Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

TAFSIR AYAT AHKAM


ZAKAT , INFAQ & SHODAQOH

DISUSUN OLEH :
1. M. IQBAL DWI AGUSTY

KELAS 5 A EKSTENSION
SEKOLAH TINGGI ILMU QUR’AN KEPULAUAN RIAU
SEMESTER V / GANJIL
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah

ini . Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW beserta

keluarga dan sahabat-sahabatnya yang telah memperjuangkan Agama Islam.

Kemudian dari pada itu, kami sadar bahwa dalam menyusun makalah ini

banyak yang membantu terhadap usaha kami, mengingat hal itu dengan segala hormat

kami sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Dosen pengampu yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan makalah

ini Ustadz Sofyan Muttaqin .SQ MA

2. Teman – teman dan seluruh pihak yang ikut berpartisipasi dalam penyelesaian

makalah.

Atas bimbingan, petunjuk dan dorongan tersebut kami hanya dapat berdo' a

dan memohon kepada Allah SWT semoga amal dan jerih payah mereka menjadi amal

soleh di mata Allah SWT. Amin. dan dalam penyusunan makalah ini kami sadar

bahwa masih banyak kekurangan dan kekeliruan, maka dari itu kami mengharapkan

keritikan positif, sehingga bisa diperbaiki seperlunya.

Akhirnya kami tetap berharap semoga makalah ini menjadi butir-butir amalan

kami dan bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi seluruh pembaca.

Amin Yaa Robbal 'Alamin.

23 September 2022

i
Daftar Isi
BAB I....................................................................................................................................................1
PEMBAHASAN...................................................................................................................................1
A. PENAFSIRAN AYAT TENTANG ZAKAT , INFAQ & SHODAQOH..................................1
B. PERBEDAAN ZAKAT , INFAQ & SHADAQOH..................................................................22
C. PENGERTIAN ZAKAT............................................................................................................23

ii
BAB I
PEMBAHASAN

A. PENAFSIRAN AYAT TENTANG ZAKAT , INFAQ & SHODAQOH

1. QS Al-Baqarah Ayat 43
ْ ‫ص ٰلوةَ َو ٰاتُوا ال َّز ٰكوةَ َو‬
َ‫ار َك ُع ْوا َم َع ال َّرا ِك ِعيْن‬ َّ ‫َواَقِ ْي ُموا ال‬
43. Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.

a. Tafsir Jalalain
(Dan dirikanlah salat, bayarkan zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk) artinya salatlah bersama
Muhammad dan para sahabatnya. Lalu Allah Taala menunjukkan kepada para ulama mereka yang pernah
memesankan kepada kaum kerabat mereka yang masuk Islam, "Tetaplah kalian dalam agama Muhammad,
karena ia adalah agama yang benar!".

b. Tafsir Ibnu Katsir


Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk” (Al-Baqarah: 43).
Muqatil mengatakan bahwa firman Allah ‫ ﷻ‬yang ditujukan kepada orang-orang ahli kitab, "Dan dirikanlah
shalat," merupakan perintah Allah kepada mereka agar mereka shalat bersama Nabi ‫ﷺ‬. Firman-Nya, "Dan
tunaikanlah zakat," merupakan perintah Allah kepada mereka agar mereka menunaikan zakat, yakni
menyerahkannya kepada Nabi ‫ﷺ‬. Firman Allah ‫ﷻ‬, "Dan rukuklah kalian bersama orang-orang yang rukuk,"
merupakan perintah Allah kepada mereka agar melakukan rukuk (shalat) bersama orang-orang yang rukuk
(shalat) dari kalangan umat Muhammad ‫ﷺ‬. Singkatnya, jadilah kalian bersama-sama mereka dan termasuk
golongan mereka. Ali ibnu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan zakat ialah taat dan
ikhlas kepada Allah ‫ﷻ‬. Waki' meriwayatkan dari Abu Janab, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna firman-Nya: "Dan tunaikanlah zakat," yakni harta yang wajib dizakati, menurut Ibnu Abbas adalah dua
ratus hingga lebih.
Mubarak ibnu Fudalah meriwayatkan dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan tunaikanlah
zakat," bahwa makna yang dimaksud adalah zakat merupakan fardu yang tiada gunanya amal perbuatan tanpa
zakat dan shalat. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah
menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syai-bah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Abu Hayyan
At-Taimi, dari Al-Haris Al-Akli sehubungan dengan makna firman-Nya: "Dan tunaikanlah zakat," bahwa yang
dimaksud adalah zakat fitrah.
Firman Allah ‫ ﷻ‬: “Dan rukuklah kalian bersama orang-orang yang rukuk.” (Al-Baqarah: 43). Maksudnya,
jadilah kalian bersama orang-orang mukmin dalam amal perbuatan mereka yang paling baik, salah satunya dan
paling khusus serta paling sempurna adalah shalat. Banyak kalangan ulama menyimpulkan dalil ayat ini akan
wajibnya shalat berjamaah. Masalah ini insya Allah akan kami terangkan dengan panjang lebar dalam kitab
kami Al-Ahkamul Kabir. Al-Qurthubi mengetengahkan berbagai masalah mengenai shalat berjamaah dan
imamah, ternyata pembahasannya itu cukup baik.

c. Tafsir Al Azhar
“Dan dirikanlah shalat dan berikanlah zakat, dan ruku'lah bersama-sama orang-orang yang ruku'."
Setelah diperingatkan kepada mereka kesalahan-kesalahan dan kecurangan mereka yang telah lalu itu, sekarang
mereka diajak membersihkan jiwa dan mengadakan ibadah tertentu kepada Allah, dengan mengerjakan shalat
dan mengeluarkan zakat. Dengan shalat, hati terhadap Allah menjadi bersih dan khu-syu, sedangkan dengan
mengeluarkan zakat, penyakit bakhil menjadi hilang dan timbullah hubungan batin yang baik dengan
masyarakat, terutama orang-orang fakir miskin, yang selama ini hanya mereka peras tenagarya, dan mana yang
terdesak mereka pinjami uang dengan memungut riba.
Apabila Tuhan Allah telah memerintahkan supaya iman kepada keesaan Allah itu lebih di dalamkan dengan
mengerjakan shalat kemudian dengan mengeluarkan zakat, akan tumbuhlah iman itu dengan suburnya. Karena
ada juga orang yang telah mengaku beriman kepada Allah, tetapi dia malas shalat. Berbahayatah bagi iman itu,
karena kian lama dia akan runtuh kembali. Dan hendaklah dididik diri bermurah hati dengan mengeluarkan

1
zakat karena bakhil adalah musuh yang terbesar dari iman. Apabila berperangai bakhil, nyatalah orang itu tidak
beriman!
Kemudian mengapa disuruh lagi ruku' bersama dengan orang yang ruku'? Tidakkah cukup dengan perintah
shalat saja? Apakah ini bukan kata berulang?
Bukan! Ada juga orang yang berpaham bahwa asal aku sudah shalat sendiri di rumahku, tidak perlu lagi aku
bercampur dengan orang lain. Itulah yang salah! Shalat sendiri pun belum sempurna, tetapi ruku'lah bersama -
sama dengan orang yang ruku', bawalah diri ke tengah masyarakat. Pergilah berjamaah!
Maksud yang kedua, arti ruku' ialah khusyu. Jangan hanya shalat asal shalat, shalat mencukupi kebiasaan sehari-
hari saja, tidak dijiwai oleh rasa khusyu dan ketundukan.
Kemudian itu, Allah meneruskan lagi firman-Nya kepada Bani Israil dengan mengingatkan kesalahan selama in

2. QS. Al-Baqarah Ayat 267

‫ض ۗ َواَل تَيَ َّم ُموا‬ِ ‫س ْبتُ ْم َو ِم َّمٓا اَ ْخ َر ْجنَا لَ ُك ْم ِّمنَ ااْل َ ْر‬
َ ‫ت َما َك‬ ِ ‫ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ْنفِقُ ْوا ِمنْ طَيِّ ٰب‬
‫هّٰللا‬
‫ض ْوا فِ ْي ِه ۗ َوا ْعلَ ُم ْٓوا اَنَّ َ َغنِ ٌّي َح ِم ْي ٌد‬ ُ ‫ستُ ْم بِ ٰا ِخ ِذ ْي ِه آِاَّل اَنْ تُ ْغ ِم‬ َ ‫ا ْل َخبِ ْي‬
ْ َ‫ث ِم ْنهُ تُ ْنفِقُ ْونَ َول‬
267. Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk
untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan
mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya, Maha Terpuji.

a. Tafsir Jalalain
(Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah), maksudnya zakatkanlah (sebagian yang baik-baik) dari (hasil
usahamu) berupa harta (dan sebagian) yang baik-baik dari (apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu)
berupa biji-bijian dan buah-buahan (dan janganlah kamu sengaja) mengambil (yang jelek) atau yang buruk
(darinya) maksudnya dari yang disebutkan itu, lalu (kamu keluarkan untuk zakat) menjadi 'hal' dari dhamir yang
terdapat pada 'tayammamu' (padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya) maksudnya yang jelek tadi,
seandainya ia menjadi hak yang harus diberikan kepadamu (kecuali dengan memejamkan mata terhadapnya),
artinya pura-pura tidak tahu atau tidak melihat kejelekannya, maka bagaimana kamu berani memberikan itu
guna memenuhi hak Allah! (Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya) sehingga tidak memerlukan nafkahmu itu
(lagi Maha Terpuji) pada setiap kondisi dan situasi.

b. Tafsir Ibnu Katsir


Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik
dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian. Dan janganlah kalian memilih yang buruk-
buruk, lalu kalian nafkahkan darinya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji. Setan menjanjikan
(menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan (kikir); sedangkan Allah
menjanjikan untuk kalian ampunan dari-Nya dan karunia.
Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Allah memberikan hikmah kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak
ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. Allah subhanahu wa ta’ala
memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berinfak. Yang dimaksud dengan infak dalam
ayat ini ialah bersedekah. Menurut Ibnu Abbas, sedekah harus diberikan dari harta yang baik (yang halal) yang
dihasilkan oleh orang yang bersangkutan.
Menurut Mujahid, yang dimaksud dengan hasil usaha ialah berdagang; Allah telah memudahkan cara berdagang
bagi mereka. Menurut Ali dan As-Suddi, makna firman-Nya: dari hasil usaha kalian yang baik. (Al-Baqarah:
267), Yakni emas dan perak, juga buah-buahan serta hasil panen yang telah ditumbuhkan oleh Allah di bumi
untuk mereka. Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah memerintahkan kepada mereka untuk berinfak dari
sebagian harta mereka yang baik, yang paling disukai dan paling disayang.

2
Allah melarang mereka mengeluarkan sedekah dari harta mereka yang buruk dan jelek serta berkualitas rendah;
karena sesungguhnya Allah itu Mahabaik, Dia tidak mau menerima kecuali yang baik. Karena itulah dalam
firman selanjutnya disebutkan: Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya,
padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya. (Al-Baqarah: 267) Yakni janganlah kalian sengaja memilih
yang buruk-buruk. Seandainya kalian diberi yang buruk-buruk itu, niscaya kalian sendiri tidak mau
menerimanya kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya.
Allah Mahakaya terhadap hal seperti itu dari kalian, maka janganlah kalian menjadikan untuk Allah apa-apa
yang tidak kalian sukai. Menurut pendapat yang lain, makna firman-Nya: Dan janganlah kalian memilih yang
buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya. (Al-Baqarah: 267), Yakni janganlah kalian menyimpang dari
barang yang halal, lalu dengan sengaja mengambil barang yang haram, kemudian barang yang haram itu kalian
jadikan sebagai nafkah kalian.
Sehubungan dengan ayat ini ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa: telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Ishaq, dari As-Sabbah ibnu
Muhammad, dari Murrah Al-Hamdani, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah ‫ﷺ‬
pernah bersabda: Sesungguhnya Allah telah membagikan di antara kalian akhlak-akhlak kalian, sebagaimana
Dia telah membagi-bagi di antara kalian rezeki-rezeki kalian. Dan sesungguhnya Allah memberikan dunia ini
kepada semua orang, baik yang disukai-Nya ataupun yang tidak disukai-Nya.
Tetapi Allah tidak memberikan agama kecuali kepada orang yang disukai-Nya. Maka barang siapa yang
dianugerahi agama oleh Allah, berarti Allah mencintainya. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam
genggaman kekuasaan-Nya, seorang hamba masih belum Islam sebelum kalbu dan lisannya Islam, dan masih
belum beriman sebelum tetangga-tetangganya merasa aman dari ulahnya. Mereka (para sahabat) bertanya,
"Wahai Nabi Allah, apakah yang dimaksud dengan bawa'iqahu?" Nabi ‫ ﷺ‬menjawab, "Tipuan dan perbuatan
aniayanya. Dan tidak sekali-kali seorang hamba mencari usaha dari cara yang diharamkan, lalu ia
menginfakkannya dan mendapat berkah dari infaknya itu.
Dan tidak sekali-kali ia menyedekahkannya, lalu sedekahnya diterima darinya. Dan tidak sekali-kali ia
meninggalkannya di belakang punggungnya (yakni menyimpannya), melainkan hartanya itu kelak menjadi
bekal baginya di neraka. Sesungguhnya Allah tidak menghapus yang buruk dengan yang buruk lagi, melainkan
Dia menghapus yang buruk dengan yang baik. Sesungguhnya hal yang buruk itu tidak dapat menghapuskan
keburukan lainnya." Akan tetapi, pendapat yang shahih adalah pendapat yang pertama tadi.
Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Umar Al-Abqari, telah
menceritakan kepadaku ayahku, dari Asbat, dari As-Suddi, dari Addi ibnu Sabit, dari Al-Barra ibnu Azib
sehubungan dengan firman-Nya: Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari
hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian. Dan ja-
nganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya. (Al-Baqarah: 267), hingga akhir ayat.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Anshar.
Dahulu orang-orang Anshar apabila tiba masa panen buah kurma, mereka mengeluarkan buah kurma yang
belum masak benar (yang disebut busr) dari kebun kurmanya. Lalu mereka menggantungkannya di antara kedua
tiang masjid dengan tali, yaitu di masjid Rasul. Maka orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin makan buah
kurma itu. Lalu ada seorang lelaki dari kalangan mereka (kaum Anshar) dengan sengaja mencampur kurma
yang buruk dengan busr (agar tidak kelihatan), ia menduga bahwa hal itu diperbolehkan.
Maka turunlah firman Allah berkenaan dengan orang yang berbuat demikian, yaitu: Dan janganlah kalian
memilih yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya. (Al-Baqarah: 267) Kemudian Ibnu Jarir, Ibnu Majah,
dan Ibnu Mardawaih serta Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui As-Suddi, dari Addi ibnu Sabit,
dari Al-Barra meriwayatkan hal yang semisal. Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini berpredikat shahih
dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidak mengetengahkan hadits ini
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada
kami Ubaidillah, dari Israil, dari As-Suddi, dari Abu Malik, dari Al-Barra sehubungan dengan firman-Nya: Dan
janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya, padahal kalian sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. (Al-Baqarah: 267) Al-Barra mengatakan,
"Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kami (kalangan Anshar); di antara kami ada orang-orang yang memiliki
kebun kurma. Seseorang dari kami biasa mendatangkan sebagian dari hasil buah kurmanya sesuai dengan kadar
yang dimilikinya; ada yang banyak, dan ada yang sedikit. Kemudian ada seorang lelaki (dari kalangan Anshar)
datang dengan membawa buah kurma yang buruk, lalu menggantungkannya di masjid.

3
Sedangkan golongan suffah (fakir miskin) tidak mempunyai makanan; seseorang di antara mereka apabila lapar
datang, lalu memukulkan tongkatnya pada gantungan buah kurma yang ada di masjid, maka berjatuhanlah
darinya buah kurma yang belum masak dan yang berkualitas rendah, lalu memakannya. Di antara orang-orang
yang tidak menginginkan kebaikan memberikan sedekahnya berupa buah kurma yang buruk dan yang telah
kering dan belum masak, untuk itu ia datang dengan membawa buah kurmanya yang buruk dan
menggantungkannya di masjid.
Maka turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: 'Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian
nafkahkan darinya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata
terhadapnya' (Al-Baqarah: 267)." Al-Barra ibnu Azib mengatakan, "Seandainya seseorang di antara kalian
diberi hadiah buah kurma seperti apa yang biasa ia berikan, niscaya dia tidak mau mengambilnya kecuali
dengan memicingkan mata terhadapnya dengan perasaan malu. Maka sesudah itu seseorang di antara kami
selalu datang dengan membawa hasil yang paling baik yang ada padanya." Hal yang sama diriwayatkan oleh
Imam At-Tirmidzi, dari Abdullah ibnu Abdur Rahman Ad-Darimi, dari Ubaidillah (yaitu Ibnu Musa Al-Absi),
dari Israil, dari As-Suddi (yaitu Ismail ibnu Abdur Rahman), dari Abu Malik Al-Gifari yang namanya adalah
Gazwan, dari Al-Barra, lalu ia mengetengahkan hadits yang semisal.
Selanjutnya Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Walid, telah menceritakan kepada
kami Sulaiman ibnu Kasir, dari Az-Zuhri, dari Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif, dari ayahnya, bahwa
Rasulullah ‫ ﷺ‬melarang menyedekahkan dua jenis kurma, yaitu ju'rur dan habiq (kurma yang buruk dan kurma
yang sudah kering). Tersebutlah bahwa pada mulanya orang-orang menyeleksi yang buruk-buruk dari hasil buah
kurma mereka, lalu mereka menyedekahkannya sebagai zakat mereka
Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian
nafkahkan darinya. (Al-Baqarah: 267) Imam Abu Dawud meriwayatkannya melalui hadits Sufyan ibnu Husain,
dari Az-Zuhri. Kemudian ia mengatakan bahwa hadits ini disandarkan oleh Abul Walid dari Sulaiman ibnu
KaSir, dari Az-Zuhri yang lafaznya berbunyi seperti berikut: Rasulullah ‫ ﷺ‬melarang memungut kurma ju'rur
(yang buruk) dan kurma yang telah kering sebagai sedekah (zakat). Imam An-Nasai meriwayatkan pula hadits
ini melalui jalur Abdul Jalil ibnu Humaid Al-Yahsubi, dari Az-Zuhri, dari Abu Umamah, tetapi ia tidak
menyebutkan dari ayahnya, lalu ia menuturkan hadits yang semisal.
Hal yang semisal telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Wahb, dari Abdul Jalil. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Mugirah, telah menceritakan
kepada kami Jarir, dari ‘Atha’ ibnus Saib, dari Abdullah ibnu Mugaffal sehubungan dengan ayat ini: Dan
janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya. (Al-Baqarah: 267) Ia mengatakan
bahwa usaha yang dihasilkan oleh seorang muslim tidak ada yang buruk, tetapi janganlah ia menyedekahkan
kurma yang berkualitas rendah dan uang dirham palsu serta sesuatu yang tidak ada kebaikan padanya (barang
yang tak terpakai).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami
Hammad ibnu Salamah, dari Hammad (yakni Ibnu Sulaiman), dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Siti Aisyah
yang telah menceritakan: Pernah Rasulullah ‫ ﷺ‬mendapat kiriman daging dab (semacam biawak), maka beliau
tidak mau memakannya dan tidak pula melarangnya. Aku (Siti Aisyah) berkata, "Wahai Rasulullah, bolehkah
kami memberikannya kepada orang-orang miskin agar dimakan oleh mereka?" Beliau ‫ ﷺ‬menjawab, "Janganlah
kalian memberi makan mereka dengan makanan yang tidak pernah kalian makan." Kemudian ia meriwayatkan
pula hal yang semisal dari Affan, dari Hammad ibnu Salamah; aku (Siti Aisyah) berkata, "Wahai Rasulullah,
bolehkah aku memberikannya kepada orang-orang miskin (agar dimakan mereka)?" Beliau menjawab,
"Janganlah kalian memberi makan mereka dengan makanan yang tidak pernah kalian makan." Ats-Tsauri
meriwayatkan dari As-Suddi, dari Abu Malik, dari Al-Barra sehubungan dengan firman-Nya: Padahal kalian
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. (Al-Baqarah: 267) Ia
mengatakan, "Seandainya seorang lelaki mempunyai suatu hak atas lelaki yang lain, lalu si lelaki yang berutang
membayar utangnya itu kepada lelaki yang memiliki piutang, lalu ia tidak mau menerimanya, mengingat apa
yang dibayarkan kepadanya itu berkualitas lebih ren-dah daripada miliknya yang dipinjamkan." Asar ini
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Padahal kalian sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. (Al-Baqarah: 267) Ibnu Abbas
mengatakan, "Seandainya kalian mempunyai hak atas seseorang, lalu orang itu datang dengan membawa hak
kalian yang kualitasnya lebih rendah daripada hak kalian, niscaya kalian tidak mau menerimanya karena kurang
dari kualitas yang sebenarnya." Selanjutnya Ibnu Abbas mengatakan bahwa demikian pula makna yang
terkandung di dalam firman-Nya: melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. (Al-Baqarah: 267) Maka

4
bagaimana kalian rela memberikan kepadaku apa-apa yang kalian sendiri tidak rela bila buat diri kalian, hakku
atas kalian harus dibayar dengan harta yang paling baik dan paling berharga pada kalian
Asar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir, dan ditambahkan dalam riwayat ini firman
Allah subhanahu wa ta’ala lainnya, yaitu: Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna)
sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. (Ali Imran: 92) Kemudian diriwayatkan pula hal
yang semisal dari jalur Al-Aufi dan lain-lainnya dari Ibnu Abbas. Hal yang sama diriwayatkan pula bukan hanya
oleh seorang imam saja.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji. (Al-Baqarah:
267) Dengan kata lain, sekalipun Dia memerintahkan kepada kalian untuk bersedekah dengan harta kalian yang
paling baik, pada kenyataannya Dia tidak memerlukannya. Dia Mahakaya dari itu. Tidak sekali-kali Dia
memerintahkan demikian melainkan hanya untuk berbagi rasa antara orang yang kaya dan orang yang miskin.
Pengertian ayat ini sama dengan firman-Nya: Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat
mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya. (Al-Hajj: 37) Allah
Mahakaya dari semua makhluk-Nya, sedangkan semua makhluk-Nya berhajat kepada-Nya.
Dia Mahaluas karunia-Nya, semua yang ada padanya tidak akan pernah habis. Maka barang siapa yang
mengeluarkan suatu sedekah dari usaha yang baik (halal), perlu diketahui bahwa Allah Mahakaya, Mahaluas
pemberian-Nya, lagi Mahamulia dan Maha Pemberi; maka Dia pasti akan membalasnya karena sedekahnya itu,
dan Dia pasti akan melipatgandakan pahalanya dengan penggandaan yang banyak. Siapakah yang mau
memberikan pinjaman kepada Tuhan Yang Mahakaya lagi tidak pernah aniaya? DiA Maha Terpuji dalam
semua perbuatan, ucapan, syariat,dan takdirnya.
Tidak ada Tuhan selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Setan
menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan; sedangkan
Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui. (Al-Baqarah: 268) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah,
telah menceritakan kepada kami Hannad ibnus Sirri, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari ‘Atha’
ibnus Saib, dari Murrah Al-Hamdani, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah ‫ﷺ‬
pernah bersabda: Sesungguhnya setan mempunyai dorongan dalam diri anak Adam dan malaikat pun
mempunyai dorongan pula (dalam dirinya).
Adapun dorongan dari setan ialah dorongan yang menganjurkan kepada kejahatan dan mendustakan perkara
yang hak. Dan adapun dorongan dari malaikat ialah dorongan yang menganjurkan kepada kebaikan dan percaya
kepada perkara yang hak. Maka barang siapa yang merasakan dalam dirinya hal ini, hendaklah ia mengetahui
bahwa yang demikian itu dari Allah, hendaklah ia memuji kepada Allah; dan barang siapa yang merasakan
selain dari itu, maka hendaklah ia meminta perlin-dungan (kepada Allah) dari godaan setan.

c. Tafsir Al Azhar
“Wahai, orang-orang yang beriman! Belanjakan sebagian dari hasil-hasil usaha kamu yang baik-baik, dan dari
apa yang telah Kami keluarkan untuk kamu dari bumi."
Pengetahuan pertama yang kita dapat dari ayat ini ialah bahwa orang yang beriman itu tentu suka berusaha.
Orang yang beriman tidak mau menganggur, membuang-buang waktu. Segala macam usaha yang halal
termasuklah ke dalamnya, termasuk juga bercocok tanam dan bertani, bersawah dan berladang. Maka, hasil
yang baik-baik dari usaha-usaha dan pertanian itu hendaklah dibelanjakan atau dinafkahkan. Kemudian
dijelaskan lagi apa yang dimaksud dengan baik-baik itu, “Dan janganlah kamu pilih-pilih yang buruk darinya,
lalu kamu belanjakan!' Untuk menimbang apa yang baik-baik itu dan apa pemberian yang buruk yang tercela itu
disuruh mengukur dengan sendiri kalau awak diberi orang, artinya kalau kamu sendiri yang menerima
pemberian dari orang lain, “Dan kamu pun tidaklah akan menerimanya melainkan dengan memejamkan mata
kamu." Artinya, ketika memberikan barang itu kepada orang lain, taksirlah dan ukurlah kepada diri sendiri,
bagaimana perasaan kita jika engkau diberi orang barang seperti itu? Adakah kamu senang menerima atau kamu
terima hanya lantaran terpaksa saja, menerima dengan memicingkan mata karena kurang senang kepada barang
itu?
Di penutup ayat, berfirmanlah Allah,
“Dan ketahuilah, sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Terpuji."

5
Allah Mahakaya! Ingatlah ini ketika kamu memberikan apa-apa kepada orang lain, sehingga hatinya terbuka
memilih yang baik-baik untuk diberikan kepada yang patut diberi. Allah Maha Terpuji! Sebab Dia selalu
membantumu dengan memberikan rezeki yang baik-baik.

3. QS. Al-Baqarah Ayat 274


‫س ًّرا َّو َعاَل نِيَةً فَلَ ُه ْم اَ ْج ُر ُه ْم ِع ْن َد َربِّ ِه ۚ ْم َواَل َخ ْوفٌ َعلَ ْي ِه ْم َواَل ُه ْم‬
ِ ‫اَلَّ ِذيْنَ يُ ْنفِقُ ْونَ اَ ْم َوالَ ُه ْم بِالَّ ْي ِل َوالنَّ َها ِر‬
َ‫يَ ْح َزنُ ْون‬
274. Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi
maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka
dan mereka tidak bersedih hati.

a. Tafsir Jalalain
(Orang-orang yang menafkahkan harta mereka, baik malam maupun siang secara sembunyi-sembunyi atau
terang-terangan, maka mereka beroleh pahala di sisi Tuhan mereka, tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak pula mereka berduka cita).

b. Tafsir Ibnu Katsir


Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari secara
tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Al-Baqarah: 274) Hal ini merupakan pujian dari Allah
subhanahu wa ta’ala kepada orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah dan untuk mencari
keridaan-Nya di segala waktu baik siang maupun malam hari dan dengan berbagai cara baik yang sembunyi-
sembunyi ataupun yang terang-terangan sehingga nafkah buat keluarga pun termasuk ke dalam pengertian ini
pula.
Seperti yang telah ditetapkan di dalam kitab Shahihain, bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah bersabda kepada Sa'd ibnu
Abu Waqqas, ketika beliau menjenguknya yang sedang sakit pada tahun kemenangan atas kota Mekah, menurut
pendapat yang lain pada tahun haji wada', yaitu: Dan sesungguhnya kamu tidak sekali-kali mengeluarkan suatu
nafkah dengan mengharapkan rida Allah, melainkan engkau makin bertambah derajat dan ketinggianmu
karenanya, sehingga berupa makanan yang kamu suapkan ke dalam mulut istrimu. Imam Ahmad mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far dan Bahz; keduanya mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Syu'bah, dari Addi ibnu Sabit yang telah menceritakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu
Yazid Al-Ansari menceritakan hadits berikut dari Abu Mas'ud , dari Nabi ‫ ﷺ‬yang telah bersabda:
Sesungguhnya seorang muslim itu apabila mengeluarkan suatu nafkah kepada istrinya dengan mengharapkan
pahala dari Allah, maka hal itu merupakan sedekah baginya.
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadits ini melalui Syu'bah dengan lafal yang sama. Ibnu
Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami
Sulaiman ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib yang mengatakan
bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Yasar menceritakan hadits berikut dari Yazid ibnu Abdullah ibnu Uraib
Al-Mulaiki, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi ‫ﷺ‬, bahwa firman-Nya: Orang-orang yang menafkahkan
hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di
sisi Tuhannya. (Al-Baqarah: 274), diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang memiliki kuda (untuk
berjihad di jalan Allah)
Habsy As-San'ani meriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, bahwa mereka
adalah orang-orang yang memelihara kuda untuk berjihad di jalan Allah. Asar yang sama diriwayatkan pula
oleh Ibnu Abu Hatim, kemudian ia mengatakan bahwa hal yang sama diriwayatkan pula dari Abu Umamah,
Sa'id ibnul Musayyab, dan Makhul. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id
Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Yaman, dari Abdul Wahhab ibnu Mujahid, dari Ibnu
Jubair, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Ali mempunyai uang empat dirham, lalu ia menafkahkan satu
dirham darinya di malam hari, satu dirham lainnya pada siang harinya, dan satu dirham lagi dengan sembunyi-
sembunyi, sedangkan dirham terakhir ia nafkahkan secara terang-terangan.
Maka turunlah Firman-Nya: Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam hari dan di siang hari secara
tersembunyi dan terang-terangan. (Al-Baqarah: 274) Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur

6
Abdul Wahhab ibnu Mujahid, sedangkan dia orang yang dha’if. Akari tetapi, Ibnu Mardawaih meriwayatkannya
pula melalui jalur yang lain dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ali ibnu Abu Thalib.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. (Al-Baqarah: 274) Yakni di
hari kiamat nanti sebagai balasan dari nafkah yang telah mereka keluarkan di jalan ketaatan. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Al-Baqarah: 274) Tafsir ayat ini telah
diterangkan sebelumnya."

c. Tafsir Al Azhar
“Orang-orang yang membelanjakan harta benda mereka malam dan siang secara rahasia dan tenang-tenangan
maka untuk mereka adalah pahala di sisi Tuhan."
Hati mereka terbuka terus dan pintu rumah mereka terbuka, dan pundi-pundi uang mereka pun terbuka. Malam
ataupun siang. Didahulukan di dalam ayat ini menyebut malam daripada siang karena ada orang yang kesusahan
tengah malam mengetuk pintu rumahnya ataupun dia sendiri pun teringat membantu orang yang susah sehingga
matanya tidak mau tidur. Malam hari pun dia berjalan juga untuk mengantarkan perbantuannya. Sedangkan
malam dia begitu, apatah lagi pada siang hari. Dia pun memberikan secara rahasia kepada yang patut
menerimanya ataupun secara terang-terangan karena patut terang-terang, tetapi jiwanya ialah jiwa yang selalu
ingin memberi sebab jiwa itu telah tergembleng oleh iman. Sikapnya yang demikian disambut oleh Allah
dengan janji, sedangkan janji Allah pasti benar bahwa dia akan diberi pahala, ganjaran, dunia dan akhirat,
terutama di akhirat. Dan, dikuatkan Allah semangatnya, “Talaklah ada ketakutan atas mereka, dan tidaklah
mereka akan berduka cita."

4. QS. At-Taubah Ayat 60


ِ ‫الرقَا‬
۞ ‫ب َوا ْل َغا ِر ِميْنَ َوفِ ْي‬ ِّ ‫صد َٰقتُ لِ ْلفُقَ َر ۤا ِء َوا ْل َم ٰس ِك ْي ِن َوا ْل َعا ِملِيْنَ َعلَ ْي َها َوا ْل ُمَؤ لَّفَ ِة قُلُ ْوبُ ُه ْم َوفِى‬
َّ ‫اِنَّ َما ال‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
‫ضةً ِّمنَ ِ َۗو ُ َعلِ ْي ٌم َح ِك ْي ٌم‬ ‫هّٰللا‬
َ ‫سبِ ْي ۗ ِل فَ ِر ْي‬
َّ ‫سبِ ْي ِل ِ َوا ْب ِن ال‬ َ
60. Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang
dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang
berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari
Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

a. Tafsir Jalalain
(Sesungguhnya zakat-zakat) zakat-zakat yang diberikan (hanyalah untuk orang-orang fakir) yaitu mereka yang
tidak dapat menemukan peringkat ekonomi yang dapat mencukupi mereka (orang-orang miskin) yaitu mereka
yang sama sekali tidak dapat menemukan apa-apa yang dapat mencukupi mereka (pengurus-pengurus zakat)
yaitu orang yang bertugas menarik zakat, yang membagi-bagikannya, juru tulisnya, dan yang
mengumpulkannya (para mualaf yang dibujuk hatinya) supaya mau masuk Islam atau untuk memantapkan
keislaman mereka, atau supaya mau masuk Islam orang-orang yang semisal dengannya, atau supaya mereka
melindungi kaum Muslimin. Mualaf itu bermacam-macam jenisnya; menurut pendapat Imam Syafii jenis
mualaf yang pertama dan yang terakhir pada masa sekarang (zaman Imam Syafii) tidak berhak lagi untuk
mendapatkan bagiannya, karena Islam telah kuat. Berbeda dengan dua jenis mualaf yang lainnya, maka
keduanya masih berhak untuk diberi bagian. Demikianlah menurut pendapat yang sahih (dan untuk)
memerdekakan (budak-budak) yakni para hamba sahaya yang berstatus mukatab (orang-orang yang berutang)
orang-orang yang mempunyai utang, dengan syarat bila ternyata utang mereka itu bukan untuk tujuan maksiat;
atau mereka telah bertobat dari maksiat, hanya mereka tidak memiliki kemampuan untuk melunasi utangnya,
atau diberikan kepada orang-orang yang sedang bersengketa demi untuk mendamaikan mereka, sekalipun
mereka adalah orang-orang yang berkecukupan (untuk jalan Allah) yaitu orang-orang yang berjuang di jalan
Allah tetapi tanpa ada yang membayarnya, sekalipun mereka adalah orang-orang yang berkecukupan (dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan) yaitu yang kehabisan bekalnya (sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan) lafal fariidhatan dinashabkan oleh fi'il yang keberadaannya diperkirakan (Allah; dan Allah Maha
Mengetahui) makhluk-Nya (lagi Maha Bijaksana) dalam penciptaan-Nya. Ayat ini menyatakan bahwa zakat
tidak boleh diberikan kepada orang-orang selain mereka, dan tidak boleh pula mencegah zakat dari sebagian
golongan di antara mereka bilamana golongan tersebut memang ada. Selanjutnya imamlah yang membagi-
bagikannya kepada golongan-golongan tersebut secara merata; akan tetapi imam berhak mengutamakan
individu tertentu dari suatu golongan atas yang lainnya. Huruf lam yang terdapat pada lafal lilfuqaraa`
memberikan pengertian wajib meratakan pembagian zakat kepada setiap individu-individu yang berhak. Hanya

7
saja tidak diwajibkan kepada pemilik harta yang dizakati, bilamana ia membaginya sendiri, meratakan
pembagiannya kepada setiap golongan, karena hal ini amat sulit untuk dilaksanakan. Akan tetapi cukup baginya
memberikannya kepada tiga orang dari setiap golongan. Tidak cukup baginya bilamana ternyata zakatnya hanya
diberikan kepada kurang dari tiga orang; demikianlah pengertian yang disimpulkan dari ungkapan jamak pada
ayat ini. Sunah telah memberikan penjelasannya, bahwa syarat bagi orang yang menerima zakat itu, antara lain
ialah muslim, hendaknya ia bukan keturunan dari Bani Hasyim dan tidak pula dari Bani Muthalib.

b. Tafsir Ibnu Katsir


Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin. pengurus-pengurus zakat,
para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang untuk jalan
Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan
Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Setelah Allah menyebutkan bantahan orang-orang munafik yang
bodoh kepada Nabi ‫ ﷺ‬serta celaan mereka kepada Nabi ‫ ﷺ‬dalam pembagian harta zakat. maka Allah
menjelaskan bahwa Dialah yang membagikannya dan Dialah yang menjelaskan hukumnya serta mengatur
urusannya, Dia tidak akan menyerahkan hal tersebut kepada siapa pun. Maka Allah membagi-bagikannya di
antara mereka yang telah disebutkan di dalam ayat ini.
Imam Abu Daud di dalam kitab Sunnah-nya telah meriwayatkan melalui hadits Abdur Rahman ibnu Ziyad ibnu
An'am yang berpredikat agak dha’if-. dan Ziyad ibnu Na'im, dari Ziyad ibnul Haris As-Sadai yang menceritakan
bahwa ia datang kepada Nabi ‫ﷺ‬, lalu ia berbaiat (mengucapkan janji setia) kepadanya. Kemudian datanglah
seorang lelaki. dan lelaki itu berkata kepada Nabi ‫ﷺ‬, "Berilah saya sebagian dari zakat itu." Maka Nabi ‫ﷺ‬
bersabda kepadanya: Sesungguhnya Allah tidak rela kepada keputusan seorang nabi pun, tidak pula orang lain
dalam masalah zakat-zakat itu, melainkan Dia sendirilah yang memutuskannya.
Maka Dia membagi-bagikannya kepada delapan golongan. Jika engkau termasuk di antara delapan golongan itu,
maka aku akan memberimu. Para ulama berselisih pendapat sehubungan dengan delapan golongan ini, apakah
pembagian harta zakat harus diberikan kepada delapan golongan itu secara penuh, ataukah hanya kepada yang
ada saja di antara kedelapan golongan itu? Ada dua pendapat mengenainya. Pendapat pertama mengatakan
bahwa harta zakat harus dibagikan kepada semua golongan yang delapan itu.
Pendapat ini dikatakan oleh Imam Syafii dan sejumlah ulama. Pendapat kedua mengatakan bahwa tidak wajib
membagikan harta zakat kepada semua golongan yang delapan itu, melainkan boleh diberikan kepada satu
golongan saja di antara mereka. Semua harta zakat boleh diberikan kepadanya, sekalipun golongan yang lain
ada. Pendapat ini dikatakan oleh Imam Malik dan sejumlah ulama dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf, antara
lain ialah Umar, Huzaifah, Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Sa'id ibnu Jubair dan Maimun ibnu Mahran.
Ibnu Jarir memberikan komentarnya, bahwa pendapat inilah yang dipegang oleh kebanyakan ahlul 'ilmi. Dengan
demikian, penyebutan kedelapan golongan dalam ayat ini hanyalah semata-mata untuk menerangkan
pengalokasiannya saja, bukan wajib memenuhi kesemuanya. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai alasan dan
dalil masing-masing kedua golongan tersebut, uraiannya disebutkan di dalam kitab lain. Sesungguhnya kaum
fakir miskin disebutkan lebih dahulu dalam ayat ini daripada golongan yang lain, karena mereka lebih
memerlukannya ketimbang golongan lain, menurut pendapat yang terkenal; juga mengingat hajat dan keperluan
mereka yang sangat mendesak.
Menurut Imam Abu Hanifah, orang miskin lebih buruk keadaannya daripada orang fakir. Pendapatnya ini
seirama dengan apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku
Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari
Muhammad yang menceritakan bahwa Umar pernah mengatakan. '"Orang fakir bukan orang yang tidak
mempunyai harta, tetapi orang yang miskin akhlak dan pekerjaan (usaha)." Ibnu Ulayyah mengatakan.'Menurut
kami, istilah akhlak artinya pekerjaan, sedangkan menurut jumhur ulama kebalikannya." Telah diriwayatkan
dari Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan Al-Basri, dan Ibnu Zaid; serta dipilih oleh Ibnu Jarir dan lain-lainnya yang
bukan hanya seorang, bahwa orang fakir ialah orang yang menjaga kehormatannya dari meminta-minta dia tidak
pernah meminta sesuatu pun dari orang lain.
Sedangkan orang miskin ialah orang yang meminta-minta, berkeliling mengemis dan mengikuti orang-orang
untuk meminta darinya. Qatadah mengatakan. orang fakir ialah orang yang berpenyakit menahun, sedangkan
orang miskin ialah orang (yang tidak punya, tetapi) tubuhnya sehat. Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Mansur,
dari Ibrahim, bahwa yang dimaksud dengan fuqara dalam ayat ini ialah kaum fuqara Muhajirin. Sufyan Ats-

8
Tsauri mengatakan, makna yang dimaksud ialah orang-orang Arab Badui tidak boleh diberi sesuatu pun dari
harta zakat itu.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair dan Sa'id ibnu Abdur Rahman ibnu Abza. Ikrimah
mengatakan. ''Janganlah kalian katakan kepada orang-orang muslim yang tidak punya bahwa mereka adalah
orang-orang miskin. Sesungguhnya orang-orang miskin itu hanyalah kaum Ahli Kitab." Berikut ini kami
sebutkan hadits-hadits yang berkaitan dengan delapan golongan tersebut. Mengenai orang-orang fakir
diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah bersabda." Zakat itu tidak halal bagi orang yang
berkecukupan, tidak pula bagi orang yang kuat lagi bermata pencaharian.
Hadits ini merupakan riwayat Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam At-Tirmidzi. Imam Ahmad, Imam An-
Nasai, dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkan hal yang semisal dari Abu Hurairah. Dari Ubaidillah ibnu
Addi ibnul Khiyar, disebutkan bahwa dua orang lelaki pernah menceritakan kepadanya; keduanya pernah datang
kepada Nabi ‫ ﷺ‬meminta bagian harta zakat. Maka Nabi ‫ ﷺ‬memandang tajam kepada keduanya, dan Nabi ‫ﷺ‬
menilai keduanya adalah orang yang kuat lagi sehat. Lalu Nabi ‫ ﷺ‬bersabda: Jika kamu berdua
menginginkannya, maka aku akan memberi kamu berdua; tetapi tidak ada bagian dari zakat bagi orang yang
berkecukupan, tidak pula bagi orang yang kuat lagi mempunyai kasab (mata pencaharian). Hadits riwayat Imam
Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam An-Nasai dengan sanad yang jayyid lagi kuat.
Ibnu Abu Hatim di dalam kitab Al-Jarh Wat Ta'dil mengatakan bahwa Abu Bakar Al-Absi mengatakan bahwa
Umar ibnul Khattab membacakan firman-Nya: Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir.
(At-Taubah: 60) Lalu ia berkata bahwa mereka adalah Ahli Kitab. Umar ibnu Nafi meriwayatkannya dari dia,
bahwa ia telah mendengar ayahnya mengatakan hal tersebut. Pendapat ini sangat aneh, sekalipun sanadnya
dianggap shahih; karena sesungguhnya Abu Bakar Al-Absi ini sekalipun Abu Hatim tidak me-nas-kan predikat
majhul (misteri)nya (tetapi) kedudukannya sama dengan orang yang majhul. Adapun mengenai orang-orang
miskin, hadisnya disebutkan melalui Abu Hurairah ,, bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah bersabda: Orang miskin itu
bukanlah orang yang suka berkeliling meminta-minta kepada orang lain, lalu ia pergi setelah diberi sesuap atau
dua suap makanan.
dan setelah diberi sebiji atau dua biji buah kurma. Mereka (para sahabat) bertanya, "Lalu siapakah orang yang
miskin itu, wahai Rasulullah?'" Nabi ‫ ﷺ‬bersabda: Orang yang tidak menemukan kecukupan yang menjamin
kehidupannya; dan keadaannya tidak dikenal, hingga sulit untuk diberi sedekah; dan ia tidak pernah meminta
sesuatu pun dari orang lain. Hadits riwayat Syaikham. Adapun orang-orang yang menjadi pengurus zakat atau
amilin, maka mereka adalah orang-orang yang ditugaskan menagih zakat dan mengumpulkannya: mereka
mendapat hak dari sebagian zakat.
Tetapi para 'amilin itu tidak boleh dari kalangan kerabat Rasulullah ‫ ﷺ‬yang haram memakan harta zakat.
karena berdasarkan apa yang disebutkan di dalam kitab Shahih Muslim, dari Abdul Muttalib ibnu Rabi'ah ibnul
Haris yang mengatakan bahwa ia pergi bersama Al-Fadl ibnu Abbas menghadap Rasulullah ‫ ﷺ‬untuk
menawarkan dirinya menjadi amil zakat. Tetapi Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: Sesungguhnya zakat itu tidak halal
bagi Muhammad, tidak pula bagi keluarga Muhammad. Sesungguhnya zakat itu hanyalah kotoran (harta)
manusia. Adapun mengenai muallafah qulubuhum atau orang-orang yang dijinakkan hatinya untuk masuk
Islam, mereka terdiri atas berbagai golongan. Antara lain ialah orang yang diberi agar mau masuk Islam, seperti
apa yang pernah dilakukan oleh Nabi ‫ ﷺ‬kepada Safwan ibnu Umayyah. Beliau ‫ ﷺ‬memberinya bagian dari
ganimah Perang Hunain, padahal Safwan ibnu Umayyah ikut dalam Perang Hunain dalam keadaan masih
musyrik. Safwan ibnu Umayyah mengatakan, "Rasulullah ‫ ﷺ‬terus-menerus memberiku," sehingga beliau
menjadi orang yang paling ia sukai, padahal sebelumnya Rasulullah ‫ ﷺ‬adalah orang yang paling ia benci. Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Ibnul
Mubarak, dari Yunus, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnu Musayyab, dari Safwan ibnu Umayyah yang mengatakan
bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬memberinya bagian dalam Perang Hunain.
Dan bahwa saat itu Rasulullah ‫ ﷺ‬merupakan orang yang paling tidak disukai olehnya. Tetapi Rasulullah ‫ﷺ‬
terus-menerus memberinya hingga Rasulullah ‫ ﷺ‬menjadi orang yang paling dia sukai. Imam Muslim dan Imam
At-Tirmidzi meriwayatkannya melalui hadits Yunus, dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama. Di antara mereka
ada orang yang diberi agar Islamnya bertambah baik dan imannya bertambah mantap dalam hatinya, seperti apa
yang dilakukan oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬dalam Perang Hunain kepada sejumlah orang dari kalangan pemimpin-
pemimpin dan orang-orang terhormat Mekah yang dibebaskan. Kepada setiap orang dari mereka, Rasulullah ‫ﷺ‬
memberinya seratus ekor unta. Lalu Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: Sesungguhnya aku benar-benar memberi kepada
seorang lelaki, padahal ada orang lain yang lebih aku sukai daripadanya, karena aku takut bila Allah
menyeretnya dengan muka di bawah ke dalam neraka Jahannam. Di dalam kitab Shahihain disebutkan melalui
Abu Sa'id, bahwa Ali mengirimkan bongkahan emas yang masih ada tanahnya dari negeri Yaman kepada Nabi
‫ ﷺ‬Kemudian Nabi ‫ ﷺ‬membagi-bagikannya di antara empat orang, yaitu Al-Aqra' ibnu Habis, Uyaynah ibnu

9
Badar, Alqamah ibnu Ilasah, dan Zaid Al-Khair, lalu beliau ‫ ﷺ‬bersabda: (Aku memberi mereka untuk) aku
jinakkan hati mereka (kepada Islam). Di antara mereka ada orang yang diberi dengan harapan agar orang-orang
yang semisal dengannya mau masuk Islam pula. Dan di antara mereka terdapat orang yang diberi agar dia
memungut zakat dari orang-orang yang berdekatan dengannya, atau agar dia mau membela negeri kaum muslim
dari segala marabahaya yang datang dari perbatasan.
Perincian keterangan mengenai hal ini disebutkan di dalam kitab-kitab fiqih. Apakah kaum muallafah
qulubuhum tetap diberi sesudah masa Nabi ‫ ?ﷺ‬Hal ini masih diperselisihkan. Telah diriwayatkan dari Umar,
Amir, Asy-Syabi. dan sejumlah ulama, bahwa mereka tidak pernah memberi kaum muallafah qulubuhum
sesudah Nabi ‫ﷺ‬, karena Allah telah menguatkan Islam dan para pemeluknya serta menjadikan mereka berkuasa
penuh di negerinya dengan mantap dan stabil, serta semua hamba tunduk kepada mereka.
Ulama lainnya mengatakan, "Bahkan mereka masih tetap diberi, karena Rasulullah ‫ ﷺ‬masih tetap memberi
mereka sesudah kemenangan atas Mekah dan sesudah kalahnya orang-orang Hawazin. Hal ini merupakan suatu
perkara yang terkadang diperlukan, maka sebagian dari harta zakat diberikan kepada mereka yang masih
dijinakkan hatinya untuk memeluk Islam." Adapun mengenai budak-budak, maka diriwayatkan dari Al-Hasan
Al-Basri, Muqatil ibnu Hayyan, Umar ibnu Abdul Aziz, Sa'id ibnu Jubair, An-Nakha'i, Az-Zuhri, dan Ibnu Zaid,
bahwa mereka adalah budah-budak Mukatab.
Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Abu Musa Al-Asy'ari. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam
Syafii dan Al-Al-Laits. Ibnu Abbas dan Al-Hasan mengatakan bahwa tidak mengapa budak dimerdekakan dari
harta zakat. Pendapat ini dikatakan oleh mazhab Imam Ahmad, Imam Malik, dan Ishaq. Dengan kata lain, istilah
ar-riqab lebih umum, mencakup mukatab dan lainnya. Harta zakat itu dibelikan budak, lalu dimerdekakan.
Telah disebutkan oleh banyak hadits tentang pahala memerdekakan budak dari belenggu perbudakan, dan
bahwa Allah memerdekakan setiap anggota tubuh dari budak itu setiap anggota tubuh dari orang yang
memerdekakannya, hingga kemaluan dengan kemaluan (yakni dari api neraka). Hal ini tiada lain karena
pembalasan itu disesuaikan dengan jenis amalnya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Dan tidaklah kalian
diberi pembalasan melainkan terhadap apa yang telah kalian kerjakan. (Ash-Shaffat: 39) Dari Abu Hurairah ,
disebutkan bahwa Nabi ‫ ﷺ‬pernah bersabda: Ada tiga macam orang yang pasti ditolong oleh Allah, yaitu orang
yang berperang di jalan Allah, budak mukatab yang berniat untuk melunasinya, dan orang yang menikah dengan
niat hendak memelihara kehormatannya.
Hadits ini merupakan riwayat Imam Ahmad dan Ahlus Sunan, kecuali Imam Abu Daud. Di dalam kitab Musnad
disebutkan melalui Al-Barra ibnu Azib yang mengatakan bahwa pernah datang seorang lelaki. lalu bertanya,
"Wahai Rasulullah, tunjukkanlah aku kepada suatu amal yang dapat mendekatkan diriku ke surga dan
menjauhkan diriku dari neraka." Maka Nabi ‫ ﷺ‬bersabda: Merdekakanlah budak dan lepaskanlah tanggungan
(leher)nya. Lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, bukankah pengertian keduanya sama?" Rasulullah ‫ﷺ‬
menjawab: Tidak. Memerdekakan budak artinya kamu memerdekakannya sendiri, sedangkan melepaskan
tanggungannya ialah kamu membantu pelunasannya. Adapun istilah garimun atau orang-orang yang berutang,
mereka terdiri atas beberapa golongan.
di antaranya ialah orang yang menanggung suatu tanggungan atau menjamin suatu utang, hingga ia diharuskan
melunasinya. lalu utangnya itu menghabiskan semua hartanya. Atau ia tenggelam dalam utangnya sehingga
tidak mampu melunasinya, atau utang yang menghabiskan semua hartanya itu ia lakukan dalam maksiat,
kemudian ia bertobat. maka terhadap mereka semua diberikan sebagian dari harta zakat. Dalil asal dalam bab ini
ialah hadits Qubaisah ibnu Mukhariq Al-Hilali yang menceritakan bahwa ia menanggung suatu tanggungan
utang, lalu ia datang menghadap Rasulullah ‫ ﷺ‬untuk meminta sebagian dari harta zakat guna melunasinya.
Maka Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: Tinggallah kamu hingga harta zakat datang kepada kita, maka akan kami
perintahkan untuk memberikan sebagiannya kepadamu. Selanjutnya Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: Wahai Qubaisah,
sesungguhnya meminta itu tidak halal kecuali bagi salah seorang di antara tiga macam orang, yaitu bagi seorang
lelaki yang menanggung suatu tanggungan utang, maka dihalalkan baginya meminta hingga ia dapat
melunasinya, kemudian menahan diri dari meminta-minta. Dan seorang lelaki yang tertimpa suatu musibah
hingga semua hartanya habis, maka dihalalkan baginya meminta-minta hingga ia memPEroleh pegangan bagi
kehidupannya, atau kecukupan bagi kehidupannya.
Dan seorang lelaki yang tertimpa kemiskinan, hingga ada tiga orang yang berakal (bijak) dari kalangan kerabat
dalam kaumnya mengatakan bahwa sesungguhnya si Fulan telah jatuh miskin, maka dihalalkan baginya
meminta-minta hingga beroleh pegangan kehidupan atau kecukupan bagi penghidupannya. Adapun meminta-
minta yang bukan berdasarkan alasan tersebut, maka hal itu merupakan barang haram yang dimakan oleh
pelakunya. Hadits ini merupakan riwayat Imam Muslim.

10
Dari Abu Sa'id, disebutkan bahwa di masa Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah ada seorang lelaki yang tertimpa suatu
musibah, karena buah-buahan yang dibelinya busuk semua, hingga ia berutang banyak. Maka Nabi ‫ ﷺ‬bersabda,
"Bersedekahlah kalian untuknya." Maka orang-orang (para sahabat) memberikan sedekah mereka kepadanya,
tetapi hal tersebut masih juga belum dapat melunasi utangnya. Lalu Nabi ‫ ﷺ‬bersabda kepada para pemilik
piutangnya: Ambillah apa yang kalian jumpai, dan tidak ada lagi bagi kalian kecuali hanya itu (Riwayat
Muslim). Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada
kami Sadaqah ibnu Musa, dari Abu Imran Al-Juni, dari Qais ibnu Yazid, dari Qadi Masriyyain, dari Abdur
Rahman ibnu Abu Bakar yang mengatakan bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah bersabda: Allah menyeru orang yang
berutang kelak di hari kiamat hingga orang itu diberdirikan di hadapan-Nya.
Lalu Allah berfirman, "Wahai anak Adam, mengapa kamu mengambil utang ini, dan mengapa engkau sia-
siakan hak-hak orang lain? Maka ia menjawab, "Wahai Tuhanku. sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku
telah mengambil utang itu dan aku tidak memakan dan meminum serta tidak menyia-nyiakannya, tetapi aku
terkena kebakaran, dan adakalanya kecurian dan adakalanya kehilangan. Maka Allah berfirman, "Benarlah apa
yang dikatakan hamba-Ku, Aku lebih berhak untuk melunaskannya pada hari ini daripada kamu.
Kemudian Allah memerintahkan kepada sesuatu, lalu sesuatu itu diletakkan pada salah satu sisi neraca orang itu
sehingga kebaikan-kebaikannya lebih berat ketimbang keburukan-keburukannya, akhirnya dia masuk surga
berkat karunia dan rahmat Allah. Adapun mengenai sabilillah, di antara mereka adalah orang-orang yang
berperang tetapi tidak memperoleh hak (gaji/bayaran) dari pemerintah. Menurut Imam Ahmad dan Al-Hasan
ibnu Ishaq, melakukan ibadah haji termasuk sabilillah, karena berdasarkan hadits yang me-nas-kannya.
Ibnu Sabil ialah seorang musafir yang melewati suatu kota, sedangkan ia tidak lagi mempunyai suatu bekal pun
untuk melanjutkan perjalanannya. Maka ia diberi dari harta zakat sejumlah bekal yang cukup untuk
memulangkannya, sekalipun di negerinya dia adalah orang yang berharta. Demikian pula hukumnya terhadap
orang yang hendak melakukan suatu perjalanan dari negerinya, sedangkan ia tidak mempunyai bekal; maka ia
dapat diberi dari harta zakat untuk bekal yang mencukupinya pulang pergi.
Dalil yang menyatakan hal ini adalah ayat di atas, dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu
Majah melalui Ma'mar, dari Zaid ibnu Aslam, dari ‘Atha’ ibnu Yazar, dari Abu Sa'id yang mengatakan bahwa
Rasulullah ‫ ﷺ‬telah bersabda: Zakat tidak halal bagi orang yang berkecukupan kecuali lima macam orang, yaitu
orang yang mengurusi zakat. atau seorang lelaki yang membelinya dari hartanya, atau orang yang berutang, atau
orang yang berperang di jalan Allah, atau orang miskin yang diberi bagian dAri harta zakat, lalu ia
menghadiahkannya kepada orang yang kaya.
Kedua Sufyan telah meriwayatkannya dari Zaid ibnu Aslam. dari ‘Atha’ secara mursal. Menurut riwayat Imam
Abu Daud dari Atiyyah Al-Aufi. dari Abu Sa'id Al-Khudri disebutkan bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬telah bersabda:
Zakat tidak halal bagi orang kaya kecuali bagi yang sedang berjuang di jalan Allah dan yang sedang menjadi
ibnu sabil, atau tetangga yang fakir, lalu ia menghadiahkannya kepadamu atau mengundangmu (kepada
jamuannya). Firman Allah subhanahu wa ta’ala: sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. (At-Taubah:
60) Yakni ketetapan yang telah dipastikan oleh Allah, Dialah yang memutuskan dan yang membagi-bagikannya.
dan llah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (At-Taubah: 0) Maksudnya, mengetahui lahiriah semua perkara,
juga batiniahnya serta mengetahui kemaslahatan hamba-hamba-Nya: lagi Mahabijaksana. (At-Taubah: 60)
dalam semua ucapan-Nya. perbuatan-Nya, semua hukum serta syariat-Nya. Tidak ada Tuhan seiain Dia, dan
tidak ada Rabb kecuali Dia."

c. Tafsir Al Azhar
“Sedekah-sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakfo dan orang-orang miskin."
Yang mustahak atau yang berhak mendapat pembagian zakat (sedekah) itu adalah delapan jenis, sebagai
tersebut dalam ayat ini atau tujuh jenis. Sebab para ulama banyak memperbincangkan tentang jenis-jenis fakir
dan miskin ini. Kata setengah mereka, orang yang fakir dan miskin sama saja keadaannya. Yaitu sama-sama
tidak mampu, tidak berke-cukupan, melarat, sengsara. Tetapi setengah mereka pula mengatakan bahwa fakir itu
lebih melarat dari miskin. Ada yang memisalkan, jika seseorang memerlukan belanja hidup tiap hari misalnya
100 rupiah. Bagaimanapun dia berusaha, dia hanya mendapat kurang dari 50 rupiah. Itulah orang fakir. Dan ada
orang yang berusaha mencari 100 rupiah, tetapi yang dapat dihasilkannya, hanya kurang dari 100 rupiah, tetapi
tidak di bawah 50 rupiah, itulah orang yang miskin.
Demikian pendapat setengah penafsir.

11
Dan ada pula yang berkata bahwa miskin, lebih susah hidupnya dari fakir. Tetapi Al-Qur'an satu kali pernah
memberi kita pedoman untuk menentukan bahwa orang miskin itu juga ada mempunyai perusahaan. Ayat 79
dari surah al-Kahf menerangkan jawaban hamba Allah yang diberi rahmat dan ilmu oleh Allah, yang menurut
setengah ahli tafsir bernama Nabi Khidhir. Ketika dia menjawab kepada Nabi Musa apa sebab perahu itu
dilubanginya, dia mengatakan bahwa perahu itu ialah kepunyaan orang-orang miskin yang berusaha di lautan,
sedang raja di negeri itu suka merampok perahu orang yang dipandangnya bagus. Ayat ini memberi petunjuk
bahwa orang yang berusaha sebagai nelayan yang empunya perahu itu adalah orang-orang miskin.
Sebuah hadis Rasulullah ‫ ﷺ‬yang dira-wikan Bukhari, Muslim, dan beberapa ulama hadits yang lain dari Abu
Hurairah. dapat juga memberi kita pedoman tentang arti miskin.
“Berkata Rasulullah satu, “Bukanlah orang miskin itu dengan berkeliling-keliling, meminta-minta kepada
manusia, lalu ditolak akan dia oleh satu suap dua suap atau satu butir dua butir kurma." Lalu orang bertanya,
‘Kalau begitu apa yang miskin itu, ya Rasulullah satu.?' Beliau menjawab, ‘Ialah orang yang tidak memiliki
orang kaya buat membantunya, dan orang tidak mengerti akan nasibnya, supaya orang bersedekah kepadanya;
dan dia pun tidak pernah meminta-minta kepada orang lain.'" (HR Bukhari dan Muslim)
Sesudah memahamkan kedua dalil ini, baik surah al-Kahf ayat 79 itu, maupun sabda Rasulullah ‫ ﷺ‬pada hadits
yang shahih itu, dapatlah kita menyimpulkan bahwa fakir dan miskin adalah sama. Kadang-kadang orang
miskin itulah yang lebih susah, sebab dia malu meminta. Dia adalah berusaha sebagai nelayan dengan
perahunya tadi, tetapi tidak mencukupi. Di luar kadang-kadang tidak kelihatan bahwa dia orang susah, sebab dia
menjaga harga diri. Di dalam surah al-Baqarah ayat 273 diterangkan sikap hidup mereka, yaitu mereka tidak
sanggup berusaha di muka bumi, disangka oleh orang-orang yang tidak tahu bahwa dia orang kaya juga, dari
sebab dia pandai menahan diri, dan dia tidak mau meminta-minta kepada orang lain secara paksa, yaitu
menyebut-nyebut kesusahannya supaya hati orang kasihan, atau orang terpaksa memberi karena pandainya
berdiplomasi. Ayat 273 itu mengatakan orang yang berilmu dapat mengenal tanda-tanda orang yang demikian.
Satu di antara tanda itu ialah, karena dia seorang Mukmin yang taat beribadah dan berjamaah, selalu dia ke
masjid. Orang yang tajam mata akan dapat melihat bahwa kain baju yang dipakainya tidak bertukar-tukar, itu ke
itu juga, sudah berbulan-bulan, tetapi tetap bersih. Dan telah ditambal-tambal, tetapi halus tambalannya. Itu
adalah salah satu contoh tanda saja, yang dapat diketahui oleh orang yang arif budiman.
Sekarang kita jelaskan satu demi satu.
1) “Fakir"
Asal artinya adalah dari membungkuk tulang punggung. Jadi, nama sebutan untuk orang yang telah bungkuk
memikul beban berat kehidupan.
2) “Miskin"
Dari kata sukuun, artinya berdiam diri saja, menahankan penderitaan hidup. Oleh sebab itu, tidaklah ada
salahnya kalau sekiranya ada orang berpendapat bahwa fakir dan miskin itu adalah satu jenis. Inilah dua jenis
pertama atau satu jenis pertama yang berhak menerima zakat.
3) “Dan pengurus-pengurus atasnya"
Jika yang ketiga berhak menerima pula ialah pengurus yang ditugaskan memungut dan mengumpulkan zakat
itu.
Sebagaimana dimaklumi, kalau negara berdiri menurut peraturan Islam, zakat dipungut negara. Negara
menentukan pengurus atau pegawai yang akan memungutnya. Si pengurus atau pegawai, berhak pula mendapat
bagian. Tetapi tentu kita maklum bahwa harta itu telebih dahulu wajib diserahkannya kepada negara semua,
dengan tidak mengambil terlebih dahulu sesuka hatinya, kalau diambilnya terlebih dahulu sebagai panjar
(porsekot), tentu diperhitungkan kelak pada waktu membagi.
Kalau si pemungut zakat itu menyembunyikan sebagian harta yang dipungutnya itu untuk kepentingan diri
sendiri, dan tidak dilaporkannya, perbuatannya itu dinamai ghu-lut. Termasuk dosa besar, sama dengan mencuri;
bahasa halus sekarang ialah korupsi. Sama haramnya dengan menyembunyikan harta rampasan dalam perang
dengan tidak melaporkan kepada pimpinan perang.
Ketika orang membantai ternak kurban Hari Raya Haji, pernah juga terjadi ghulul. Daging-daging kurban
tersebut akan dibagi sebaik-baiknya kepada yang berhak menerima. Tetapi kalau ada orang yang
menyembunyikan daging itu sebelum dibagi, dan nanti dia akan menerima pembagian pula, maka yang
disembunyikannya itu bernama ghulul pula, lebih hina dari mencuri.

12
Pada pendapat saya di dalam suatu negeri yang pemungutan zakat dikerjakan oleh umat Islam sendiri, karena
kesadaran agama mereka, mereka boleh mengadakan panitia (komite) untuk memungut dan mengumpulkan.
Dengan persetujuan bersama, anggota-anggota panitia itu pun berhak mendapat bagian. Sebab tanggung jawab
panitia itu pun berat dan pekerjaan atau usahanya yang lain terhenti karena mengurus itu.
Sejalan dengan ini diterangkan pula dalam hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan Muslim bahwa Fadhl
bin Abbas bin Abdul Muthalib dan al-Muthalib bin Rabrah bin Abdul Muthalib, yang termasuk keluarga
terdekat dari Rasulullah ‫ﷺ‬, pernah mengusulkan diri untuk menjadi amil pengurus zakat itu, supaya mereka
mendapat pembagian. Lalu Rasulullah ‫ ﷺ‬berkata,
“Zakat itu tidak halal untuk Muhammad dan keluarga Muhammad, sebab dia itu adalah dari daki-daki (sampah)
manusia." (HR Muslim dan Imam Ahmad)
Dengan ini, sekaligus dijelaskan, keluarga Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, tidak boleh diberi zakat dan
tidak boleh menjadi panitia atau menjadi amil pemungut zakat dengan maksud supaya mereka mendapat
pembagian. Sampai kepada zaman kita sekarang ini, keturunan-keturunan Ali bin Abi Thalib yang tahu akan
harga diri dan menjunjung tinggi kemuliaan agama, masih tetap mempertahankan itu. Sebab itu kalau ternyata
ada mereka itu yang miskin, sebab keturunan Ali bin Abi Thalib itu telah tersebar-sebar di muka bumi ini,
berilah mereka bantuan dari jalan lain, jangan dari zakat.
Ada lagi sebuah riwayat, ketika cucu beliau Hasan masih kecil-kecil, dia menjalar-jalar di lantai dan di dekat itu
ada setumpuk besar kurma zakat yang akan dibagi-bagi. Hasan yang masih kecil itu menjalar ke dekat itu dan
ingin hendak menjamah dan memakannya agak sebuah. Dia segera disuruh tarik dari tempat itu oleh Nabi ‫ﷺ‬.
Inilah suatu didikan tinggi dan membawa pengertian pula bagi kita bahwa beliau men-dinding diri dan keluarga
jangan sampai berebut pula menerima zakat. Lain dengan gha-nimah perang, sebab ghanimah perang adalah
usaha perjuangan sendiri. Sampai beliau pernah bersabda,
“Rezekiku adalah di bawah bayang-bayang tombakku."
Dan pengaruh sikap begini, besar pula bagi umat Muhammad ‫ﷺ‬, meskipun mereka bukan cucu Rasulullah ‫ﷺ‬.
Hendaklah mereka berusaha sehingga dapat mengeluarkan zakat bukan menerima zakat.
4) “Dan orang-orang yang ditarik hati mereka."
Artinya, orang-orang yang ditarik-tarik agar mencintai Islam. Nabi ‫ ﷺ‬telah melakukan ini, mula-mula setelah
selesai Peperangan Hunain dan penaklukan kabilah Hawazin. se-bagaimana yang telah kita ketahui pada tafsir
yang dahulu. Meskipun terang, keuka terde-sak dari penyerbuan Hawazin dan Tsaqif di medan Perang Hunain
banyak mereka yang lari tunggang langgang, namun setelah selesai perang dengan sangat royal Rasulullah ‫ﷺ‬
membagi-bagikan ghanimah yang berlimpah-limpah itu kepada mereka sehingga Anshar dan Muhajirin yang
sama datang dari Madinah, tidak mendapat pembagian apa-apa. Padahal nyata bahwa di kalangan mereka itu
ada yang lemah iman, bahkan ada yang masih munafik. Kita teringat pemberian kepada Abu Sufyan 100 unta,
anaknya Mu'awiyah 100 unta, dan anaknya Yazid 100 unta. Demikian pula kepada yang lain-lain. Maka
kebaikan hati dan tangan terbuka yang sedemikian rupa sangat mengesan kepada jiwa mereka sehingga mereka
menjadi orang Islam yang baik.
Sayyidina Abu Bakar dalam masa pemerintahannya pernah pula memberikan bagian zakat yang besar kepada
Adi bin Hatim dan Zabarqan bin Badar. Yang pertama ialah seorang pemuda Nasrani yang masuk Islam dan
yang kedua pemuda Persia masuk Islam. Keduanya adalah orang-orang kaya yang mampu dan disegani dalam
kaum mereka. Dan keduanya pun orang-orang Islam yang baik. Maksud Khalifah Rasulullah ‫ ﷺ‬memberikan
zakat dengan jumlah besar kepada mereka itu ialah untuk dapat lebih memperdalam pengaruh mereka dalam
kalangan kaum mereka, supaya kaum ini pun tertarik pada Islam.
Atas dasar-dasar ini maka ahli-ahli fiqih mengambil kesimpulan bahwa orang-orang yang ditarik-tarik itu adalah
dua macam. Pertama dari kalangan Islam sendiri, kedua dari orang lain agama.
Dari kalangan Islam yang patut mendapat bantuan zakat besar itu pula ialah Muslimin yang tinggal di tapal
batas di antara negeri kuasa Islam dengan negeri kuasa musuh. Oleh karena mereka itu bisa terombang-ambing,
apakah akan masuk dalam perlindungan pemerintahan kafir atau akan tetap dalam perlindungan pemerintahan
Islam. Setengah fuqaha mengatakan bahwa ini pun boleh termasuk dalam sabilillah'.
Dari kalangan orang Islam juga, yaitu orang yang berpengaruh dalam satu negeri atau desa Islam. Supaya
karena pengaruhnya maka penduduk negeri itu dapat dengan lancar mengeluarkan zakatnya.

13
Yang ditarik hatinya dalam kalangan orang yang belum Islam. Ini telah dilaksanakan oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬sendiri
ketika menaklukkan Mekah terhadap Shafwan bin Umaiyah. Ketika Nabi ‫ ﷺ‬memasuki Mekah, dia lari ke luar
Mekah. Tetapi Nabi berpesan kepadanya jika dia datang, dia akan diberi aman, tidak akan diapa-apakan, dan
diberi janji empat bulan untuk berpikir dan bersedia masuk Islam. Maka setelah Rasulullah ‫ ﷺ‬pergi ke
Peperangan Hunain, dia pun datang dan terus menggabungkan diri dalam tentara Islam, padahal ketika itu dia
belum menyatakan diri masuk Islam. Dialah yang berkata, “Diwarisi oleh seorang laki-laki dari Quraisy, lebih
aku sukai daripada aku diwarisi oleh seorang dari Hawazin," Maka dia pun turut berperang di pihak Nabi ‫ﷺ‬,
sebab Nabi ‫ ﷺ‬sama-sama Quraisy dengan dia, karena kalau Hawazin menang, dia akan di bawah kuasa
Hawazin. Dia tidak suka. Ini pun membuktikan bahwa perangnya di pihak Nabi ‫ ﷺ‬di waktu itu belum karena
iman, hanya karena kemegahan kabilah. Maka peperangan Nabi ‫ ﷺ‬itu pun menang. Setelah selesai perang,
Rasulullah ‫ ﷺ‬memberikan kepadanya unta sepadang! Beratus ekor banyaknya. Dia sendiri tidak menyangka
akan diberi sebanyak itu. Dia berkata, “Satu pemberian yang tidak mengingat persediaan buat diri sendiri."
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Muslim dan Tirmidzi dari jalan Said bin Musayyab; Shafwan
berkata tentang pemberian Nabi itu, “Ketika Nabi memberiku itu, dia adalah orang yang paling aku benci.
Tetapi setelah dia memberiku itu, dialah orang yang paling aku cintai, di antara sekalian manusia."
Dan Shafwan itu bukan pula sembarang orang. Dia adalah di antara sepuluh bangsawan jahiliyyah yang setelah
menjadi Islam, kebangsawanannya itu tersambung langsung setelah Islam. Menurut Ibnu Sa'ad, di zaman
jahiliyyah dia terkenal karena suka memberi makan fakir miskin dan salah seorang yang fasih bijak lidahnya
berkata-kata. Setelah Islam dia menjadi seorang Islam yang baik.
Ada lagi semacam kafir lain yang ditarik-tarik hati mereka untuk menutup mulut mereka. Ibnu Abbas
meriwayatkan bahwa ada satu kaum yang kalau datang kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬diberi hadiah, dia pun memuji-
muji.
Kemudian itu keluar pulalah pendapat ahli fiqih bahwa orang-orang agama lain yang menyatakan diri mau
memeluk agama Islam, sedang orang itu miskin, hendaklah ditarik hatinya dengan memberinya keperluan hidup
selayaknya. Karena kadang-kadang, putuslah hubungannya dengan keluarganya. Dia telah diusir oleh
masyarakat kaumnya. Setelah dia masuk Islam. Hendaknya dirasainya nikmat ukhuwwah dalam Islam. Tetapi,
meskipun hal ini telah berlaku sebagai suatu istiadat yang baik dalam masyarakat kita kaum Muslimin, cara
melakukannya sudah menjadi buruk karena kurang merasakan maksud Islam. Orang-orang Tionghoa yang
masuk Islam dari kalangan miskin, menjadi orang peminta-minta dengan diberi nama mualaf sehingga gelar
mualaf tidak lagi suatu penghormatan, melainkan sebagai merendahkan, sehingga sudah kena oleh celaan dan
larangan yang termaktub di dalam surah al-Hujuraat ayat 11,
“Dan janganlah kamu berpanggil-panggilan dengan gelar-gelaran yang buruk." (al-Hujuraat: 11)
Tentang orang yang ditarik-tarik hatinya ini (al-mualafatu qulubuhum) menjadi pembi-caraan juga di kalangan
ulama. Menurut Imam Abu Hanifah, bagian ini hanya berlaku ketika Islam masih dalam taraf propaganda.
Kalau Islam telah kuat, tidak perlu lagi. Imam Syafi'i pun berpendapat seperti itu. Alasan mereka ialah karena
seorang musyrik pernah datang kepada Sayyidina Umar, bersedia masuk Islam dan minta pemberian harta.
Dengan sangat murka Umar bin Khaththab berkata menurut ayat, “Siapa yang senang, berimanlah. Siapa suka,
kafirlah!" Dan dalam riwayat lain, pada zaman Abu Bakar bahwa Uyainah bin Hasan dan al-Aqra' bin Habis,
datang kepada beliau memohon diberi tanah. Lalu Abu Bakar memberi mereka sepucuk surat dan disuruh bawa
kepada Umar (wazir beliau, ketika Abu Bakar jadi Khalifah). Setelah surat itu dilihat oleh Umar, beliau robek,
dan beliau berkata, “Memang, dahulu Rasulullah ‫ ﷺ‬memberi kalian harta, untuk menarik hati kalian kepada
Islam. Adapun hari ini, Islam telah kuat dan tidak memerlukan kalian lagi. Kalau kalian tetap teguh kepada
Islam, terserahlah kepada kalian untuk kebaikan diri kalian sendiri. Tetapi kalau kalian murtad dari Islam, maka
di antara kami dengan kalian ialah pedang!"
Mendengar penolakan setegas itu dari Umar bin Khaththab, mereka pun kembali kepada Abu Bakar dan berkata,
“Siapa yang khalifah, engkaukah apa Umar? Engkau memberi, tetapi dia merobek surat engkau!"
Abu Bakar menjawab, “Dia berhak berbuat begitu!"
Dan, tidak ada para sahabat lain yang membantah Umar merobek surat itu. Karena kejadian inilah maka Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa saham jenis mualaf ini, sudah habis masanya. Dan, Imam Syafi'i pun pernah
menyatakan pendapat yang sesuai dengan itu. Tetapi menilik kepada kejadian ini, tidak ada ulama yang tegas-
tegas mengatakan bahwa mualaf ini telah mansukh. Jenis ini tetap ada, sebab Islam selalu dalam perkembangan.
Tolakan Umar kepada kedua orang itu bukanlah berlaku untuk yang lain.
Umar menyalahkan kepada mereka berdua karena menyangka bahwa jika Nabi ‫ ﷺ‬dahulu telah memberi
mereka lebih, di belakang hari mereka akan mendapat lebih juga, sehingga itu sajalah yang mereka harapkan.

14
Ini pun dapat menjadi pengajaran di dalam menghadapi orang lain yang masuk Islam di zaman kita ini, yang
karena pemberian zakat yang mula-mula, karena salah berpikir, mereka merasa bahwa dengan memakai gelar
mualaf, mereka sudah wajib diberi pembagian zakat selalu. Mualaf hanya bisa dipakai untuk orang yang baru
masuk Islam. Lalu mereka diberi belanja, diberi modal, sampai mereka dapat tegak sendiri sebagai Muslim dan
berusaha. Kalau mereka telah Islam, lalu miskin dan kalau mereka diberi juga zakat, bukanlah lagi karena
mereka mualaf, melainkan karena miskin atau fakir.

5) “Dan untuk melepaskan perbudakan"


Di waktu negeri-negeri di dunia ini masih memakai sistem perbudakan, maka agama Islam menyediakan lagi
bagian harta zakat itu untuk menebus dan memerdekakan budak. Sebagian dari harta zakat itu dipergunakan
pembeli budak, langsung budak itu dimerdekakan. Termasuk juga di dalamnya, misalnya seorang yang
empunya budak memberikan janji kepada budaknya, asal engkau dapat membayar ganti kerugianku, membeli
engkau sekian banyaknya, engkau aku merdekakan. Si budak melaporkan kepada pengumpul zakat, atau kepada
pemberi zakat bebas, lalu uang itu diserahkan kepada penghulu tadi, dan si budak pun merdekalah. Ini yang
dinamai budak mukaatab, artinya telah mengikat janji merdeka dengan surat-menyu-rat dengan tuannya. Atau
bagian harta zakat digunakan untuk menebus orang yang dalam tawanan sehingga dia merdeka dari tawanan itu.
Sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dari al-Bara' bin Azib bahwa datang seseorang
kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬lalu dia bertanya, “Tunjukilah aku, apakah amalan yang akan mendekatkan aku ke surga
dan menjauhkan daku dari neraka?" Lalu Rasulullah ‫ ﷺ‬menjawab,
“Merdekakan orang dan tanggalkan perbudakan."
Lalu orang itu berkata lagi, “Bukankah itu hanya satu saja?" Rasulullah menjawab pula,
“Tidak! (itu bukan satu). Memerdekakan budak ialah engkau sendiri memerdekakan budakmu, dan
menanggalkan perbudakan ialah engkau tolong memerdekakan budak-budak lain dengan menentukan
harganya." (HR Bukhari dan Imam Ahmad)
Lantaran itu dianjurkanlah kalau orang berzakat, mengeluarkan sebagian dari zakatnya itu buat membeli budak
yang langsung dimerdekakan. Kalau pemerintahan diatur secara Islam, dia hendaknya segera melaporkan
kepada penguasa tentang harga budak itu, sehingga harga itu tidak ditagih lagi buat dimasukkan ke baitul maal,
untuk dibagi kepada yang lain.
6) “Dua orang yang berutang"
Orang yang berutang dan sudah sangat terdesak, sedang dia tidak sanggup membayarnya, bolehlah melaporkan
nasibnya kepada penguasa pembagian zakat sehingga utang itu dibayar dengan zakat. Atau kalau pada zaman
kita ini ada panitia zakat, laporkanlah berapa utang itu kepada panitia. Panitia wajib membayar, setelah
mengadakan penelitian dengan saksama.
Seorang sahabat Rasulullah ‫ ﷺ‬bernama Qubaishah bin Mukharriq dari Bani Hilal da-tang kepada Rasulullah ‫ﷺ‬
menyatakan nasibnya, berutang tetapi sudah lama dia ber-usaha, belum juga dapat terbayar. Bersabdalah
Rasulullah ‫ﷺ‬,
“Tunggulah, sampai datang zakat; akan kami suruhkan memberikan untuk engkau," Lalu beliau berkata pula,
“Hai Qubaishah, meminta-minta ini tidaklah halal, kecuali dalam tiga hal. Seorang laki-laki memikul suatu
beban, maka halallah dia meminta sampai lepas beban itu, kemudian hendaklah dia berhenti. Seorang laki-laki
ditimpa suatu kesusahan yang sangat. Ketika itu boleh dia meminta, sampai susahnya hilang; maka berhentilah.
Seorang laki-laki lagi yang sudah sangat melarat, sehingga sudah sampai bertiga kaumnya yang mampu-mampu
mengatakan, bahwa dia memang sudah sangat melarat; maka ketika itu halallah dia meminta, sehingga dia dapat
hidup. Lain dari itu, wahai Qubaishah kalau masih meminta-minta juga, adalah itu suatu perbuatan curang yang
membawa mati dalam kehinaan." (HR Imam Ahmad, Muslim, dan an-Nasa'i)
Lain dari itu maka seorang yang hendak berzakat pun boleh mengatakan terus terang kepada orang yang
berutang kepadanya bahwa dia bersedia membayar zakat kepadanya, asal saja dengan zakat itu utangnya
dibayarkan.
7) “Dan pada jalan Allah “

15
Sebagai sambungan dari mengeluarkan zakat untuk menolong kemerdekaan manusia dari perbudakan tadi.
Inilah bagian yang amat luas sekali. Memang, ulama-ulama fiqih zaman dahuiu banyak sekali memberi arti
bahwa dengan harta zakat, disediakan juga untuk perbelanjaan perang karena pada masa itu sabilillah, lebih
banyak kepada perjuangan perang.
Dan di negeri kita sendiri, terutama di Aceh, ketika bangsa kita di Aceh berjuang me-nangkis serangan Belanda
yang hendak memerkosa kemerdekaan Aceh, ulama-ulama seluruh Tanah Aceh telah sepakat menggerak dan
mengerahkan orang kaya-kaya agar mengeluarkan zakat untuk membelanjai peperangan melawan Belanda.
Tetapi, setelah Belanda menguasai Aceh karena segala perlawanan telah patah makasalahseorangpahlawan
Aceh, yaitu Teuku Panglima, menyerah kepada Belanda, Beliau dirajakan kembali di negerinya, XXII Mukim
Aceh Besar. Setelah tenteram me-merintah, beliau dirikanlah sekolah-sekolah agama dan beliau kirimlah para
pemuda dalam mukim yang diperintahnya pergi belajar agama ke Mekah dan ke Mesir dan ke Aceh Barat
(Tapak Tuan) dan ke Padang Panjang. Beliau katakan terus terang kepada orang besar-besarnya bahwa sekarang
kita tidak kuasa dan tidak sanggup lagi menggunakan bagian sabilillah buat memerangi Belanda, sebab kita
sudah kalah. Syukur aku masih dapat memerintah. Sebab itu hak sabilillah itu karena aku masih mempunyai
sedikit kuasa, aku gunakan untuk membelanjai segala usaha menegakkan dan mengembangkan agama dan
memperbanyak orang alim dalam negeri ini.
Meskipun Teuku Panglima Polim Setia Muda Perkasa itu bukanlah seorang yang alim, tetapi memang seorang
raja yang saleh, namun pendapatnya ini sesuai dengan perkataan Imam Malik r.a. tentang sabilillah.
Berkata Imam Malik,
“Jalan-jalan Allah itu banyak, tetapi aku tidak menampak ada perselisihan pendapat bahwa yang dimaksud
dengan sabilillah di ayat ini ialah berperang menegakkan agama."
Ada juga ulama sebagai Imam Ahmad yang mengatakan, sabilillah itu, termasuk juga pergi haji.
Pendapat Imam Ahmad bin Hambal bahwa naik haji pun termasuk sabilillah, itulah yang menjadi perhatian bagi
orang yang beriman. Memang, orang baru wajib naik haji apabila dia sendiri telah mempunyai kesanggupan dan
kemampuan (isti-tha'ah). Oleh sebab itu, sebaiknyalah dia berusaha sendiri mencukupkan ongkos belanja pergi
haji. Tetapi orang lain yang beriman pula, sepatutnya memberi bantuan kepadanya dengan zakat, baik oleh
karena memang dengan mengerjakan haji itu dia telah melakukan sabilillah, maupun karena naik haji itu dia
telah terhitung ibnus sabil.
Berkatalah pula setengah ulama, dan kata ini amat memuaskan hati kita, “Perkataan ini adalah umum: sebab itu
tidaklah boleh dia dibatasi pada satu macam saja. Termasuk di dalamnya segala usaha-usaha yang baik,
seumpama memberi kafan jenazah orang miskin, membuat jembatan penghubung dua pinggir sungai,
membangun benteng, mendirikan masjid, dan lain-lain."
Pendapat ini dikuatkan oleh Sayyid Hasan Shadiq Khan Bahadur di dalam kitab tafsirnya, Fathul Bayan. Dan, di
dalam kitab fiqih beliau yang bernama ar-Raudhatun-Nadiyah. Beliau pun menyatakan pendapat bahwa ulama-
ulama yang telah mengorbankan seluruh waktunya untuk memperdalam pengetahuan agama dan
memimpinkannya kepada orang banyak, itu pun berhak mendapat bagian zakat dari sabilillah; biarpun dia kaya
apalagi kalau dia miskin.
Mau terima atau tidak, terserahlah kepada ulama itu sendiri, tetapi dia berhak menerima, menurut pendapat
Sayyid Hasan Shadiq Khan Bahadur (suami dari Maharatu negeri Bophal. Sekarang termasuk wilayah negara
India). Sebab beliau itu telah menjadikan dirinya untuk khusus rrtenghadapi ilmu pengetahuan
dan memimpinkan agama. Sebab ulama itu di dalam Islam, bukan semata-mata sarjana, tetapi juga sebagai
pemimpin umat.
Dan sebagian besar ulama salaf, di antaranya Imam Ghazali mengatakan bahwa lebih baik ulama-ulama yang
merangkap menjadi pemimpin jiwa umat itu menerima zakat dari sabilillah, daripada mengharapkan pemberian
sultan. Karena harta yang dari sultan itu sudah bercampur aduk di antara yang halal dan yang haram. Apalagi
takut akan hilang kemerdekaan jiwa ulama itu mengatakan yang hak karena terhimpit lidah oleh pemberian
sultan.
8) “Dan orang-orang perjalanan"
Sependapat pula ulama-ulama menyatakan bahwa orang yang terputus hubungannya dengan kampung
halamannya karena suatu perjalanan, berhak menerima zakat. Meskipun dia seorang yang kaya di negerinya,
namun dalam musafir adalah dia miskin. Sebagaimana telah kita uraikan juga pada penafsiran-penafsiran yang

16
telah lalu, ini menunjukkan bahwa Islam sangat menganjurkan supaya orang banyak musafir untuk menambah
penge-tahuan, menambah pengalaman, menambah persahabatan dan perbandingan. Tentu saja ulama pun
berhati-hati di dalam menentukan perjalanan itu, bukan perjaianan untuk maksiat. Sehingga seorang musafir
yang telah membuat maksiat dalam perjalanan, meskipun orang tidak tahu, memakan harta haramlah dia kalau
zakat orang di tempatnya singgah itu diterimanya juga.
Teringatlah Penulis tatkala melawat ke Semenanjung Tanah Melayu pada tahun 1955. Sebagaimana dimaklumi
pengiriman yang dari Indonesia amat sulit pada waktu itu. Maka berfatwalah Almarhum Syekh Thaher
Jalaluddin kepada murid-muridnya di Kuala Lumpur dan Kuala Kangsar (Perak) dan Pulau Pinang, agar saya
diberi bantuan belanja de-ngan zakat, supaya perjalanan saya jangan tertegun-tegun. Saya ingat kata beliau,
“Hamka itu kaya di negerinya, tetapi dia fakir dalam perjalanan."
Di beberapa negeri besar di India, baik sebelum berpisah menjadi dua negara, India dan Pakistan, atau
sesudahnya, ada didapat rumah-rumah yang bernama Musafir Khanah, yaitu tempat bermalam bagi orang-orang
Muslim yang tengah musafir. Makan-minum dan tempat menginap, mereka sediakan selama tiga hari. Biasanya
rumah-rumah itu adalah wakaf dari orang-orang hartawan. Di Semenanjung Tanah Melayu telah terdapat pula
rumah-rumah buat musafir itu pada beberapa masjid di kota-kota besar, terutama di Kuala Lumpur.
Semuanya ini “(Ialah) sebagai kewajiban daripada Allah." Artinya, semuanya ini wajib dilakukan menurut
ketentuan Allah, delapan atau tujuh jenis, yang tidak boleh diganggu gugat lagi. Semuanya untuk muslihat umat
dan agama.
“Dan Allah adalah Mahatahu, lagi Maha-bijaksana."
Allah Mahatahu bahwa keinginan manusia kepada harta benda tidaklah dapat dibendung. Dia menjadi salah satu
ciri tabiat manusia. Oleh sebab itu maka membenci harta benda dan mengutuknya tidaklah ada dalam ajaran
Islam. Bahkan disuruh dan selalu dianjurkan mencari banyak-banyak kekayaan, tetapi jangan hanya
dipergunaikan untuk kepentingan diri sanderi. Carilah sebanyak-banyaknya, supaya banyak pula zakat yang
akan dikeluarkan. Sehingga zakat menjadi salah satu daripada lima tiang (rukun) dari Islam. Maka dengan
secara bijaksana, dengan secara sifat Allah yang bernama Al-Hakim keinginan manusia mengumpulkan harta itu
disalurkan sebaik-baiknya, disuruh mengeluarkan. Baik yang berupa uang emas dan perak dan nilainya, atau
dari perniagaan yang beredar, atau dari binatang ternak, atau dari pertanian, ataupun dari hasil penggalian logam
dari dalam bumi (tambang), sebagaimana yang telah diaturkan beberapa bagian-bagiannya masing-masing
dalam syara' Allah Mahabijaksana, sebab pemungutan itu tidak banyak dan memberati. Misalnya, zakat uang
emas dan perak atau nilainya hanya dua setengah persen, dua setengah dari seratus.
Dari jenis-jenis yang disebut berhak menerima zakat di dalam ayat telah dapat kita lihat bahwa pengeluaran
zakat itu dihadapkan untuk dua keperluan. Pertama keperluan umum, kedua untuk kepentingan perseorangan.
Sabilillah dan kemerdekaan budak adalah keduanya untuk kemaslahatan umum. Kata sabilillah mengandung
daerah yang luas sekali. Kemerdekaan budak pun bukanlah untuk kepentingan pribadi budak yang
dimerdekakan itu saja, tetapi membersihkan masyarakat dari adanya manusia yang dipandang rendah,
melainkan hendaklah duduk sama rendah dan tegak sama tinggi. Adapun kepentingan fakir dan miskin, orang
yang bertanggung jawab mengurus zakat, orang yang ditarik hatinya dan orang yang tengah musafir dalam
perjalanan, adalah untuk kepentingan pribadi orang yang dibantu itu itu sendiri, sebagai akibat dari ukhuwwah
atau persaudaraan yang ditanamkan oleh Islam kepada umatnya. Tetapi memberi zakat kepada fakir miskin pun
boleh diartikan mengandung kepada kedua maksud tadi juga, pertama kepentingan pribadi orang yang dibantu
itu, kedua membersihkan masyarakat umum dari kemelaratan dan kemiskinan, sebagai tujuan dari satu
masyarakat yang adil dan makmur.
Niscaya yang berhak menerima itu, ialah fakir miskin yang masih beragama Islam. Yang murtad dari Islam atau
yang mempunyai ideologi tidak percaya ada Tuhan, (komunis dan ateis), tidak berhak menerima zakat itu.
Sedangkan orang Yahudi dan Nasrani yang taat memegang agama mereka, tetapi miskin, kalau yang empunya
zakat menimbang patut diberi, bolehlah mereka diberi sesudah mendahulukan fakir miskin kalangan Islam
sendiri.
Di negeri-negeri yang berjalan peraturan Islam, dan seratus persen berdasar Islam, tentu sajalah al-Imam (kepala
negara), yang berkuasa tertinggi, memungut dan menyuruh bagikan zakat. Adapun di negeri Islam yang dasar
hukumnya belum seratus persen Islam, tentulah mengeluarkan zakat menjadi kewajiban bagi tiap-tiap anggota
umat, sebagaimana wajibnya mengerjakan shalat, puasa, dan haji. Apabila kesadaran beragama telah mendalam,
niscaya dengan tenaga sendiri masyarakat Islam itu, akan mengatur pemungutan dan pembagian zakatnya. Di
negeri kita Indonesia ini, Undang-Undang Dasar 1945 dijiwai oleh Jakarta Charter. Di dalam Jakarta Charter itu
ada tertulis bahwa umat Islam diberi kekuasaan yang luas menjalankan syari'at agamanya. Bunyi kata yang

17
demikian, artinya penting artinya bagi kaum Muslimin untuk mendirikan yayasan-yayasan zakat di bawah
tilikan pemerintah. Sebagaimana di bawah tilikan pemerintah pula telah diatur yayasan-yayasan bagi mengatur
perjalanan haji dengan kementerian sendiri pula. Apabila keinsafan umat Islam Indonesia tentang mengatur,
mengumpul, dan membagikan zakat ini telah berjalan dengan lancar, banyaklah usaha dan amal muslihat umum
yang dapat dibangun, dari satu pos yang bernama “sabilillah" itu. Dengan pos sabilillah, kita dapat membangun
masjid-masjid, rumah-rumah sakit, membelanjai mubaligh Islam untuk menyebarkan Islam kepada warga
negara Indonesia yang belum beragama atau memberi pengertian umat Islam yang buta agama tentang ajaran
agamanya, atau memberi beasiswa (studiesfonds), dan membelanjai pemuda-pemuda Islam yang berbakat untuk
menambah ilmu pengetahuan, supaya layak menjadi bangsa yang duduk sama rendah dan tegak sama tinggi
dengan bangsa-bangsa yang lain.
Apalah lagi, apakah mesti diisi penuh kedelapan jenis atau ditilik mana jenis yang ada saja, adalah masalah
khilafiyah di kalangan para ulama. Maka sebagian terbesar para ulama berpendapat bahwa pembagian itu adalah
bergantung kepada kebijaksanaan imam (kepala negara) atau kebijaksanaan yang akan memberikan. Sudah
terang bahwa di zaman kita sekarang pos kemerdekaan budak sudah tidak ada lagi. Tentu sudah tinggal 7 (tujuh)
atau 6 (enam) saja. Dan, itu pun dapat pula dibagikan dengan bijaksana, ke mana yang lebih perlu. Atau semua
perlu, tetapi jumlah bagian tidak sama.
Wajiblah kita akui bahwasanya beratus tahun cara kita berpikir telah mundur, dan pikiran tentang zakat telah
membeku. Bersamaan dengan itu sebagian besar negeri Islam pun beberapa lamanya jatuh ke dalam
cengkeraman penjajahan Barat. Akhirnya, kita melihat kenyataan yang sangat memilukan hati. Negeri-negeri
Islam yang dijajah itu, terutama Indonesia, menjadi sasaranlah dari penyebaran agama Kristen. Bahkan setelah
Indonesia merdeka sekarang ini pun, usaha Kristen Internasional lebih giat berpuluh kali lipat daripada sebelum
kemerdekaan. Mereka telah mendirikan rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, sejak dari taman kanak-kanak
sampai sekolah-sekolah tinggi. Sudah berduyun-duyun anak-anak orang Islam dalam hitungan ribuan, bertukar
agama karena pendidikan yang mereka terima.
Kita orang-orang Islam mengeluh melihat hal-hal yang demikian. Kiai H.A. Dahlan, di kala hidupnya melihat
bahaya ini. Maka beliaulah ulama Indonesia yang pertama sekali meng-ambil langkah baru dengan mendirikan
Muhammadiyah, guna menandingi usaha Zending dan Misi Kristen itu. Beliaulah yang mula-mula dengan
memakai perkumpulan yang beliau dirikan, Muhammadiyah, mencoba mengumpulkan zakat kaum Muslimin.
Karena incaran mata penjajahan yang sangat tajam dan fitnah-fitnah yang disiarkan dari kalangan Islam sendiri
yang beku pahamnya, beliau terpaksa membatasi hanya dapat me-ngumpulkan zakat fitrah saja untuk fakir
miskin. Itu pun membawa hasil yang baik dan lumayan juga. Beliau suruh adakan panitia pengumpul zakat
fitrah dan panitia penggerak penyembelihan kurban dan membagi-bagikan dagingnya kepada fakir miskin.
Dengan kedua gerakan kecil ini saja sudah banyak tampak hasilnya. Apatah lagi pada zaman sekarang ini,
zaman kemerdekaan bangsa dan tanah air, zaman kita mempunyai pemerintahan sendiri, mempunyai Undang-
Undang Dasar 1945 yang dijiwai oleh Jakarta Charter supaya umat Islam menjalankan syari'at agamanya,
niscaya kalau zakat harta dikumpulkan dan dibagikan menurut mustahaknya secara modern, pastilah keluhan
umat Islam karena kehilangan anak-anak telah pindah agama akan dapat dihilangkan.
Pada 1963 HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) di Surabaya bermaksud hendak mendirikan sebuah Rumah Sakit
Islam yang besar dan layak dan teratur. Pekerjaan ini telah dimulai, meskipun tidak cepat. Belanja untuk
mendirikan rumah sakit itu seluruhnya dari zakat hartawan-hartawan Islam di Surabaya. Demi, jika bertambah
kesadaran-beragama, niscaya akan cepat Rumah Sakit Islam itu berdiri dan cepat pula selesai, kemudian
menyusul pula yang lain-lain.
Almarhum Tjokroaminoto pernah mencetuskan satu cita, yaitu mendirikan Bank Shadaqah. Cita beliau itu
sederhana saja kalau dijalankan. Sebagian dari zakat dijadikan modal bank, untuk membantu orang-orang
miskin yang hendak berusaha. Bank Shadaqah itu, masyarakat Muslimin yang empunya. Meskipun dipungut
rente sekadarnya, bukanlah dia jadi keuntungan seseorang yang memberikan modal, tetapi untuk memperkaya
modal pokok itu sendiri, bagi muslihat bersama, yang dapat digunakan untuk
membangun amal-amal yang besar. Cita beliau itu pun hanya tinggal cita. Sebab Bank Shadaqah kalau terjadi,
niscaya merugikan kolonial. Sebab itu maka cita itu tenggelam pula dalam arsip cita-cita.
Dengan demikian, cita-cita dari kedua pemimpin Indonesia ini, Kiai H.A. Dahlan dan H.O.S. Tjokroaminoto,
belumlah cita-cita yang basi untuk diperhatikan, tetapi meminta tinjauan kembali buat dilaksanakan. Sebab
jumlah kaum terpelajar Islam di zaman kemer-dekaan ini, sudah beratus kali lipat daripada masa beliau beliau
hidup.

18
Kalau sekiranya kaum Muslimin atau sebagian kaum Muslimin telah sadar akan guna zakat sebagai salah satu
tiang (rukun) dari Islam dan dipungut serta dibagikan dengan teratur, kita percaya dengan zakat itu kita akan
bisa membangun Islam yang mulia, Islam yang layak sebagai anutan dan satu bangsa yang merdeka. Padahal
jumlah itu tidak banyak hanya sekadar dua setengah persen. Dan kita pun telah mulai melihat di tanah air kita
timbulnya kesadaran itu dengan berangsur-angsur.
Insyaa Allah kita akan jaya, sebab penjajahan tidak ada lagi!!! Dan orang-orang fakir miskin tidak lagi akan
menjadi medan yang subur dari hasut-hasutan gerakan interna-sional tertentu (komunis) yang mengem-bus-
embuskan rasa pertentangan kelas dan kebencian dari yang melarat kepada yang mampu.
Sebab setiap orang yang mampu, bila hartanya telah sampai satu nishab dan sampai haulnya (tahunnya), dia
sudah mengeluarkan bagian untuk fakir miskin dan dan lain-lain. Sedangkan harta satu nishab itu tidak usah
menyebut berjuta-juta dan bermiliar. Dengan uang kira-kira 65 rupiah (sebelum perang), cukup setahun, orang
sudah wajib mengeluarkan zakat. Dengan hasil padi dari sawah 100 ketiding (bakul) saja, dia sudah wajib
mengeluarkan zakat.

5. QS. At-Taubah Ayat 103


‫هّٰللا‬
‫س ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم‬ َ َ‫ص ٰلوتَك‬
َ ُ ‫س َكنٌ لَّ ُه ۗ ْم َو‬ َ َّ‫ص ِّل َعلَ ْي ِه ۗ ْم اِن‬ َ ‫م‬šْ ‫ُخ ْذ ِمنْ اَ ْم َوالِ ِه‬
َ ‫ص َدقَةً تُطَ ِّه ُر ُه ْم َوتُزَ ِّك ْي ِه ْم بِ َها َو‬
103. Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha
Mendengar, Maha Mengetahui.

a. Tafsir Jalalain
(Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka, dengan sedekah itu kamu membersihkan dan menyucikan
mereka) dari dosa-dosa mereka, maka Nabi ‫ ﷺ‬mengambil sepertiga harta mereka kemudian
menyedekahkannya (dan berdoalah untuk mereka). (Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenangan jiwa)
rahmat (bagi mereka) menurut suatu pendapat yang dimaksud dengan sakanun ialah ketenangan batin lantaran
tobat mereka diterima. (Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).

b. Tafsir Ibnu Katsir


Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan
berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima tobat dari
hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwa Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Allah ‫ﷻ‬
memerintahkan Rasul-Nya untuk mengambil zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan
mereka melalui zakat itu. Pengertian ayat ini umum, sekalipun sebagian ulama mengembalikan damir yang
terdapat pada lafaz amwalihim kepada orang-orang yang mengakui dosa-dosa mereka dan yang
mencampurbaurkan amal saleh dengan amal buruknya.
Karena itulah ada sebagian orang yang enggan membayar zakat dari kalangan orang-orang Arab Badui menduga
bahwa pembayaran zakat bukanlah kepada imam, dan sesungguhnya hal itu hanyalah khusus bagi Rasulullah ‫ﷺ‬
Mereka berhujah dengan firman Allah ‫ ﷻ‬yang mengatakan: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. (At-
Taubah: 103), hingga akhir ayat Pemahaman dan takwil yang rusak ini dijawab dengan tegas oleh Khalifah Abu
Bakar As-Siddiq dan sahabat lainnya dengan memerangi mereka, hingga mereka mau membayar zakatnya
kepada khalifah, sebagaimana dahulu mereka membayarnya kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬hingga dalam kasus ini
Khalifah Abu Bakar r.a. pernah berkata: Demi Allah, seandainya mereka membangkang terhadapku, tidak mau
menunaikan zakat ternak untanya yang biasa mereka tunaikan kepada Rasulullah ‫ﷺ‬, maka sungguh aku benar-
benar akan memerangi mereka karena pembangkangannya itu.
Firman Allah ‫ﷻ‬: dan berdoalah untuk mereka. (At-Taubah: 103) Maksudnya, berdoalah untuk mereka dan
mohonkanlah ampunan buat mereka. Imam Muslim di dalam kitab Sahih-nya telah meriwayatkan melalui
Abdullah ibnu Abu Aufa yang mengatakan bahwa Nabi ‫ ﷺ‬apabila menerima zakat dari suatu kaum, maka
beliau berdoa untuk mereka. Lalu datanglah ayahku (perawi) dengan membawa zakatnya, maka Rasulullah ‫ﷺ‬
berdoa: Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada keluarga Abu Aufa. Di dalam hadis lain disebutkan bahwa
seorang wanita berkata, "Wahai Rasulullah, mendoalah untuk diriku dan suamiku." Maka Rasulullah ‫ ﷺ‬berdoa:
"Semoga Allah merahmati dirimu juga suamimu." Firman Allah ‫ ﷻ‬Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)

19
ketenteraman jiwa bagi mereka. (At-Taubah: 103) Sebagian ulama membacanya salawatika dalam bentuk
jamak, sedangkan sebagian ulama lain membacanya salataka dalam bentuk mufrad (tunggal). (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. (At-Taubah: 103) Menurut Ibnu Abbas, menjadi rahmat buat mereka.
Sedangkan menurut Qatadah, menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. Firman Allah ‫ﷻ‬: Dan Allah Maha
Mendengar. (At-Taubah: 103) Yakni kepada doamu. lagi Maha Mengetahui. At-Taubah: 103 Yaitu terhadap
orang yang berhak mendapatkan hal itu darimu dan orang yang pantas untuk memperolehnya. Imam Ahmad
mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Abul Urnais, dari
Abu Bakar ibnu Amr ibnu Atabah, dari Ibnu Huzaifah, dari ayahnya, bahwa Nabi ‫ ﷺ‬apabila berdoa untuk
seorang lelaki, maka doa Nabi ‫ ﷺ‬itu mengenai dirinya, juga mengenai anak serta cucunya. Kemudian Imam
Ahmad meriwayatkannya dari Abu Na'im, dari Mis'ar, dari Abu Bakar ibnu Amr ibnu Atabah, dari seorang anak
Huzaifah.
Mis'ar mengatakan bahwa hadis ini telah disebutkannya dalam kesempatan yang lain, dari Huzaifah, bahwa
sesungguhnya doa Nabi ‫ ﷺ‬benar-benar mengenai diri lelaki yang bersangkutan, juga anak serta cucunya.
Firman Allah ‫ﷻ‬: Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan
menerima zakat. (At-Taubah: 104) Ayat ini mengandung makna perintah untuk bertobat dan berzakat, karena
kedua perkara tersebut masing-masing dapat menghapuskan dosa-dosa dan melenyapkannya. Allah ‫ ﷻ‬telah
memberitakan pula bahwa setiap orang yang bertobat kepada-Nya, niscaya Allah menerima tobatnya. Dan
barang siapa yang mengeluarkan suatu sedekah (zakat) dari usaha yang halal, sesungguhnya Allah menerimanya
dengan tangan kanan-Nya, lalu Dia memeliharanya untuk pemiliknya, hingga sebiji buah kurma menjadi seperti
Bukit Uhud.
Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis dari Rasulullah ‫ ﷺ‬Sebagaimana As-Sauri dan Waki' telah
menceritakan, dari Ubadah ibnu Mansur, dari Al-Qasim ibnu Muhammad bahwa ia pernah mendengar Abu
Hurairah menceritakan, Rasulullah ‫ ﷺ‬telah bersabda: Sesungguhnya Allah menerima sedekah dan
menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu Dia memeliharanya buat seseorang di antara kalian (yang
mengeluarkannya) sebagaimana seseorang di antara kalian memelihara anak kudanya, hingga sesuap makanan
menjadi besar seperti Bukit Uhud

c. Tafsir Al Azhar
“Ambillah dari harta benda mereka sebagai sedekah."
Pada khususnya yang disebut mereka di sini ialah golongan yang tersebut di ayat yang sebelumnya tadi, yaitu
orang yang masih campur aduk baginya di antara amalan yang baik dengan yang buruk, tetapi dia sadar akan
kekurangan dirinya dan ingin perbaikan. Tadi Allah telah menjanjikan bahwa semoga Allah dapat memberi
tobat kepada mereka. Berfirmanlah Allah dalam ayat ini; salah satu usaha guna menaikkan orang yang masih
terletak di tengah itu sehingga bisa mencapai martabat lebih tinggi, yaitu pengikut orang-orang yang mendahului
yang mula-mula dengan baik, ialah supaya Rasulullah ‫ ﷺ‬meng-ambil sebagian tertentu dari harta benda mereka
untuk sedekah. Lalu di lanjutan ayat diterangkan hikmah pengambilan itu. “Untuk membersihkan mereka dan
menyucikan mereka dengan dia."
Di ayat ini dinyatakan suatu rahasia penting yang amat dalam, salah satu sebab mengapa manusia itu menjadi
degil, sampai ada juga yang masih senang mencampur aduk amal baik dengan amal buruk, dan tidak juga insaf,
sehingga akhirnya bisa jatuh jadi munafik atau fasik. Sebab yang terutama ialah pengaruh harta.
Ada dua tabiat yang tumbuh pada manusia karena keinginan memiliki harta. Pertama, tamak atau loba; kedua,
bakhil atau kikir. Mau mengaut dan mengumpul sebanyak-banyaknya, dan mau mengeluarkan kembali
sesedikit-sedikitnya. Perangai-perangai yang lain pun timbul adalah karena kedua perangai dasar yang utama
ini. Biar mengecoh dan menipu asal mendapat laba. Biar bohong dan kadang-kadang timbul hati dengki melihat
orang lain mendapat banyak. Kadang-kadang tak keberatan menganiaya orang lain, asal harta orang itu jatuh ke
tangan awak. Yang paling rendah ialah menipu dan mencuri. Semuanya ini adalah kekotoran di dalam jiwa
manusia karena pengaruh harta. Dia terdapat dalam ukuran kecil pada pribadi, dan dia terdapat dalam ukuran
besar pada bangsa-bangsa. Sehingga perang di antara bangsa dan bangsa, atau penjajahan bangsa kuat atas
bangsa lemah, atau pemerasan tenaga manusia atas manusia, atau revolusi si lemah tertindas kepada si kuat
penindas berasal dari perebutan harta ini. Sehingga di zaman kita ini terkenallah ajaran Karl Marx, yang
menyimpulkan bahwa seluruh kegiatan
hidup manusia di dalam segala bidang tidak lain ialah karena memperebutkan hak milik. Marx mengatakan
bahwa sejak manusia mulai memakai istilah “ini aku punya" dan “itu engkau punya", sejak zaman itulah
timbulnya pertentangan di antara yang mempunyai de-ngan yang tidak mempunyai. Sebab itu Marx mengambil

20
kesimpulan bahwa pertentangan di antara yang berpunya dengan yang tidak mempunyai, adalah hukum besi
sejarah yang sama sekali tidak dapat dielakkan. Baru akan habis semuanya itu apabila tidak ada lagi kata-kata
“ini aku punya" dan “itu engkau punya".
Sebagaimana telah dimaklumi, Karl Marx memperhitungkan soal ini dari segi kebendaan (materialisme) semata-
mata. Dia tidak mengakui ada lagi segi di balik benda. Dia tidak mengakui adanya Allah, atau agama, atau
moral, dan lain-lain yang bersifat kejiwaan. Tetapi Marx juga ingin perbaikan keadaan. Maka ujung dari ajaran
Marx untuk memperbaiki keadaan itu ialah dengan melalui pertentangan tadi, dalam ajaran dia-tektika, yang
akhirnya mencapai kepada habisnya segala pertentangan, karena kelas yang mempunyai itu habis dimusnahkan
oleh kelas yang tidak mempunyai apa-apa. Untuk itu hendaklah si tidak punya, yang bernama proletar merebut
kuasa dari kelas si berpunya. Setelah kekuasaan didapat hendaklah diadakan pemerintahan diktator proletariat,
yaitu gabungan kelas buruh dan tani. Dengan cara diktator, dicabut segala hak tiap-tiap pribadi dari mempunyai
dan semua menjadilah hak kepunyaan pemerintahan yang berkuasa. Dan diktator proletariat itu tetap
dipertahankan, sampai kelak datang masanya, sesudah mela-lui sosialisme, mencapai komunisme, itulah dia
menurut Marx dan orang-orang yang me-mercayainya, suatu zaman surga dunia yang gilang-gemilang, di mana
kata hak milik tidak ada lagi.
Tidak ada yang mempunyai khusus, sebab
ngan seluruh rakyat, pihak-pihak Komando Penumpasan mengakui terus-terang bahwa pekerjaan mereka
menumpas bahaya itu berjalan dengan lancar pada daerah-daerah yang di sana agamanya kuat.
Niscaya bahaya besar itu tidak akan terulang lagi apabila umat Islam dengan sadar menjalankan dan
mempraktikkan ajaran agamanya, seperti 14 pokok yang diuraikan di atas itu. Sebab tidak ada di antara kita
yang merasa dari umat Islam yang tidak cemas kalau-kalau hal yang ngeri itu berulang kembali. Maka untuk
membendungnya tidak lain ialah mengamalkan ajaran agama dengan kesadaran, apatah lagi jika diperkuat oleh
negara.
Sekarang kita teruskan tafsir.
“Dan shalawatkanlah atas mereka, (karena) sesungguhnya shalat engkau itu adalah membawa tenteram bagi
mereka." Sesudah Rasulullah ‫ ﷺ‬diperintahkan Allah untuk mengambil atau memungut sedekah (zakat) mereka
yang beriman itu, disuruhlah lagi Rasul ‫ ﷺ‬memberi shalawat bagi mereka, artinya mendoakan mereka kepada
Allah agar mereka diberi karunia, berkat dan rahmat dari Allah, karena doa Nabi atau shalawat Nabi bagi
mereka itu adalah akan menambah tenteram hati mereka, membuat mereka berasa bahagia sebab sedekah
mereka disambut baik oleh Nabi.
Dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, sebuah hadits dari Abdullah bin Abi Auf, bahwa Nabi ‫ ﷺ‬apabila datang
kepada beliau suatu kaum mengantarkan zakat, beliau mengucapkan:
“Ya Allah, berilah shalawat atas si fulan."
Maka kata Abdullah bin Abi Aufa selanjutnya, “Datang pula ayahku membawa sede-kahnya, lalu beliau
ucapkan pula:
“Ya Allah, berilah shalawat atas keluarga Abi Aufa." (HR Bukhari dan Muslim)
Menurut riwayat dari an-Nasa'i pernah juga seketika seorang mengantarkan zakat seekor unta yang bagus,
beliau ucapkan:
“Ya Allah, beri berkatlah padanya dan pada untanya" (HR an-Nasa'i)
Oleh sebab itu, Imam Syafi'i pun bertafwa bahwa imam (kepala negara) kalau menerima zakat baiklah dia
menuruti sunnah Nabi ‫ ﷺ‬ini, yaitu mendoakan pembawa zakat itu, mo-ga-moga diberi Allah pahala dan diberi
berkat.
Di dalam ayat ini Allah menyatakan kepada Rasul-Nya bahwasanya shalawat atau doa dari Nabi ‫ ﷺ‬yang beliau
berikan ketika beliau menyambut penyerahkan sedekah atau zakat itu, adalah membawa tenteram bagi hati
mereka. Hilanglah segala jerih payah mereka itu, jika mereka datang membawa zakat, disambut Rasul ‫ﷺ‬
dengan muka jernih dan dia didoakan. Muka jernih dan shalawat dari Rasul ‫ ﷺ‬itu menyebabkan barang yang
berat menjadi ringan, dan yang jauh menjadi hampir. Mereka akan sudi selalu berzakat dan berkorban, karena
sambutan Rasul ‫ ﷺ‬yang baik itu.
Soal yang tampaknya kecil ini jadi bincangan juga di kalangan ulama. Setengah me-ngatakan hanya sunnah,
tetapi ada juga yang mengatakan wajib. Meskipun tampaknya kecil, namun dia menjadi, satu teladan yang baik

21
bagi kita umat Islam yang mengurus sendiri soal-soal agama kita, misalnya dengan membentuk panitia-panitia
atau perkumpulan yang memungut zakat dan membagikan kepada yang mustahak, yakni agar disambut dengan
baik si pemberi zakat itu, ditunjukkan muka yang jernih, diiringkan dengan doa, yaitu suatu servis atau
penyelenggaraan yang berpokok dari agama. Adakah tidak patut dihormati dan dihargai orang yang telah sudi
mengeluarkan sebagian hartanya karena demi menjunjung tinggi perintah Allah, pada zaman ini, yaitu zaman
tidak ada khalifah lagi yang berhak memungut dengan paksa kepada yang tidak mau dan amal terserah kepada
kesadaran beragama seseorang? Mereka sendiri yang mengantarkan zakat dengan sukarela kepada panitia.
Di penutup ayat berfirmanlah Allah,
“Dan Allah adalah Maha Mendengar lagi Mengetahui."
Sesudah Allah memerintahkan Rasul-Nya supaya sedekah umat-Nya dengan shalawat dan doa untuknya, Allah
mengatakan bahwa Dia mendengar. Artinya, shalawat Nabi untuk umat itu didengar oleh Allah, sebab itu akan
dikabulkan-Nya. Maka bertambah tenteramlah hati si Mukmin tadi. Dan Allah pun mendengar suara tobat
hamba-Nya—yang bertali dengan ayat sebelumnya—yaitu merasa menyesal karena selama ini, amalnya masih
campur aduk saja di antara yang buruk dan yang baik. Dan, Allah pun mengetahui akan keikhlasan hati mereka
dengan mengeluarkan harta itu, karena insaf bahwa harta itu Allah-lah yang sebenarnya punya, dan dia hanya
mengambil manfaat karena izin Allah, sekarang dia belanjakan kepada jalan yang diridhai oleh Allah yang
empunya dia.
Kemudian datanglah susulan ayat untuk menghilangkan lagi segala sisa kebimbangan dari hati Mukmin bahwa
asal ikhlas, tobat mereka diterima dan sedekah mereka disambut dengan ucapan shalawat oleh Nabi. Maka
berfirmanlah Allah,

B. PERBEDAAN ZAKAT , INFAQ & SHADAQOH

Infaq berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu. Jika zakat
ada nishabnya, infaq tidak mengenal nishab. Infaq dikeluarkan setiap muslim baik dalam keadaan lapar maupun
sempit sepeti yang disebutkan dalam QS. Ali Imran (3): 134.

َ‫سنِين‬ ِ ‫ض َّرا ِء َوا ْل َكا ِظ ِمينَ ا ْل َغ ْيظَ َوا ْل َعافِينَ َع ِن النَّا‬


ِ ‫س ۗ َوهَّللا ُ يُ ِح ُّب ا ْل ُم ْح‬ َّ ‫الَّ ِذينَ يُ ْنفِقُونَ فِي ال‬
َّ ‫س َّرا ِء َوال‬

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.

Sedangkan shadaqah berarti benar. Orang yang bershadaqah adalah orang yang benar pengakuan imannya.
Menurut terminologi syariat, pengertian shadaqah sama dengan pengertian Infaq. Hanya saja Infaq berkaitan
dengan materi, sedangkan shadaqah memilki arti lebih luas menyangkut hal yang bersifat nonmate (lihat
skema).

Imam Muslim dari Abu Dzar ra., Rasulullah Saw menyatakan bahwa jika tidak mampu bershadaqah dengan
harta maka membaca tasbih, takbir, tahmid, tahlil, berhubungan suami-istri dan melakukan kegiatan amar
ma’ruf nahi mungkar adalah shadaqah.

ُ ‫س قَ ْد َج َع َل هَّللا‬َ ‫ قَا َل « َأ َولَ ْي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ قَالُوا لِلنَّبِ ِّى‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ب النَّبِ ِّى‬ ِ ‫ص َحا‬ ْ ‫سا ِمنْ َأ‬ ً ‫عَنْ َأبِى َذ ٍّر َأنَّ نَا‬
ٌ‫ص َدقَة‬ َ ‫وف‬ِ ‫ص َدقَةٌ َوَأ ْم ٌر بِا ْل َم ْع ُر‬
َ ‫ص َدقَةٌ َو ُك ِّل تَ ْهلِيلَ ٍة‬َ ‫ص َدقَةٌ َو ُك ِّل ت َْح ِمي َد ٍة‬
َ ‫ص َدقَةً َو ُك ِّل تَ ْكبِي َر ٍة‬ َ ‫يح ٍة‬ ْ َ‫ص َّدقُونَ ِإنَّ بِ ُك ِّل ت‬
َ ِ ‫سب‬ َّ َ‫لَ ُك ْم َما ت‬
‫ش ْه َوتَهُ َويَ ُكونُ لَهُ فِي َها َأ ْج ٌر قَا َل « َأ َرَأ ْيتُ ْم‬َ ‫سو َل هَّللا ِ َأيَْأتِى َأ َح ُدنَا‬ ُ ‫ قَالُوا َيا َر‬.» ٌ‫ص َدقَة‬ َ ‫ض ِع َأ َح ِد ُك ْم‬ْ ُ‫ص َدقَةٌ َوفِى ب‬ َ ‫َونَ ْه ٌى عَنْ ُم ْن َك ٍر‬
‫َأ‬
‫ض َع َها فِى ا ْل َحالَ ِل َكانَ لَهُ ْج ٌر‬ َ َ َ ‫َأ‬
َ ‫ض َع َها فِى َح َر ٍام َكانَ َعلَ ْي ِه فِي َها ِو ْز ٌر ف َكذلِ َك ِإذا َو‬ َ ‫لَ ْو َو‬

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah Allah
telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bershodaqaoh? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah shodaqoh, tiap-
tiap tahmid adalah shodaqoh, tiap-tiap tahlil adalah shodaqoh, menyuruh kepada kebaikan adalah shodaqoh,
mencegah kemungkaran adalah shodaqoh dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya)
adalah shodaqoh “. Mereka bertanya, “ Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi

22
syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tahukah engkau jika
seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya
itu pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR. Muslim no. 2376)

C. PENGERTIAN ZAKAT
Zakat berasal dari bahasa Arab, yang merupakan bentuk dari kata zaka yang berarti “suci”, “baik”, “berkah”,
“tumbuh”, dan “berkembang”. Menurut syara’ zakat merupakan nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah
mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak
menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.
Pengertian zakat, baik dari segi bahasa maupun istilah tampakberkaitan sangat erat, yaitu bahwa setiap harta
yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh, dan
berkembang, sebagaimana dipaparkan dalam QS. At-taubah: 103
Secara garis besar zakat dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1) Zakat Maal

23
Zakat yang dikenakan atas harta (maal) yang dimiliki oleh individu atau lembaga dengan syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan secara hukum (syara).

2) Zakat fitrah atau zakat jiwa

Yaitu setiap jiwa atau orang yang beragama Islam harus


memberikan harta yang berupa makanan pokok kepada orang yang
berhak menerimanya, dan dikeluarkan pada bulan Ramadhan sampai
dengan sebelum shalat Idul Fitri pada bulan Syawal.
Tujuan utama disyariatkan nya zakat adalah untuk membersihkan dan mensucikan, baik membersihkan dan
mensucikan harta kekayaan maupun pemiliknya sebagaimana telah dijelaskan dalam QS. At-taubah:103:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu mebersihkan dan mensucikan mereka.

Adapun dampak zakat pada kehidupan pribadi yang mengeluarkan


zakat adalah:
a. Dapat mensucikan jiwa dari sifat kikir.
b. Mendidik berinfak dan suka memberi.
c. Manifestasi syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah.
d. Mengobati hati dan cinta dunia.
e. Mengembangkan kekayaan batin.
f. Menarik rasa simpati dan cinta pada sesama.

Sedangkan dampak bagi si penerima zakat adalah:


a. Membebaskan atau meringankan si penerima dari kebutuhan – kebutuhannya.
b. Menghilangkan sifat dengki dan benci kepada pemilik harta.

Orang yang berhak menerima Zakat disebut mustahiq, berjumlah delapan asnaf atau golongan, seperti dijelaskan
dalam firman Allah SWT dipembahasan diatas :

a. Fakir adalah orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyaiharta dan tenaga untuk memenuhi
penghidupannya.
b. Miskin adalah orang yang mempunyai pekerjaan tetapi hasil yang diperoleh tidak dapat mencukupi kebutuhan
hidup sehari-hari.
c. Amil (panitia zakat) adalah orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
d. Muallaf adalah orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
e. Riqab (hamba sahaya) adalah hamba sahaya yang dijanjikan oleh tuannya untuk dimerdekakan dengan
tebusan atau bayaran.
f. Gharim (orang berhutang) adalah orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan
tidak sanggup membayarnya.
g. Sabilillah (pada jalan Allah) adalah orang yang berjuang atau usaha menegakkan agama Allah. Misalnya:
mendirikan masjid,madrasah/sekolah, penyebar agama Islam.
h. Ibnu Sabil (Musafir) adalah orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami
kesengsaraan dalam perjalanannya karena kehabisan bekal ( Syarafuddin. dkk. 2012).

Adapun ketentuan penghitungan zakat yang harus dikeluarkan untuk


masing-masing jenis harta sebagai berikut:

24
25

Anda mungkin juga menyukai