saw., dan sebaliknya
mereka tidak mengambil hadis dari mereka para ahli bid’ah.
Pada awalnya teori-teori proses penerimaan dan periwayatan hadis serta
kredibilitas perawi (ilmu dirayah) masih tersisip dalam buku-buku yang belum
spesifik, berbaur dengan berbagai makalah seperti yang dilakukan Imam Asy-
Syafi’i dan lainnya dalam karya-karya mereka. Tidak ditemukan kepastian
tahun berapa ilmu hadits lahir, tetapi yang jelas bahwa ilmu ini lahir ketika
hadis sudah terkodifikasi pada abad ke-2 H. Dengan demikian, rintisan ilmu
hadis terjadi pada abad ke-3 H. Memang seperti pengetahuan tentang
kredibilitas perawi sudah ada sejak zaman rasulullah saw., tetapi pada saat itu
belum menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Ketika Imam Syafi’i (w.204 H) menulis kitab ar-Risalah, sebenarnya ilmu
hadis telah mengalami perkembangan lebih maju, sebab di dalam kitab
tersebut telah dibahas kaidah-kaidah tentang periwayatan, hanya saja masih
bercampur dengan kaidah ushul fikih. Demikian pula dalam kitab al-Umm. Di
sana telah ditulis pula kaidah yang berkaitan dengan cara menyelesaikan
hadis-hadis yang bertentangan, tetapi masih bercampur dengan fikih. Artinya
ilmu hadis pada saat itu sudah mulai tampak bentuknya, tetapi masih belum
terpisah dengan ilmu lain.
Sesudah generasi Syafi’i, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu
hadits, misalnya Ali bin al-Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu
Qutaibah (w.276 H) menyusun kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits. Imam
Muslim dalam Muqaddimah kitab Sahih-nya, At-Tirmidzi menulis al-Asma’
wa al-Kuna, Muhammad bin Sa’ad menulis at-Tabaqat al-Kubra. Demikian
pula al-Bukhari menulis tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab adh-
Dhu’afa’. Dengan banyaknya ulama yang menulis tentang persoalan yang
menyangkut ilmu Hadits pada abad III H, maka dapat kita pahami mengapa
abad ketiga disebut sebagai awal kelahiran Ilmu Hadits, walaupun tulisan yang
ada belum membahas ilmu Hadits secara lengkap dan sempurna.
Pada abad keempat dan kelima Hijriah mulailah ditulis secara khusus
kitab-kitab yang membahas tentang ilmu hadis yang bersifat komprehensif.
Penulisan ilmu hadis secara lebih lengkap dimulai ketika al-Qadi Abu
Muhamad al-Hasan bin Abdur Rahman ar-Ramahurmuzi (w. 360 H/abad IV
H) menulis buku al-Muhaddis al-Fasil Bayn ar-Rawi wa al-Wa’i. Kemudian
disusul al-Hakim al-Naysaburi (w. 405 H) menulis Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis,
al-Khatib Abu Bakar al-Baghdadi menulis kitab Al-Jami’ li Adab al-Syaikh
wa al-Sami’. Al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah dan al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa
Adab al-Sami’.
Pada abad-abad berikutnya, bermunculan karya-karya di bidang Ilmu
hadits, yang sampai sekarang masih menjadi referensi utama dalam
membicarakan Ilmu Hadits, diantaranya adalah ‘Ulum al-Hadits oleh Abu
Utsman bin Abdurrahman yang lebih dikenal dengan Ibnu ash-Shalah (w.643
H/1245 M), Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi oleh Jalaluddin
Abdur-Rahman bin Abu Bakar al-Suyuthi (w. 911 H/ 1505 M).1
1
Gilang Ilham .F, Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis, diakses dari Hidayatullah.com
sumbernya https://www.hidayatullah.com, pada tanggal 13 September 2021, pukul 23.15 WITA.
a. Kitab Al-Muhadditsul Fashil baynar Rawi wal Wa’i karya Al-Qadhi Ar-
Ramahurmuzi (360 H). Kitab ini dianggap sebagai karya pertama yang
membahas ilmu hadis secara khusus, meskipun pembahasannya masih
umum dan belum terlalu detail.
b. Kitab Ma’rifatu ‘Ulumil Hadits karya Al-Hakim An-Naisaburi (405 H).
Kitab ini juga masih sederhana dan susunannya belum tersistematis.
c. Kitab Al-Mustakhraj ala Ma’rifati Ulumil Hadits karya Abu Nu’aim Al-
Asbahani (430 H). Penulisnya melalui kitab ini mencoba melengkapi
kekurangan dari kitab-kitab yang ada sebelumnya.
d. Kitab Al-Kifayah fi Ilmir Riwayah karya Al-Khatib Al-Baghdadi (463 H).
Berbeda dengan karya-karya sebelumnya, kitab ini lebih lengkap dan
memuat tema-tema ilmu hadis yang lebih beragam.
e. Kitab al-‘Ilmu fi Dhabthi ar-Riwayah wa at-Taqyid al-Asma karya Imam
Qadhi ‘Iyadh (w. 544 H)
f. Kitab Ma La Yasi’u al-Muhaddits Jahlahu karya Imam Abu Hafsh Umar
bin Abdul Majid al-Mayanzi (w. 580 H)
g. Kitab Ulumul Hadits atau yang lebih dikenal dengan sebutan Muqaddimah
Ibnus Shalah yang ditulis oleh Imam Ibnu Shalah (643 H). Kitab ini
menghimpun keterangan dari beberapa kitab sebelumnya dan merapikan
sistematika penyajiannya.
h. Kitab At-Taqrib wat Taysir li Ma’rifati Sunanil Basyirin Nadzir karya
Imam an-Nawawi (676 H). Karya ini merupakan simpulan dari kitab
Muqaddimah Ibnus Shalah.
i. Kitab Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi karya Imam Jalaluddin
as-Suyuthi (911 H). Karya ini merupakan syarah (penjelasan) atas kitab at-
Taqrib an-Nawawi.
j. Kitab Taysiru Mushthalahil Hadits karya Mahmud Thahhan. Kitab
kontemporer yang mencakup seluruh istilah dalam ilmu hadis dan
dijelaskan dengan bahasa yang gamblang serta mudah dipahami.
Selain itu, sebagian kitab ilmu hadits ada juga yang ditulis dalam bentuk
nazham (syair berbahasa Arab) oleh para ulama, di antaranya seperti kitab
Alfiyah Al-‘Iraqi karya Imam Al-‘Iraqi (806 H) yang kemudian dijelaskan
oleh Imam As-Sakhawi (902 H) dalam karyanya Fathul Mughits fi Syarhi
Alfiyatil Hadits. Demikian juga dengan Nazham Al-Bayquni yang ditulis oleh
Umar bin Muhammad Al-Baiquni (1080 H) yang terdiri atas 34 bait. Kitab
yang terakhir ini sangat populer dan diajarkan di berbagai pesantren di
Nusantara.2
Selain itu, terdapat enam perawi hadis yang menghimpun dan
mengodifikasi hadis-hadis Rasulullah saw.. Mereka disebut Imam Kutubus
Sittah. Kutubus Sittah adalah enam kitab atau buku tentang hadis yang
2
Yunal Isra, Kitab-Kitab Populer dalam Ilmu Hadis, diakses dari NU Online
https://islam.nu.or.id , pada tanggal 12 September 2021, pukul 16.00 WITA.
menjadi rujukan umat Islam dalam mempelajari riwayat, sabda, dan ajaran
Nabi Muhammad saw. Keenam kitab dan pengarangnya adalah:
1. Shahih Bukhari dihimpun oleh Imam Bukhari
Kitab ini dihimpun oleh Imam Bukhari, seorang ulama asal Bukhara di
Asia Tengah (sekarang wilayah Uzbekistan). Kitab ini selesai sekitar tahun
846 M/232 H, dan berisi 7275 hadis.
2. Shahih Muslim dihimpun oleh Imam Muslim
Imam Muslim bin al Hajjaj adalah ulama asal Nishapur, Iran, yang hidup
antara tahun 817-875 M. Kitab ini berisi sekitar 9200 hadits, dan dianggap
sebagai kitab hadis paling penting kedua setelah Shahih Bukhari.
3. Sunan an-Nasa’i dihimpun oleh Imam Nasa’i
Imam Nasai adalah ulama Asia Tengah yang merupakan ahli hadis, yang
hidup antara 829–915 M. Kitab Sunan an-Nasa’i ini disebut juga dengan
Sunan as-Sughra (Kitab Kecil) dan berisi 5270 hadis.
4. Sunan Abu Dawud dihimpun oleh Imam Abu Dawud
Imam Abu Dawud as-Sijistani adalah ulama asal Sistan, Iran, yang hidup
pada 817-889 M. Kitab Sunan Abu Dawud berisi sekitar 4800 hadits, yang
konon merupakan hasil saringan dari lebih dari 500 ribu riwayat hadis.
5. Sunan at-Tirmidzi dihimpun oleh Imam Tirmidzi
Abu Isa Muhammad At-Tirmidzi adalah ahli hadis asal Termez, Asia
Tengah (sekarang wilayah Turkmenistan) yang hidup pada 824–892 M.
Sunan at-Tirmidzi, atau disebut juga Jami at-Tirmidzi berisi sekitar 3956
hadis, yang digolongkan berdasarkan topik.
6. Sunan ibnu Majah dihimpun oleh Imam Ibnu Majah
Abū ʻAbdillāh Muḥammad ibn Yazīd Ibn Mājah al-Qazwīnī adalah ahli
hadits asal Qazwin, Iran, yang hidup pada 824 – 887 M. Sunan ibn Majah,
kumpulan hadits yang ia susun, terdiri atas sekitar 400 hadis yang
dikelompokkan dalam 32 bagian.3
اقواله صلى هللا عليه وسلم وافعاله وتقاريره مما يتعلق بالحكم
Artinya "Segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad SAW,
yang bersangkut paut dengan hukum". (T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy,1974)
Dari uraian tersebut diatas dapat diambil pemahaman bahwa hadits
mengandung beberapa kriteria yaitu:
a. Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. Artinya segala
sesuatu yang bukan disandarkan kepada Nabi Muhammad bukan hadits,
seperti sabda Nabi Daud, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan lain lain.
2. Sunnah
Secara etimologi, sunnah memiliki arti jalan yang terbentang untuk dilalui
jalan yang baik atau tidak baik . Sunnah juga bermakna adat kebiasaan atau
tradisi atau ketetapan, meskipun hal itu tidak baik .
ّ من
نة22ن س22ة ومن ش22وم القيام22ا إلى ي22سن سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل به
)سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة )رواه البخاری
Artinya : “Barangsiapa mengadakan sunnah/jalan yang baik, maka baginya
pahala atas jalan yang ditempuhnya ditambah pahala orang-orang yang
mengerjakannya sampai hari kiamat. Dan barangsiapa mengadakan
sunnah/jalan yang buruk, maka atasnya dosa karena jalannya buruk yang
ditempuhnya ditambah dosa orang yang mengerjakannya sampai hari
kiamat.
4
Team Guru PAI MADRASAH ALIYAH, Modul HIKMAH Qur’an Hadits, Akik
Pustaka2018 h.5.
a) Menurut sebagian ulama ahli hadis, definisi sunnah lebih luas dari hadits.
Sunnah meliputi segala yang datang dari Nabi Muhammad SAW , baik
berupa perkataan, perbuatan dan taqrir, juga sifat-sifat dan perilaku atau
perjalanan hidup beliau sebelum atau sesudah diangkat menjadi Nabi.
ما نقل عن النبي صلى هللا عليه وسلم من اقوال وافعال أو تقرير
Artinya : " Segala yang dinukilkan dari Nabi SAW baik berupa perkataan,
perbuatan maupun taqrir (ketetapan) beliau ".
b) Para ushulliyin menuturkan bahwa Sunnah menurut istilah ialah :
كل ما صدر عن النبي صل هللا عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير مما يصلح
أن يكون دلية كم شرعي
Artinya : sunnah yaitu segala dari Nabi SAW , baik perkataan maupun
perbuatan , atau taqrir yang mempunyai hubungan dengan hukum agama .
(T.M. Hasbi Ash Shiddieqy , 1974)
Untuk menghindari salah paham mengenai pengertian hadits dan sunnah perlu
kiranya ditegaskan perbedaannya . Hadits yaitu segala peristiwa yang disandarkan
kepada Nabi SAW, walaupun selama hayat beliau hanya sekali terjadi, atau hanya
diriwayatkan oleh seorang. Sedangkan sunnah adalah amaliah Nabi SAW yang
mutawatir dan sampai kepada kita dengan cara mutawatir pula. Nabi
melaksanakannya bersama para sahabat, lalu para sahabat melaksanakannya.
Kemudian diteruskan oleh para tabi'in, walaupun lafaz penyampaiannya tidak
mutawatir namun cara penyampaiannya mutawatir. Mungkin terjadi perbedaan
lafaz dalam meriwayatkan sesuatu kejadian, sehingga dalam segi sanad dia tidak
mutawatir, akan tetapi dalam segi amaliahnya dia mutawatir. Proses yang
mutawatir itulah yang disebut sunnah . Oleh karena itu dalam kehidupan kita
sehari-hari sering para ulama menjelaskan bahwa amalan ini telah sesuai dengan
sunnah rasul.
3. Atsar
Menurut tinjauan etimologi Atsar berarti bekas sesuatu atau sisa sesuatu.
Dan berarti pula nukilan (yang dinukilan). Karena doa yang dinukilkan/berasal
dari Nabi SAW disebut doa ma'tsur .
Sedangkan Atsar menurut terminologi, menurut jumhur utama atsar
mempunyai pengertian sama dengan khabar dan hadits . Sebagian ulama '
menurutkan atsar lebih umum dari pada khabar, yaitu atsar berlaku bagi segala
sesuatu dari Nabi SAW maupun dari selain Nabi SAW , sedangkan khabar
khusus bagi segala sesuatu dari Nabi SAW saja.
Para ahli fikih menggunakan istilah "atsar" untuk perkataan-perkataan
ulama salaf, sahabat, tabi'in, dan lain-lain.
5
Team Guru PAI MADRASAH ALIYAH, Modul HIKMAH Qur’an Hadits, Akik
Pustaka 2018 h.5.
Atsar adalah sesuatu yang dari Nabi Muhammad maupun dari selain Nabi
Muhammad SAW (Sahabat dan Tabi'in)Khabar adalah sesuatu berita, baik
dari Nabi Muhammad SAW, para sahabat maupun dari Tabi'in.
Unsur-Unsur hadits yaitu sanad, matan dan rawi.
Daftar Pustaka
Buku
Team Guru PAI MADRASAH ALIYAH. 2018. Modul HIKMAH Qur’an Hadits, Akik
Pustaka.
Anhar, Barusdi. 2020. Ilmu Hadis Kelas X MA Peminatan Keagamaan. Kementerian
Agama Republik Indonesia
Rahmat, Unang dan Muhamad Zunin. 2015. Hadis-Ilmu Hadis untuk MAK Kelas X.
Kementerian Agama Republik Indonesia
Internet
https://islam.nu.or.id/post/read/83883/kitab-kitab-populer-dalam-ilmu-hadits
https://www.hidayatullah.com/kajian/oase-iman/read/2020/12/09/197174/sejarah-
perkembangan-ilmu-hadits.html
https://brainly.co.id/tugas/9766118
https://www.hidayatullah.com/kajian/oase-iman/read/2020/12/09/197174/sejarah-
perkembangan-ilmu-hadits.html