Anda di halaman 1dari 11

1

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya,
karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda
dari yang haq dan bathil.Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah Saw.dan
berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi
menjadi lima periode yaitu:
1.Pada masa nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam
2.Pada masa sahabat
3.Pada masa Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in
4.Pada masa klasik
5.Pada masa modern
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana perkembangan tafsir pada masa Rasul?
2. Bagaimana perkembangan tafsir pada masa Sahabat?
3. Bagaimana Perkembangan tafsir pada masa tabi’in dan Tabi’
Tabi’in?
4. Bagaimana perkembangan tafsir pada masa klasik?
5. Bagaimana perkembangan tafsir pada masa modern?
C.Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa Rasul.
2. Untuk mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa sahabat.
3. Untuk mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa tabi’in
dan Tabi’ Tabi’in.
4. Untuk mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa klasik.
5. Untuk mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa modern.
2

BAB II
PEMBAHASAN
A.Penafsiran Pada Masa Nabi Muhammad Shalallahu ‘laihi wassallam
a. Kondisi Penafsiran Pada masa Nabi Muhammad Saw.
beliau berfungsi sebagai mubayyin atau mufassir (pemberi penjelasan) kepada
para Sahabat-Sahabatnya tentang kandungan dari alQur`an khususnya tentang ayat-
ayatnya belum dipahami.1Hal ini dijelaskan dalam QS.an-Nahl [16] : 44:

َ‫ل ِإلَي ِْه ْم وَ لَ َعلَّ ُه ْم َيتَ َف َّكرُ ون‬ ‫َأ‬


ِ ‫ات وَ ال ُّزبُ ِر ۗ وَ ْنزَ ْل َن ا ِإلَ ْي كَ ال ِّذ ْكرَ ِلتُ َبيِّنَ ِللن‬
َ ‫َّاس َم ا نُ ِّز‬ ِ ‫ِبا ْل َبيِّ َن‬
Artinya: “Dan kami turunkan kepadamu al-Qur`an agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah di turunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.”

b. Karakteristik Penafsiran Pada Masa Nabi Saw.


1) Menafsirkan al-Qur`an dengan al-Qur`an
Ketika beliau ditanya tentang siapakah “orang-orang yang diberi nikmat?”
ْ ‫ص َراطَ ا ْل ُم‬
sebagaimana disebutkan dalam QS.al-Fātiḥah [1] : 6-7? ‫ستَقِي َم‬ ِّ ‫ا ْه ِدنَا ال‬ 
ِ ‫ص َراطَ الَّ ِذينَ َأ ْن َع ْمتَ َعلَ ْي ِه ْم َغي ِْر ْال َم ْغضُو‬
َ‫ب َعلَ ْي ِه ْم َواَل الضَّالِّين‬ ِ
Artinya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang Engkau beri
nikmat” Nabi Muhammad Saw. menjelaskan dengan QS. An-Nisā’ [4] ayat 69:
ۚ َ‫الص ا ِلحِين‬
َّ َ‫ش َهدَا ِء و‬ ّ ِ َ‫وَ مَنْ ي ُِط ِع اللَّ َه وَ ال َّرسُو َل َفُأو ٰلَِئكَ مَعَ الَّذِينَ َأ ْن َع َم اللَّ ُه عَ لَي ِْه ْم مِنَ الن َِّب ِيّينَ و‬
ُّ ‫الص ِ ّديقِينَ وَ ال‬

‫وَ َحسُنَ ُأو ٰلَِئكَ رَ ِفيق‬


Artinya: “Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu:
NabiNabi, para Shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh.
Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”.
2) Menafsirkan al-Qur`an dengan Ilmu Nabi Muhammad Saw.
Nabi Muhammad Saw. adalah Nabi dan Rasul Allah Swt. Seluruh perbuatan dan
perkataan beliau dijaga dan selalu dalam bimbingan Allah Swt. Hal ini dipertegas
oleh Allah Swt. dalam QS. an-Najm [53] : 3-4:
Artinya: “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya (Muhammad). Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).”

1
Kementrian Agama, Tafsir-Imu Tafsir(Jakarta:Kementrian Agama 2014 ),Hal.35.
3

Hal ini juga menjadi dasar bahwa walaupun penjelasan yang berasal dari beliau
sendiri juga mendapat petunjuk dari Allah Swt. Beberapa contoh dari penafsiran
beliau adalah penjelasan beliau tentang tata cara ẓalāt sebagaimana diperintahkan
Allah Swt. dalam QS. al-Baqarah [2] : 43:
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang
yang ruku”.2
Perintah mendirikan shalat tersebut masih berbentuk umum yang memerlukan penjelasan,
seperti tentang bagaimana tata cara ṣalāt, bagaimana bacaan-bacaannya dan lain-lain. Maka
untuk menjelaskannya Rasulullah naik ke atas bukit kemudian melakukan ṣalāt hingga
sempurna, lalu bersabda: “Shalatah kamu, sebagaimana kamu telah melihat aku shalat” (HR
Al-Bukhari).
B.Penafsiran Pada Masa Sahabat
Setelah Nabi Saw meninggal dunia, metode para sahabat dalam menafsirkan suatu
ayat alQur’an lebih dulu mencarinya dalam al-Qur’an, apakah ada ayat yang bisa
menafsirkannya atau tidak ada sama sekali. Kemudian setelah mereka tidak menemukan ayat
yang bisa menafsirkannya, mereka beralih ke sunnah atau hadis-hadis Nabi Saw, sebagai
contoh, penafsiran atas kalimat alHajj al-Akbar dalam (QS. al-Taubah [09]: 3) yang
artinya:“Dan (Inilah) suatu permakluman daripada Allah dan rasul-Nya kepada umat
manusia pada hari Haji Akbar.”
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam al-Turmuzi disebutkan:
Yang artinya: Dari ‘Alî Ra., beliau berkata: “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.
tentang ayat ‘Yaum al-Hajj al-Akbar’, kemudian beliau menjawab: (Hari tersebut adalah)
Hari Raya Nahr.”
Kemudian, apabila mereka tidak menemukan ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Saw yang
bisa menafsiri, mereka melakukan penalaran dan ijtihad dengan segala kemampuan yang
dimiliki mereka. Dalam berijtihad, sahabat telah memiliki beberapa sumber yang bisa
dijadikan sebagai bahan untuk melakukan ijtihad. Di antaranya adalah:
1. Pengetahuan yang memadai tentang kosa kata, gramatikal dan sastra bahasa
Arab. Hal ini dapat membantu mereka guna mengetahui tafsir sebuah ayat yang
ada kaitannya dengan pemahaman akan kebahasaan.
2. Pengetahuan akan adat istiadat dan moral bangsa Arab yang bisa
membantudalam menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan kebiasaan dan
akhlak mereka,seperti penafsiran (QS. alBaqarah [02]: 189)
2
Al-Qur’an
4

artinya:“Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya,


akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kamu
beruntung.”
Pada masa jahiliah, orang-orang Arab yang berihram pada waktu haji
memasuki rumah dari belakang bukan dari depan. Dengan pengetahuan atas
kebiasaan (adat istiadat) dan moral bangsa Arab jahiliah tersebut, para sahabat merasa
terbantu dalam menafsirkan ayat ini.
3. Pengetahuan tentang tingkah dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nashrani di
JazirahArab pada saat turunnya al-Qur’an. Hal ini sangat membantu dalam
menafsiri ayatayat yang menceritakan orang-orang Yahudi dan Nashrani serta hal-
hal yang merekarencanakan dan lakukan terhadap orang Islam.
4. Pengetahuan tentang asbab al-nuzul (kronologi turunnya sebuah ayat). Dalam
hal ini semua sahabat tentu tidak sama pengetahuannya tentang kronologi
turunnya sebuah ayat. Hanya orang-orang yang sering bersama Nabi Saw. saja
yang banyak mengetahui asbab al-nuzul. Hal ini juga sangat berperan dalam
penafsiran para sahabat atas ayatayat al-Qur’an. Karena pengetahuan akan suatu
sebab bisa menimbulkan pengetahuantentang akibatnya.
5. Kemampuan penalaran dan daya tangkap. Dengan kemampuan ini, para sahabat
bisa menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, meskipun setiap sahabat tidak mesti sama
daya tangkap dan kekuatan intelegensianya.
Pada tahap selanjutnya, sahabat juga menyandarkan sumber penafsiran terhadap
orangorang Yahudi dan Nashrani (Ahli kitab). Rujukan ini dilakukan kalau memang mereka
sudah tidak menemukan apa-apa dalam al-Qur’an dan hadis sebagai landasan dalam
menafsirkan ayat alQur’an. Dalam perujukannya kepada Ahli kitab, sahabat hanya
menanyakan ayat-ayat yang masih ada kaitannya dengan kitab Taurat mupun Injil, seperti
ayat-ayat yang berisi cerita-cerita nabi dan umat-umat terdahulu yang memang di dalam al-
Qur’an dan Hadis tidak dijelaskan secara rinci3.
Kendati demikian, sahabat tidak terlalu banyak merujuk kepada pendapat Ahli kitab dan tetap
memilah-milah apa yang mereka dengar dari Ahli kitab, apakah sesuai dengan akidah dan

3
Muhamad Ali Mustofa Kamal,”Pembacaan Epistemologi Ilmu Tafsir Klasik”,dalammaghza:JurnalSejarah
Perkembangan tafsir volume 01,nomor 01, Januari-juni 2016, (Wonosobo, Jawa tengah: UNSIQ Jawa tengah),
Hal. 70
5

syariat Islam atau tidak. Rujukan terhadap Ahli kitab ini dilakukan hanya untuk mengambil
aspek nasehat (al-‘Izhzhah) dan pelajaran (al-‘Ibrah) yang ada di dalam ayat itu saja.
Dari kalangan sahabat, hanya sedikit yang terkenal sebagai ahli tafsir (mufassir). Hal
ini bisa dimaklumi karena mereka lebih mengandalkan Nabi Saw. untuk menafsirkan sebuah
ayat. Kondisi yang ada saat itu juga tidak terlalu menuntut adanya penafsiran yang berlebih,
yang mencakup semua ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an. Semua itu bisa dilihat dari
sedikitnya jumlah ayat-ayat yang ditafsirkan dan sahabat yang meriwayatkan tafsir pada masa
ini. Beberapa sahabat yang dikenal sebagai ahli tafsir adalah al-Khulafa al-Arba’ah, yakni:
Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin Khattab , Usman bin ‘Affan, Ali bin Abi Talib, Abdullah bin
Mas’ud, Abdullah bin ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Sabit, Abu Musa al-Asy’ari,
Abdullah bin Zubair. Selain kesepuluh orang sahabat tersebut, ada beberapa sahabat yang
pernah meriwayatkan tafsir meskipun sedikit sekali dan penafsirannya pun tidak setenar
kesepuluh orang di atas. Di antara mereka adalah: Anas bin Malik, Abi Hurairah , Abdullah
bin Umar, Jabir bin ‘Abdullah, Abdullah bin Amr bin al-‘Ash, ‘Aisyah binti AbuBakar.
Hakikat penafsiran yang dilakukan para sahabat memiliki ciri tersendiri.
Beberapa ciri tersebut di antaranya adalah:
a. Mereka tidak menafsirkan semua ayat-ayat al-Qur’an. Yang mereka tafsiri adalah
ayatayat yang masih samar, tidak jelas dan sulit dipahami.
b. Perbedaan dalam pemahaman makna di antara mereka relatif sedikit.
c. Mereka mayoritas merasa cukup atas makna-makna yang global dan tidak terlalu
mendalami makna secara terperinci.
d. Mereka membatasi dan mencukupkan diri dengan penjelasan makna bahasa yang
mereka pahami, dengan bahasa yang lebih ringkas.
e. Sedikit sekali penalaran ilmiah yang mereka lakukan dalam masalah hukum-hukum
fikih dan tidak ada motif kefanatikan terhadap mazhab-mazhab agama, karena belum
ada istilah mazhab pada masa ini.
f. Tafsir pada masa ini belum sampai ke taraf pembukuan.
g. Pada masa ini tafsir masih berbentuk riwayat seperti halnya hadis.
C.Penafsiran Pada Masa Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in
Sebagaimana tokoh-tokoh sahabat banyak yang dikenal dalam lapangan tafsir, maka
sebagian tokoh tabi’in yang menjadi murid dan belajar kepada mereka pun terkenal di bidang
tafsir.Para tabi’in berpegang teguh pada sumber-sumber yang ada pada masa sahabat.
Ustad MuhamadHusain:
Dalam memahami Kitabullah, para tabi’in berpegang kepada apa yang ada pada Al-qur’an itu
6

sendiri,keteranagam yang mereka yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal
dari Rasulullah, penafsiran yang mereka terima dari para sahabat berupa penafsiran mereka
sendiri, ketrangan yang diterima para Tabi’in dari Ahli Kitab yang bersumber dari isi kitab
itu sendiri, dan ijtihad serta pertimbangan nalar mereka terhadap Kitabullah.Kitab –Kitab
tafsir menginformasikan kepada kita pendapat Tabi’in tentang tafsir yang mereka hasilkan
melalui ijtihad,dan penafsiran mereka ini tidak sedikitpun bukan berasal dari Rasulullah dan
Sahabat.
Para Tabi’in hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang-orang
semasa mereka.Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap di saat manusia
bertambah jauh dari masa Nabi dan sahabat.Maka para Tabi’in menekuni bidang tafsir unruk
menyempurnakan sebagian kekurangan4. Setelah itu muncullah generasi sesudah Tabi’in,
genersi ini pun telah berusaha menyempurnakan tafsir Al-qur’an secara terus menerus
berdasrkan pengetahuan mereka atas bahasa Arab dan cara bertutur kata, peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada masa turunya Al-qur’an yang mereka pandang valid dan pada alat
pemaham.
Penaklukan Islam semakin luas, Hal ini yang mendorong tokoh-tokoh sahabat
berpindah ke daerah taklukan dan masing-masing mereka membawa ilmu yang mereka
miliki.Dari tangan mereka inilah para Tabi’in belajar dan menimba ilmu, sehingga tumbulah
mazhab.
Di Mekah,misalnya,berdiri perguruan Ibn Abbas, di Medinah, Ubai bin Ka’b, di Irak
berdirilah perguruan Ibn Mas’ud. Merekalah mufasir-mufasir terkenal di kalangan para
Tabi’in di berbagai wilayah islam, dan dari merekalah para Tabi’ Tabi’in (generasi
setelahTabi’in)
Karakteristik Penafsiran Pada Masa Tābi’īn, Tafsir pada masa Tābi’īn mempunyai
ciri:
1.Banyak mengambil sumber dari kisah isrā`īliyyāt. Hal ini karena
banyak ahli kitab yang masuk Islam, dan pikiran mereka masih melekat
ajaran kitab suci mereka khususnya pada hal-hal yang tidak berhubungan
dengan hokum syariat, seperti awal penciptaan dan lain-lain.
2.Mulai muncul banyaknya perbedaan dalam penafiran, jika dibandingkan dengan
masa-masasebelumnya.
3) Munculnya benih-benih perbedaan mazhab.

4
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu qur’an(Jakarta:Litera AntarNUsa 1992), Hal.479.
7

D.PadaMasaKlasik
Setelah periode sahabat beserta tabi’in, perkembangan epistemologi tafsir Mengalami
kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan (kodifikasi) terhadaphadis Nabi
Saw.Gerakan pembukuan ini merupakan kebijakan dan jasa dari penguasa (khalifah)yang
berkuasa pada saat itu (masa akhir dari DinastiUmayyah dan awal Dinasti Abbasiyyah). Pada
awalnya, tabi’in mengumpulkan hadis dari daerah mereka sendiri. Kemudian beberapa
tabiin melakukan perjalanan lintasdaerah untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi Saw.
Pada akhir abad ke-3 H. dan permulaan abad ke-4 H., geliat tafsir mengalami
Perubahan. Dari pembukuan yang masih menjadi satu dengan hadis-hadis selain tafsir,
menuju pembukuan tersendiri yang hanya memuat riwayat-riwayat tafsir dan sesuai dengan
urutan ayat-ayat alQur’an. Ibn Jarir al-Tabari( 310 H.) diakui sebagai orang pertama yang
melakukan terobosan besar ini melalui karyanya Jami’ al-Bayan fî Ta’wil Ay al-Qur’an.
Kemudian disusul oleh AbuBakar Ibn al-Mundzir al-Naisaburi, Ibn Abi Hatim,Abu al-Syaikh
IbnHibbanal-Hakim,AbuBakarMurdawaihdanlainnya5.
Metodologi Tafsir pada generasi ini masih menggunakan metode riwayat(naql atau
aqli) dari hadis Nabi Saw., sahabat maupun tabi’in dan ulama-ulamasetelahnya
lengkapdengan sanadnya.Kebijakan Dinasti Abbasiyyah sangat mendukung terjadinya
pelebaran wilayah kajian tafsir pada periode ini. Pada masa Dinasti
Abbasiyyah,perkembangan keilmuan Islam sangat pesat, sehingga usaha-usaha penulisan
dalam berbagai bidang keilmuan. Mulaiperiode ini dan periode setelahnya, metode tafsir
yang dulu hanya bersandar pada sumber-sumber riwayat hadis Nabi Saw, sahabat dan tabiin,
mulai bergerak menjalarke wilayah nalar-ijtihad (‘aqli). Hakikat penafsiran tidak lagi sekedar
hanya menukil riwayat-riwayat dari para pendahulunya. Ayat-ayat yang tidak atau belum
sempat ditafsiri oleh Nabi Saw, maupun sahabat menjadi sasaran empuk untuk dijadikan
sebagai ladang penafsiran dengan al-ra’yi al-ijtihad. Belum lagi penafsiran-penafsiran pada
hal-hal yang tidak begitu penting kaitannya dengan ayat al-Qur’an. Hakikat tafsir juga
dijadikan sarana pencarian pembenaran (justifikasi) bagi sebagian golongan. Apalagi dengan
maraknya fanatisme bermazhab dalam bidang fikih, aliran-aliran ilmu kalam sampai bidang
gramatika bahasa Arab (nahwu-saraf). Penafsiran yang dilakukan sesuai dengan golongan
atau bidang yang mereka geluti.

Dalam bidang hukum (fiqh) ayat-ayat hukum ditafsiri sedemikian rupa untuk mencari
dalil tentang hukum yang disesuaikan dengan mazhabnya masing-masing dan membantah

5
Ibid, Hal.78.
8

mazhabmazhab yang tidak sependapat dengan mereka. Meskipun mulanya tidak


terkumpulkan dalam satu kitab, tafsir-tafsir hukum kemudian dibuat tersendiri.
E.PadaMasamodern
1.Tafsir al-Quran pada masa Modern

Tafsir kontemporer mulai muncul berkenaan dengan istilah pembaharuanyang sangat gencar
dipopulerkan oleh beberapa ulama yang menginginkan Islamsebagai agama yang sudah sejak
14 abad silam. Pemahaman al-Qur’an yangterkesan “jalan di tempat”. Kuntowijoyo
menyebutkan bahwa Islam perlu dijaga dari kekakuan yangada selama ini. Penjabaran yang
lebih mendalam tentang pemahaman al-Qur’an adalah salah satu substansi agama6.
Sumber, Metode dan Corak serta Karakteristik Tafsir Kontemporer
Ada tiga sumber penafsiran yang sudah masyhur di kalangan paramufassir yaitu:

1. bil Ma’tsur
2. bil Ra’yi
3. bil Isyaari.
Sayyid Rasyid Ridhamengatakan bahwa tafsir kontemporer memiliki perpaduan
bentuk antara bilMa’tsur dan bil Ra’yi atau yang disebut dengan Shahih al-
Manqul wa Sharih alMa’qul (menggunakan riwayat yang benar dan nalar yang
bagus).
Adapun metode yang kerap kali digunakan oleh para mufassirkontemporer
adalah metode maudhu’i dan metode kontekstual. Quraish Shihabmengatakan
pakar yang pertama sekali merintis metode maudhu’i adalah seorangguru besar
dari Universitas al-Azhar yaitu: Ahmad Al-Kuuny. Sedangkanmetode kontekstual
dirintis oleh Fazlur Rahman.
Metode kontekstual setidaknya memiliki tiga definisi penting, yaitu :
a.Upaya pemaknaan dalam rangka mengantisipasi persoalan yang dewasaini yang
umumnya mendesak. Sehingga arti kontekstual identik dengan situasional.
b.Pemaknaan yang melihat keterkaitan masa lalu, dan masa mendatang;dimana
sesuatu akan dilihat dari sudut makna historis dulu, makna fungsional saat ini,
dan memprediksi makna (yang dianggap relevan) dikemudian hari.

6
Muhamad Amin,”Konstribusi Tafsir Kontemporer”,dalam menjawab persoalan umat:jurnal subtantia volume
15 nomor 01, April 2013,(Banda Aceh:Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Banda Aceh), Hal.3.
9

c.Mendudukan antara yang sentral dan yang periferi, dalam arti yangsentraladalah
teks al qur`an, dan yang periferi adalah terapannya. Selain itu jugamendudukan al
qur`an sebagai sentral moralitas.

2. Tantangan Tafsir Alquran di Zaman

Kontemporer Disadari atau tidak, Globalisasi yang melanda dunia memaksa umat
Islam untuk merumuskan kembali berbagai pemikiran keislaman. Pesatnya Teknologi
informasi yang berkembang akhir-akhir ini telah menyebabkan terjadinya perubahan yang
demikian kompleks dalam kelihidupan umat Islam. Pergolakan "emansipasi", "demokrasi"
dan "reformasi" di bagian wilayah lain dunia ini dengan begitu mudah diakses umat Islam,
dan ini sangat mempengaruhi kehidupan umat Islam. Perubahan sosial yang diakibatkan oleh
globalisasi menyebabkan pemikiran-pemikiran keislaman lama mengalami "keterasingan"
karena tidak mampu memberikan jawaban atas berbagai tantangan baru yang muncul
akibatperubahan tersebut. Munculnya tantangantantangan baru ini mengharuskan
dirumuskannya kembali pemikiran-pemikiran Islam agar bisa menjawab tantangan-tantangan
tersebut. Masuknya gagasan feminisme dan pluralisme di kalangan umat Islam juga jelas
tidak bisa dilepaskan dari perkembangan global yang melanda umat Islam. Gagasan tentang
HAM merupakan tantangan berikutnya bagi Tafsir Alquran di zamankontemporer. Berbagai
persoalan sosial dan kemanusiaan berjalin kelindan dengan pencarian jawaban dari Alquran
tentang isu global ini. Serangan Barat yang demikian ini kepada Islam yang agaknya
menyadarkan pemikirpemikir Islam untuk merumuskan kembali ajaran Islam yang secara
moral ternyata sangat membela egalitarianisme dan semangat rahmatan lil ‘alamin. Namun
yang sesungguhnya yang lebih menggerakkan mereka adalah tantangan dunia modern yang
menuntun pelaksanaan Hak Asasi Manusia secara menyeluruh.

3. Standar Validitas Tafsir Kontemporer

Menurut Thomas Kuhn, sebagaimana dikutip oleh Ian Barbour, teori dalam sains bergantung
pada paradigmanya7.Oleh karena itusebuah paradigma dalam setiap disiplin ilmumenempati
poisisi penting.karena meniscayakan adanya asumsi metodologis. Asumsiinilah yang akan
dipergunakan dalammenganalisa, ia berupa totalitas premis-presmis danmetodologis yang
menentukan suatu studiilmiah, serta dasar untuk menyeleksi problemdan pola untuk
memecahkan problem-problemriset. Selain itu, paradigma juga bisa dimaknaisebagai
7
Eni Zulaiha,”Tafsir kontemporer:Metodologo, paradigma, dan Standar Vasidalitasnya”, dalam Sejarah
Perkembangan Tafsir :jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, volume 02, nomor 01, Juni 2013,(Bandung:UIN
Sunan Gunung Djati Bandung),Hal.91.
10

seperangkat pra-anggapan konseptual,metafisik, dan metodologi dalam tradisi kerjai


lmiah.mufasir kontemporer jugamem berikan andil besar dalam menentukan :
1) Tafsir itu harus bersifat solutif danresponsif pada persoalan dan kepentingan
umat.
2) harus mengacu padaspirit Alquran dan prinsip nilai universal dalam Al-quran.
3) tafsir sebagai sebuah pemikiran manusia yang tentatif dan relatif
4) tafsir sebagai sebuah produk ilmiah maka harus ada kesesuaian antara hasil tafsir
dengan proposisi – proposisi yang dibangun sebelumnya.

Metode tafsir kontemporer umumnya tematik dan bersumber pada tafsir bi al-Ra‟yi
(tafsir rasional).
11

BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Dari penjelasa di atas maka penulis menyimulkan bahwa sejarah perkembangan tafsir yaitu:
1.Pada Masa Nabi Saw.
Nabi Muhammad Saw. Menafsirkan Al-qur’an dengan Al-qur’an dan
menafsirkan Al-qur’an dengan ilmu yang beliau punya. Nabi Muhammad Saw. Juga
berfungsi sebagai mubayyan dan muqayyid.
2.Pada Masa Sahabat.
Para sahabat menafsirkan dengan ilmu, pemahaman bahasa, keyakinan yang kuat,
dan apabila itu semua tidak mendapatkan hasil yang
memuaskan maka mereka melakukan ijtihad.
3. Pada Masa Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in.
Mereka hanya menfsirkan ayat-ayat yang sulit dipahami oleh orang-orang semasa
mereka.
4. Pada Masa KlasikMereka mulai melakukan pembukuan dan memisah antara Al-
qur’an dan hadits, penafsiram pada masa ini masih kurang menedetail.
5. Pada Masa Modern Era modern juga mencatat adanya arah penafainm
kesusastraan di dalam menafsirkan al-Qur'an dalam kedudukannya sebagai
suatu teks suci yang berbahasa Arab.Kecenderunngan ini menjelaskan berbagai
macam kemukjizatan dari segi al-bayan di Dalam al-Qur'an.

B.SARAN
Demikian pokok bahasasan sejarah perkembangan tafsir, besar harapan kami makalah ini
dapat bermanfaat bagi kalangan banyak. Karena keterbatasan pengetahuan dan referensi ,
penulis meyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna , oleh karena itu saran dan
kritik yang membangun sangat diharapkan agar makalah inidapat disusun menjadi lebih baik
kedepannya.

Anda mungkin juga menyukai