Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al-Quran pada dasarnya mudah dimengerti dan mudah difahami
sebagaimana diisyaratkan Allah dalam Firman-Nya “ Dan sesungguhnya kami
memudahkannya dengan lisanmu untuk memberi kabar gembira kepada orang
yang bertaqwa dan memberi peringatan kepada kaum yang sesat" (QSMaryam
19: 97), senada dengan ayat ini QS. al-Qamar : 17 dan QS. Ad Dukhan : 58.
Namun perkembangan bahasa dan dialek, perubahan zaman dan perluasan
Islam ke seluruh dunia melahirkan tuntutan-tuntutan dan kebutuhan terhadap
pemahaman al-Quran yang tepat dan benar.
Kebutuhan terhadap tafsir dimulai sejak zaman Nabi terutama para sahabat
yang tidak mendengar secara langsung dari Nabi tentang maksud ayat ataupun
sebab diturunkannya ayat tersebut. Kebutuhan terhadap tafsir ini semakin
besar tatkala Nabi telah wafat. Para sahabat kemudian banyak ditanya dan
mengajari tafsir al-Quran sesuai dengan pengajaran dari Nabi Muhammad. Di
antara mereka adalah Ibnu Abbas, Abdullah bin Mubarak, Abdullah bin Umar
dsbnya.
Kebutuhan terhadap tafsir di masa sekarang sangat beragam dan
membutuhkan kemampuan penafsir-penafsir ulung untuk menjelaskan
keistimewaan dan keajaiban al Quran dengan bahasa kontemporer, dari
berbagai bidang keilmuan dan berbagai bahasa. Spirit dari gerakan itu adalah
upaya tadabbur terhadap ayat-ayat al-Quran. Allah berfirman"Kitab yang telah
kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka bertadabbur
(mempelajari) ayat-ayatnya dan mereka mengingat bagi orang-orang yang
berfikir" (QS. Shad : 29),"Apakah mereka tidak mau merenungkan al-Quran
ataukah karena hati mereka telah terkunci rapat-rapat" (QS. Muhammad: 24).
Tadabbur adalah kewajiban bagi seorang muslim agar dapat memetik nasehat
nasehat yang terdapat dalam al-Quran. Maka untuk mencapainya diperlukan
gerakan penafsiran al-Quran dengan berbagai bahasa dan bidang keilmuan
sehingga nyatalah yang benar adalah kebenaran yang nyata.

1
Kemunculan tafsir sebagai sebuah ilmu pengetahuan mulai di kembangkan
setelah abad kedua Hijriyah dimana mulai era kodifikasi ilmu Hadiš. Sehingga
berkembang pula ilmu tafsir yang masih terbatas pada penafsiran al-Qur'an
dengan al-Quran, penafsiran alQuran dengan Hadiš dan penafsiran al-Quran
dengan pendapat sahabat.

Para ulama salaf sangat memperhatikan masalah ini. Dapat dikatakan


disini Mujahid berkata :"Makhluk yang paling dicintai di sisi Allah adalah
orang yang paling tahu dengan apa yang diturunkan (al-Quran)”. Diceritakan
oleh As-Syabi "seseorang pergi ke Basrah untuk mengetahui tafsir ayat, maka,
dikatakanlah padanya: Sesungguhnya orang yang menafsirkannya pergi ke
Syam, maka ia bergegas dan pergi ke Syam sampai ia tahu tafsir ayat
tersebut". Dan berkata Ikrimah tentang firman Allah"Dan barangsiapa keluar
dari rumahnya berhijrah kepada Allah dan RasulNya" ia mencari tahu Tafsir
nama orang tersebut selama 14 tahun sampai ia menemukannya, yaitu
Dhamrah bin Habib. Dan Ibnu Abbas berkata:"Aku tinggal selama 2 tahun
aku ingin bertanya pada Umar tentang dua orang perempuan yang melakukan
dzihar kepada Rasulullah saw aku tidak dapat mengatakannya karena wibawa
Umar maka kemudian ia berkata Dia adalah Hafshah dan Aisyah.
Yang menarik untuk dikemukakan adalah ketika Hasan Al-Banna
ditanyakan tentang tafsir mana yang paling afdhal, dengan tegas beliu
menjawab"Qalbuka (Hatimu) pendapat ini mengesankan bahwa tafsir terhadap
al-Quran selamanya tetap terbuka dan mengajak kita merenungkan ketika
menafsir al-Quran maka kita sedang menafsir Allah, maka hati orang yang
beriman akan mengukur penafsiran al-Quran dengan sangat berhati-hati
jangan sampai terdapat kekeliruan.1

1
Drs.H.M.Shalahuddin Hamid,MA, Study Ulumul Quran, Pt Intimedia
Ciptanusantara,Jakarta Selatan, Hlm 321-322

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Menjelaskan perkembangan tafsir Al- Quran
2. Mengemukakan problematika tafsir Al-Quran
1.3 Tujuan Makalah
1. Mengetahui asal muassal tumbuhnya ilmu tafsir Al Quran
2. Mengetahui asal tumbuhnya problematika tafsir Al-Quran
1.4 Manfaat Makalah
1. Menambah ilmu pengetahuan tentang ilmu tafsir Al-Quran
2. Menambah wacana minda di kalangan mahasiswa ilmu Al-Quran Tafsir

3
BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
2.1 KELAHIRAN TAFSIR AL QURAN
2.1.1 Rasulullah SAW. Juru Penerangan Al Qur'an Pertama.
Perkembangan Ilmu Tafsir Al Qur'an telah mencapai kemajuan
pesat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dari abad
ke abad para Imuwan Islam di bidang Tafsir tampil ke panggung sejarah
menyumbangkan pikirannya bagi umat manusia dalam rangka memahami
dan menghayati Al Qur'an sebagai sumber petunjuk dan ilmu.
Sesungguhnya, apa yang disebut Tafsir Al Qur'an yang demikian
banyak corak ragamnya, yang tersusun dalam kitab-kitab mulai dari yang
tipis sampai yang tebal-tebal, telah mulai tumbuh semenjak zaman
Rasulullah saw. Beliau sendirilah yang pertama kali sebagai orang yang
menerangkan kitabullah sesuai dengan kedudukan beliau sebagai "utusan
Allah". Allah berfirman:
‫اس َما نُ ِز َل ِإلَ ْي ِه ْم‬ ِ َ‫َوأ َ ْنزَ ْلنَا ِإ َليْك‬
ِ َّ‫الذ ْك َر ِلتُبَ ِينَ ِللن‬
Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. QS : 16 ( An –
Nahl ) : 44
Beliau menerangkan berdasarkan keterangan-keterangan yang
beliau peroleh dari Jibril dan kemudian beliau jelaskan dengan bahasa
beliau sendiri. Penjelasan kitab suci itu bukan buah pikiran Rasul
melainkan bersumber dari wahyu juga. Hanya beliau sampaikan bukan
dengan bahasa wahyu. Dengan begitu penuturan Rasulullah mengenai
persoalan-persoalan agama, tidak terlepas dalam kaitannya dengan wahyu,
dan tiada mungkin beliau berbicara menurut kemauan sendiri. Allah
berfirman :
ٌ ْ‫َو َما يَ ْن ِط ُق َع ِن ْال َه َو ٰى إِ ْن ه َُو إِ ََّّل َوح‬
‫ي يُو َح ٰى‬

4
Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya). QS : 53 ( An – Najm ) : 3-4
Dari keterangan yang ringkas ini, dapat disimpulkan bahwa
Rasulullah sebagai orang yang berhak menerangkan kitabullah dan
keterangan beliau tersebut adalah benar. Karena itu, setiap penafsiran Al
Qur'an hendaklah lebih dahulu memperhatikan keterangan-keterangan
yang beliau berikan, kemudian baru diterangkan dengan daya pikir (rasio).
Hal yang demikian membawa konsekuensi bahwa pada masa
beliau hidup hanya beliau sendirilah yang menafsirkan Al Qur'an. Para
sahabat tidak berani memberikan komentar atau penjelasan tentang ayat-
ayat suci pada masa Nabi masih berada di tengah-tengah mereka.
Setelah Rasulullah wafat, dan semua wahyu itu telah beliau
sampaikan kepada sahabat, barulah tampil ulama/sahabat menggantikan
fungsi Rasulullah SAW. sebagai juru penerang (mufassir) Al Qur'an.
Mereka tetap memegang teguh prinsip di atas, yakni bahwa keterangan
tentang ayat suci sejauh mungkin haruslah berdasarkan kepada penuturan
yang pernah mereka terima dari Nabi. Mereka tiada hendak menyeleweng
dari garis ini, sekalipun benih-benih ijtihad mulai tumbuh pada masa
sahabat itu.2
Pertumbuhan tafsir Al-Quran dapat dikelompokkan dalam
beberapa periode sebagai berikut .

2.1.2 Tafsir Al-Quran periode Nabi Saw dan Sahabat


Periode Nabi dan sahabat dijadikan satu di dalam kajian ini karena
pola dan metode penafsiran Al-Qur'an yang diberikan oleh sahabat tidak
terdapat perbedaan yang berarti dari penafsiran diberikan oleh Nabi,
kecuali dari sudut sumber. Kalau tafsir Nabi berasal dari Allah langsung
atau lewat Jibril atau dari pribadi beliau sendiri. Penafsiran sahabat

2
Drs.H.Moh.Rifai, Mukaddimah Al-Quran Dan Tafsirnya,Cv Wicaksana,Semarang, Hlm
153-154

5
bersumber dari Al-Qur'an, Nabi dan dari ijtihad mereka. Jadi. perbedaan
teknis antara kedua tafsir itu tidak terlalu jauh. Namun, dari segi kualitas
jelas penafsiran Nabi jauh lebih unggul dan lebih tepercaya karena beliau
langsung menerima ayat Al-Qur'an dari Allah.3
Ada waktu Rasulullah saw. masih hidup, tafsir Al-Qur'an
diberikan langsung oleh beliau berdasarkan wahyu atau ilham dari Allah
SWT, baik langsung dari-Nya maupun melalui Malaikat Jibril. Oleh sebab
itu, dapat dikatakan bahwa Rasulullah saw. Adalah penafsir pertama dan
utama bagi Al-Qur'an.
Setiap Rasulullah saw. selesai menerima wahyu (Al-Qur'an), beliau
langsung menyampaikannya kepada para sahabat. Kalau ada kosakata atau
ayat yang tidak dimengerti, mereka langsung menanyakannya kepada
Rasulullah saw. Rasul pun menerangkannya dengan jelas sampai mereka
mengerti dan puas. Sebagai contoh
ketika turun Surat Al-An'am ayat 82 yang berbunyi:
َ‫ظ ْل ٍم أُو ٰلَئِكَ لَ ُه ُم ْاْل َ ْمنُ َو ُه ْم ُم ْهتَدُون‬ ُ ‫الَّذِينَ آ َمنُوا َولَ ْم يَ ْل ِب‬
ُ ‫سوا ِإي َمانَ ُه ْم ِب‬
Artinya : Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk. QS : 6 ( Al- An’am ) : 82
Para sahabat gelisah, lalu langsung menanyakannya kepada Nabi,
"Siapakah di antara kami yang tidak pernah menganiaya dirinya?" Lalu
Nabi menjawab pertanyaan itu dengan menafsirkan lafal “‫ ” بظلم‬di dalam
ayat itu dengan "syirik”, berdasarkan firman Allah SWT pada akhir ayat
13 dari Surat Luqman:
‫ظ ْل ٌم َع ِظي ٌم‬
ُ َ‫إِ َّن الش ِْركَ ل‬
Artinya : Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar". QS : 31 ( Luqman ) : 13

3
Nur Kholis M.Ag, Pengantar Studi Al- Quran dan Hadis, Teras, Yogyakarta, 2008, Hlm
137-143

6
Dengan penjelasan Nabi itu, mereka menjadi lega dan tenteram.
Begitulah cara Rasulullah saw. menjelaskan lafal-lafal Al-Qur an yang
masih global atau sulit dipahami oleh para sahabat sal sahabat sehingga
mereka memperoleh pemahaman yang benar tentang maksud yang
terkandung di dalam ayat-ayat yang diturunkan. Kemudian, pemahaman
seperti itu diteruskan oleh para sahabat kepada tabi' dan dari tabi'in
dilanjutkan kepada tabi'ut-tabi'in, demikian seterusnya sampai pada
periode pembukuan tafsir4.
Penafsiran yang diberikan oleh Nabi itu meliputi bidang akidah.
ibadah, dan muamalah mulai dari hubungan berkeluarga sampai hubungan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik dalam situasi damai
maupun dalam peperangan.
Nabi menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an kepada mereka melalui
sabda-sabda, perbuatan dan persetujuannya (taqrir). Para sahabat pada
umumnya terdiri atas orang-orang Arab asli yang banyak memiliki
keistimewaan, seperti kekuatan hafalan, kecerdasan otak kepandaian
merangkum keterangan, dan kemahiran mengetahui ungkapan bahasa.
Kondisi ini memungkinkan mereka memahami Al-Qur'an secara
lebih baik sehingga kebutuhan terhadap tafsir Al- Qur'an pada waktu itu
masih belum begitu terasa. Oleh karena itu, tafsir pada masa Nabi masih
sedikit, apalagi Nabi tidak menafsirkan seluruh ayat Al-Qur'an, kecuali
yang dirasa sukar dan yang ditanyakan kepada beliau oleh para sahabat.
Setelah Rasulullah saw. wafat pada tahun 11 H (632 M), para
sahabat makin giat mempelajari AL-Qur'an dan memahami makna
maknanya dengan jalan riwayat secara lisan dari mulut ke mulut, dari
sahabat yang satu kepada sahabat yang lain, terutama mereka yang banyak
mendengarkan hadis dan Tafsir dari Nabi.

4
Drs.Mashuri Sirojudin Iqbal, Drs.A.Fudlali,Pengantar Ilmu Tafsir, Angkasa
Bandung,Bandung, 1987,Hlm 104-107

7
PENAFSIRAN PARA SAHABAT
Penafsiran para sahabat pada mulanya didasarkan atas sumber
yang mereka terima dari Nabi saw. Mereka banyak mendengarkan tafsiran
Nabi dan memahami serta menghayatinya dengan baik. Mereka menerima
bacaan ayat-ayat Al-Qur'an langsung dari Nabi yaitu sehabis ayat tersebut
diterima beliau. Mereka menyaksikan peristiwa yang melatarbelakangi
turunnya ayat dan mengetahui persesuaian ayat yang satu dan yang lain.
Mereka menguasai bahasa Arab secara baik, mengetahui dan menghayati
budaya serta adat-istiadat bangsa Arab.5
Semua itu merupakan sumber tafsir yang besar manfaatnya bagi
mereka untuk dapat memahami dan menerangkan arti ayat dengan benar
dan baik.
Berdasarkan kenyataan itu, sumber-sumber tafsir Al-Qur'an pada
masa sahabat ini paling tidak ada empat macam, yaitu
a. Al-Qur'anul Karim
b. Hadis-hadis Nabi saw.
c. Ijtihad atau kekuatan istinbat (melalui bahasa. budaya, dan adat
kebiasaan bangsa Arab.
d. Cerita ahli kitab dari kaum Yahudi dan Nasrani.
Dilihat dari segi sumber-sumber tafsir tersebut, bentuk tafsir para
sahabat pada umumnya adalah al-ma'sur, yaitu penafsiran yang lebih
banyak didasarkan atas sumber yang diriwayatkan atau diterima dari Nabi
daripada pemikiran (ar-ra’yu).
Dilihat dari segi metode penafsiran, ternyata para sahabat memakai
metode tafsir ijmali (global), yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an secara
singkat dan ringkas, hanya sekadar memberi penjelasan muradif (sinonim)
kata-kata yang sukar dengan sedikit keterangan.

5
Prof. Dr.T.M.Hasbi Ash – Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran Tafsir,
Bulan Bintang, Jakarta,1977,hlm 237

8
Dengan demikian, sistematika penafsiran para sahabat amat
sederhana, uraian tafsirannya monoton, seperti urutan ayat-ayat di dalam
mushaf. tidak ada judul atau sub-subjudul dan sebagainya.
Ruang lingkup penafsirannya bersifat horizontal, artinya penafsiran
yang diberikan melebar dan global, tidak mendalam dan merinci suatu
kasus atau peristiwa, dan belum difokuskan pada sesuatu bidang
pembahasan tertentu atau boleh disebut aliran mereka bercorak umum.6
2.1.3 Tafsir Periode Tabi’in dan Tabi’inat ’tabi’in
Periode pertama adalah periode Nabi dan sahabat. Periode ini
berakhir pada masa meninggalnya sahabat yang terakhir bernama Abu
Thufail al-Laitsi pada tahun 100 H di kota Mekah.
Setelah itu mulailah periode kedua, yaitu periode tabi'in dan tabi'in
at-tabi'in, kira-kira dari tahun 100 H/732 M sampai dengan 181 H/812 M
yang ditandai dengan wafatnya tabi 'in terakhir, Khalaf bin Khulaifah (w.
181 H), sedangkan generasi tabi'in at-tabi'in berakhir pada tahun 220 H.7
a. Sumber-Sumber Tafsir Tabi in
Dalam mempelajari Al-Qur'an dan memahami maksud yang
terkandung di dalam ayat-ayatnya serta tafsirnya, para tabi in
berlandaskan pada ayat-ayat Al-Qur'an, hadis-hadis yang diriwayatkan
Rasulullah saw., dan tafsir yang diberikan oleh para sahabat Nabi serta
cerita-cerita dari para ahli kitab. Di samping itu, mereka juga
menggunakan dasar hasil ijtihad mereka sendiri, baik bersandar pada
kaidah-kaidah bahasa Arab maupun ilmu-ilmu pengetahuan lain
Dengan demikian, sumber-sumber penafsiran pada zaman ini
meliputi lima macam, yaitu
1) Al-Quran
2) Hadis-hadis Nabi saw..
3) Tafsir dari para sahabat:

6
Prof.Dr.Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Quran Di Indonesia, Pt Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, Solo,2003, Hlm 6-9
7
Drs.Sahilun A.Nasir, Ilmu Tafsir Al-Quran,Al-Ikhlas,Surabaya,Indonesia,1987, hlm 26-
27

9
4) Cerita-cerita dari para ahli kitab (israiliyat):
5) Ra'yu atau ijtihad.
Kegiatan tafsir di kalangan tabi'in dan tabi'ut-tabi'in ini
merupakan kelanjutan dari tafsir yang telah dilakukan oleh Nabi
dan para sahabatnya.
b. Bentuk, Metode, dan Ruang Lingkup Tafsir pada Masa Tabi'in
Dilihat dari segi sumber-sumber tersebut tafsir pada masa
tabi ‘in umumnya berbentuk al-ma’ sur, seperti halnya pada masa
sahabat. Jika ditinjau dari sudut cara penafsiran secara umum
tafsiran mereka memakai metode ijmali. Metode ini agak lebih luas
jika dibandingkan dengan tafsir para sahabat, tetapi belum masuk
kategori tahlili (analisis).
Dari sudut ruang lingkup, tafsir para tabi'in pada umumnya
belum difokuskan pada suatu bidang pembahasan tertentu, sama
halnya dengan tafsir para sahabat yang masih melebar, meliputi
bidang-bidang ibadah, muamalah, munakahat, jinayat, dan lain
lain. Jadi, dari sudut ruang lingkup tafsir, kedua periode itu belum
banyak berubah, tidak seperti tafsir pada masa mutaqaddimin dan
mutaakhirin yang sudah mulai difokuskan pada bidang-bidang
tertentu sebagaimana akan diuraikan nanti.
c. Pusat-Pusat Pengajian Tafsir pada Periode Tabi'in
Negara Islam pada masa ini telah membentang luas dari
negeri Cina di timur sampai ke utara Spanyol di barat, atau hampir
sepertiga luas peta bumi kita ini. Oleh karena itu, para sahabat dan
tabi'in serta tabi'ut-tabi'in tidak menetap pada satu daerah saja,
misalnya di Madinah, tetapi menyebar ke daerah-daerah lain yang
telah dikuasai oleh Islam.
Di daerah baru itu sebagian dari mereka ada yang menjadi
guru, hakim, dan sebagainya. Mereka datang dengan membawa
ilmu pengetahuan dan keahlian masing-masing, terutama hadis
hadis dan tafsir yang mereka terima dari Rasulullah saw. Oleh

10
karena itu, para penuntut ilmu datang berduyun-duyun untuk
belajar meriwayatkan hadis-hadis dan tafsir dari para sahabat dan
tabi'in.
Karena semakin banyaknya penuntut ilmu, kemudian
berdirilah pusat-pusat kajian Islam, seperti madrasah diniyah yang
mengajarkan tafsir Al-Qur'an. Guru-gurunya adalah para sahabat,
antara lain sebagai berikut.
1) Di Mekah pusat kajian dipimpin oleh sahabat Abdullah bin
Abbas (w. 63 H), Sa'id bin Jubair (w. 93). Mujahid bin Jabr (w.
103 H), Ikrimah (w. 105 H), Tawus bin Kaisan (w. 106 H), Ata
bin Rabah (w. 114 H).
2) Di Madinah pusat kajian dipimpin oleh Ubay bin Ka' ab, yang
banyak mengajarkan tafsir AL-Qur'an kepada tokoh tokoh
tabi'in, seperti Zaid bin Aslam (w. 136 H), Abul Aliyah (w. 90
H). dan Muhammad bin Ka'ab (w. 118 H.). Kemudian kepada
mereka bertiga inilah para tabi'in yang lain dan tabi'inat-tabi'in
belajar tafsir.
3) Di Irak pusat kajian dipimpin oleh Abdullah bin Mas'ud.
Meskipun di sana ada guru tafsir dari sahabat-sahabat yang
lain, Ibnu Mas'ud Lah yang dianggap sebagai guru tafsir
pertama di Irak dan di Kufah atas perintah Khalifah Umar.
Ahli-ahli tafsir dari tabi'in Irak yang merupakan murid murid
Ibnu Mas'ud, antara lain yang terkenal ialah Algamat bin Qays
(w. 102 H), Masruq (w. 63 H), Al-Aswad bin Yazid (w.75 H).
Murrah al-Hamdani (w. 76 H), Amir asy Sya'bi (w. 105 H.), al-
Hasan al-Bishri (w. 110 H), Qatadah bin Diamah (w. 117 H)
d. Ciri-Ciri Tafsir Tabi'in dan Tabi'ut-Tabi'in
Tafsir generasi ini berbeda dari tafsir para sahabat dalam hal
sebagai berikut.

11
1) Memuat banyak cerita israiliyat. Hal ini disebabkan banyak
ahli kitab yang masuk islam, padahal mereka masih terikat oleh
pemikiran lama yang tidak menyangkut soal hukum syariat,
seperti tentang permulaan penciptaan alam, rahasia alam, dan
cerita umat-umat dahulu
2) Pada generasi ini mulai terdapat kebiasaan menerima riwayat
dari orang-orang tertentu atau yang disenangi saja, seperti
Mujahid yang hanya meriwayatkan tafsir dari Ibnu Abbas.
Demikian pula para mufasir Irak, mereka hanya meriwayatkan
tafsir Ibnu Mas'ud, sedangkan mufassir Medinah
meriwayatkan tafsir Ubayy bin Ka’ab.
3) Pada zaman ini mulai tumbuh benih-benih fanatisme mazhab
sehingga sebagian tafsir tabi'in ada yang cenderung
mempertahankan pendapat imam mazhabnya secara berlebihan.
Di antara mereka yang berusaha mengumpulkan dan
menulis hadis-hadis tafsir itu ialah Zaid bin Harun as-Silmi (w
17 H), Syu'bah bin al-Hajjaj (w. 160 H). Waki' bin al-Jarrah
(W. 197 H). Sufyan bin 'Uyainah (w. 198 H). Abdur-Razzaq
bin Humam (w. 211 H), dan lain-lainnya.
Tulisan mereka dari imam-imam tafsir yang terdahulu
dinukilkan secara musnad (dengan diterangkan siapa-siapa
yang meriwayatkannya). Sayangnya karya mereka tidak ada
yang sampai kepada kita sekarang ini. Oleh karena itu, sulit
sekali untuk melacak dan menentukan orisinalitas penafsiran
mereka itu sebagaimana diakui oleh az-Zahabi.8

2.1.4 Perkembangan Tafsir Al-Qur'an


Perkembangan tafsir Al-Qur'an dapat dikelompokkan dalam beberapa
periode sebagai berikut :

8
Ibid, Hlm 10-13

12
1. Periode Ulama Mutaqaddimin (abad III-VIII H/X-XIII M)
Yang dimaksud zaman mutaqaddimin di sini ialah zaman
para penulis tafsir Al-Qur an gelombang pertama, yang mulai
memisahkan tafsir dari hadis. Boleh juga disebut generasi ketiga
setelah generasi pertama (Nabi dan sahabat dan generasi kedua
(Tabi'in dan tabi inat tabi'in) sehingga tafsir menjadi ilmu yang
berdiri sendiri, tidak lagi seperti periode dua generasi sebelumnya
sahabat dan tabi inat tabi'in), yang belum memisahkan tafsir dari
hadis, seperti yang ditemukan di dalam Shahih Bukhari. Di dalam
kitab itu terdapat topik khusus yang berisi tafsir Al-Qur'an. Periode
mutaqaddimin ini mulai akhir zaman tabi'in-tabi'in sampai akhir
pemerintahan dinasti Abbasiyah, kira-kira dari tahun 150 H/782 M
sampai tahun 656 H/1258 M atau mulai abad II sampai abad VII.
Pada periode ketiga ini tafsir Al-Qur'an mulai dikumpulkan
sahabat yang lain yang tidak menyangkut bidang tafsir ayat Al-
Qur'an. Penafsiran yang mereka lakukan diatur sesuai dengan
sistematika urutan ayat di dalam mushaf mulai dari Surat Al-
Fatihah sampai Surat An-Nas.
Keistimewaan tafsir pada zaman ini adalah disebutkannya
sanad (musnad) dari tabi'in, sahabat, sampai Rasulullah saw.
a. Sumber Tafsir Mutaqaddimin
Pada periode ini, sumber penulisan tafsir Al-Qur'an
meliputi Al-Qur'an dan hadis, pendapat para sahabat dan tabi'in
ijtihad atau istinbat dari para tabi 'nat-tabi'in, dengan rincian
sebagai berikut.
1) Al Quran
2) Hadis Nabi saw..
3) Riwayat para sahabat
4) Riwayat para tabi'in.
5) Riwayat para tabi at-tabi'in,
6) Cerita ahli kitab, dan

13
7) Ijtihad atau istinbat mufassir.
b. Bentuk, Metode, Sistematika, dan Ruang Lingkup Tafsir
Mutaqaddimin
Dilihat dari segi sumber-sumber penafsirannya, tafsir
mutaqaddimin ini mempunyai dua bentuk. Bentuk yang
pertama adalah al-ma ‘ sur dan bentuk yang kedua adalah ar-
ra'yu, yaitu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an, para
mufasirnya lebih banyak mendasarkan akal-pikiran, ijtihad,
atau istinbat daripada riwayat atau peninggalan-peninggalan
yang diterima dari Nabi dan sahabat-sahabatnya.
Kalau ditinjau dari segi metode yang diterapkan,
penafsiran pada periode ini banyak memakai metode tafsir
itnabi atau metode tahlili, yaitu dalam menafsirkan ayat
menggunakan penjelasan yang rinci sekali, tidak sekadar
memberikan penjelasan kata muradif(sinonim). Tidak jarang
pula ditemukan perbandingan tafsir satu ayat dengan yang lain
Dengan demikian, periode ini boleh disebut juga telah
menggunakan metode tahlili dan mugarin (komparatif)
walaupun dalam bentuk yang masih sederhana, seperti kitab
Durrah al-Tanzil wa Gurrah at-Ta wil, karangan al-Khatib al-
Iskafi (w. 420 H) dan kitab al-Burhan fi Taujih Mutasyabih Al-
Qur'an, karangan Tajul-Qura Al-Karmani (w. 505 H).
Sistematika penafsirannya masih sama dengan periode
tabi'in dan tabi'ut-tabi'in, yaitu sesuai dengan urutan ayat di
dalam mushaf. Jadi, belum banyak perubahan.
Pada periode ketiga ini ruang lingkup tafsir mulai
terfokus sehingga banyak kitab tafsir yang penafsirannya
difokuskan kepada bidang pembahasan tertentu, seperti Tafsir
al-Kasysyaf karya Imam Zamakhsyari yang difokuskan dalam
bidang bahasa dan pemikiran teologis, khususnya paham
Muktazilah.

14
c. Para Mufasir Mutaqaddimin
Ada yang berpendapat bahwa orang yang pertama menulis
tafsir Al-Qur'an adalah Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H),
Syu'bah Ibnul Hajjaj (w. 160 H), dan Wakil' Ibnul-Jarrah (w.
197 H). lalu diikuti Muhammad Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310
H) yang menulis kitab Jami'ul-Bayan 'an Ta'wilil-Qur'an.
Menurut az-Zahabi, guru besar tafsir pada Fakultas
Syari'ah Universitas Al-Azhar, sulit menentukan siapa yang
pertama kali menulis kitab tafsir secara menyeluruh yang
meliputi semua ayat Al-Qur'an karena para mufassir, seperti
Muqatil, Syu'bah, Waki, Sofyan, dan Abdur-Razzaq belum
membuat tafsir seluruh ayat Al-Qur'an dan belum memisahkan
tafsir Al-Qur'an dari hadis Nabi. Az-Zahabi pun tidak
sependapat dengan Ahmad Amin yang menyatakan bahwa al-
Farra' (w. 207 H) adalah oran pertama yang menulis kitab
tafsir Al-Qur'an secara lengkap sesuai dengan informasi dari
Ibnu Nadin di dalam kitabnya al Fahrasat. Di dalam kitab itu
Ibnu Nadin menukilkan pendapat Abu Abbas: "Belum pernah
ada orang yang menulis kitab tafsir seperti dia (al-Farra)
sebelumnya; dan saya mengira tak ada seorang pun yang
menambah atas tulisan (tafsirnya) itu. Az- Zahabi tidak setuju
dengan pendapat Ahmad Amin dalam kasus ini karena kitab
Ma'anil-Qur'an yang dikarang oleh al-Farra’ dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an menurutnya yang diterapkan
di dalam kitab Majazul-Qur'an karangan Abu Ubaidah yang
mengurutkan susunan surat-surat Al-Qur'an sesuai dengan
urutan yang ada di dalam mushaf kemudian dijelaskannya
ayat-ayat yang memerlukan penafsiran. Jadi, tidak benar al-
Farra' orang pertama yang membuat atau mengarang kitab
tafsir serupa itu.

15
Di samping itu, Syekh Ahmad Mustafa al-Maragi dalam
muqaddimah kitab tafsirnya, mengambil pendapatan-Naisaburi
dalam kitabnya at-Tahzib, menyatakan bahwa belum ada
seorang pun yang menulis kitab tafsir seperti karya Ibnu Jarir
at-Tabari. Syekh al-Maraghi mengurutkan para mufasir yang
setingkat dan semasa dengan at-Tabari sebagai berikut:
1) Ali ibnu Abi Talhah (w. 343 H)
2) Ibnu Abi Hatim (w. 327 H)
3) Ibnu Majah (w. 273 H),
4) Ibnu Mardawaih (w. 410 H).
5) Ibnu Hibban al-Busti (w. 354 H).
6) Ibrahim Ibnul-Mundzir (w. 236 H).
7) Ibnu Jarir at-Tabari (w. 310 H).
Sementara itu, Dr. Ahmad asy-Syirbashi dalam kitabnya
Qissatul-Tafsir mengatakan bahwa orang yang pertama
menafsirkan seluruh ayat Al-Qur'an dengan sempurna ialah
Ikrimah (w. 150 H), sesuai dengan ucapannya, "Saya sudah
menafsirkan Al-Qur'an seluruhnya." Al-Farra' adalah orang
yang pertama kali menulis kitab Tafsir Al-Qur'an secara
khusus, terpisah dari hadis dan lengkap seluruh ayatnya.
Dari beberapa pendapat tersebut ditarik simpulan bahwa
yang pertama kali menulis kitab tafsir adalah Sa'id bin Jubair
(W. 64 H) meskipun belum lengkap, sedangkan yang pertama
kali menafsirkan Al-Qur'an secara lengkap dan terpisah dari
hadits adalah al-Farra' (w. 207 H). Ibnu Jarir at-Tabari adalah
orang pertama yang menulis kitab tafsir dengan menarjihkan
beberapa pendapat sekaligus memberi i'rab (keterangan
semantik) beberapa ayat.9

9
Ibid, Hlm 13-17

16
1. Periode Ulama Mutaakhirin
Yang dimaksud periode mutaakhirin disini ialah zaman
para ulama mufasir gelombang keempat atau disebut juga generasi
kedua yang menuliskan tafsir terpisah dari hadis. Generasi ini
muncul pada zaman kemunduran Islam, yaitu sejak jatuhnya
Baghdad pada tahun 656 H/1258 M sampai timbulnya gerakan
kebangkitan Islam pada tahun 1286 H/1888 M atau dari abad VII
sampai XIII H.
Usaha keras yang dilakukan oleh ulama mutaqaddimin
dalam menafsirkan ayat Al-Qur'an telah menghasilkan kitab tafsir
yang cukup lengkap, banyak, dan besar.

Keadaan seperti itu menyebabkan orang-orang yang datang


kemudian merasa puas dengan tafsir yang telah ada. Akibatnya,
tidak banyak ulama yang mau berusaha menafsirkan sendiri, di
samping karena mereka yang benar-benar memenuhi syarat
sebagai seorang mufasir tidak sebanyak pada periode
mutaqaddimin. Oleh sebab itu, pada zaman mutaakhirin ini
produksi baru kitab tafsir lebih sedikit jika dibandingkan dengan
zaman sebelumnya. Akan tetapi, syarah, ulasan, atau komentar
(hasiyah) terhadap penafsiran atau pemikiran ulama-ulama
mutaqaddimin tampak lebih menonjol.

a. Sumber Tafsir Mutaakhirin


Dalam proses penalsirkan ayat-ayat Al-Quran para mufassir
mutaakhirin kebanyakan mengambil sumber tafsir
mutaqaddimin yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan pada zaman itu (mutaakhirin), di samping
bersumber pada Al-Qur'an dan riwayat, baik dari Nabi, sahabat.
tabi in maupun tabi nat-tabi'in dan kaidah-kaidah bahasa Arab
maupun cerita israiliyat dari ahli kitab.

17
Berdasarkan landasan yang dijadikan pegangan dalam
menafsirkan ayat ayat Al-Qur'an dan perkembangan ilmu
pengetahuan yang mempengaruhi para mufassir mutaakhirin dapat
dicatat bahwa sumber tafsir pada periode IV ini adalah sebagai
berikut:

1) Al-Qur'an.
2) Hadis-hadis Nabi.
3) Tafsiran sahabat, tabi'in dan tabi'nat-tabi'in
4) Kaidah bahasa Arab dan segala cabangnya,
5) Ilmu pengetahuan yang berkembang
6) Kekuatan ijtihad atau istinbat mufassir, dan
7) Pendapat para mufassir terdahulu

b. Bentuk, Metode, Sistematika, dan Ruang Lingkup Tafsir


Mutaakhirin
Dilihat dari segi sumber penafsiran, kebanyakan tafsir
mutaakhirin berbentuk izdiwaj, yaitu perpaduan antara bentuk
ma'tsur dan ra'yu yang menurut istilah Sayid Rasyid Ridha
Sahih al Manqul Sarih al-Ma'qul, memadukan antara warisan
yang ditemui berupa asar (pemikiran-pemikiran, ide - ide,
peradaban, dan budaya) yang baik dan benar.
Dari segi metode tafsir dan cara menjelaskan maksud ayat
serta tertib ayat yang ditafsirkan, metode tafsir mutaakhkhirin
tidak jauh berbeda dari metode tafsir mutaqaddimin, yang
memakai metode tahlili dan muqarin sebagaimana te
dijelaskan.

18
Dalam hal sistematika penafsiran, tafsir mutaakhirin
tampak lebih baik, yaitu memiliki pola penafsiran yang terdiri
atas beberapa uraian dan masing-masing terpisah dari yang
lainnya, dengan memberi judul dan sub-subjudul, tetapi masih
tetap diurutkan sesuai dengan urutan ayat-ayat di dalam
mushaf.
Ruang lingkup penafsiran ulama mutaakhirin sudah lebih
mengacu pada spesialisasi ilmu, seperti Anwar al-Tanzil wa
Asrar al-Ta'wil (Tafsir al-Khazin) karangan al-Khazin (w. 741
H) dalam bidang sejarah dan al-Jami li Ahkamil-Qur'an, (Tafsir
al Qurthubi) karangan al-Qurthubi (w. 671 H) dalam bidang
fiqih. Selain itu, ada pula kitab-kitab tafsir bil-ma'sur, antara
lain Tafsir Al-Qur'anul- Azhim karangan Ibnu Katsir (w.774 H)
yang populer dengan Tafsir ibnu Katsir dan ad-Durr al-Mansur
fit-Tafsir bil
Mansyur, karangan as-Suyuti (w. 911 H).
c. Para Mufassir Mutaakhirin
Di antara mufasir mutaakhirin, selain yang telah disebutkan di
atas adalah sebagai berikut.

1) Al-Baidawi (w. 692 H), pengarang tafsir Anwar al-Tanzil


wa Asrar al-Ta'wil (Tafsir al-Baidawi);
2) Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), pengarang tafsir
Mafatihul-Gaib (at-Tafsir al-Kabir):
3) Imam Ibrahim bin Umar al-Biqa'i (w. 885 H), pengarang
tafsir Nazmud-Durar fi Tanasubil-Ayat wa-Suwar;
4) Imam al-Alusi (w.1270 H), pengarang tafsir Ruhul-Ma'ani
Mereka itulah di antara tokoh-tokoh mufassir pada zaman
mutaakhirin yang merupakan tokoh zaman yang jarang ada
tandingannya. Kebanyakan kitab tafsir mereka difokuskan pada
ilmu pengetahuan sesuai bidang mereka masing-masing,

19
setelah mereka mempelajari dan mendalami ilmu tersebut,
seperti bahasa, fiqih, filsafat, dan tasawuf.10
2. Periode Ulama Modern (abad XIV H/XIX M sampai sekarang)
Yang dimaksud dengan zaman modern di sini ialah sejak
abad XIV Hijriah atau akhir abad XIX Masehi sampai sekarang,
yaitu sejak dimulainya gerakan modernisasi Islam di Mesir oleh
Jamaluddin Al-Afghani (1254 H/1838 M - 1314 H/1896 M) dan
murid beliau Muhammad Abduh (1266 H/1845 M - 1323 H/1905
M) di Pakistan oleh Muhammad Iqbal 18781938 di India oleb
Sayyid Ahmad Khan ( 1817- 1989 dan di Indonesia oleh HOS
Cokroaminoto dengan Serikat Islamnya, K.H.A. Dahlan dengan
Muhammadiyahnya, K.H. Hasyim Asy'ari (1367 H) dengan
Nahdatul Ulamanya di Jawa, dan Syekh Sulaiman ar-Rasuli
dengan Pertinya (w. 1970) di Sumatera.
Kitab-kitab tafsir yang dikarang pada zaman modern ini aktif
mengambil bagian mengikuti garis perjuangan dan jalan pikiran
umat Islam pada zaman modern ini.
a. Sumber-Sumber Tafsir Pada Periode Modern
Para mufassir di zaman modern ini dalam menafsirkan ayat
ayat Al-Qur'an juga bertitik tolak dari pembaruan Islam
sehingga kebanyakan mereka selalu mengaitkan ayat-ayat Al
Qur'an dan ajaran-ajarannya dengan keadaan sosial
kemasyarakatan pada zaman ini, dengan menjelaskan bahwa
ajaran Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan
kamodernan. Islam adalah agama yang universal, yang sesuai
dengan seluruh bangsa pada semua masa dan di setiap tempat
Oleh karena itu, dalam menafsirkan ayat Al-Qur'an, mereka
menyandarkan penafsirannya pada riwayat dan pendapat
mufassir terdahulu, lalu disesuaikan dengan tuntutan zaman.

10
Ibid, Hlm 17-19

20
Sayid Muhammad Rasyid Ridha, misalnya, dalam
muqaddimah tafsir al-Manar mengatakan sebagai berikut.
Kitab ini adalah satu-satunya tafsir yang mengumpulkan antara
nas yang sahih dan akal sehat yang menjelaskan hukum syara’
dan ketentuan Allah pada ciptaan-Nya dan keadaan Al – Quran
sebagai pedoman hidup manusia pada semua masa dan
diseluruh tempat yang menjembatani antara petunjuknya
dengan masalah yang dihadapi kaum muslimin pada masa kini.
Jadi sumber-sumber tafsir pada zaman ini adalah perpaduan
antara riwayah dan dirayah.

b. Bentuk, Metode, Sistematika, dan Ruang Lingkup Tafsir


Periode Modern
Bentuk tafsir abad modern ini tidak jauh berbeda dari
bentuk tafsir mutaakhirin, yaitu perpaduan antara riwayah
(masur) dan dirayah (ra'yi). Dari segi tafsirannya periode
modern memakai metode tafsir tahlili dan komparatif
(muqarin), sama dengan pola yang dianut pada periode
mutaakhirin. Pada periode ini muncul pula metode baru yang
disebut dengan metode maudhu'i (tematik), yaitu menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur'an berdasarkan topik atau tema yang dipilih.
Semua ayat yang berkaitan dengan topik tersebut dihimpun.
kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari segala
aspeknya. Di antara tafsir yang masuk kategori ini, misalnya al-
Insan fi Qur'an dan al-Mar'ah fil Qur'an, kedua-duanya
karangan Syekh Abbas Mahmud al-Aqqad; dan ar-Riba fil
Qur'an karangan al-Maududi. 2 Menurut Prof. M. Quraisy
Syihab metode ini dipelopori oleh seorang Guru Besar Tafsir di

21
Universitas Al-Azhar, Mesir, al-Ustadz Prof Dr. Ahmad al-
Kuumy, seorang mahaguru generasi mufasir (Ustadz al-Jil).
Sistematika tafsirnya sebagian besar menggunakan
sistematika tafsir yang telah disebutkan, yaitu menafsirkan Al
Qur'an dari awal Surat Al-Fatihah sampai akhir Surat An-Nas
secara berurutan, kecuali yang mengikuti metode tematik. Di
dalam metode yang terakhir ini, diambil ayat-ayat yang
berbicara tentang judul yang bersangkutan saja, tidak semua
ayat Al-Qur'an ditafsirkan.
Ruang lingkup penafsirannya lebih banyak diarahkan pada
bidang adab (sastra, budaya) dan bidang sosial
kemasyarakatan. terutama politik, dan perjuangan.

c. Para Mufasir Periode Modern


Syekh Jamaluddin al-Afghani (w. 1314 H/1896 M) adalah
orang pertama yang menyebarkan paham modernisasi dan
menyeru untuk menghidupkan kembali pemikiran keagamaan
Islam yang rasional dan objektif. Pemikirannya diteruskan oleh
Syekh Muhammad Abduh (w. 1323 H/1905 M) yang
menggerakkan perbaikan pendidikan agama dan masyarakat.
Beliau inilah yang menjadikan tafsir Al-Qur'an sebagai
landasan dasar gerakan modernisasi Islam dan sebagai alat
untuk menghidupkan kembali pemikiran pendidikan Islam dan
perbaikannya.
Syekh Muhammad Abduh telah memberi semangat kepada
para mufassir sesudahnya yang mengikuti jejak beliau untuk
meneruskan gerakan perjuangan pemikiran modern itu.
Di antara tokoh tafsir pada zaman modern ini ialah sebagai
berikut .
1. . Syekh Muhammad Abduh (w. 1905 M) mengarang Tafsir
Juz Amma.

22
2. Sayid Muhammad Rasyid Ridha (w. 1354 H/1935 M)
redaktur majalah Al-Manar melanjutkan penafsiran
gurunya, Abduh (Tafsir Al-Manar. Ia menulisnya sampai
surat 12: Yusuf), dalam uraian yang ilmiah dan mengikuti
pola salaf, yaitu berdasarkan riwayat, tetapi lebih maju,
modern, dan penuh dengan petunjuk kemasyarakatan dan
perjuangan.
3. Syekh Jamaluddin Al-Qasimi (w. 1914 M) menulis Tafsir
Mahasinut-Ta'wil yang mempunyai wawasan luas dengan
menghimpun pendapat para mufasir terdahulu, dan
tafsirnya pun dianggap sebagai tafsir yang bersih dari
khurafat
4. Syekh Muhammad Mustafa al-Maragi (w. 1945 M) pernah
menjadi Syekh Al-Azhar dan telah menafsirkan beberapa
surat, seperti Al-Hujurat dan Al-Hadid dengan cara ilmiah
dan modern serta mudah dipahami.
5. Syekh Ahmad Mustafa al-Maragi (w. 1952 M) menulis
tafsir lengkap seluruh ayat Al-Qur'an dengan nama Tafsir
al-Maraghi. Tafsir ini modern dan praktis.
6. Syekh Mahmud Syaltut, mantan Syekh al-Azhar yang
menulis tafsir dengan cara modern dengan judul Tafsir al
Qur'anul-Karim.

7. Prof. Sayyid Quthb menulis Tafsir fi Zhilalil-Qur'an dan


buku lain mengenai Al-Qur'an, seperti Masyahidul
Qiyamah fil-Qur'an dan At-Taswir al-Fanni fil-Qur'an
8. Prof. Ali As-Sabuni menulis kitab Rawai'ul-Bayan, Tafsir
Ayatul-Ahkam Minal-Qur'an yang sistematis dan modern,

23
serta kitab Sofwatut-Tafasir yang meringkas kitab-kitab
tafsir yang besar.11
2.1.5 Problematika Tafsir Dari Masa Ke Semasa
1. Problematika dalam kalangan tafsir dari Para Ahli Bahasa Arab
Keahlian seseorang dalam bidang studi tertentu akan banyak
mempengaruhi cara penafsirannya terhadap al-Quran: dan kadang-
kadang penafsiran itu kurang
sesuai atau bahkan pembahasannya sama sekali tidak terarah.
Yang paling jelek adalah para mufassir yang abg terlalu
mengistimewakan ilmu Nahwu Tata Bahasa (Tata Bahasa Arab)
dengan berbagai macam alirannya, kemudian menganggap tidak benar
aliran aliran lain yang tidak sama
dengan yang dianutnya. Mereka menemukan suatu ayat dalam al-
Quran yang dibaca menurut bacaan (qiraat) yang konsisten dengan
bacaan Nabi Muham
mad saw., kemudian menganggapnya salah karena bacaan itu tidak
sesuai dengan aliran (mazhab) Nahwu yang mereka anut.
Bahkan lebih dari itu, mereka mencela orang yang membaca
dengan bacaan tersebut dan sekaligus menganggapnya sebagai orang
yang tidak mengetahui keindahan dan keanggunan susunan kalimat al-
Quran. Di antara mufassir-mufassir yang melakukan penyimpangan
seperti ini adalah Az-Zamakhsyari (wafat tahun 538 H) dengan kitab
tafsirnya Al-Muharra al Wajiz fi Tafsiri Kitabil 'Aziz.
2. Problematika dalam Tafsir dari orang – orang yang tidak
menguasai kaedah – kaedah bahasa Arab
Ada sekelompok orang yang berbicara tentang dan menulis
tafsir al-Quran padahal mereka tidak memiliki pengetahuan yang
memadai tentang kaidah kaidah dan aturan Bahasa Arab, termasuk
pengetahuan tentang pola pembentukan kata dan konjugasi
(tasrifnya. Karena itu, mereka cenderung melakukan

11
Ibid, Hlm 20- 23

24
penyimpangan dalam menafsirkan al-Quran dan memberikan arti
etimologis suatu lafal al-Quran dengan arti lain yang tidak sesuai,
baik dalam arti yang hakikinya maupun dalam arti kiasannya.

Penaksiran semacam ini antara lain dikutip oleh Ibnu Qutaibah dari
sekelompok Mu'tazilah yang menafsirkan firman Allah dalam surat
2: 255:

‫وسع كرسية السموات واْلرض‬

Dengan pengertian : “Ilmu Allah meliputi langit”. Penafsiran ini


dikuatkan dengan sebuah syair yang tidak terkenal sebagai berikut:

‫وَّل يكرسيء علم هللا مخلوق‬

Yang artinya: "Tidak ada satu makhluk pun makhluk pun yang
mengetahui ilmu Allah"

Ibnu Qutaibah menyatakan: "Seakan-akan syair itu menurut


Mu'tazilah berbunyi:

‫وَّليعلم علم هللا مخلوق‬

Yang berarti, "makhluk tidak mengetahui ilmu Allah"


padahal dalam kata-kata kursi ( ‫ ) كرسي‬tidak terdapat hamzah,
sedangkan dalam kata yukrisi-u' ( ‫ ) يكرسيء‬terdapat hamzah". Dia
menjelaskan bahwa yang mendorong orang-orang Mu'tazilah
menggunakan pemahaman seperti itu dengan meninggalkan makna
yang sebenarnya adalah karena mereka tidak yakin bahwa Allah itu
mempunyai kursi atau singgahsana, dan me nurut mereka 'arsy (

25
‫) عرش‬mempunyai pengertian yang berbeda dengannya. Lebih
lanjut Ibnu Qutaibah
menentang penafsiran orang Mu'tazilah ini sebab bagi orang Arab
arsy selamanya difahami dengan singgahSana atau atap. Ibnu
Qutaibah menguatkan bantahannya itu dengan beberapa dalil dari
al-Quran dan syair syair Arab klasik.12

3. Problematika Dalam Tafsir Dikalangan Para Ilmuwan


Di samping ilmu agama al-Quran juga berisi keterangan-
keterangan tentang ilmu-ilmu duniawi dengan segala macam jenis
dan coraknya. Sebagai akibatnya mereka mencoba mencari istilah-
istilah keilmuan dari dalam pernyataan-pernyataan al-Quran,
berusaha mengungkapkan semua ilmu kealaman (natural
sciences,ulumul kaun) dari dalam nash-nashnya bahkan
menegaskan bahwa semua ilmu yang kita dapati sekarang hingga
hari kiamat kelak telah diungkapkan dalam al-Quran dan bisa kita
gali daripadanya.
Orang yang paling terkenal mengikuti orientasi penafsiran
al-Quran seperti ini adalah Imam Al Ghazali. Dia juga dikenal
paling gigih berusaha mem
populerkannya di tengah-tengah pengkajian Islam yang bercorak
ilmiah.
Bila kita mengacu kitabnya, Ihya Ulumuddin Al-Ghazali
memasukkan fasal IV, di antara fasal-asal lainnya yang
membicarakan tata krama membaca Al-Quran mengenai
pemahaman dan penafsiran al- Quran secara rasional tanpa
menggunakan naqal (Quran atau Hadis]. Pada fasal tersebut
dikutipnya beberapa pendapat dari para ulama yang menyatakan
"Bahwa al-Quran mengungkapkan 77.200 macam ilmu

12
Dr.Muhammad Husein Adz Dzahabi, Penyimpangan – Penyimpangan Dalam
Penafsiran Al-Quran, Rajawali Pers, Jakarta Utara, 1993, Hlm 39-47

26
pengetahuan karena setiap kata merupakan sebuah ilmu; dan
jumlah tersebut berlipat empat kali karena setiap kata selain
memiliki sebuah makna lahir dan sebuah makna batin juga
memiliki batas akhir dan permulaannya". Kemudian dia menyebut
sebuah hadits dari Ibnu Mas'ud yang menyatakan [ Bahawa Nabi
Pernah Bersabda ]

‫من أراد علم اْلولين واْلخرين فليتد بر القراَن‬

Arti: Barang Siapa ingin memperoleh pengetahuan tentang


beberapa permulaan dan beberapa kesudahan kajilah al-Quran
dengan seksama. ... Kemudian berbicara panjang lebar dan
akhirnya menyatakan bahwa "segala sesuatu yang sulit difahami
dengan penginderaan dan penalaran sehingga menimbulkan
berbagai teori yang berlawanan satu sama lain sebenarnya sudah
dikemukakan dan dirumuskan dalam al-Quran dan semuanya
dapat diketahui oleh para pemikir.13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara kesimpulan, pertumbuhan dan perkembangan ilmu tafsir
berasal daripada baginda Nabi Muhammad Saw karena baginda adalah
mufassir awal kemudian dilanjutkan pula kepada Sahabat, Tabi’in dan
Tabi’tabi’in. Setelah berakhirnya generasi generasi pemula penafsir Al-
Quran maka muncullah periode ulama mutaqaddimin dan ulama
mutaakkhirin. Setelah daripada itu, maka muncullah periode ulama
modern sehingga kini.
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu tafsir ini
maka muncul beberapa masalah atau problematika seiring dengannya.
Antara yang dapat dijelaskan pemakalah adalah problematika dalam

13
Ibid, hlm 109 - 110

27
kalangan tafsir daripada kalangan para ahli bahasa Arab , problematika
dalam tafsir dari orang – orang yang tidak menguasai kaedah – kaedah
bahasa Arab dan problematika dalam tafsir di kalangan para ilmuwan.
Demikian, pengajaran yang dapat diambil ialah seiring dengan
peredaran zaman, masalah dan maslahat yang ditempuh itu semakin
berubah rubah dan sering mendatangkan maslahat yang baru. Oleh itu,
munculnya perkembangan ilmu tafsir Al -Quran daripada Nabi
Muhammad Saw hingga ke Ulama modern masa kini dan akibat daripada
hal itu juga terdapat beberapa problematika yang telah ditempuh oleh para
mufassir sepanjang menempuh karier sebagai mufassir pada masa kini.
Pemakalah menyadari masih terdapat kekurangan dan kesilapan di
dalam makalah ini. Justru, pemakalah amat mengharapkan komentar,
kritikan serta saranan agar makalah ini akan lebih baik di masa hadapan
kelak.

DAFTAR PUSTAKA
Drs.H.M.Shalahuddin Hamid,MA, Study Ulumul Quran, Pt Intimedia
Ciptanusantara,Jakarta Selatan,
Drs.H.Moh.Rifai, Mukaddimah Al-Quran Dan Tafsirnya,Cv
Wicaksana,Semarang,
Nur Kholis M.Ag, Pengantar Studi Al- Quran dan Hadis, Teras, Yogyakarta, 2008
Prof. Dr.T.M.Hasbi Ash – Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran
Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta,1977

28
Prof.Dr.Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Quran Di Indonesia, Pt Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, Solo,2003
Drs.Sahilun A.Nasir, Ilmu Tafsir Al-Quran,Al-Ikhlas,Surabaya,Indonesia,1987,
Dr.Muhammad Husein Adz Dzahabi, Penyimpangan – Penyimpangan Dalam
Penafsiran Al-Quran, Rajawali Pers, Jakarta Utara, 1993

29

Anda mungkin juga menyukai