Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KAJIAN KLINIK KEISLAMAN

HUKUM SHALAT PADA PASIEN TERPASANG DC (DOWER CATHEHER)

DISUSUN OLEH :
ARIF PANDU JULIANSYAH (A12020027)
ARWANDANU FADILAH (A12020028)
ATHIKKAH SITI AMAIROH (A12020030)
BANGKIT PRAYOGO HIDAYATULLAH (A12020031)
CHANTIKA SHINTA RAHMA (A12020032)
DEWI ARIMBI HANGGONO R (A12020034)
DILLA NUR AZIZAH (A12020035)
DWI FEBRIANTO (A12020036)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM KESEHATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat
kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran
dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah yang sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendirimaupun orang yang
membacany. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Sumpiuh, 14 Agustus 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL ...........................................................................................................i
KATA PENGANTAR .................................................................................ii
DAFTAR ISI ...............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................1
A. LATAR BELAKANG MASALAH...................................................1
B. RUMUSAN MASALAH ...................................................................2
C. TUJUAN ............................................................................................3
BAB II TINJAUAN KASUS .......................................................................4
BAB III TINJAUAN HUKUM/KAIDAH/TEORI ...................................5
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................10
A. KESIMPULAN ................................................................................10
B. SARAN ............................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Shalat adalah salah satu dari kewajiban yang dibebankan Allah SWT kepada orang-orang
yang mengaku dirinya sebagai muslim. Kewajiban shalat harus dikerjakan seorang muslim
secara rutin dalam sehari semalam sebanyak lima waktu, tidak boleh ditinggalkan walau dalam
kondisi dan situasi apapun, seperti kondisi sibuk bekerja, dalam perjalanan, maupun dalam
kondisi sakit. Dalam kondisi dan situasi tertentu yang tidak bisa dihindarkan oleh manusia, Allah
SWT memberikan beberapa keringanan/rukhshah dalam mengerjakan shalat, misalnya saat
menjadi musafir atau menempuh perjalanan jauh, shalat dapat dilakukan dengan cara jamak
qashar/digabung dan diringkas. Dalam kondisi sakit, shalat dapat dilakukan dengan cara duduk,
berbaring, dan isyarat. Bahkan jika tidak ada air atau karena sakit yang tidak diperbolehkan kena
air, maka wudhu dapat diganti tayamum dengan debu. Begitu pentingnya masalah shalat, maka
perintah shalat juga tidak diturunkan melalui para malaikat, tetapi Allah SWT langsung bertemu
dengan Nabi Muhammad SAW di Sidrotul Muntaha atau yang lebih dikenal dengan langit
ketujuh melalui peristiwa Isra’ Mi’raj. Dalam peristiwa ini, Nabi SAW melakukan perjalanan
dari Masjidil Haram (Mekkah) menuju Masjidil Aqsha (Madinah) kemudian selanjutnya ke
Sidratul Muntaha (langit ketujuh). Fungsi dari ibadah shalat adalah untuk menghidupkan
kesadaran tauhid serta memantapkannya di dalam hati, menghapus keyakinan serta
ketergantungan pada berbagai macam kekuasaan ghaib yang selalu disembah dan diseru oleh
orang musyrik untuk meminta pertolongan. Melalui ibadah shalat perasaan takut, haibah dan
harapan kepada Allah akan meresap ke dalam hati. Inilah ruh ibadah yang sebenarnya dan bukan
bentuk perilaku lahir, perbuatan atau ucapan. Kemudian fungsi shalat yang lainnya adalah
sebagai penawar paling mujarab untuk kesehatan jiwa, rohani dan fisik manusia serta
memberikan ketenangan batin manusia. Seperti firman Allah dalam surat aR-Ra’d ayat 28

ْ َ‫ط َمِئ ُّن قُلُوبُهُم بِ ِذ ْك ِر ٱهَّلل ِ ۗ َأاَل بِ ِذ ْك ِر ٱهَّلل ِ ت‬


ُ‫ط َمِئ ُّن ْٱلقُلُوب‬ ۟ ُ‫ين َءامن‬
ْ َ‫وا َوت‬ َ َ ‫ٱلَّ ِذ‬
Artinya : “Ingatlah, bahwa dengan mengingat Allah hati menjadi tenang” (Qs. Ar-Ra’d: 28).

1
ْ‫ِا َّنن ِْٓي اَ َنا هّٰللا ُ ٓاَل ا ِٰل َه ِآاَّل اَ َن ۠ا َفاعْ ب ُْد ِن ۙيْ َواَق ِِم الص َّٰلو َة لِذ ِْك ِري‬
Artinya : “Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan
laksanakanlah salat untuk mengingat Aku.” (Qs. Thaha: 14)

‫ ۤا ِء‬$ ‫ ٰلو َة َت ْن ٰهى َع ِن ْال َفحْ َش‬$ ‫الص‬


َّ َّ‫ ٰلو ۗ َة اِن‬$ ‫الص‬
َّ ‫ب َواَق ِِم‬ ِ ‫ك م َِن ْالك ِٰت‬$
َ $‫ٓا ا ُ ْوح َِي ِا َل ْي‬$$‫ ُل َم‬$‫ا ُ ْت‬
‫َو ْال ُم ْن َك ِر َۗو َلذ ِْك ُر هّٰللا ِ اَ ْك َب ُر َۗوهّٰللا ُ َيعْ َل ُم َما َتصْ َنع ُْو َن‬
Artinya : “Bacalah Kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan
laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan
(ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. al-Ankabut: 45).

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa fungsi shalat sebenarnya dapat
memberikan ketenangan dan ketentraman hati, sehingga orang tidak mudah kecewa atau gelisah
jiwanya apabila menghadapi musibah dan tidak lupa akan kenikmatan, jika sedang mendapatkan
kenikmatan atau kesenangan.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam ilmu


kedokteran didorong oleh keinginan manusia untuk mempertahankan eksistensi dan pemenuhan
akan kebutuhannya. Ilmu dan teknologi kedokteran menurut pandangan Islam mestinya
dikembangkan dalam rangka mengaktualisasikan potensi diri yang bersifat insan, kekhalifahan,
kerisalahan dan pengabdian kepada Allah dan kepada sesama manusia. Kini, produk ilmu
teknologi dan kedokteran seperti pemasangan kateter menimbulkan permasalahan jika ditinjau
dari hukum Islam. Memvoniskan hukum yang bersifat hitam putih (boleh-tidak-boleh) dalam
menanggulangi permasalahan tersebut dapat menghambat perkembangan ilmu dan ternologi
kedokteran itu sendiri.

B. Rumusan Masalah

1. Dasar hukum shalat bagi orang sakit?

2. Bagaimana cara melaksanakan shalat bagi orang yang sedang sakit?

3. Tata cara shalat untuk orang sakit?


2

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

 Untuk mengetahui cara pelaksaan shalat bagi orang yang sedang sakit

 Untuk mengetahui dasar hukum shalat bagi orang sakit

 Untuk mengetahui tata cara shalat untuk orang sakit

2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui hukum shalat seseorang dengan kondisi terbaring lemah dan terpasang
DC.
3

BAB II

TINJAUAN KASUS

Ny. A di rawat diruang Sofa 1 RSIA Amanah Sumpiuh dengan diagnosa Dyspneu. Dari
hasil pemeriksaan fisik perkusi pada paru-paru suara mengi, genetalia terpasang DC, kondisi
terbaring lemah, nafas sesak dan banyak dahak. Hasil pemeriksaan TD 130/86 mmHg, RR
21x/menit, N 90x/menit, S 36,30 C. Pasien beragama islam sebelum sakit pasien mampu
mengerjakan shalat dengan berdiri, tetapi semenjak sakit pasien mengerjakan shalat 5 waktu
dengan terbaring di bed.
4

BAB III

TINJAUAN HUKUM/KAIDAH/TEORI

Shalat merupakan salah satu rukun Islam, sebagaimana dalam sebuah hadis
disebutkan,“Tegaknya Islam pada lima perkara: Bersaksi bahwa tiada Tuhan yang disembah
melainkan Allah dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah, mendirikan
shalat lima waktu, membayar zakat, Puasa di bulan Ramadhan, serta naik haji bagi yang kuasa”
(HR. Bukhari/Sahih Bukhari, hal. 19, juz 1, Maktabah Syamilah). Shalat merupakan rukun Islam
yang kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi yang salah satunya adalah shalat.
Maka, siapa yang mendirikan shalat, ia telah mendirikan agama, dan barang siapa yang
meninggalkan shalat, ia meruntuhkan agama.

Shalat selamanya akan menjadi kewajiban manusia selama di jasadnya masih ada ruh dan
akal. Hanya saja, syariat memberikan keringanan, dimana manusia boleh melaksanakan shalat
sesuai kemampuannya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :
‫ فإن لم تستطع فعلى جنب‬،ً‫ فإن لم تستطع فقاعدا‬،ً‫صل قائما‬

Artinya : “Kerjakanlah shalat dengan berdiri, jika tidak mampu maka dengan duduk, dan jika
tidak mampu juga maka dengan berbaring.” (HR. Bukhari).

Setiap orang yang sudah akil balig tidak boleh meninggalkan shalat dalam kondisi apa
pun, baik sehat maupun sakit. Selama orang itu masih dikategorikan sehat pikirannya (tidak
gila), kewajiban melakukan shalat tetap masih dituntut sekalipun cara shalatnya berbeda dengan
orang sehat. Shalat orang sakit tidak sama dengan shalat orang yang sehat. Islam banyak
memberi kemudahan bagi umatnya. Sebagaimana firman Allah,

ْ‫ذ َنٓا ِان‬$ْ $‫ا اَل ُتَؤ ا ِخ‬$$‫ت ۗ َر َّب َن‬ ْ ‫َل ُي َكلِّفُ هّٰللا ُ َن ْفسًا ِااَّل وُ سْ َع َها ۗ َل َها َما َك َس َب‬
ْ ‫ َب‬$‫ا ا ْك َت َس‬$$‫ا َم‬$$‫ت َو َع َل ْي َه‬
‫َّنسِ ْي َنٓا اَ ْو اَ ْخ َطْأ َنا ۚ َر َّب َنا َواَل َتحْ ِم ْل َع َل ْي َنٓا ِاصْ رً ا َك َما َح َم ْل َت ٗه َع َلى الَّ ِذي َْن ِمنْ َق ْبلِ َنا ۚ َر َّب َنا َواَل ُت َحم ِّْل َنا‬
ُ ‫ا َفا ْن‬$$‫ت َم ْو ٰلى َن‬
‫و ِم‬$ْ $‫رْ َنا َع َلى ْال َق‬$‫ص‬ َ ‫ا ۗ اَ ْن‬$$‫ا َوارْ َحمْ َن‬$ۗ $‫رْ َل َن‬$$‫اغ ِف‬
ْ ‫ فُ َع َّن ۗا َو‬$ْ‫َما اَل َطا َق َة َل َنا ِب ۚ ٖه َواع‬
‫ْال ٰكف ِِري َْن‬
Artinya :“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia
mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan)
yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami
lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan
beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya.

Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka
tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.”(Al-Baqarah ayat 286).

Allah SWT juga memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan ketakwaan


menurut kemampuan mereka.

Syariat Islam dibangun di atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang dibebani. Tidak
ada satu pun beban syariat yang diwajibkan kepada seorang di luar kemampuannya.

Ada dimana kondisi Kesehatan seseorang lemah yaitu ketika sakit. Ada berbagai macam
penyakit yang dapat menyerang manusia, salah satunya adalah penyakit parah yang
mengharuskan orang tersebut terpasang alat bantu karena ketidakmampuan orang tersebut untuk
melakukan aktivitas seperti biasanya, salah satunya terpasang DC (Dower Cathether) atau bisa
disebut pemasangan kateter urin yaitu tindakan keperawatan dengan cara memasukkan kateter
kedalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan untuk membantu memenuhi
kebutuhan eliminasi pada pasien yang tidak mampu eliminasi secara normal . Mayoritas ulama
berpendapat bahwa salah satu syarat sah salat adalah suci badan, pakaian, dan tempat. Orang
sakit serta ada terpasang kateter (selang kencing) jelas bersambung dengan najis yang tidak
dimaafkan.
Jika penggunaan alat ini termasuk kondisi terpaksa, di mana kateter harus tetap terpasang
dan tidak bisa dilepas waktu shalat, atau jika sering dilepas akan membahayakan orang yang
sakit, maka tidak masalah shalat dalam keadaan kateter tetap terpasang. Sebagaimana firman
Allah :

‫َفا َّتقُوا هَّللا َ َما اسْ َت َطعْ ُت ْم‬


Artinya : “Bertaqwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16)

Allah juga berfirman :

‫ف هّللا ُ نَ ْفسًا ِإالَّ ُو ْس َعهَا‬


ُ ِّ‫اَ يُ َكل‬
Artinya : “Allah tidak membebani satu jiwa kecuali sesuai kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah:
286).

Akan tetapi jika memungkinkan untuk dilepas, meskipun diupayakan hanya dua kali
sehari, maka dia bisa atur agar kateter dilepas ketika mendekati waktu asar dan waktu isya.
Ketika kateter dilepas mendekati waktu asar, kemudian dia bisa shalat dzuhur di akhir waktu,
disambung dengan shalat asar setelah masuk waktunya. Atau dilepas ketika mendekati isya,
kemudian si sakit bisa shalat maghrib, disambung dengan shalat isya setelah masuk waktunya.

Kebolehan shalat dalam kondisi berkateter adalah semacam dispensasi yang bersifat
kondisional dari Islam. Maka, salat orang yang terpasang kateter tidak dianggap sah karena
ternafinya syarat suci pada mereka.

Kewajiban mereka hanya sebatas pada penghormatan waktu saja sebagaimana disebutkan
dalam sebuah hadis,

“Apabila aku perintahkan akan kalian dengan sesuatu, kerjakanlah bagaimana yang
sanggup kalian kerjakan”(H.R. Bukhari dan Muslim).

Seandainya ia meninggal masih dalam kondisi memakai kateter, shalatnya dimaafkan.


Namun, bila nanti sembuh dan dapat melepaskan kateter yang bernajis, dia harus mengulangi
shalatnya. (Lihat al-Majmu’ juz 3 hal 136 / Program Maktabah Syamilah).

Adapun cara seseorang shalat ketika menggunakan DC (Dower Catheher) yaitu ia tetap sholat
sesuai keadaannya jika telah masuk waktu sholat, sebagaimana orang yang berpenyakit beser dan
wanita yang istihadhoh atau ia bertayammum jika ia tidak sanggup menggunakan air, namun
wajib baginya berwudhu menggunakan air jika ia mampu, berdasarkan Firman Allah SWT

‫َفا َّتقُوا هَّللا َ َما اسْ َت َطعْ ُت ْم‬


Artinya : “Bertaqwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16)

Adapun jika keluar sesuatu (kencing) setelah itu maka hal itu tidak mengapa, dengan
syarat ia tidaklah berwudhu kecuali setelah masuk waktunya shalat, kemudian ia mendirikan
sholat meskipun keluar sesuatu selama masih dalam waktu sholat, karena ia tidak bisa
mengontrol yang demikian. Sebagaimana orang yang berpenyakit beser maka ia shalat pada
waktunya meskipun air seninya terus keluar.

Terdapat berbagai tata cara shalat bagi orang sakit yaitu :

1. Bagi orang yang tidak mampu berdiri maka dapat

 Dengan duduk bersila. Jika tak memungkinkan, diperbolehkan duduk dengan cara
apa pun yang mudah dilakukan.
 Duduk menghadap ke kiblat. Namun jika tidak memungkinkan, maka tidak
mengapa.
 Cara bertakbir dan bersedekap sama seperti salat dalam keadaan berdiri. Tangan
di angkat hingga sejajar dengan telinga, kemudian tangan kanan diletakkan di atas
tangan kiri.
 Cara rukuknya yaitu membungkukkan badan sedikit. Ini merupakan
bentuk imaa sebagaimana dalam hadis Jabir. Lalu, kedua telapak tangan di lutut.
 Cara sujudnya juga sama sebagaimana sujud biasa, jika memungkinkan. Jika tak
memungkinkan, maka membungkukkan badannya lebih banyak dari ketika rukuk.
 Cara tasyahud yaitu dengan meletakkan tangan di lutut dan melakukan tasyahud
seperti biasa.

2. Bagi orang yang tidak mampu duduk sekaligus berdiri

Bila seseorang sakit dan tak mampu berdiri maupun duduk, maka diperbolehkan untuk
salat sambil berbaring. Salat sambil berbaring ada dua macam, yaitu ‘ala janbin (berbaring
menyamping) dan mustalqiyan (telentang).

a. ‘ala janbin (berbaring menyamping)


 Berbaring menyamping ke kanan dan ke arah kiblat jika memungkinkan. Jika tak
bisa menyamping ke kanan, maka menyamping ke kiri namun tetap ke arah kiblat.
Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat, maka tidak mengapa.
 Cara bertakbir dan bersedekap sama seperti salat dalam keadaan berdiri. Tangan
diangkat sejajar dengan telinga, setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan
kiri.
 Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit. Ini merupakan
bentuk imaa` sebagaimana dalam hadis Jabir. Kemudian, kedua tangan diluruskan
ke arah lutut.
 Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk.
Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
 Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut, namun jari telunjuk tetap
berisyarat ke arah kiblat.

b. Mustalqiyan (telentang)
 Berbaring telentang dengan kaki menghadap kiblat. Yang utama, kepala diangkat
sedikit dengan ganjalan seperti bantal atau apa pun sehingga wajah menghadap
kiblat. Jika tidak memungkinkan, maka tidak mengapa.
 Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana salat dalam keadaan berdiri.
 Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit. Ini merupakan
bentuk imaa` sebagaimana dalam hadis Jabir. Kemudian, kedua tangan diluruskan
ke arah lutut.
 Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk.
Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
 Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut, namun jari telunjuk tetap
berisyarat ke arah kiblat.

3. Bagi yang tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya

Jika tak mampu menggerakkan anggota tubuh, namun bisa menggerakkan mata, maka
diperbolehkan untuk salat dengan menggerakkan mata. Ini masih termasuk makna al-imaa`.
Kedipkan mata sedikit ketika takbir dan rukuk, kemudian kedipkan banyak untuk sujud. Disertai
dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan salat. Jika lisan tak mampu digerakkan,
maka bacaan-bacaan salat pun dapat dibaca dalam hati.

Jika tak mampu menggerakkan anggota tubuh sama sekali, namun masih sadar, maka
salat dilakukan dengan hati. Maksudnya adalah membayangkan dalam hati gerakan-gerakan salat
yang disertai gerakan lisan ketika membaca bacaan salat. Jika lisan tak mampu digerakkan, maka
bacaan salat pun dibaca dalam hati.
9

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Pemasangan kateter adalah pemaukkan selang yang terbuat dari plastik atau karet
melalui uretra menuju kandung kemih (vesika urinaria) Islam membolehkan hal-hal yang
makruh dan yang haram bila berhadapan dengan hajat dan darurat. Dengan demikian
pemasangan kateter untuk menyelamatkan seorang pasien dibolehkan karena hajat dan
keadaan darurat.
Namun jika seseorang tidak dapat melaksanakan sholat bukan karena tidak mampu
berdiri, tetapi ada penghalang terhadap keabsahan sholat karena tubuhnya bersambung dengan
benda najis, sebagaimana pasien yang lobang alat vitalnya dipasang selang air seni atau bagian
tubuhnya dipasang selang untuk trasfusi darah, maka orang tersebut sudah masuk katagori
sedang menghadapi situasi darurat, yang membolehkan dia melakukan shalat Lihurmatil
Waqti, karena kalau diwajibkan melepas selang setiap hendak melakukan shalat, maka ada
kesulitan untuk melakukannya. Dan jika nanti dia sudah sembuh dan selang seni sudah dilepas
maka dia wajib mengulang atau meng-qodlo’ shalat telah dilakukan dengan cara Lihurmatil
Waqti.
Kesimpulannya, kaum muslimin boleh shalat sesuai dengan keadaan yang dia mampu,
namun jangan sampai dia meninggalkan cara shalat yang lebih sempurna padahal masih mampu
diusahakan. Seperti orang yang masih bisa duduk, maka dia tidak boleh shalat sambil berbaring.
Atau orang yang masih bisa wudhu, namun memilih untuk melakukan tayamum.

B. Saran
Dalam melakukan proses kateterisasi diharapkan masyarakat yang beragama Islam dapat
mengetahui kaidah-kaidah yang ada dalam syariat islam. Memperhatikan kondisi badan saat
akan melakukan pemasangan kateter.

10

DAFTAR PUSTAKA

https://konsultasisyariah.com/14199-shalat-dengan-kateter-ketika-sakit.html
https://www.atsar.id/2015/05/cara-shalat-pasien-yang-menggunakan-urine-bag.html

http://chatheternursing.blogspot.com/p/blog-page.html

https://www.idntimes.com 

11

Anda mungkin juga menyukai