Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirahim
Alhamdulillah , Puji beserta syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang
telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami mampu
menyelesaikan Makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya. Shalawat
serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad saw. Makalah
ini berisikan tentang penjelasan ” Hadist Pada Masa Sahabat dan Tabiin”
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini .
Akhir kata , kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir . Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita . Amin .

Panyabungan, Maret 2024

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN
A. Pemeliharaan Hadis
B. Penyampaian Hadis
C. Masa Penyaringan Hadis
D. Penyebaran Hadis Zaman Sahabat Dan Tabi’in

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Islam mengenal dua sumber primer dalan perundang-undangan.
pertama, Al-Qur’an dan kedua Al-Hadits. Terdapat perbedaan yang siknifikan
pada sistem infertirisasi sumber tersebut. Al-Qur’an sejak awal diturunkan
sudah ada perintah pembukuannya secara resmi, sehingga terpelihara dari
kemungkinan pemalsuan. Berbeda dengan hadits, tak ada perlakuan khusus
yang baku padanya sehingga pemeliharaannya lebih merupakan spontanitas
dan inisitif para sahabat
Hadits pada awalnya sebuah literatur yang mencakup semua ucapan,
perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Persetujuan Nabi yang
tidak di ucapkan terhadap pada zamannya, dan gambaran-gambaran tentang
pribadi Nabi. Mula-mula hadits dihafalkan dan secara lisan disampaikan
secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.

3
Setelah Nabi wafat pada tahun 10 H, Islam merasakan kehilangan yang
sangat besar. Nabi Muhammad SAW yang sebagai yang memilik otaritas
ajaran Islam, dengan kematiannya umat merasakan otoritas. Hanya Al-Qur’an
satu-satunya sumber informasi yang tersedia untuk memecahkan berbagai
persoalan yang muncul di tengah-tengah umat Islam yang masih muda itu,
wahyu-wahyu Ilahi, meskipun sudah di catat belum di susun dengan baik dan
belum dapat di peroleh atau tersedia secara materil ketika Nabi Muhammad
SAW wafat.
Wahyu-wahyu dalam Al-Qur’an yang sangat sedikit sekali
mengangdung petunjuk yang praktis untuk di jadikan prinsip pembimbing
yang umum dalam berbagai aktifitas. Khalifah-khalifah awal membimbing
kaum muslim dengan sahabat Nabi, meskipun terkadang bersandar pada
penilaian mereka. Namun, setelah beberapa lama, ketika muncul kesulitan-
kesulitan yang tidak dapat lagi mereka pecahkan sendiri mereka mulai
menjadikan sunnah, seperti yang merupakan kebiasaan prilaku Nabi sebagai
acuan dan contoh dalam memutuskan suatu masalah. Sunnah yang hanya
terdapat dalam hafalan-hafalan sahabat tersebut di jadikan sebagai bagian dari
refrensi panting setelah Al-Qur’an. Bentuk-bentuk kumpulan hafalan inilah
yang kemudian disebut dengan hadits.

B. Tujuan Masalah
Dalam makalah ini dapat diambil tujuan masalah yaitu:
1. Dapat mengetahui pemeliharaa hadis pada masa sahabat dan tabiin
2. Dapat mengetahui penyampaian hadist
3. Dapat mengetahui tentang penyaringan hadis
4. Dapat mengetahui tentang penyebaran hadis

BAB II
PEMBAHASAN

4
A. Pemeliharaan hadis
Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab tidak dikenal dengan
kemampuan membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai
bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun demikian, ini
tidak berarti bahwa di antara mereka tidak ada seorangpun yang bisa menulis
dan membaca. Keadaan ini hanya sebagai ciri keadaan dari mereka. Sejarah
telah mencatat bahwa sejumlah orang yang di antara mereka ada yang
mampu membaca dan yang menulis, Adiy bin Zaid al-Abbay (w. 35 sebelum
hijrah) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan
merupakan orang yang pertama yang mampu menulis dengan bahasa Arab
yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang Yahudi juga mengajarkan
anak-anak di Madinah menulis Arab. Kota Mekkah dengan pusat
perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan
orang-orang yang mempu membaca.1
Pada masa setelah sahabat kegiatan pengumpulan hadist sudah menjadi
suatu keharusan sejak abad ke-2, hal ini didasari karena perkembangan Islam
semakin meluas dan diperlukannya rujukan-rujukan hukum yang mudah
untuk didapatkan argumennya. Maka pemeliharaan hadist sudah menjadi
tanggungjawab para penguasa pada saat itu. Dimulai dari khalifah al-
Muqtadir sampai pada al-Mu'tashim, walaupun kekuasaan Islam sudah mulai
melemah pada abad ke 7 akibat serangan Holagu Khan cucu dari Jengis
Khan, namun kegiatan para ulama hadist dalam rangka memeliharannya dan
mengembangkannya berlangsung sebagaimana pada periode sebelumnya.
Hanya saja hadist yang dihimpun tidaklah sebanyak masa sebelumnya.
Adapun kitab-kitab hadist yang dihimpun adalah
1. Al-Shahih, oleh ibn Khujaimah (313 H).
2. Al-Anwa'wa al-Taqsim, oleh ibn Hibban (354 H).

1 Ajaj Al- Khatib, USHUL AL-HADITS (Pokok-pokok Ilmu Hadits) Penerjmah: H.


M Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998. Cet. Ke- 1, hal.
201.

5
3. Al-Musnad, oleh Abu Awanah (316 H).
4. Al-Muntaqa, oleh ibn Jarud.
5. Al-Muhtarah, oleh Muhammad ibn Abd al-Maqdisi.
Kitab-kitab di atas merupakan bahan rujukan bagi para ulama hadist,
sekaligus mempelajari, menghafal dan memeriksa serta menyelidiki sanad-
sanadnya. Selanjutnya menyusun kitab baru dengan tujuan memelihara,
menertibkan dan menghimpun sanad dan matannya yang saling berhubungan
serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang telah ada
tersebut.
Adapun bentuk-bentuk penyusunan kitab hadist pada periode ini
memperkenalkan sistem baru, yaitu:
1. Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunnya hanya menyebutkan
sebagian dari matan hadist tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad
dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab hadist yang dikutip
matannya ataupun dari kitab-kitab lainnya.
2. Kitab Mustakhraj, kitab ini memuat matan hadist yang diriwayatkan oleh
Bukhari atau Muslim, atau keduanya atau yang lainnya, dan selanjutnya
penyusunan kitab ini meriwayatkan matan hadist tersebut dengan
sanadnya sendiri.
3. Kitab Mustadrak, kitab ini menghimpun hadis-hadist yang memiliki
syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat
dari keduanya.
4. Kitab Jami', kitab ini menghimpun hadis-hadist yang termuat dalam kitab-
kitab yang telah ada, seperti:
1. Yang menghimpun hadist-hadist shahih Bukhari dan Muslim.
2. Yang menghimpun hadist-hadist dari al-Kutub al-Sittah.
3. Yang Menghimpun hadist-hadist Nabi dari berbagai kitab hadist.

B. Penyampaian Hadits

6
Sebagaiman yang telah kita tulis ketahui, bahwa al-ada` ialah
menyampaikan atau meriwayatkan hadist kepada orang lain. Oleh karenanya,
ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu menuntut
pertanggung jawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadist
juga sangat tergantung padanya. Mengingat hal hal seperti ini, jumhur ahli
hadist, ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan
hadist. Yakni sebagai berikut:2
Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu hadist, maka seorang perawi haruslah
seorang muslim. Dan menurut ijma’, periwayatan orang kafir tidak sah.
Seandainya perawinya seorang fasik saja, kita disuruh bertawakuf, apalagi
perawi yang kafir, kaitannya dengan masalah ini bisa kita dasarkan kepada
firman Allah:
‫َيا َأُّيَها الِذ ْيَن َأَم ُنْو ا ِإْن َج اَء ُك ْم َفاِس ٌق ِبَنَيٍإ َفَتَبَّيُنْو ا َأْن ُتِص ْيُبْو ا َقْو ًم ا ِبَج َهاَلٍة َفُتْص ِبُحْو ا َع َلى َم ا َفَع ْلُتْم‬
)6:‫َناِدِم ْيَن (الحجارة‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang
orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas
perbuata mu itu. (Al Hujurat 49: 6)
Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia
meriwayatkan hadist, walau penerimanya belum baligh. Hal ini didasarkan
pada hadist Rasulullah:

‫ُر ِفع الَقَلُم َع ْن َثاَل َثٍة َع ِن الَم ْج ُنْو ِن الَم ْغ ُلْو ِب َع َلى َع ْقِلِه َح َّتى َيِفْيَق َو َع ِن الَناِئِم َح َّتى َيْسَتْيَقَظ َو َع ِن‬
)‫الَص ِبِّي َح َّتى َيْح َتِلَم (رواه أبو دود والنسائ‬
Artinya: Hilang kewajiban menjalankan syari’at islam dari tiga golongan ,
yaitu, orang gila sampai ia sembuh, orang yang tidur sampai bangun,
dan anak anak sampai ia mimpi. (H.R Abu Daud dan Nasai’)
‘Adalah

2 Abdullah Karim, Membahas ilmu-ilmu hadits, (Kalimantan: CV Haga Jaya Offset,


2005), Cet. Ke-1, hlm. 37-41

7
Yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa
seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai jiwa tersebut, tetap
taqwa menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan
kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan
menjauhkan diri dari hal-hal mubah tetapi tergolong kurang baik dan selalu
menjaga kepribadiannya.
Dhabit
Dhabit ialah:
‫َتَيُقُظ الَر اِو ى ِح ْيَن َتَحَّم َلُه َو َفْهُم ُه ِلَم ا َسِمَع ُه َو َح ِفَظُه ِلَذ اِلَك ِم ْن َو ْقِت الَتَح ُمِل ِإَلى َو ْقِت اَألَداِء‬
“teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadist
yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya”

Cara mengetahui kedhabitan perawi dengan jalan I’tibar terhadap berita-


beritanya dengan berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan. Ada yang
mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat yang sebagaimana disebutkan
diatas, antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadist yang
disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan
hadist-hadist yang lebih kuat serta tidak bertantangan dengan ayat-ayat Al
Qur’an.
1. Cara-cara Sahabat Menerima dan Menyampaikan Hadits
Jumlah sahabat Rasulullah begitu banyak, sehingga sangat
memungkinkan bagi beliau untuk mentrasfer ilmu kepada mereka, tetapi
karena keanekaragaman kesibukan maka cara mereka menerima
hadistpun tidak sama. Berikut cara-cara sahabat dalam menerima hadist
diantara nya:
a. Secara langsung dari Nabi
Maksudnya ialah mereka secara langsung mendengar, melihat,
atau menyaksiakan tentang apa yang dilakukan, disabdakan, atau
berhubungan dengan Rasulullah. Hal demikian di alami sahabat saat
di pengajian Rasul atau dengan mengajukan pertanyaan kepada
Rasul.

8
b. Secara tidak langsung dari nabi.
Maksudnya ialah mereka secara tidak langsung melihat, mendengar,
atau mengsaksikan tentang apa yang dilakukan, disabdakan, atau
yang berhubungan dengan Rasul. Para sahabat yang mengalami hal
seperti ini karena:3

● Dalam keadaan sibuk untuk mengurus keperluan hidupnya atau

kesibukan lainnya. mereka terkadang tidak sempat ikut. Tetapi


walaupun mereka tidak ikut, mereka dapat mengetahui hadist
secara tidak langsung, dengan bertanya kepada sahabat yang hadir

● Tempat tinggal yang berjauhan dengan tempat tinggal Nabi.

Sudah pasti tidak semua sahabat rumahnya berdekatan dengan


Nabi. Dan jauhnya tempat tidak menjadi penghalang untunk
mereka mempelajari sunnah Nabi

● Merasa malu untuk bertanya langsung kepada Nabi, karena

masalah yang ditanyakan kepada Nabi menyangkut masalah yang


sangat pribadi. Sahabat yang memiliki masalah demikian
biasanya minta tolong kepada sahabat lain untuk menanyakan
mashalahnya kepada Nabi. Jadi orang yang tidak bertanya itu,
menerima jawaban dari Nabi berupa hadist, secara tidak langsung.

● Nabi sendiri sengaja minta tolong kepada sahabat ( biasanya

kepada istri beliau sendiri) untuk mengemukakan masah masalah


khusus. Misalnya yang berhubungn dengan soal kewanitaan.
Dengan demikian peneriamaan hadist seperti itu diterima para
sahabat secara tidak langsung.
Adapun tentang penyampaian hadis oleh para sahabat, dilakukan
dengan dua cara:
1. Secara lafdziyah

3 Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, Bulan Bintang, Jakarta,
1995, hal. 44.

9
Yakni, menurut lafazd yang mereka terima dari Nabi. Para
sahabat yang dapat melaksanakan dengan cara ini karena selain
mereka mempunyai ingatan yang kuat, mereka selalu mengulangi
hafalan-hafalannya dengan ketelitian. Periwayatan hadist dengan cara
ini hanya untuk hadis qauliyah saja, sedang hadis fi’liyah dan
taqririyah tidak dapat disampaikan secara lafdziyah.
2. Secara maknawy
Hadits yang disampaikan sahabat dengan maknanya saja, tidak
menurut lafadz yang disampaikan Nabi. Jadi, bahasa dan lafadznya
disususn oleh sahabat, sedang isinya berasal dari Nabi.

C. Masa Penyaringan Hadits


Masa penyaringan dan seleksi Hadits terjadi ketika pemerintahan
dipegang oleh pemerintahan Bani Abbas, khususnya sejak masa Al-Makmun
sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300H). munculnya periode
seleksi Hadits ini, karena pada periode sebelumnya belum berhasil
memisahkan beberapa Hadits yang berkualitas Sahih, Hasan dan Dha’if.4
1. Periode Penyaringan Hadits
Dalam abad ke-3 Hijrah usaha pembukuan hadits memuncak.
Sesudah kitab-kitab Ibn Juraij dan Al-Muwaththa’ Malik tersebar dalam
masyarakat serta disambut dengan gembira, maka timbullah kemauan
menghafal hadits, mengumpulkan dan membukukannya, dan mulailah
ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat, dari sebuah negeri ke negeri
lain untuk mencari hadits. Hal ini kian hari kian bertambah maju.
Pada mulanya, ulama Islam mengumpulkan hadits yang terdapat di
kota masing-masing. Sebahagian kecil saja di antara mereka yang pergi
ke kota lain untuk kepentingan hadits. Pada pertengahan abad ke-3,
keadaan ini dipecahkan al-Bukhary. Beliaulah yang mula-mula
meluahkan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau

4 Drs. Munzier Suparca, M.A, Ilmu Hadits, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993,
hal. 73-74.

10
pergi ke Maru, Naisabury, Rey, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah,
Madinah, Mesir, Damsyik, Qaisariyah, Asqalan dan Himsah.
Ringkasnya, al-Bukhary membuat langkah baru untuk
mengumpulkan hadits yang tersebar di berbagai daerah. 16 tahun
lamanya beliau terus-menerus menjelajah untuk menyiapkan kitab
shahih-nya.
2. Periode Imam yang Mula-mula Membukukan Hadits yang
Dipandang Shahih
Untuk menyaring hadits-hadits itu serta membedakan hadits yang
shahih dari yang palsu dan dari yang lemah, Ishaq Ibn Rahawaih, seorang
imam hadits yang besar, terdorong untuk memulai usaha memisahkan
hadits-hadits yang shahih dan yang tidak.
Pekerjaan yang mulia ini, kemudian disempurnakan ole imam al-
Bukhary. Al-Bukhry menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama al-
Jami’ ash-shahih yang membukukan hadits-hadits yang dianggap shahih
saja. Kemudian usaha al-Bukhary ini diikuti pula oleh muridnya yang
sangat alim, yaitu Imam Muslim. Maka dengan jerih payah kedua sarjana
besar ini, kita menemukan sumber-sumber hadits yang bersih.
Sesudah shahih al-Bukhary dan shahih Muslim tersusun, muncul
pula beberapa orang imam lain menuruti jejak kedua pujangga tersebut,
seperti Abu Daud (Sunan Abi Daud), At-Tirmidzy (sunan At-Tirmidzy)
dan AnNasa’y (sunan an-Nasa’y). Itulah yang kemudian terkenal dalam
kalangan masyarakat ulama dengan kitab-kitab pokok yang lima (al-
Ushul al-Khamsah).
3. Periode Dasar -dasar Pentashihan Hadits
Untuk mentashihkan hadits, dibutuhkan pengetahuan yang luas
tentang Tarikh Rijal al-hadits - sejarah perawi hadits -, tanggal lahir dan
wafat para perawi, agar dapat diketahui, apakah dia bertemu dengan
orang ia riwayatkan haditsnya atau tidak. Dengan pengetahuan yang
mendalam tentang parawi hadits sejak zaman shahaby hingga zaman al-
Bukhary (umpamanya), dapat diketahui bagaimana tingkat kebenaran dan

11
kepercayaan perawi-perawi itu, nilai-nilai hafalan mereka, siapa yang
benar dapat dipercaya, siapa yang tertutup keadaan, siapa yang dusta,
siapa yang lalai.
Al-Bukhary mempunyai dua keistemewaan, yaitu pertama, hafalan
yang sungguh kuat yang jarang kita temukan bandingannya, khususnya
dalam bidang hadits. Kedua, keahlian dalam meneliti keadaan perawi-
perawi yang dapat kita lihat dalam kitab tarikhnya yang disususn untuk
menerangkan keadaan perawi-perawi hadits. al-Bukhary dalam
menghadapi perawi-perawi yang lemah dan tercela, mempergunakan
kata-kata yang sopan sekali.
Perawi-perawi yang menerima hadits dari tokoh-tokoh hadits,
seperti az-Zuhry, tentu tidak sama semuanya. Ada yang erat dengan az-
Zuhry, ada yang tidak. al-Bukhary mensyaratkan perawi-perawi yang erat
hubungannya. Muslim menerima perawi-perawi yang tidak erat
hubungannya, sama dengan menerima perawi-perawi yang erat
hubungannya. Mengenai orang-orang yang bukan tokoh, maka baik Al-
Bukhary maupun muslim menerimah riwayatnya asal saja perawi itu
terpercaya, adil tidak banyak khilaf atau keliru.
4. Periode Langkah-Langkah yang Diambil untuk Memelihara Hadits
Ulama di samping membukukan hadits dan memisakan hadits dari
fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, atau memisahkan yang shahih dari yang
dha’if, mereka memberikan pula kesungguhan yang mengagumkan untuk
menyusun kaedah-kaedah tahdits, ushul-ushulnya, syarat-syarat
menerimah riwayat, syarat-syarat menolaknya, syarat shahih dan dha’if,
serta kaidah-kaidah yang dipegangi dalam menentukan hadits-hadits
maudhu (palsu).
Semua itu mereka lakukan untuk memelihara sunnah Rasul dan
untuk menetapkan garis pemisah antara yang shahih dengan yang dha’if,
khususnya antara hadits-hadits yang ada asalnya dengan hadits yang
semata-mata maudhu.

12
D. Penyebaran Hadis Zaman Sahabat Dan Tabi’in
1. Sahabat (Hadis pada Masa Khulafa al-Rasyidin)

● Perkembangan Hadis Sahabat adalah

a. Orang yang pernah berjumpa dengan Nabi Muhammad saw.


dengan beriman kepadanya dan mati sebagai orang Islam.
b. Orang yang lama menemani Nabi Muhammad saw. dan berulang
kali mengadakan pertemuan dengan beliau dalam rangka
mengikuti dan mengambil pelajaran dari beliau.
c. Orang Islam yang pernah menemani Nabi Muhammad dan pernah
melihat beliau.
2. Metode sahabat memelihara kemurnian Sunnah Nabi saw
a. Taqlil Ar-riwayah
Secara khusus, dalam pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ditemukan
kesan adanya upaya meminimalisasi riwayat hadis. Jika diamati,
mengapa sahabat membatasi periwayatan, maka ditemukan jawaban
di sekitar hal ini yang bersifat kondisional dan bersifat kehati-hatian,
yaitu:

● Pada masa Abu Bakar, pusat perhatian tertuju pada pemecahan

masalah politik, khususnya konsolidasi dan pemulihan kesadaran


terhadap perlunya menjalankan roda khilafah Islam . Oleh sebab
itu, gerakan periwayatan dengan sendirinya terbatas.

● Sahabat masih dekat dengan era Nabi saw. dimana umumnya

mereka mengetahui Sunnah. Sehingga persoalan-persoalan


hukum dan sosial telah mendapat jawaban dengan sendirinya
pada diri mereka.

● Para sahabat lebih menfokuskan diri pada kegiatan penulisan dan

kodifikasi Alquran. Kegiatan ini bukanlah pekerjaan mudah,


sebab sahabat-sahabat mesti menyeleksi tulisan-tulisan dan

13
hafalan di antara mereka untuk dibukukan dalam satu buku atau
mushaf.

● Adanya kebijaksanaan yang dilakukan penguasa, khususnya

Umar, agar sahabat menyedikitkan riwayat. Ini disebabkan


kecenderungannya yang sangat selektif, berhati-hati, dan diiringi
sikap ketegasannya.

● Sahabat khawatir terjadinya pemalsuan hadis yang dilakukan

oleh mereka yang baru masuk Islam, sebab sunnah belum


terlembaga pengumpulannya sebagaimana Alquran. Umar pernah
mempersyaratkan penerimaan hadis dengan mendatangkan saksi
atau melakukan sumpah, namun beliau juga pernah menerima
hadis tanpa persyaratan itu
3. Tatsabbut Fi Ar-riwayah
Adanya gerakan pembatasan riwayat di kalangan sahabat tidaklah
berarti bahwa mereka sama sekali tidak meriwayatkan Sunnah pada
masanya. Maksud dari pembatasan tersebut hanyalah menyedikitkan
periwayatan dan penyeleksiannya. Konsekuensi dari gerakan pembatasan
tersebut, muncullah sikap berhati-hati menerima dan meriwayatkan
Sunnah. Para sahabat melakukan penyeleksian riwayat yang mereka
terima dan memeriksa Sunnah yang mereka riwayatkan dengan cara
mengkonfirmasikan dengan sahabat lainnya
4. Masa Tabi’in
Tabi’in adalah orang Islam yang bertemu dengan sahabat, berguru
dan belajar kepada sahabat, tapi tidak bertemu dengan Nabi saw. dan
tidak pula semasa dengan Nabi saw. Tabi’in Besar (Kibar Tabi’in) adalah
Tabi’in yang banyak bertemu sahabat, belajar dan berguru kepada
mereka. Tabi’in besar besar ini di antaranya yang dikenal dengan fukaha
tujuh, yaitu, Sa’id Ibn Musayyab, Al-Qasim Ibn Muhammad Abu Bakr,
Urwah bin Zubair, Kharijah Ibn Zaid, Abu Ayyub Sulaiman Hilali,
Ubaidullah Ibn Utbah, Abu Salamah Ibn Abdurahman ibn Auf. Tabi’in

14
Kecil (Sighor Tabi’in) adalah Tabi’in yang sedikit bertemu sahabat dan
lebih banyak belajar dan mendengar Hadis dari Tabi’in besar. Peranan
Tabi’in dalam pertumbuhan sejarah hadis tidak dapat dipungkiri
merupakan salah satu peranan besar dalam kesinambungan dan
pemeliharaan hadis. Khususnya setelah masa pemerintahan Usman dan
Ali.
5. Timbulnya Pemalsuan Hadis
Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat, setelah
terjadinya perang jamal dan perang shiffin, yaitu ketika kekuasaan
dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang
dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa
kelompok yaitu pertama, golongan Syi’ah, pendukung ‘Ali bin
AbiThalib, kedua adalah golongan Khawarij, penentang Ali dan
Mu’awiyah, ketiga adalah golongan jama’ah yang tidak mendukung
kedua golongan di atas. Terpecahnya umat Islam menjadi beberapa
golongan tersebut didorong akan adanya keperluan dan kepentingan
golongan masing-masing. Mereka mendatangkan keterangan dan hujjah
untuk mendukungnya dengan beberapa cara, yaitu: 5
a. Mereka mencari ayat-ayat Alquran dan hadis yang dapat dijadikan
hujjah.
b. Apabila mereka tidak menemukannya, mereka menakwilkan ayat
Alquran dan menafsirkan hadis-hadis sesuai dengan golongannya.
c. Langkah terakhir, apabila mereka tidak mendapatkannya dari kedua
sumber tersebut, maka mereka memalsukan hadis-hadis, dan yang
pertama mereka palsukan adalah hadis yang mengenai orang-orang
yang mereka agung-agungkan
6. Kodifikasi Hadis
Pada masa sahabat belum ada pembukuan hadis secara resmi yang
diprakarsai pemerintah, padahal peluang untuk membukukan hadis
terbuka. Umar bin Khattab pernah berfikir membukukan hadis, beliau

5 DR. Muh. Zuhri, Hadits Nabi, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1997, hal. 43-45

15
meminta pendapat para sahabat, dan disarankan membukukannya.
Setelah Umar bin Khattab istikharah sebulan lamanya ia membatalkan
rencana tersebut.
BAB III
PENUTUP

Tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari


seorang guru dengan metode-metode tertentu. Sedangkan Al-‘Ada adalah adalah
proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits.
Mayoritas ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar yang
dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian
mereka tidak memperbolehkannya. Ulama yang membolehkan juga masih
berbeda pendapat mengenai batas usia anak boleh diterima periwayatannya,
pendapat pertama mengatakan lima tahun sedangkan pendapat yang kedua
mengatakan tamyiz.
Syarat kelayakan al-Ada adalah: Islam, Baligh, Sifat Adil, Dhabt.
Sedangkan metode dalam tahammul al-ada’ adalah melalui beberapa jalan yaitu
as-sima’, al-Qira’ah ‘ala Syaikh, al-Ijazah, al-Munawalah, al-Mukatabah, I’lam
asy-Syaikh, al-Washiyyah, al-Wijadah.

16
DAFTAR PUSTAKA

DR. M. ‘Ajaj Al- Khatib, USHUL AL-HADITS (Pokok-pokok Ilmu Hadits)


Penerjmah: Drs. H. M Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, S. Ag.
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998). Cet. Ke- 1
Drs. Abdullah Karim, M. Ag, Membahas ilmu-ilmu hadits, (Kalimantan: CV
Haga Jaya Offset, 2005), Cet. Ke-1
Drs. Fatchur Rahman, IKHTISHAR MUSHTALAHUL HADITS( Bandung: PT
Al-Ma’arif, 1995) Cet. Ke- 8

17

Anda mungkin juga menyukai