Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak sekali berbagai pendapat mengenai Al-Qur’an baik dari
pengertian, perkembangan, serta penulisan Al-Qur’an. Selain itu juga, masih
banyak seseorang yang mengaku beragama islam dan berpedoman kitab Al-
Qur’an namun belum mengerti dan paham betul mengenai Al-Qur’an. Maka
dari itu beberapa ahli membuat suatu kesepakatan mengenai ilmu yang
berkaitan dengan Al-Qur’an yang dinamakan Ulumul Qur’an.
Dari segi turunnya Al-Qur’an dan penulisan Al-Qur’an terdapat pula
beberapa perbedaan pendapat para ahli. Dari beberapa perbedaan pendapat
tersebut, para ahli kemudian mengkaji lebih mendalam dari segi pengertian
Al-Qur’an, sejarah turunnya Al-Qur’an, penulisan serta rasm Al-Qur’an pada
masa Nabi Muhammad SAW serta Khulafaur Rasyidin dan bagaimana proses
penyempurnaan Al-Qur’an pada masa setelah para Khulafaur Rasyidin telah
wafat.

B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam makalah ini akan
dibahas beberapa rumusan masalah yaitu sebagai berikut:

1. Apa definisi Al-Qur’an?

2. Bagaimana hikmah Qur’an yang diwahyukan secara berangsur-angsur?

3. Bagaimana Pengumpulan Al-Qur’an ( jam’ Al-Qur’an) ?

4. Apa definisi Rasm Al-Qur’an ?

C. Tujuan
Dari pembahasan rumusan masalah diatas kita mempunyai tujuan
diantaranya:
1. Untuk mengetahui definisi Al-Qur’an.

1
2. Untuk mengetahui hikmah Qur’an yang diwahyukan secara berangsur-
angsur.
3. Untuk mengetahui Pengumpulan Al-Qur’an ( jam’ Al-Qur’an).
4. Untuk mengetahui definisi Rasm Al-Qur’an.

D. Manfaat penulisan makalah


Dalam penulisan makalah ini,dapat diambil manfaat sebagai
berikut:
1. Bagi penulis yaitu dengan pembuatan makalah ini,penulis dapat
mengetahui sejarah turun dan penulisan Al-Qur’an.
2. Bagi pembaca yaitu dengan adanya makalah ini,diharapkan dapat
memberikan dan menambah pengetahuan yang lebih bagi pembaca tentang
sejarah turun dan penulisan Al-Qur’an.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Al-Qur’an
Quraan menurut pendapat yang palig kuat seperti yang dikemukakan Dr.
Subhi Al Salih berarti “bacaan”, asal kata qaraa. Qara'a mempunyai arti
mengumpulkan dan menghimpun.1 Allah berfirman :

"Sesungguhnya atas tangguhan kamilah mengumpulkan nya (dalam


dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya." (Q.S. Al-Qiyamah:17-18)

Qur'an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada


Muhammad saw. Sehingga Qur'an menjadi nama khas kitab itu, sebagai nama
diri. Dan secara gabungan kata itu dipakai untuk nama Qur'an secara
keseluruhan, begitu juga untuk penamaan ayat ayatnya.

Sebagian ulama menyebutkan bahwa penamaan kitab ini dengan nama


qur'an diantara kitab kitab allah itu karena kitab -kitab Allah itu karena kitab
ini mencakup inti dari kitab-kitab Nya, bahkan mencakup inti dari semua
ilmu.

Para ulama menyebutkan definisi Qur'an yang mendekati maknanya dan


membedakan dari yang lain dengan menyebutkan bahwa: "Qur'an adalah
kalam atau Firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw. yang
pembacaannya merupakan suatu ibadah.

"Katakanlah :sekiranya lautan menjadi tinta untuk menuliskan Firman


tuhanku, akan habislah lautan sebelum Firman Tuhanku habis ditulis;
sekalipun kami berikan tambahannya sebanyak itu pula. "(Q.S Al-kahfi:109).

1
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Qur’an. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: Mahkota,
1989), 13

3
Q.S. Al-A'raf ayat 204

Dan apabila dibacakan qur'an, maka dengarlah dan perhatikanlah dengan


tenang agar kamu mendapat rahmat.

Nama-nama Al-Qur’an :

Qur'an :

Q.S. Al-isra' ayat 9

Sesungguhnya Qur'an ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus
dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan
amal shaleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.

Kitab :

Q.S. Al-anbiya’ ayat 10

Sesungguhnya telah Kami turunkan kepadamu al-kitab yang di dalamnya


terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada
memahaminya?

Furqan:

Q.S. Al-furqan ayat 1

4
Mahasuci Allah yang telah menurunkan al-furqan kepada hambanya, agar
dia menjadi pemberi peringatan kepada semesta alam.

Zikir:

Q.S. Al-hijr ayat 9

Sesungguhnya kamilah yang telah menurunkan az-zikr (Qur'an), dan


sesungguhnya kamilah yang benar-benar akan menjaganya.

Tanzil :

Q.S. Asy-syu'ara' ayat 192

Dan sesungguhnya Qur'an ini tanzil (diturunkan) dari tuhan semesta alam.

Qur'an dan al-kitab lebih populer dari nama nama yang lain. Dalam hal ini
Dr. Muhammad Abdullah Daraz berkata: "Ia dinamakan Qur'an karena ia
"dibaca " dengan lisan, dan dinamakan al-kitab karena ia "ditulis" dengan
pena. Kedua nama ini menunjukkan makna yang sesuai dengan
kenyataannya."2

Penamaan qur'an dengan kedua nama ini memberikan isyarat bahwa


selayaknya ia dipelihara dalam bentuk hafalan dan tulisan. Apabila diantara
salah satunya ada yang yang melenceng, maka yang lain akan
meluruskannya. Kita tidak dapat menyadarkan hanya kepada hafalan seorang
sebelum hafalannya sesuai dengan tulisan yang telah disepakati oleh sahabat,

2
Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Surabaya: Litera Antar Nusa, 2014). 18-24

5
yang diwakilkan kepada kita dari generasi ke generasi menurut keadaan
sewaktu dibuatnya pertama kali. Dan kita pun tidak dapat menyadarkan hanya
kepada tulisan penulis sebelum tulisan itu sesuai dengan hafalan tersebut
berdasarkan isnad yang sahih dan mutawatir.3

Dengan penjagaan ganda ini yang oleh Allah telah ditanamkan kedalam
jiwa umat Muhammad untuk mengikuti langkah Nabi-Nya, maka Qur'an tetap
terjaga dan terjamin terpeliharanya Qur'an, seperti difirmankan-Nya dalam
Surah Al-Hijr ayat 9.

Dengan demikian Qur'an tidak mengalami penyimpangan, perubahan dan


keputusan sanad seperti pada kitab-kitab terdahulu.

Allah telah melukiskan Qur'an dengan beberapa sifat, di antaranya:

 Nur(cahaya)

 Huda(petunjuk) Syifa(obat), Rahmah(Rahmat) dan Mau'izah(nasihat)

 Mubin(yang menerangkan)

 Mubarak(Yang diberkati)

 Busyara(khabar gembira)

 'Aziz(yang mulia)

 Majid(yang dihormati)

 Basyir(pembawa khabar gembira).

B. Hikmah diwahyukannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur


Q.S. Al-Furqan:32

6
Berkatalah orang-orang kafir:”Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan
kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu
dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).

Q.S. Al-Isra’:106

Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar


kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami
menurunkannya bagian demi bagian.

Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dalam masa 22 tahun, 2


bulan, 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah.

Hikmah Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur antara lain;

a. Hikmah pertama: Menguatkan atau meneguhkan hati Rasulullah


saw.Rasulullah saw. telah menyampaikan dakwahnya kepada manusia,
tetapi ia menghadapi sikap mereka yang membangkang dan watak yang
begitu keras. Ia ditantang oleh orang-orang yang berhati batu, berperangai
kasar dank eras kepala. Mereka senantiasa melemparkan berbagai macam
ancaman dan gangguan kepada Rasul. Padahal dengan hati tulus ia ingin
menyampaikan segala yang bai kepada mereka, sehingga dalam hal ini
Allah mengatakan dalam surah Al Kahfi ayat 6

Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena


bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak
beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).

b. Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan. Orang akan enggan


melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu

7
diturunkan sekaligus banyak.

c. Turunnya suatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan


lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati. Dengan menyesuaikan
kondisi, ayat diturunkan sesuai dengan kondisi yang terjadi di tempat
tersebut yang bisa menjadi pedoman di kemudian hari.

d. Berinteraksi dengan masyarakatnya agar sesuai dengan kemaslahatan dan


perkembangan masyarakat manusia, Al-Qur’an turun sesuai kondisi sosial
dan kebutuhan masyarakat, sehingga Nabi SAW dapat menjelaskannya,
dan masyarakat mampu memahami, dan menghayati dengan
mengamalkannya4

C. Jam' Al-Qur'an.
1. Pengertian Jam' Al-Qur'an.
Di dalam kamus 'Ulum al-Qur'an dikenal istilah Jam' al-Qur'an. Istilah ini,
menurut Dr. Shubhiy Shalih dalam Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an mempunyai
dua pengertian, yaitu al-hifzhu (menghafal) dan al-kitabah, yakni menulis al-
Qur'an pada benda-benda yang dapat ditulis.5
Istilah Jam' al-Qur'an bisa juga digunakan untuk salah satu pengertian
dibawah ini:
a. Menghafal al-Qur'an di lubuk hati. Oleh karena itu, para penghafal al-
Qur'an disebut juga Jamma' al-Qur'an.
b. Menuliskannya pada alat-alat yang tersedia, akan tetapi ayat-ayat dan
surah-surah tersebut terpisah-pisah; atau ayat-ayatnya tersusun, tetapi
surah-surahnya terpisah-pisah. Masing-masing surah tertulis pada
lembaran-lembaran kulit.
c. Menuliskannya secara bersambung ayat-ayatnya dan tersusun surah-
surahnya di dalam satu mushhaf.
d. Memindahkan dan menuliskannya berdasarkan satu qira'at yang
mutawatir di dalam suatu mushhaf.

4
Prof. Dr. Rosihon Anwar,Ulum quran, (Jakarta:Pustaka Setia, 2015), 48-49.
5
Acep Hermawan, M. Ag. Ulumul Qur’an,(Ilmu untuk Memahami Wahyu. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2011), 64-65.

8
Aplikasi pengertian-pengertian tersebut berjalan lebih dari satu periode.
Untuk pengertian pengumpulan yang pertama, yaitu penghafalan di lubuk
hati, maka dada Rasulullah SAW dan dada-dada para sahabat RA merupakan
lauh (tempat menulis) yang di dalamnya terukir al-Qur'an pada masanya.
Penghafalannya telah dilakukan oleh ratusan orang muslim.
Pengertian yang kedua, terlaksana pada masa Rasulullah SAW dan pada
masa sebagian sahabat, sedangkan pengertian yang ketiga terlaksana pada
masa Abu Bakar RA, setelah wafatnya Rasulullah SAW. Adapun pengertian
yang keempat, adalah pengertian yang dilakukan oleh khalifah Utsman
bin'Affan RA.6
2. Penghimpunan Al-Qur'an dalam Arti Penghafalan pada Masa
Rasulullah SAW.
Al-Qur'an turun kepada Nabi SAW. Mulanya, perhatian beliau tertuju
sepenuhnya kepada penghafalan terhadapnya, kemudian beliau
membacakannya kepada orang-orang, sedikit demi sedikit agar mereka juga
mampu menghafalnya dengan baik. Pertimbangannya yang sangat mendesak
adalah karena beliau seorang Nabi ummi yang diutus oleh Allah SWT kepada
masyarakat yang ummi pula. Allah SWT berfirman:
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang Rasul di antara
mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan
mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan
Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,
(QS. Al-Jumu’ah: 2)
Salah satu watak ummi adalah mengerahkan segenap kekuatan hafalannya
terhadap apa yang dianggapnya penting. Lebih-lebih bila mereka diberi
kekuatan hafalan yang lebih, maka akan membuat mereka lebih mudah
menghafal. Demikian pula, bangsa Arab sewaktu al-Qur'an turun. Mereka
memiliki watak-watak ke-Arab-an yang khas, yang antara lain cepat hafal dan
keenceran hati, sehingga hati mereka merupakan senjata, akal mereka
merupakan lembaran-lembaran nasab dan sejarah mereka, dan hafalan-
hafalan mereka merupakan buku-buku sya'ir dan kebanggaan mereka.
6
Dr. Dawud Al-Aththar. Mujaz Ulum al-Qur’an, (Terj. Afif Muhammad dan Ahsin Muhammad.
Bandung: Pustaka Hidayah. 1994), 153-154.

9
Kemudian turunlah al-Qur'an, yang mengagetkan mereka dengan
kejelasannya, menarik perhatian mereka dengan kekuatannya, dan
mempengaruhi mereka dengan kebaikan redaksi dan pengertiannya. Al-
Qur'an berhasil membangkitkan kehidupan baru mereka, setelah mereka sadar
bahwa al-Qur'an adalah spirit hidup.
Sedangkan Nabi SAW, antusias untuk menghafal al-Qur'an dan
mendorong beliau untuk menggerakkan lidah , meski dalam kondisi yang
amat berat menghadapi wahyu dan Jibril sedang turun. Rasul SAW
melakukan hal itu demi mendapatkan hafalan yang cepat, karena khawatir ada
satu kata atau satu huruf yang terlewatkan. Nabi SAW terus melakukan hal
seperti itu, sampai Allah SWT menenangkan hati beliau dengan berjanji akan
menghimpun al-Qur'an ke dalam hati beliau dan membuat beliau mudah
membaca serta memahami pengertiannya. Dalam hal ini, Allah SWT
berfirman kepada beliau:
16. janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena
hendak cepat-cepat (menguasai)nya.
17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya.
18. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
19. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya. (QS.
Al-Qiyamah: 16-19)
Di dalam surat Thaha, Allah berfirman:
Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu
tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya
kepadamu, dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu
pengetahuan." (QS. Thaha: 114)
Dari sinilah, Nabi SAW menjadi penghimpun al-Qur'an di dalam hati
beliau yang mulia, tuan para hafidz pada masa beliau, dan rujukan kaum
muslimin mengenai segala persoalan yang menyangkut al-Qur'an dan ilmu-
ilmunya. Beliau membacakannya kepada masyarakat sedikit demi sedikit,
sebagaimana yang diperintahkan oleh Tuhannya. Dengan al-Qur'an itulah,
beliau menghidupkan malam dan menghiasi shalat. Jibril AS setiap tahun

10
membacakan ulang dihadapan beliau sekali. Dan pada tahun terakhir, dua
kali. Aisyah dan Fatimah RA berkata: kami mendengar Rasulullah SAW
bersabda: "Sesunguhnya Jibril membacakan al-Qur'an kepadaku sekali setiap
tahun. Dan pada tahun ini, dia membacakannya kepadaku sebanyak dua kali.
Saya yakin ini pertanda ajalku (telah dekat)."7
3. Penghimpunan Al-Qur'an dalam Arti Penulisan Al-Qur'an pada Masa
Rasulullah SAW.
Kami mengatakan bahwa mula-mula perhatian Rasulullah SAW dan para
sahabatnya tertuju pada penghimpunan al-Qur'an ke dalam hati, yakni dengan
cara menghafalnya, dengan pertimbangan mendesak, beliau merupakan
seorang Nabi yang ummi yang diutus kepada umat yang ummi pula.
Tambahan lagi, alat-alat tulis tidaklah mudah mereka dapatkan pada waktu
itu. Oleh karena itu, tumpuan kepada hafalan melebihi tumpuan pada tulisan.
Di samping itu, sudah menjadi tradisi bangsa Arab waktu itu, menjadikan
lembaran dada dan hati mereka sebagai media modifikasi syair-syair, silsilah
keluarga, kebanggaan-kebanggaan dan hari-hari mereka.
Akan tetapi al-Qur'an memang mendapatkan perhatian lengkap, dari Nabi
SAW dan para sahabat. Perhatian mereka untuk menghafalnya tidak
memalingkan mereka dari perhatian untuk menulis dan menggoreskannya.
Tetapi tentu saja sesuai dengan kemampuan sarana-sarana tulis waktu itu.
Rasulullah SAW sendiri telah mengangkat beberapa penulis wahyu. Setiap
kali ada wahyu yang turun, beliau menyuruh mereka menulisnya, demi
memperkokoh dokumentasinya, disamping menambah keterpercayaan dan
kehati-hatian terhadap Kitabullah Ta'ala, sehingga penulisan mendukung
hafalan dan goresan mengukuhkan ucapan.
Para penulis itu diambil dari sahabat pilihan, antara lain Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali, Muawiyah, Abban ibn Sa'id, Khalid ibn al-Walid, Ubay ibn
Ka'b, Zaid ibn Tsabit, Tsabit ibn Qais dan lain-lain. Rasulullah SAW selalu
memberikan bimbingan mengenai letak ayat itu harus ditulis. Mereka
menulisnya pada sarana yang mudah mereka dapatkan, seperti pelapah

7
Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani. Manahil Al-‘Urfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an 1. (Terj.
Drs. H.M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, S. Ag. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002), 259-
265.

11
kurma, batu-batu tipis, lembaran terbuat dari kulit atau yang lain, potongan-
potongan kulit, tulang-tulang belikat dan lain-lain. Kemudian tulisan-tulisan
itu diletakkan di rumah Rasulullah SAW. Demikianlah, masa kenabian telah
paripurna, dan al-Qur'an telah dihimpun sempurna melalui cara seperti itu.
Hanya saja, ia belum ditulis dalam shahifah-shahifah atau mushaf-mushaf . Ia
tertulis berserakan, di atas tulang-tulang dan yang sejenisnya.
Diriwayatkan dari Ibn Abbas, katanya: Rasulullah SAW, jika turun kepada
beliau suatu surat, maka beliau akan memanggil sebagian orang yang akan
menulisnya. Lalu beliau bersabda: "Letakkanlah surat ini pada tempat yang
menyebutkan begini dan begini." Dan dari Zaid ibn Tsabit juga
meriwayatkan, katanya: kami berada di sisi Rasulullah SAW, menyusun al-
Qur'an dari lempengan-lempengan batu."
Penyusunan itu merupakan kegiatan meruntutkan ayat-ayat sesuai dengan
bimbingan Nabi SAW hasil pengajaran langsung dari Jibril AS.
Diriwayatkan, bahwa Jibril AS berkata: "Letakkanlah yang ini ditempat ini."
tak pelak lagi, bahwa Jibril tidak akan mengetahui hal itu kecuali dari Allah
SWT.
Pendeknya, al-Qur'an telah tertulis seluruhnya pada masa Rasulullah
SAW. Hanya saja, sebagian sahabat juga menulis ayat-ayat yang telah
terhapus bacaannya dan yang diriwayatkan melalui khabar ahad. Bahkan
kadang-kadang ada yang menulisnya secara tidak runtut. Al-Qur'an pada
masa itu belum dihimpun di dalam shahifah-shahifah atau mushaf-mushaf.8
4. Penghimpunan Al-Qur'an pada Masa Abu Bakar RA.
Al-Qur’an seluruhnya rampung ditulis pada masa Rasulullah SAW masih
hidup, hanya saja ayat-ayat dan surah-surahnya masih terpisah. Orang
pertama yang menghimpun al-Qur’an sesuai kehendak Rasulullah adalah Abu
Bakar ash-Shiddiq. Abu ‘Abdullah al-Muhasabi mengatakan dalam buku
Fahmus Sunnah: “Penulisan al-Qur’an bukan soal baru, karena Rasulullah
SAW sendiri telah memerintahkan penulisannya. Tapi ketika itu masih
tercecer pada berbagai lembaran kulit dan daun., tulang-tulang unta dan
kambing yang kering, atau pada pelepa kurma. Kemudian, Abu Bakar ash-

8
Ibid. 265-267.

12
Shiddiq memerintahkan pengumpulannya menjadi sebuah naskah. Juga
naskah al-Qur’an yang tertulis pada lembaran-lembaran kulit yang terdapat di
dalam rumah Rasulullah SAW saat itu masih dalam keadaan terpisah-pisah.
Kemudian dikumpulkan oleh seorang sahabat, lalu diikatnya dengan tali agar
tidak ada yang hilang.
Abu Bakar memerintahkan kodifikasi al-Qur’an seusai perang Yamamah,
tahun ke 12 H, perang antara muslimin dan kaum murtad (pengikut
Musailamah al-Kadzab yang mengaku dirinya nabi baru) di mana 70
penghafal al-Qur’an di kalangan sahabat Nabi gugur. Melihat kenyataan itu
“Umar bin Khattab RA merasa sangat khawatir, lalu mengusulkan supaya
diambil langkah untuk usaha kodifikasi al-Qur’an. Bukhari meriwayatkan
sebuah hadits di dalam shahihnya, bahwa Zaid bin Tsabit RA menceritakan
kesaksiannya sendiri sebagai berikut:
“Di saat berkecamuknya perang Yamamah, Abu Bakar minta supaya aku
dating kepadanya. Setibanya aku di rumahnya, kulihat ‘Umar bin Khattab
sudah berada di sana. Abu Bakar lalu berkata: ‘Umar datang kepadaku
melaporkan bahwa perang Yamamah bertambah sengit dan banyak para
penghafal al-Qur’an yang gugur. Ia khawatir kalau-kalau peperangan yang
dahsyat itu akan mengakibatkan lebih banyak lagi para penghafal al-Qur’an
gugur. Karena itu ia berpendapat supaya sebaiknya aku segera
memerintahkan kodifikasi al-Qur’an. Kukatakan kepada ‘Umar: “Bagaimana
mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW?
‘Umar menyahut: “Demi Allah, itu (kodifikasi al-Qur’an) adalah kebajikan.”
‘Umar berulang-ulang mendesak dan pada akhirnya Allah membukakan
dadaku sehingga aku sependapat dengannya.” Dalam kesaksian itu Zaid bin
Tsabit lebih jauh mengatakan: “Abu Bakar berkata kepadaku: “Engkau
seorang muda, cerdas dan terpercaya. Dahulu engkau bertugas sebagai
pencatat wahyu, membantu Rasulullah. Dan seterusnya engkau mengikuti al-
Qur’an, karena itu laksanakanlah tugas menghimpun (kodifikasi) al-Qur’an.
Demi Allah kata Zaid lebih lanjut – seumpama orang membebani kewajiban
kepadaku untuk memindahkan sebuah gunung, kurasa tidak lebih berat
daripada perintah kodifikasi al-Qur’an yang diberikan kepadaku! Kukatakan

13
kepada Abu Bakar RA: “Bagaimana kita boleh melakukan sesuatu pekerjaan
yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW? Abu Bakar menjawab: Demi
Allah, pekerjaan itu adalah kebajikan! Abu Bakar terus-menerus mengimbau
sampai Allah membukakan dadaku sebagaimana Allah telah membukakan
dada Abu Bakar dan ‘Umar. Kemudian aku mulai bekerja menelusuri ayat-
ayat dan kuhimpun dari catatan-catatan pelapah kurma, batu-batu (tembikar)
dan di dalam dada para penghafal al-Qur’an. Akhir surah at-Taubah
kutemukan pada Abu Khuzaimah al-Anshari, tidak ada pada orang lain, yaitu
firman Allah:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat
terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-
orang mukmin.
Jika mereka berpaling (dari keimanan), Maka Katakanlah: "Cukuplah Allah
bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan
Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung". (QS. At-Taubah: 128-
129)
Lembaran-lembaran al-Qur’an itu berada pada Abu Bakar hingga wafatnya,
kemudian pindah ke tangan ‘Umar dan setelah ‘Umar wafat seluruh lembaran
disimpan Hafshah binti ‘Umar.9
5. Penghimpunan Al-Qur'an pada Masa Utsman RA.
Bukhari dalam Shahihnya mengetengahkan sebuah hadits dengan isnad-
nya Ibnu Syihab, bahwa Anas bin Malik memberitahukan kepadanya (Ibnu
Syihab): Ketika pasukan Syam bersama pasukan Irak berperang membela
dakwah agam Islam di Armenia dan Adzerbeidzan, Hudzaifah bin al-Yaman
datang menghadap khalifah ‘Utsman. Hudzaifah mengutarakan
kekhawatirannya tentang perbedaan bacaan al-Qur’an di kalangan muslimin.
Kepada ‘Utsman, Hudzaifah berkata: “Ya Amirul mu’minin, persatukanlah
segera umat ini sebelum mereka berselisih mengenai Kitabullah sebagaimana
yang terjadi di kalangan Yahudi dan nasrani”. Khalifah ‘Utsman kemudian
mengirim sepucuk surat kepada Hafshah, berisi permintaan agar Hafshah
9
Dr. Subhi As-Shalih. Mabahits fi Ulumil Qur’an. (Terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka
Firdaus. 2011), 93-99.

14
mengirimkan mushaf yang disimpannya untuk disalin menjadi bebarapa
naskah. Setelah itu kemudian mushaf akan dikembalikan lagi. Hafshah lalu
mengirimkan mushaf yang disimpannya kepada khalifah ‘Utsman. Khalifah
kemudian memerintahkan Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Zubair, Sa’id bin
al-‘Ash dan ‘Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam supaya bekerja bersama-
sama menyalin mushaf menjadi beberapa naskah. Kepada tiga orang Quraiys
di antara mereka itu ‘Utsman berpesan: “Kalau terjadi perbedaan antara
kalian dan Zaid bin Tsabit mengenai suatu tentang al-Qur’an, maka tulislah
menurut dialek Quraiys, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka”.
Mereka lalu bekerja melaksanakan tugas itu hingga berhasil menyalin mushaf
menjadi beberapa naskah. Setelah itu mushaf asli dikembalikan kepada
Hafshah, sedangkan beberapa naskah salinannya dikirim ke berbagai kawasan
Islam. Bersamaan dengan itu khalifah memerintahkan supaya semua catatan
tentang ayat-ayat al-Qur’an atau mushaf-mushaf lain yang bertebaran di
kalangan muslimin, segera dibakar.10[9]
6. Utsman RA Membakar Mushhaf.
Utsman, melalui "Panitia Empat" yang dibentuknya, berhasil menyalin
dan menggandakan mushaf. Mushaf-mushaf itu dikirimkan ke beberapa
wilayah kekuasaannya. Kini tinggal satu lagi usaha, yaitu membakar mushaf
lainnya. Ia khawatir kalau-kalau mushaf yang bukan salinan "Panitia
Empat" itu tetap beredar. Padahal pada mushaf-mushaf yang peredarannya
dikhawatirkan itu terdapat kalimat yang bukan al-Qur'an karena merupakan
catatan khusus sahabat-sahabat tertentu. Di sana terdapat juga beberapa
kalimat yang merupakan tafsiran, dan bukan kalam Allah.
Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf
yang memenuhi persayaratan berikut.
a. Harus terbukti mutawtir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.
b. Mengabaikan ayat yang bacaannya di nasakh dan ayat tersebut tidak
diyakini dibaca kembali di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.

10
Ibid. hlm. 99-114.

15
c. Kronologi surah dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda
dengan Mushaf Abu Bakar yang susunan surahnya berbeda dengan
Mushaf Utsman.
d. Sistem penulisan yang digunakan Mushaf mampu mencakupi qiraat
yang berbeda sesuai dengan lafadz-lafadz al-Qur'an ketika turun.
e. Semua yang bukan termasuk al-Qur'an dihilangkan. Misalnya yang
ditulis di mushaf sebagian sahabat di mana mereka juga menulis makna
ayat di dalam mushaf, atau penjelasan nasikh-mansukh.
Bagaimana dengan mushaf Abu Bakar? Setelah dipinjam untuk disalin,
Utsman megembalikannya kepada Hafshah. Mushaf itu tetap berada
ditangannya hingga ia wafat. Dalam bukunya Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an,
Dr. Shubhiy Shalih yang mengutip keterangannya dari kitab Al-Mashahif,
karya Ibnu Abi Daud, menurunkan riwayat sebagai berikut: "Marwan telah
berusaha mengambilnya (mushaf) dari tangannya (Hafshah) untuk kemudian
membakarnya, tetapi ia (Hafshah) tidak mau menyerahkannya. Sampai ketia
ia (Hafshah) wafat, Marwan mengambil mushaf tersebut dan membakarnya."
Bila dianalisis baik keengganan Hafshah menyerahkan mushaf maupun
Marwan yang bersikeras meminta Mushaf yang ada pada Hafshah dapat
dimengerti. Hafshah enggan menyerahkan Mushaf Abu Bakar yang ia terima
dari ayahnya, Umar; karena ia tahu, mushaf itulah yang disalin oleh Utsman
untuk disebarluaskan ke beberapa daerah. Sementara Marwan berkeinginan
agar masyarakat hanya mengenal satu mushaf, demi persatuan. Marwan tahu
bahwa penulisan Mushaf Utsman dilakukan dengan menggunakan kaedah-
kaedah tertentu tetapi memperhatikan qiraat-qiraat yang dibenarkan
Rasulullah SAW.11
D. Rasm Al-Qur’an
1. Pengertian
Kita telah membicarakan penumpulan al-Qur’an pada masa Utsman.
Zaid bin Tsabit Bersama tiga orang Quraisy telah menempuh metode
khusus dalam penulisan al-Qur’an yang disetuju oleh Utsman. Para ulama

11
Acep Hermawan, M. Ag. Ulumul Qur’an: Ilmu untuk Memahami Wahyu. (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2011), 77-78.

16
menamakan metode tersebut dengan ar-rasmul ‘Utsmani lil Mushaf, yaitu
dengan menisbatkan kepada Utsman.12
Rasm Utsmani adalam rasm (bentuk ragam tulisan) yang telah diakui
dan diwarisi oleh umat islam sejak masa Utsman. Dan pemeliharaan rasm
Utsmani merupakan jaminan kuat bagi penjagaan al-Qur’an dari
berubahan dan penggantian huruf-hurufnya. Seandainya diperbolehkan
menuliskannya menurut imla’ disetiap masa, maa hal ini akan
mengakibatkan perubahan Mushaf dari masa ke masa. Bahkan kaidah-
kaidah imla’ itu sendiri berbeda-beda kecenderungannya pada masa yang
sama, dan bervariasi pula dalam beberapa kata di antara satu negeri dengan
negeri lain.13
Perbedaan bentuk tulisan yang disebutkan oleh Abu Bakar al-Balqani
adalah satu hal, dan rasm imla’ adalah hal lain sebab perbedaan bentuk
tulisan adalah perubahan dalam bentuk huruf, bukan dalam rasm kata.
Mengenai alasan kemudahan membaca bagi para siswa dan pelajar dengan
meniadakan pertentangan antara rasm Qur’an dengan rasm imla’ istilahi,
tidaklah dapat menghindarkan perubahan tersebut dengan yang akan
mengakibatkan kekurangcermatan dalam penulisan Qur’an.
Dalam Syu’abul Iman Baihaqi mengatakan: “Barang siapa menulis
Mushaf, hendaknya ia memperhatikan ejaan (kaidah imla’) yang mereka
pakai dalam penulisan mushaf-mushaf dahulu, janganlah menyalahi
mereka dalam hal itu dan jangan pula mengubah apa yang telah mereka
tulis sedikit pun. Ilmu mereka lebih banyak, lebih jujur hati dan lisannya,
serta lebih dapat dipercaya daripada kita. Maka bagi kita tidak pantas
menyangka bahwa diri kita lebih tahu dari mereka.14
2. Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Utsmani dan Rasm Imla’i
Kedudukan rasm Utsmani diperselisihkan para ulama. Apakah pola
penulisan merupakan petunjuk Nabi atau hanya ijtihad kalangan sahabat.
Adapun pendapat mereka adalah sebagai berikut:

12
Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Surabaya: Litera Antar Nusa, 2014), 213
13
Ibid, 217
14
Al-Itqan, jilid 2, halaman 167 dalam Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an
(Surabaya: Litera Antar Nusa, 2014), 218

17
a. Jumhur Ulama berpendapat bahwa pola rasm Utsmani bersifat taufiqi
dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang
ditunjuk dan dipercaya Nabi SAW. Pola penulisan tersebut bukan
merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin
melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan
kehendak dan restu Nabi. Bentuk-bentuk inkonsentensi didalam
penulisan baku, tetapi dibalik itu ada rahasia yang belum dapat
terungkap secara keseluruhan. Pola penulisan tersebut juga
dipertahankan para sahabat dan tabi’in.15

Dengan demikian, menurut pendapat ini hukum mengikuti rasm


Usmani adalah wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan
petunjuk Nabi, (taufiqi). Pola itu harus dipertahankan meskipun
beberapa diantaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah
dibukukan. Bahkan Imam Ahmad Ibnu Hambal dan Imam Malik
berpendapat bahwa haram hukumnya menulis Al-Qur’an menyalahi
rasm Usmani. Bagaimanapun, pola tersebut sudah merupakan
kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).16

b. Sebagian Ulama berpendapat, bahwa pola penulisan al-Qur’an dalam


rasm Utsmani hanya merupakan hasil ijtihad para sahabat Nabi, tidak
bersifat taufiqi . Hal ini karena, tidak ada nash baik berupa ayat al-
Qur’an maupun al-Sunnah yang menunjukkan adanya keharusan
menulis al-Qur’an menurut rasm atau pola tertentu. Sehubungan dengan
ini, al-Qadi Abu Bakr al-Baqilani sebagaimana dikutip oleh Muhammad
Rajab Farjani menyatakan sebagai berikut :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW. Memerintahkan untuk menulis
al-Qur’an, tetapi beliau tidak menunjukkan pola tertentu kepada para
sahabat, dan tidak juga melarang menulisnya dengan model tertentu.
Karena itu, berbeda model penulisan al-Qur’an dalam mushaf-mushaf
mereka; ada yang menulis suatu lafaz al-Qur’an sesuai dengan bunyi

15
M.Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001),
95.
16
Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an, Bandung: Humaniora,2011. 110

18
lafaz tersebut, dan ada yang menambah atau menguranginya (huruf-
huruf tertentu), karena mereka tahu bahwa hal ini hanya suatu cara.
Karena itu, dibolehkan menulis mushaf dengan bentuk huruf serta pola
penulisan gaya masa lampau, dan boleh pula menulisnya dengan bentuk
huruf serta pola penulisan menurut gaya baru.”17
Ulama yang tidak mengakui Rasm Utsmani sebagai rasm tauqifi
berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al-Qur’an ditulis dengan
pola penulisan standar (rasm imla’i). Persoalan pola penulisan
diserahkan kepada pembaca. Jika pembaca merasa lebih mudah dengan
rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut karena pola
penulisan itu hanyalah simbol pembacaan yang tidak akan
mempengaruhi makna Al-Qur’an.18
c. Sebagian Ulama lainnya mengatakan, bahwa Al-Qur’an dengan rasm
imla’I dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para
ulama atau yang memahami rasm Usmani tetap wajib mempertahankan
keaslian rasm tersebut. Pendapat diperkuat Al-Zarqani dengan
mengatakan bahwa rasm imla’I diperlukan untuk menghindarkan
ummat dari kesalahan membaca Al-Qur’an, sedangkan rasm Usmani di
perlukan untuk memelihara keaslian mushaf Al-Qur’an .

Tampaknya, pendapat yang ketiga ini berupaya mengkompromikan


antara dua pendapat terdahulu yang bertentangan. Disatu pihak mereka
ingin melestarikan rasm Utsmani, sementara dipihak lain mereka
menghendaki dilakukannya penulisan Al-Qur’an dengan rasm imla’I,
untuk memberikan kemudahan bagi kaum muslimin yang kemungkinan
mendapat kesulitan membaca Al-Qur’an dengan rasm Usmani.19 Dan
pendapat ketiga ini lebih moderat dan lebih sesuai dengan kondisi
ummat. Namun demikian, kesepakatan para penulis Al-Qur’an dengan
rasm Usmani harus diindahkan dalam pengertian menjadikannya
sebagai rujukan yang keberadaannya tidak boleh hilang dari masyarakat

17
Hasanuddin AF, Anatomi Al-Quran Perbedaan dan Pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum
Dalam Al-Qur’an (Cet, I; Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995), 86.
18
Ibid, Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an. 110
19
Hasanuddin AF, Anatomi Al-Quran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1990. 90

19
Islam. Sementara jumlah ummat Islam dewasa ini cukup besar yang
tidak menguasai rasm Usmani. Bahkan, tidak sedikit jumlah ummat
Islam untuk mampu membaca aksara arab. Mereka membutuhkan
tulisan lain untuk membantu mereka agar dapat membaca ayat-ayat Al-
Qur’an, seperti tulisan latin. Namun demikian, Rasm Usmani harus
dipelihara sebagai standar rujukan ketika dibutuhkan. Demikian juga
tulisan ayat-ayat Al-Qur’an dalam karya ilmiah, rasm Usmani mutlak
diharuskan karena statusnya sudah masuk dalam kategori rujukan dan
penulisannya tidak mempunyai alasan untuk mengabaikannya.

Dari ketiga pendapat diatas penulis menarik kesimpulan bahwa


menjaga keotentikan Al-Qur’an tetap merujuk kepada penulisan mushaf
Usmani. Akan tetapi segi pemahaman membaca Al-Qur’an bisa
mengunakan penulisan yang lain berdasarkan tulisan yang diketahui
ummat Islam. Namun tidak lepas dari subtansi tulisan mushaf Usmani.
Sebab berdasarkan sejarah dalam proses penulisan Al-Qur’an mulai dari
Zaman Rasulullah, zaman khalifah Abu Bakar sampai khalifah Usman
Bin Affan yang penulisnya tidak pernah lepas dari Zayd Bin Tsabit
yang merupakan sekretaris Rasulullah SAW. Secara historis ini
membuktikan bahwa Allah SWT tetap menjaga dan memelihara
keotentikan Al-Qur’an.

BAB III
PENUTUP
1.Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
A. Qur'an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada
Muhammad saw. Sehingga Qur'an menjadi nama khas kitab itu, sebagai nama

20
diri. Dan secara gabungan kata itu dipakai untuk nama Qur'an secara
keseluruhan, begitu juga untuk penamaan ayat-ayatnya.
B. Al-Qur’an yang diturunkan secara bertahap oleh Allah kepada Nabi
Muhammad SAW ternyata mempunyai banyak hikmah salah satunya yakni
menguji ketabahan Rasulullah.
C. Kata "penghimpunan al-Qur'an (Jam' al-Qur'an) terkadang dimaksudkan
sebagai "pemeliharaan dan penjagaan dalam dada" (penghafalan), dan
terkadang dimaksudkan sebagai "penulisan seluruhnya, huruf demi huruf,
kata demi kata, ayat demi ayat dan surat-demi surat" (penulisan). Yang kedua
ini medianya adalah shahifah-shahifah dan lembaran-lembaran lainnya.
Sedang yang pertama medianya adalah hati dan dada. Selanjutnya,
penghimpunan al-Qur'an dalam pengertian "penulisannya" pada masa awal
berlangsung tiga kali. Pertama, pada masa Nabi SAW. Kedua, pada masa
kekhalifahan Abu Bakar RA. Dan ketiga, pada masa kekhalifahan Utsman
RA. Pada kali yang terakhir kali itulah, dilakukan penyalinan menjadi
beberapa mushhaf dan dikirim ke berbagai daerah.
D. Jumhur Ulama berpendapat bahwa pola rasm Utsmani bersifat taufiqi dengan
alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan
dipercaya Nabi SAW. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para
sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma)
dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi.

2.Kritik dan Saran


a) Kritik yang membangun dari para pembaca demi tercapainya penulisan
makalah ini agar lebih baik lagi sangat kami harapkan dan akan kami
terima dengan tangan terbuka dan senang hati.
b) Saran yang membangun dan mendukung dari para pembaca sangat kami
nantikan agar penulisan makalah ini bisa lebih baik,khususnya untuk kami
sebagai penulis agar supaya bisa lebih baik lagi dalam pembuatan
selanjutnya.

21
Daftar Pustaka

AF, Hassanudin. Anatomi Al Qur’an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1990.

Anwar, Prof.Dr.Rosihon, Ulum Quran. Jakarta:Pustaka Setia, 2015.

Izzan, Ahmad. Ulumul Qur’an. Bandung: Humaniora, 2011.

22
Mana’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Surabaya: Litera Antar Nusa,
2014

Shihab, M. Quraish. Sejarah dan Ulum Qur’an. Cet.III. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001.

Tim Reviewer MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Al-Qur’an. Surabaya:
UINSA Press, 2014.

Watt, W.Montgomery, Pengantar Qur’an. Jakarta: Rajawali Press, 1991.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya.


Surabaya: Mahkota,1989.

23

Anda mungkin juga menyukai