Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

METODOLOGI PENELITIAN TAFSIR


SEJARAH METODOLOGI AL QUR’AN

DISUSUN OLEH :
1. M. IQBAL DWI AGUSTY
3. M ALFRHIAS RIAU SAMUDRA
4. RUDHITYA AGIL
5. LAILA HAFIZAH SALMA
6. TASYA SITI MARDANI

KELAS 5 A EKSTENSION
SEKOLAH TINGGI ILMU QUR’AN KEPULAUAN RIAU
SEMESTER V / GANJIL
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah

ini . Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW beserta

keluarga dan sahabat-sahabatnya yang telah memperjuangkan Agama Islam.

Kemudian dari pada itu, kami sadar bahwa dalam menyusun makalah ini

banyak yang membantu terhadap usaha kami, mengingat hal itu dengan segala hormat

kami sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Dosen pengampu yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan makalah

ini Ustadz Bakir

2. Teman – teman dan seluruh pihak yang ikut berpartisipasi dalam penyelesaian

makalah.

Atas bimbingan, petunjuk dan dorongan tersebut kami hanya dapat berdo' a

dan memohon kepada Allah SWT semoga amal dan jerih payah mereka menjadi amal

soleh di mata Allah SWT. Amin. dan dalam penyusunan makalah ini kami sadar

bahwa masih banyak kekurangan dan kekeliruan, maka dari itu kami mengharapkan

keritikan positif, sehingga bisa diperbaiki seperlunya.

Akhirnya kami tetap berharap semoga makalah ini menjadi butir-butir amalan

kami dan bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi seluruh pembaca.

Amin Yaa Robbal 'Alamin.

30 September 2022

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

sejak masa Nabi Muhammad saw hingga masa kodifikasi. Adapun


pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan historis dengan content
anlysis.Pada masa Nabi Muhammad saw, penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an menjadi otoritas
beliau. Namun, beliau hanya menafsirkan ayat- ayat Al-Qur’an yang dianggapnya penting dan
yang ditanyakan oleh sahabtnya. Oleh karena itu, tafsir dari beliau hanya sedikit. Dan
sumber penafsiran beliau adalah ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah. Pada masa sahabat,
penafsiran sahabat memiliki empat sumber yaitu: ayat-ayat Al-Qur’an, sunnah nabi, pendapat
sahabat sendiri dan isrāilyyah. Sahabat menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan pendapatnya
atau dengan isrāilyyah ketika mereka tidak menemukan penjelasannya dari Al-Qur’an atau
dari sunnah. Adapun pada masa tabi`īn, penafsiran tabi`īn memiliki lima sumber yaitu: ayat-
ayat Al- Qur’an, sunnah nabi, pendapat sahabat, pendapat tabi`īn sendiri dan
isrāilyyah. Tabi`īn menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan pendapatnya atau dengan
isrāilyyah ketika mereka tidal menemukan penjelasannya dari Al- Qur;an atau dari sunnah
atau dari pendapat sahabat. Akan tetapi, penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an pada masa nabi dan
sahabat diketahui dari mulut ke mulut, karena kodifikasi tafsir dilaksanakan pada akhir masa
kerajaan umaiyyah, meskipun kodifikasi itu masih dalam bab khusus dalam kitab-kitab Hadis.
Sesudah itu barulah perkembangan kodifikasi tafsir dilaksanakan secara terpisah dari
kitab-kitab Hadis ke kitab khusus untuk tafsir

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah metodologi Tafsir di masa Rasulullah SAW ?
2. Bagaimana sejarah metodologi Tafsir di masa Sahabat ?
3. Bagaimana sejarah metodologi Tafsir di masa Tabiin ?
4. Bagaimana sejarah metodologi Tafsir di masa Kontemporer ?

C. TUJUAN PENULIS

1. Untuk mengetahui sejarah metodologi tafsir al qur’an dari masa Rasulullah SAW hingga
masakontemporer

ii
BAB II
PEMBAHASAN

A. TAFSIR DI MASA RASULULLAH SAW

Allah ‘Azza Wajalla telah memberi jaminan bagi Rasulullah Shalalluhu ‘Alaihi Wasalam,
bahwasanya Al-Qur’an dikumpulkan oleh Allah dalam dada beliau dan menjadikan beliau
sebagai orang yang menjelaskan Al-Qur’an baik globalnya maupun yang terperinci.
Sebagaimana Allah ‫ ﷻ‬berfirman:
Artinya: “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur’an karena hendak
cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.”(Qs. Al-Qiyamah:16-17)
Ini merupakan salah satu bentuk penjagaan Allah ‫ ﷻ‬terhadap Al-Qur’an.
Setelah Al-Qur’an terkumpul dalam dada Rasulullah ‫ﷺ‬, Allah ‫ ﷻ‬membebani beliau agar
menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an kepada para hamba-Nya. Allah ‫ ﷻ‬berfirman dalam
surat An-Nahl ayat 44:
Artinya: “keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu
Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan”
Demikian dengan para sahabat. Mereka memahami Al-Qur’an secara globalnya. Mereka juga
memahami Al-Qur’an secara terperinci. Yaitu dengan langsung merujuk kepada Nabi ‫ﷺ‬
yang menjelaskan rincian dari Al-Qur’an. Ini dikarenakan di dalam Al-Qur’an ada hal yang
masih bersifat global, banyak keserupaan, dan bentuk.
Para ulama’ berbeda pendapat tentang tafsir Al-Qur’an yang disampaikan oleh Rasulullah ‫ﷺ‬.
Apakah beliau menafsirkan semua makna Al-Qur’an atau hanya sebagiannya saja? Ada dua
pendapat:
Pertama, Rasulullah ‫ ﷺ‬menjelaskan makna-mana Al-Qur’an sebagaimana beliau
menjelaskan lafadz-lafadznya.
Kedua, ada juga yang berpendapat bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬hanya menjelaskan sedikit dari
makna-makna ayat dalam Al-Qur’an. Dalil-dalil pendapat ini diantaranya:
1. Pendapat mereka bahwa Allah ‫ ﷻ‬tidak memerintahkan Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬menjelaskan
semua maksud setiap ayat dari Al-Qur’an agar hamba-Nya memikirkan dan merenunginya.
2. Dan jika Rasulullah ‫ ﷺ‬telah menjelaskan setiap makna dari Al-Qur’an, tidak mungkin
beliau memberi kesempatan Ibnu Abbas menjadi orang yang Ahli dalam menta’wilkan Al-
Qur’an dengan do’a beliau:
‫الله ّم فقّهه في الدّين وعلّمه التأويل‬
Dari kedua pendapat diatas, pendapat yang paling kuat adalah pendapat kedua yang
menyatakan bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬hanya menjelaskan sebagian makna Al-Qur’an. Ada
beberapa sebab mengapa Rasulullah Shalalluhu’Alaihi Wasalam tidak menjelaskan seluruh
makna ayat dalam al-qur’an. Diantaranya:
1. Ada beberapa ayat yang merujuk pada kepahaman orang-orang Arab terhadap Bahasa Arab
itu sendiri. Maka yang seperti ini tidak membutuhkan penjelasan dari Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasalam.

1
2. Ada juga ayat yang langsung bisa dipahami karena kejelasan maksud ayat tersebut dari
konteksnya.
3. Ayat yang dirahasiakan oleh Allah tentang pengetahuannya, tidak dapat dijelaskan oleh
Rasulullah ‫ ﷺ‬karena beliau pun tidak mengetahuinya. Misalnya, ayat yang menjelaskan
tentang hari kiamat, atau ayat-ayat yang menjelaskan tentang perkara ghoib yang tidak pernah
Allah jelaskan kepada Rasul-Nya.
4. Serta ayat-ayat yang hakikatnya tidak perlu untuk diketahui, karena mencakup perkara-
perkara yang Rasulullah ‫ ﷺ‬sendiri belum pernah mengalaminya. Seperti, warna anjing
Ashabul Kahfi, kayu yang digunakan sebagai tongkat Nabi Musa , dan juga jenis burung
yang dihidupkan oleh Nabi Ibrahim .
Keistimewaan Tafsir Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah ‫ﷺ‬
Rasulullah ‫ ﷺ‬sebagai penjelas Al-Qur’an, beliau menjelaskannya langsung ketika ayat itu
diturunkan kepada para sahabat. Maka para sahabat  adalah orang yang paling mengerti dan
memahami Al-Qur’an setelah Rasulullah ‫ ﷺ‬. Dan penafsiran Al-Qur’an pada masa
Rasulullah ‫ ﷺ‬ini memiliki banyak keistimewaan. Diantaranya:
1. Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak menafsirkan keseluruhan dari Al-Qur’an melainkan hanya sebagian
saja.
2. Tidak banyak terjadi perselisihan diantara para sahabat dalam memahami setiap makna
dalam Al-Qur’an.

B. TAFSIR PADA MASA SAHABAT

Setelah Rasulullah Saw. kembali ke haribaan Allah Swt., maka para sahabat yang telah
mendalami al-Qur‟an dan telah mendapatkan petunjuk dari Rasul, mereka mau tidak mau
terpanggil untuk mengambil bagian dalam menjelaskan dan menerangkan tentang apa yang
mereka ketahui dan pahami dari al-Qur‟an tersebut. Ahli tafsir di kalangan sahabat nabi
banyak jumlahnya, tapi yang paling terkenal ada 10 orang yaitu 4 orang khulafaurrosyidin;
Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Tholib,
kemudian disusuloleh sahabat yang lain Abdullah bin Mas‟ud, Ibnu „Abbas, „Ubay bin
Ka‟ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy‟ari dan „Abdullah bin Zubair.
Di luar 10 orang tersebut di atas, terdapat nama-nama lain di kalangan para sahabat nabi yang
turut ambil bagian dalam penafsiran al-Qur‟an. Mereka itu adalah Abu Hurairah, Anas bin
Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin „Abdullah,
dan Ummul Mu‟minin „Aisyah ra.
Tapi tafsir yang diriwayatkan dari mereka
hanya sedikit saja jika dibanding dengan tafsir yang berasal dari 10 orang tersebut.
Selanjutnya penafsiran-penafsiran dari para sahabat Nabi diterima secara baik oleh para
ulama dari tabi‟in di berbagai daerah Islam. Akhirnya muncullah ahli-ahli tafsir di Mekah,
Madinah dan di Iraq. Ibnu Taimiyah berkata: “Yang paling
banyak mengetahui soal tafsir ialah orang-orang Mekah, karena mereka itu sahabat-sahabat
Ibnu „Abbas, Sa‟id bin Jubair, Thawus, Mujahid ibn Jabr, Atha‟ ibn Abi Rahah dan Ikrimah
maula Ibnu Abbas. Demikian juga mereka yang berada di Kufah (Iraq), yaitu sahabat-sahabat
„Abdullah bin Mas‟ud . Yang diMadinah, seperti Zaid bin Aslam yang menurunkan ilmunya
kepada anaknya sendiri, „Abdurrahman bin Zaid, dan kepada muridnya, yaitu Malik bin
Anas”.

2
C. TAFSIR PADA MASA TABI’IN

Perkembangan dan Penafsiran pada Masa Tabi’in


Setelah kepemimpinan khulafatur Rosyidin berakhir, masa pemerintahan kemudian dipegang
oleh generasi berikuynya yaitu generasi Tabi’in yang tentunya segala urusan yang terjadi
pada masa sahabat berganti alih kepada masa Tabi’in. Begitu juga mengenai hal ilmu-ilmu
yang telah berkembang pada masa itu yang tentunya diteruskan oleh para Tabi’in sesuai
dengan bidangnya masing-masing. Khususnya juga dalam hal ilmu tafsir yang akan dibahas
pada makalah ini. Dalam hal penafsiran yang pada masa ke masa telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan penafsiran pada masa sahabat diterima
baik oleh para ulama dari kaum Tabi’in di berbagai daerah kawasan Islam. Dan pada akhirnya
mulai muncul kelompok-kelompok ahli tafsir di Makkah, Madinah, dan di daerah lainnya
yang merupakan tempat penyebaran agama Islam pada masa Tabi’in. Masa ini terjadi kira-
kira dari tahun 100 H/723 M-181 H/812 M yang ditandai dengan wafatnya Tabi’in terakhir,
yaitu Khalaf bin Khulaifat (w.181 H), sedangkan generasi Tabi’in berakhir pada tahun 200 H.

Yang mengetahui secara pasti soal tafsir ialah orang-orang Makkah, karena mereka itu
kebanyakan ada kedekatan persahabatan kepda ahli tafsir sebelumnya, sehingga memudahkan
mereka dalam memahami tafsir, seperti : Mujahid, ‘Atha bin Rayyah, Ikrimah maula Ibn
Abbas, Said bin Jubair, dan lain-lain.Namun tidak menutup kemungkinan pada waktu itu para
ahli tafsir berasal dari kota tersebut, seperti halnya Abdullah bin Mas’ud yang berasal dari
Iraq, Zaid bin Aslam dan Abdurrahman bin Zaid yang berasal dari Madinah.

1. Tokoh-tokoh Ahli Tafsir pada masa Tabi’in


Seperti halnya pada masa sahabat telah ada para ahli tafsir seperti, empat kholifah, Ibnu
Mas’ud, Ibnu abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, dan lainnya, begitu
juga pada masa Tabi’in. Banyak dari mereka yang menjadi ahli tafsir. Di bawah ini mereka
Tabi’in yang ahli tafsir al-qur’an yang tentunya telah begitu besar pengorbanannya dalam
mengembangkan ilmu tafsir pada saat itu, mereka adalah :
 Muhammad bin Ka’ab
 Abil ‘Aliyah
 Hasan Bashri
 Qatadah
 Al Rabi’in Anas
 Ad Dhahhak bin Muzaahim,
 Imam Abu Malik
 Dan lain-lain

Mereka itulah para ulama ahli tafsir di masa sesudah para shabat Nabi Muhammad saw dan
mereka itulah oleh para ulama Islam dikenal sebagai para tafsir yang terdahulu dan menjadi
bahan rujukan pada masa-masa selanjutnya.

2. Sumber Tafsir masa Tabi’in


Dalam mempelajari Al-Qur’an dan memahami maksud yang terkandung di dalam ayat-
ayatnya serta tafsirnya, para Tabi’in berlandaskan pada ayat Al-Qur’an, hadits-hadits yang
diriwayatkan Nabi saw, dan tafsir yang diberikan oleh para sahabat Nabi saw serta cerita-
cerita dari para ahli kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu mereka
berijtihad atau menggunakan pertimbangan naluri, baik bersandaran pada kaidah-kaidah
bahasa Arab maupun ilmu-ilmu pengetahuan lain sebagaimana yang telah dianugerahkan oleh
Allah swt.

Secara umum kitab-kitab tafsir menginformasikan bahwa pendapat-pendapat Tabi’in tentang


tafsir yang mereka hasilkan melalui penalaran dan ijtihad yang independen. Artinya,

3
penafsiran mereka ini sedikitpun tidak berasal dari Rosulullah atau dari Sahabat. Pada
pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa tafsir yang dinukil dari Rosulullah saw dan para
Sahabat tidak mencakup semua ayat Al-Qur’an. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian
yang sulit dipahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan ini
semakin meningkat secara bertahap disaat manusia bertambah jauh dari masa Nabi
Muhammad saw dan Sahabat. Maka para Tabi’in yang menekuni bidang tafsir perlu untuk
menyempurnakan sebagian kekurangan itu. Hal ini juga terjadi pada masa-masa selanjutnya.
Untuk menyempurnakan penafsiran sebelumnya mereka mengandalkan pada pengetahuan
mereka dengan cara dalam bahasa Arab maupun cara bertutur kata, dan juga peristiwa-
peristiwa yang terjadi pada masa turunnya Al-Qur’an yang mereka pandang belum valid.

Dengan demikian, sumber-sumber penafsiran pada zaman Tabi’in meliputi 5 sumber, yaitu :
 Al-Qur’an
 Hadits-hadits Nabi Muhammad saw
 Tafsir dari para Sahabat
 Cerita-cerita dari para ahli kitab
 Ra’yu dan ijtihad

Dilihat dari sumber-sumbernya tersebut tafsir pada masa Tabi’in umumnya berbentuk al-
matsur, seperti halnya pada masa Sahabat. Jika dilihat dari sudut cara penafsiran secara umum
tafsitan mereka menggunakan metode ijmali. Metode ini agak lebih luas jika dibandingkan
dengan tafsir pada masa Sahabat yang menggunakan metode tahlili. Sehingga pada masa ini
mulai ada perbedaan antara penafsiran masa Sahabat dan masa Tabi’in yang kemudian diikuti
dengan adanya tafsir bil ra’yi.

3. Pusat-pusat Pengajian Tafsir Pada Masa Tabi’in


Negara Islam pada masa ini telah membentang luas dari Negeri Cina di Timur sampai Utara
Spayol di Barat. Atau hampir sepertiga luas peta Bumi kita ini. Oleh karena itu para Sahabat
dan Tabi’in serta Tabi’it Tabi’in tidak menetap pada suatu daerah saja. Di daerah itu sebagian
dari mereka ada yang menjadi guru, hskim, dan sebagainya. Mereka dating dengan membawa
ilmu pengetahuandan keahlian masing-masing, terutama hadits-hadits dan tafsir yang mereka
terima dari Nabi Muhammad saw.

Dari tangan Tabi’in inilah, murid mereka itu belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya
timbulah berbgai madzhab dan perguruan tafsir pada masa selanjutnya. Beriring
meningkatnya kebutuhan akan tafsir pada masa itu, maka para ulama membuat sebuah
sekolah-sekolah tafsir bagi semua kalangan, baik non Arab maupun dari Arab itu sendiri. Hal
ini dilakukan karena kedekatan mereka dengan sumbber risalah dan pelita kenabian. Di
samping itu juga mereka telah semakin jauh dari masa itu sehingga kebutuhan mereka akan
tafsir meningkat. Karena semakin banyaknya penuntut ilmu, kemudian berdirilah pusat kajian
Islam seperti madrasah diniyyah yang mengajarkan tafsir Al-Qur’an. Pusat kajian tersebut
diantaranya :

a. Di Makkah pusat kajian dipimpin oleh sahabat Abdullah bin Abbas (w. 63 H). Timbulnya
madrasah ini dari Ibnu Abbas sebagai guru diMekah mengajarkan tafsir al-Quran kepada para
tabi’in dan menjelaskan hal yang musykil dari makna lafadz al-Quran, kemudian oleh tabi’in
menambahkan pemahamannya sendiri kemudian titafsirkan ke generasi berikutnya.
Keistimewaan madrasah ini antara lain; (1) dalam hal qira’at, madarasah ini menggunakan
qiroat yang berbeda-beda, (2) Metode penafsirannya menggunakan dasar aqliy. Murid-murid
beliau diantaranya, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibn Abbas, Thawus bin Kasan al
Yamani, Atha’ bin Rabah.

b. Di Madinah pusat kajian dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab yang banyak mengajarkan tafsir
Al-Qur’an. Tokoh-tokohnya diantaranya, Zaid bin Aslam (w. 136 H), Abul Aliyah (w. 90 H),
Muhammad bin Ka’ab (w. 118 H), kemudian kepada mereka bertiga inilah para Tabi’in yang

4
lain dan Tabi’ut Tabi’in belajar tafsir. Munculnya madrasah ini berawal dari para sahabat
yang menetap di Madinah melakukan tadarus berjamaah dalam al-Qurn dan Sunnah diikuti
oleh tabi’in yang memfokuskan perhatiaannya kepada Ubay bin Ka’ab yang dinilai masyhur
dalam menafsirkan al-Quran kemudian diteruskan ke generasi berikutnya. Keistimewaan
madrasah ini antara lain; (1) telah ada sistem penulisan naskah dari Ubay bin Ka’ab lewat
Abu Aliyah lewat Rabi’ oleh Abu Ja’far Ar Roziy dan juga Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Al
Hakim banyak meriwayatkan tafsir dari Ubay lewat Abu ‘Aliyah. (2) Telah berkembang
ta’wil terhadap ayat-ayat al-Quran, sebagaimana diucapkan oleh Ibnu ‘Aun tentang
penta’wilan Muhammad bin Ka’ab Al-Quradliy. (3) Penafsiran birro’yi telah digunakan.
Terbukti Tokoh Zaid bin Aslam membolehkan penafsiran bir ro’yi namun bukan seperti
madzhab bidiy pada period mutaakhiriin.

c. Di Iraq pusat kajian dipimpin oleh Abdullah ibn Mas’ud. Meskipun di sana ada guru tafsir
dari Sahabat-sahabat yang lain, Ibn Mas’ud lah yang dianggap sebagai guru tafsir pertama di
Iraq dan di Kuffah. Madrasah ini timbul ketika Khalifah Umar menunjuk Ammar bin Jasin
sebagai gubernur di Kufah, Ibnu Mas’ud saat itu ditunjuk sebagai guru atau mubaligh yang
dalam penafsiran al-Qur’an banyak diikuti oleh tabi’in Iraq disamping kemasyhuran beliau
juga karena tafsirnya banyak dinulkilkan kepada generasi selanjutnya. Madrasah ini juga
memiliki keistimewaan dianaranya; (1) Semaikin banyak ahli ra’yi. (2) banyak masalah
khilafiyah dalam penafsiran al-Quran diakibatkan warna ro’yi tersebut. (3) Timbullah metode
istid-lal sebagai kelanjutan dari adanya khilafiyah penafsiran al-Qur’an. Ahli tafsir dari
Tabi’in Iraq yang mempelajari tafsir dan termasuk murid-murid Ibn Mas’ud di antaranya, Al-
Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry’ dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy, Aqamah an Nahhi,
Masruq Ibn Ajda al-Hamdani, dan lain-lain.
Pada umumnya mereka para ahli tafsir dalam menyampaikan dan menafsirkan Al-Qur’an
masih berpegang teguh pada periwayatan dan pembukuan.

4. Ijtihad Tabi’in
Periode ini terjadi kurang lebih abad II H-IV H, setelah berakhir masa Sahabat, muncul masa
Tabi’in. Generasi Tabi’in ini terdiri atas murid-murid para Sahabat. Mereka mendasarkan
pendapat mereka kepada pendapat para Sahabat. Secara garis besar , para Tabi’in melakukan
ijtihad dengan 2 cara, yaitu :

a. Mereka mengutamakan pendapat seorang Sahabat dari pendapat Sahabat yang lain, bahkan
kadang-kadang mengutamakan pendapat seorang Tabi’in dari pendapat seorang Sahabat. Hal
ini jika pendapat yang diutamakan itu menurut ijtihad lebih dekat dengan Al-Qur’an dan As-
Sunnah.

b. Mereka sendiri berijtihad, bahkan menurut mereka bahwa pembentukan hokum Islam
sesungguhnya secara professional dimulai pada masa Tabi’in ini.
Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin, setiap kota memiliki mujtahid yang
menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah
bersangkutan. Di Makkah muncul seperti ‘Atha Ibn Abi Rabah, di Madinah muncul Sa’id bin
Musayyah, Ikrimah bin Zubair, di Basrah muncul Muslim bin Yasir, Muhammad bin Sirin,
dan lain-lain. Mengenai yang paling terkenal diantara para Tabi’in pada masa itu adalah
Mujahid dan Sa’id Ibn Jubair.

5. Ciri-ciri Tafsir Tabi’in dan Keistimewaannya

a. Ciri-ciri Tafsir Tabi’in


 Memuat banyak cerita Israiliyat. Hal ini disebabkan banyak ahli kitab yang masuk Islam,
padahal mereka masih terikat oleh pemikiran lamayang tidak menyangkut soal hokum syariat.
 Terdapat kebiasaan menerima riwayat dari orang-orang tertentu atau yang hanya
meriwayatkan tafsir dari orang yang disenangi, seperti Mujahid yang hanya meriwayatkan

5
tafsir dari Ibn Abbas, demikian pula dengan ahli tafsir lainnya yng mengkhususkan gurunya
tertentu.
 Mulai tumbuh benih-benih fanatisme madzhab sehingga sebagian tafsir Tabi’in ada yang
cenderung mempertahankan pendapat ulama madzhabnya secara kelebihan.

b. Keistimewaan Tafsir Tabi’in


Secara umum keistimewaan tafsir di masa tabiin diwarnai dengan 3 macam warna yang
menjadi tolak ukur perbedaan dengan Tafsir lainnya, yaitu diantaranya:
a. Masuknya cerita israiliyat yang dibawa oleh ahli Kitab Yahudi dan Nasrani yang telah
masuk Islam,
b. Periwayatan terjadi antar tokoh madrasah tafsir di suatu kota dengan murid-muridnya, dan
c. Terjadi perbedaan pendapat madzhabiyah yang timbul karena perbedaan pemahaman para
tabi’in.
d. Kedudukan Tafsir Tabi’in Mengenai kualitas daripada penafsiran pada masa Tabi’in, para
ulama berbeda pendapat. Jika tafsir tersebut bersifat independen, tidak diriwayatkan dari
Rosulullah saw atau para Sahabat, apakah pendapat mereka itu dapat dipegang atau tidak?
Segolongan ulama berpendapat, bahwa penafsiran yang dihasilkan oleh para ahli tafsir
Tabi’in tidak harus dijadikan pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa,
situasi atau kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mereka
dapat saja berbuat salah dalam memahami apa yang dimaksud. Sebaliknya, banyak mufassir
berpendapat tafsir mereka dapat dijadikan pegangan, sebab pada umumnya mereka
menerimanya dari para sahabat. Pendapat yang kuat jika para Tabi’in sepakat atas suatu
pendapat, maka bagi kita wajib menerimanya, tidak boleh meninggalkannya untuk
mengambil jalur yang lain. Pada umumnya pada masa Tabi’in, tafsir tetap konsisten dengan
metode pengajaran dan periwayatan, tetapi setelah banyak ahli kitab masuk Islam, para
Tabi’in banyak menukil dari mereka cerita-cerita israillat yang kemudian dimasukan ke dalam
tafsir, sehingga pada masa itu mulailah terjadi silang pendapat mengenai status tafsir yang
diriwayatkan dari mereka karena banyaknya pendapat-pendapat mereka. Namun demikian
pendapat-pendapat tersebut sebenarnya hanya bersifat keberagaman pendapat, berdekatan
satu dengan yang lain. Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan perbedaan yang
bersifat kontradiktif.

D. TAFSIR DI MASA TABI’ TABI’IN

Kaum Tabi‟it-tabi‟in (generasi ketiga kaum muslimin) meneruskan ilmu yang mereka terima
dari kaum Tabi‟in. Mereka mengumpulkan semua pendapat dan penafsiran al-Qur‟an yang
dikemukakan oleh para ulama terdahulu (kaum salaf
dan Tabi‟in), kemudian mereka tuangkan ke dalam kitab-kitab tafsir, seperti yang dilakukan
oleh Sufyan bin „Uyainah, Waki‟ bin al-Jarrah, Syu‟bah bin al-Hajjaj, Yazid bin Harun,
„Abd bin Hamid dll. Mereka merupakan pembuka jalan bagi Ibnu Jarir at-Thabari yang
metodenya diikuti oleh hampir semua ahli tafsir. Pada
zaman berikutnya para ulama ahli tafsir mulai mempunyai arah sendiri-sendiri yang berbeda
dalam menafsirkan al-Qur‟an.

ii. Tafsir dalam abad kedua hijrah (masa pembukuan tafsir)

Sudah jelas bahwa zaman nabi, zaman sahabat dan zaman tabi‟in, tafsir-tafsir
itu dipindahkan dari seseorang kepada seseorang atau diriwayatkan sebagaimana umumnya
hadits yang lain dari mulut ke mulut dan belum dibukukan. Pada permulaan abad hijrah, yaitu
ketika sudah banyak pemeluk agama Islam yang bukan dari bangsa Arab dan ketika bahasa
Arab dipengaruhi bahasa ajam, barulah para ulama merasa perlu untuk membukukan tafsir
agar dapat diketahui maknanya oleh mereka yang tidak mempunyai saliqah bahasa Arab lagi.
Pada permulaan zaman Abbasiyah, barulah ulama-ulama mengumpulkan hadits-hadits tafsir

6
yang diterima dari sahabat dan tabi‟in. Mereka menyusun tafsir dengan cara menyebut
sesuatu ayat, kemudian menyebut nukilan-nukilan mengenai tafsir ayat itu dari sahabat dan
tabi‟in. Selain itu, tafsir juga belum mempunyai bentuk yang tertentu dan belum tertib
mushhaf. Hadis-hadis tafsir diriwayatkan secara berserak-serak untuk tafsir bagi ayat-ayat
yang terpisah-pisah dan masih bercampur dengan hadits-hadits lain yakni hadits-hadits
mu‟amalah, hadits munakahah dan sebagainya. Demikian keadaan tafsir pada tingkat
pertama. Adapun tafsir-tafsir yang terkenal zaman itu adalah :Tafsir As-Suddy (127 H), Tafsir
Ibn Jurraij (150 H), Tafsir Muqatil (150 H), Tafsir Muhammad ibn Ishaq, Tafsir Ibnu
Uyainah, Tafsir Waki‟ ibn Al-Jarrah. Semua tafsir-tafsir ini telah hilang dibawa arus masa,
tidak ada yang sampai kepada kita. Selain itu kebanyakan isi kandungannya telah ditampung
oleh tafsir Ibnu Jarir ath-Thabary

iii. Tafsir abad ketiga Hijriah

Pada zaman ini muncul para ulama-ulama‟ tafsir riwayat di antaranya: Al-
Waqidy, Abd ar-Razaq, Abd ibn Humaid, Yazid ibn Harun, Ibn Jarir at-Thabary, Ishaq ibn
Rahawaih, Rauh ibn Ubadah, Sa‟id ibn Manshur, Abu Bakar ibn Abi Syaibah, Baqy ibn
Makhlad. Adapun ulama-ulama tafsir dirayah adalah sebagai berikut : Al-Allaf (226 H), Al-
Jahidh, dan An-Nadham (231 H).
Yang terkenal dan yang tersebar dari tafsir abad ketiga yang sampai ke tangan
umat Islam sekarang ini dan berkembang luas yang menjadi pegangan pokok bagi seluruh ahli
tafsir ialah Tafsir Jami‟ al-Bayan susunan Ibn Jarir at-Thabary.
Menurut keterangan Ibn Hazm, tafsir Baqy ibn Makhlad adalah suatu tafsir yang besar dan
terkenal di Andalus serta merupakan sebuah tafsir yang tidak ada bandingannya. Sayang tafsir
ini tidak dapat berkembang luas dalam masyarakat seperti tafsir Ibn Jarir.

iv. Tafsir dalam abad keempat Hijriah


Di antara ulama-ulama tafsir abad keempat ini, terdapat ulama-ulama tafsir
yang bersungguh-sungguh dalam menafsirkan al-Quran dengan dasar dirayah
yakni menafsirkan al-Qur‟an dengan bil ma‟qul, dan juga ada yang masih
mendasarkan tafsirnya pada riwayat.
Adapun perkembangan tafsir dirayat ini, didasarkan atas perkembangan ilmu nahwu, lughoh,
balaghah, dan kalam. Sedang mufassir yang mula-mula menyusuntafsir dirayat ini adalah
golongan Al-Jahidh, An-Nadham, Abu MuslimMuhammad ibn Bahar Al-Ashfahany (322 H)
tafsirnya bernama Jami‟at at-Takwil, Abu Bakar al-Asham, Al-Juba‟iy, dan Ubaidillah ibn
Muhammad ibnJarwu. Sedangkan di sisi lain, perkembangan tafsir riwayat masih diteruskan
oleh beberapa mufassir di antaranya : Abu Laits as Samarqandy, Al-Baghawy, dan Ibn Katsir
ad-Dimasqy. Dan di antara tafsir yang lahir saat itu adalah Tafsir Tastary oleh Abu
Muhammad Shal at-Tastary (383 H).

E. TAFSIR DIMASA KONTEMPORER


Pada dasarnya, penelitian tafsir/ilmu tafsir yang merebak dan tersistematis pada abad
ke-20 ini berasal dari tradisi apresiasi dan kritik tafsir (exegetical criticism) yang
sudah muncul sejak zaman sahabat Nabi saw., bahkan sejak nabi saw. masih hidup.

Sebuah hadis (jika sahih) yang menyebutkan: “siapapun menafsirkan Al-Qur’an tanpa
ilmu (bi-ghayr ilm), maka dia akan masuk neraka” bisa dipahami sebagai kritik Nabi
terhadap praktek penafsiran Al-Qur’an yang “sembrono” pada masa itu, sebagaimana
yang pernah dijelaskan oleh al-Zarkasyi dalam al-Burhân fî Ulûm al-Qur’ân (al-
Zarkasyi, tt.: 161).

7
Bukti lain ialah bahwa setelah surat al-Nashr (QS. 110) diturunkan, Umar ibn Khattab
bertanya kepada sekumpulan sahabat Nabi, “apa pendapat kalian tentang surat
tersebut?” Sebagian sahabat menjawab: “Kita diperintahkan Allah swt. Untuk
bertahmid dan beristighfar bila mendapatkan kemenangan.” Sahabat lain terdiam dan
tidak memberikan komentar sama sekali.

Kemudian Umar bertanya kepada Ibnu Abbas: “Apakah kamu sependapat, wahai Ibnu
Abbas?” Ibnu Abbas menjawab: “Tidak!” Lalu apa pendapatmu?” Sahut Umar. Ibnu
Abbas menimpali: “Itu adalah ajal Rasulullah saw. yang semakin dekat, diisyaratkan
oleh Allah swt.” Umar berkomentar: “Saya tidak tahu kecuali apa yang kau katakan.”
(Sahih al-Bukhari, 8: 519). Perkataan umar terakhir itu merupakan apresiasinya
terhadap penafsiran Ibnu Abbas.

Tradisi kiritik tafsir ini berkembang lebih luas sejak abad kedua hijriah di mana
wacana intelektual mulai mengalami kemajuan dan perdebatan ilmiah mulai lebih
marak di banyak bidang ilmu keislaman.

BAB III
8
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sejarah metodologi tafsir al quran yang di muali dari masa Rasulullah SAW lebih

kepada metode analisis yang disampaikan dengan bahasa yang global atau yang kita

kenal dengan metode Ijmali , kemudian begitu juga penafsiran dikalangan para Sahabat

ketika Rasulullah SAW telah Wafat karena kefahaman para sahabt dalam al quran maka

apabila ada suatu hal yang kurang dimengerti para sahabat yang lebih faham

menerangkan dengan metode analisis seperti Ijmali dan Tahlili

Dengan berkembangan zaman dan dengan permasalahan – permasalahan yang baru

ditemui maka pada masa tabi’in dan tabi’ Tabi’in mulai membukukan kitab tafsir dengan

metode analisis dan perbandingan ( muqarran ) hingga sampailah pada masa

kontemporer yang masih menggunakan metode klasik seperti analisis dan perbandingan

dan untuk mempermudah umat memahaminya maka terbentuklah metode yang

dinamakan Maudu’i atau yang kita kenal dengan metode tematik.

Anda mungkin juga menyukai