Anda di halaman 1dari 23

1

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah Swt Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah
penulis dapat menyelesaikan makalah g berjudul Sejarah Al-Qur’An tepat waktu.

Makalah Sejarah Al-Qur’An disusun guna memenuhi tugas Bapak Reza Prabudi, m.pdi
pada bidang Teknik Informatika di Universitas Potensi Utama. Selain itu, penulis juga
berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Sejarah Al-
Qur’An.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Reza Prabudi, m.pd
selaku dosen mata kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan
dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima
kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

2
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Banyak sekali berbagai pendapat mengenai Al-Qur’an baik dari pengertian,


perkembangan, serta penulisan Al-Qur’an. Selain itu juga, masih banyak seseorang
yang mengaku beragama islam dan berpedoman kitab Al-Qur’an namun belum
mengerti dan paham betul mengenai Al-Qur’an. Maka dari itu beberapa ahli
membuat suatu kesepakatan mengenai ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an yang
dinamakan Ulumul Qur’an.

Dari segi turunnya Al-Qur’an dan penulisan Al-Qur’an terdapat pula beberapa
perbedaan pendapat para ahli. Dari beberapa perbedaan pendapat tersebut, para ahli
kemudian mengkaji lebih mendalam dari segi pengertian Al-Qur’an, sejarah
turunnya Al-Qur’an, penulisan serta rasm Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad
SAW serta Khulafaur Rasyidin dan bagaimana proses penyempurnaan Al-Qur’an
pada masa setelah para Khulafaur Rasyidin telah wafat.

I.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi Al-Qur’an?

2. Bagaimana hikmah Qur’an yang diwahyukan berangsur-angsur?

3. Bagaimana pemeliharaan Al-Qur’an di masa Nabi dan Khulafaur Rosyidin?

4. Bagaimana pemeliharaan Al-Qur’an setelah masa khalifah?

5. Apa definisi Rasm Al-Qur’an?

6. Bagaimana Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Utsmani tentang Al-Qur’an?

7. Bagaimana kaitan Rasm Al-Qur’an dengan Qira’at?

3
BAB II

PEMBAHASAN

II.1. Definisi Al-Qur’an


Quraan menurut pendapat yang palig kuat seperti yang dikemukakan Dr.
Subhi Al Salih berarti “bacaan”, asal kata qaraa. Qara'a mempunyai arti
mengumpulkan dan menghimpun.1 Allah berfirman :

"Sesungguhnya atas tangguhan kamilah mengumpulkan nya (dalam dadamu)


dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya." (Q.S. Al-Qiyamah:17-18)

Qur'an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada


Muhammad saw. Sehingga Qur'an menjadi nama khas kitab itu, sebagai nama
diri. Dan secara gabungan kata itu dipakai untuk nama Qur'an secara
keseluruhan, begitu juga untuk penamaan ayat ayatnya.

Sebagian ulama menyebutkan bahwa penamaan kitab ini dengan nama


qur'an diantara kitab kitab allah itu karena kitab -kitab Allah itu karena kitab ini
mencakup inti dari kitab-kitab Nya, bahkan mencakup inti dari semua ilmu.

Para ulama menyebutkan definisi Qur'an yang mendekati maknanya dan


membedakan dari yang lain dengan menyebutkan bahwa: "Qur'an adalah kalam
atau Firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw. yang
pembacaannya merupakan suatu ibadah.

"Katakanlah :sekiranya lautan menjadi tinta untuk menuliskan Firman


tuhanku, akan habislah lautan sebelum Firman Tuhanku habis ditulis; sekalipun
kami berikan tambahannya sebanyak itu pula. "(Q.S Al-kahfi:109).

Q.S. Al-A'raf ayat 204


1
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Qur’an. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: Mahkota, 1989),
13

4
Dan apabila dibacakan qur'an, maka dengarlah dan perhatikanlah dengan
tenang agar kamu mendapat rahmat.

Nama-nama Al-Qur’an :

Qur'an :

Q.S. Al-isra' ayat 9

Sesungguhnya Qur'an ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan
memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal
shaleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.

Kitab :

Q.S. Al-anbiya’ ayat 10

Sesungguhnya telah Kami turunkan kepadamu al-kitab yang di dalamnya


terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada
memahaminya?

Furqan:

5
Q.S. Al-furqan ayat 1

Mahasuci Allah yang telah menurunkan al-furqan kepada hambanya, agar dia
menjadi pemberi peringatan kepada semesta alam.

Zikir:

Q.S. Al-hijr ayat 9

Sesungguhnya kamilah yang telah menurunkan az-zikr (Qur'an), dan


sesungguhnya kamilah yang benar-benar akan menjaganya.

Tanzil :

Q.S. Asy-syu'ara' ayat 192

Dan sesungguhnya Qur'an ini tanzil (diturunkan) dari tuhan semesta alam.

Qur'an dan al-kitab lebih populer dari nama nama yang lain. Dalam hal ini
Dr. Muhammad Abdullah Daraz berkata: "Ia dinamakan Qur'an karena ia
"dibaca " dengan lisan, dan dinamakan al-kitab karena ia "ditulis" dengan pena.
Kedua nama ini menunjukkan makna yang sesuai dengan kenyataannya."2

Penamaan qur'an dengan kedua nama ini memberikan isyarat bahwa


selayaknya ia dipelihara dalam bentuk hafalan dan tulisan. Apabila diantara
salah satunya ada yang yang melenceng, maka yang lain akan meluruskannya.
2
Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Surabaya: Litera Antar Nusa, 2014). 18-24

6
Kita tidak dapat menyadarkan hanya kepada hafalan seorang sebelum
hafalannya sesuai dengan tulisan yang telah disepakati oleh sahabat, yang
diwakilkan kepada kita dari generasi ke generasi menurut keadaan sewaktu
dibuatnya pertama kali. Dan kita pun tidak dapat menyadarkan hanya kepada
tulisan penulis sebelum tulisan itu sesuai dengan hafalan tersebut berdasarkan
isnad yang sahih dan mutawatir.3

Dengan penjagaan ganda ini yang oleh Allah telah ditanamkan kedalam jiwa
umat Muhammad untuk mengikuti langkah Nabi-Nya, maka Qur'an tetap terjaga
dan terjamin terpeliharanya Qur'an, seperti difirmankan-Nya dalam Surah Al-
Hijr ayat 9.

Dengan demikian Qur'an tidak mengalami penyimpangan, perubahan dan


keputusan sanad seperti pada kitab-kitab terdahulu.

Allah telah melukiskan Qur'an dengan beberapa sifat, di antaranya:

 Nur(cahaya)

 Huda(petunjuk) Syifa(obat), Rahmah(Rahmat) dan Mau'izah(nasihat)

 Mubin(yang menerangkan)

 Mubarak(Yang diberkati)

 Busyara(khabar gembira)

 'Aziz(yang mulia)

 Majid(yang dihormati)

 Basyir(pembawa khabar gembira).

II.2. Hikmah diwahyukannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur


Q.S. Al-Furqan:32

7
Berkatalah orang-orang kafir:”Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan
kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu
dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).

Q.S. Al-Isra’:106

Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya
bagian demi bagian.

Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dalam masa 22 tahun, 2


bulan, 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah.

Hikmah Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur antara lain;

a. Hikmah pertama: Menguatkan atau meneguhkan hati Rasulullah saw.

Rasulullah saw. telah menyampaikan dakwahnya kepada manusia, tetapi ia


menghadapi sikap mereka yang membangkang dan watak yang begitu
keras. Ia ditantang oleh orang-orang yang berhati batu, berperangai kasar
dank eras kepala. Mereka senantiasa melemparkan berbagai macam
ancaman dan gangguan kepada Rasul. Padahal dengan hati tulus ia ingin
menyampaikan segala yang bai kepada mereka, sehingga dalam hal ini
Allah mengatakan dalam surah Al Kahfi ayat 6

8
Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih
hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada
keterangan ini (Al-Quran).

b. Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan. Orang akan enggan


melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu
diturunkan sekaligus banyak.

c. Turunnya suatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan


lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati. Dengan menyesuaikan
kondisi, ayat diturunkan sesuai dengan kondisi yang terjadi di tempat
tersebut yang bisa menjadi pedoman di kemudian hari.

d. Berinteraksi dengan masyarakatnya agar sesuai dengan kemaslahatan dan


perkembangan masyarakat manusia, Al-Qur’an turun sesuai kondisi sosial
dan kebutuhan masyarakat, sehingga Nabi SAW dapat menjelaskannya, dan
masyarakat mampu memahami, dan menghayati dengan mengamalkannya4

II.3. Pemeliharaan Al-Qur’an di masa Nabi


Pemeliharaan al-Qur’an dengan cara menulis tidak lepas dari sejarah tulis
menulis pada saat itu. Pandangan yang berkembang adalah bahwa bangsa Arab
adalah bangsa yang bodoh/jahiliyah (menutup hati terhadap sesuatu yang baru)
dan mayoritas ummatnya buta aksara.

Kondisi masyarakat yang demikian itu disebut dalam al-Qur’an sebagai


masyarakat yang ummi sebagaimana terekam dalam surat al-Jumuah:2.

4
Prof. Dr. Rosihon Anwar,Ulum quran, (Jakarta:Pustaka Setia, 2015), 48-49.

9
Dia-lah yang mengutus pada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara
mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka
dan mengajarkan mereka kitab dan hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya
mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Ke-ummi-an (tidak dapat baca tulis) Rasulullah saw bukan berarti


intelektualnya rendah, karena pada masa Rasulullah saw standar intelektual
seseorang adalah didasarkan pada kemampuan di dalam mengungkap dan
memaparkan ide secara lisan. Dalam hal yang terakhir ini kemampuan
Rasulullah tidak diragukan, beliau adalah orang yang fasih dan baligh dalam
kalamnya. Karena itulah beliau dijuluki oleh masyarakat Arab sebagai Fatanah
(Cerdas).

Pada masa Rasulullah, pemeliharaan al-Qur’an dengan cara menulis tidak


sebanyak dengan yang menghafal dalam hati. Hal itu dikarenakan masyarakat
Arab memiliki daya hafal yang kuat dan hafalan yang kuat itulah yang dijadikan
standar intelektual seseorang.

Pada awalnya, bagian-bagian al-Qur’an yang telah diwahyukan kepada Nabi


Muhammad dipelihara dalam hafalan Nabi dan disampaikan kepada para
sahabat. Selanjutnya para sahabat mengingatnya dalam hati dan menyampaikan
kepada sahabat yang lainnya.

Diantara sahabat yang hafal al-Qur’an ketika Rasulullah saw. Masih hidup
adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qil (budak Abu Hudhaifah yang
telah dimerdekakan), Mu’ad bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zayd bin Thabit, Abu
Zayd bin Sakan al-Ansari, dan Abu Darda’. Ketujuh sahabat itu telah hafal
seluruh isi al-Qur’an di luar kepala dan telah menunjukkan hafalannya didepan

10
Nabi saw.

Cara kedua dalam upaya pemeliharaan al-Qur’an dimasa Nabi saw adalah
dengan cara penulisan. Pemeliharaan al-Qur’an secara tertulis dapat diperoleh
dari kisah masuk islamnya Umar bin Khattab. Umar masuk islam pada waktu
empat tahun menjelang hijrahnya Nabi saw ke Madinah.

Setelah hijrah ke Madinah, dikabarkan bahwa Nabi saw secara resmi


mempekerjakan sejumlah sekretaris untuk menuliskan wahyu. Diantaranya;
Muawiyah, Ubai bin Ka’ab, Zayd bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa
al-Ash’ari.

Para penulis wahyu tersebut diperintah oleh Nabi saw untuk menuliskan
setiap wahyu yang diterimanya dan meletakkan urut-urutannya sesuai dengan
petunjuk Nabi saw berdasarkan petunjuk Tuhan melalui Jibril a.s (tauqifi). Ayat-
ayat al-Qur’an itu ditulis di atas berbagai macam benda, antara lain; lempengan
batu, potongan tulang-belulang binatang, kulit binatang, pelepah kurma dan
sebagainya.

Setelah itu tulisan-tulisan tersebut disimpan di dalam rumah Nabi saw dalam
kondisi belum terhimpun dalam suatu mushaf. Disamping itu para penulis
wahyu juga menulis ayat-ayat al-Qur’an untuk pribadi masing-masing yang
dapat menjamin al-Qur’an tetap terpelihara secara lengkap dan murni, walaupun
sarana tulis menulis masih sangat sederhana.5

II.4. Pemeliharaan Al-Qur’an di masa Khulafaur Rosyidin


1. Abu Bakar Ash Shiddiq.

Setelah Rasulullah saw wafat, kepemimpinan Islam dipegang oleh


Abu Bakar Ash Shiddiq. Pemerintahan Abu bakar berlangsung selama 2
tahun (632-634M). Dalam kepemimpinan Abu Bakar terjadi peristiwa
besar, yakni kemurtadtan sebagai orang islam dan pembangkangan
5
Tim Reviewer MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Al-Qur’an, (Surabaya:UIN Sunan Ampel Press,
2014), 37-44.

11
pembayaran zakat. Dalam menghadapi peristiwa tersebut Abu Bakar
mengambil tindakan dalam cara mengirim pasukan yang dipimpin oleh
Khalid bin walid untuk membasmi orang-orang yang murtad itu, maka
terjadilah perang Yamamah pada 12 H. Peperangan tersebut melibatkan
sejumlah besar sahabat yang hafal Al-Qur’an dan dalam peperangan itu
70(tujuh puluh) qari’ dari para sahabat gugur.

Peristiwa tersebut telah mendorong Umar bin Khatab r.a mengusulkan


kepada khalifah Abu Bakar r.a agar segera menghimpun ayat-ayat Al-
Qur’an dalam suatu mushaf , Karena beliau khawatir kehilangan sebagian
Al-Qur’an dengan wafatnya sebagian para penghafalnya. Ide umar itu pada
awalnya ditolak oleh Khalifah Abu Bakar r.a dengan alasan dengan alasan
tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW.(atau biasa di katakan Bid’ah),
namun setelah diadakan diskusi dan pertimbangan-pertimbangan secara
seksama , ide tersebut diterima oleh Khalifah Abu Bakar r.a,setelah itu
khalifah memerintah Zayd bin thabit agar segera mehimpun ayat-ayat Al-
qur’an dalam satu mushaf .dalam menjalankan tugasnya Zayd bib Thabit
berpegang pada dua hal,yaitu:

a. Ayat-ayatal Qur’an yang ditulis dihadapan Nabi SAW dan disimpan


dirumah Nabi.

b. Ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang hafal al-Qur’an.

Mushaf al Qur’an yang di terbitkan oleh Zayd bin Thabit dan tim yaitu
disimpan oleh Abu Bakar r.a.Setelah Abu Bakar r.a wafat , mushaf tersebut
disimpan oleh ummar bin khatab r.a.. sebelum wafat ummar berpesan
kepada putrinya yang bernama hafsah agar menyimpan mushaf al-qur’an
itu. Amanat tersebut diberikan kepada hafsah dengan pertimbangan bahwa
hafsah adalah istri nabi Muhammad s.a.w yang hafal al-qur’an dan pandai
baca tulis.

2. Pada Masa Usman Bin Affan

12
Pada masa pemerintahan khalifah usman wilayah islam semakin luas dan
para qurra’ pun tersebar diberbagai wilayah para qurra mengajarkan baca
al-qur’an dengan bacaan (qiroah) yang berbeda-beda sesuai dengan yang
mereka terima dari para gurunya. Pada sewaktu-waktu, dalam perang
Armenia dan Azerbaijan dengan penduduk irak, diantara orang-orang yang
menyerbu kedua tempat itu adalah, hudhayfah bin alyaman. Dalam
pertemuan itu mengetahui adanya perbedaan bacaan al-qur’an sebagaian
mereka merasaheran akan adanya perbedaan bacaan itu, dan sebagian
mengklaim bacaan nya yang paling benar teatapi sebagian lainnya ada yang
merasa puas karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu
disandarkan kepada Rasulullah s.a.w. kondisi seperti itu tidak dapat
dibiarkan karena hal itu akan menimbulkan keraguan bagi generasi yang
tidak bertemu langsung dengan Rasulullah s.a.w.Jjenderal kudhayfah yang
mengetahui hal itu mengajukan usul kepada khalifah Ustman r.a. agar
segera mengusahakan keseragaman bacaan al-qur’an dengan jalan
menyeragamkan penulisan Al qur’an.

Usul Khudayfah tersebut dapat diterima oleh khalifah Usman, kemudian di


bentuklah panitia yang berjumlah 4 orang yaitu; Zayd bin Thabit, Sa"id bin
Ash, Abdullah bin Zubair dan Abd ar-Rahman bin Harith bin Hisham.
Panitia itu diketuai oleh Zayd bin Thabit debgan tugas menyalin mushaf al
qur"an yang disimpan Hafsah. Ketiga orang anggota panitia itu selain Zayd
adalah suku Quraish. Kepada tim itu khalifah Usman berpesan bahwa jika
terjadi perselisihan tentang tulisan al qur"an antara Zayd dengan ketiga
orang Quraish hendaknya ditulus dengan Lughat Quraish karena Al Qur'an
diturunkan dalam lughat mereka. Tim panitia itu membuat beberapa
mushaf. Riwayat tentang jumlah mushaf yagg berhasil diselesaikan oleh
tim panitia sangat beragam. Ada yang mengatakan empat, dengan
keterangan bahwa tiga dikirim ke Kufah, Basrah dan Damaskus, sedang
satunya disimpan di Madinah. As-Suyuthi mengatakan ada lima, yaitu

13
empat kota yang telah disebutkan dan ditambah kota makkah. Menurut asz-
Zarqani sebanyak 6 mushaf, yakni lima yang telah disebutkan dan tambah
mushaf induk/ al-Imam. Berbeda dengan ketiga pendapat diatas, Abu Hatim
as-Sijistani mengemukakan pendapatnya bahwa mushaf yang berhasil
diselesaikan adalab 7 ekslempar dengan menambah dua kota, yaitu Yaman
dan Bahrain kedalam jajaran lima kota penerima salninan mushaf.

Setelah penyebaran mushaf Utsman ke berbagai wilayah, maka khalifah


Utsman memerintahkan untuk memusnahkan berbagai mushaf atau
fragmen al qur"an lainnya. Berdasarkan berbagai riwayar yang ada,
Schwally berpendapat bahwa pemusnahan terhadap mushaf nin Utsmani
dan Fragmen alqur'an itu hanya terbatas pada kota-kota yang telah
disebutkan diatas, bahkan terbatas pada daerah Irak dan Siria. Selain itu
pelaksanaan terhadap pemerintah khalifah yang diamanahkan kepada para
penguasa hanya sebatas pada pemilikan umum, tidak termasuk pemilikan
pribadi.

Pemusnahan mushaf dan fragmen Non-Ustmani menurut sebagai


riwayat diatas, dilakukan dengan merobeknya. Namun mayoritas muslim
menginformasikan bahwa pemusnahan dilakukan dengan cara
membakarnya. Dari penjelasan singkat tentang sejarah pengumpulan
alqur'an diatas dapat diketahui bahwa ada perbedaan latar belakang
pengumpulan al Qur'an pada masa khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.
dengan Ustman bin Affan r. a. Latar belakang pengumpulan al Qur'an pada
masa Abu Bakar Ash Shiddiq adalah kekhawatiran akan hilangnya al
Qur'an dikarenakan banyaknya para Huffa yang gugur dalam medan
peperangan melawan orang-orang murtad dan orang-orang yang ingkar
membayar zakat, yang biasa dikenal dengan perang Yamamah

Pengumpulan al Qur'an pada masa ini adalah memindahkan al Qur'an


dan menuliskannya dari catatan para sahabat di pelepah kurma, kulit-kulit

14
binatang, dan batu-batuan yang tipis kedalam satu mushaf dengan tertib
ayat yang diajarkan oleh Rasul Saw.

Sedang pengumpulan pada masa khalifah Utsman r. a dilatarbelakangi


adanya fenomena perbedaan bacaan al Qur'an yang dapat mengakibatkan
perpecahan umat islam. Kegiatan pengumpulannya berupa usaha menyalin
mushaf Abu Bakar Ash Shiddiq menjadi beberapa naskah sebagaimana
yang telah dijelaskan.

II.5. Penyempurnaan dan Pemeliharaan Al-Qur’an setelah masa Khalifah


Tulisan yang tertera di dalam mushaf Abu Bakar dan Utsman yang dilakukan
oleh panitia pelaksana penulis wahyu tanpa menggunakan tanda baca, baik
berupa titik, syakal,harakah, dan lain-lain, karena memang perkembangan dan
situasi saat itu tidak menuntut hal itu untuk dilakukan. Dalam kondisi itu,
menurut Abu Ahmad al-Askariy, mushaf utsmani dibaca kaum muslimin selama
kurang lebih 40 tahun, tepatnya sampai pada masa pemerintahan Abdul Malik
bin Marwan dari khalifah Bani Umayah.

Islam terus menerus berkembang, baik wilayah ataupun pemeluknya. Islam


tidak hanya dianut oleh orang Arab, sehingga benturan kultural antara orang
Arab dan non Arab pun tidak dapat di elakkan. Sejak saat itulah, perkembangan
yang dirasa menggembirakan juga membawa kekhawatiran berupa keselamatan
kemurnian bahasa Arab. Oleh sebab itu, timbulah usaha-usaha untuk memberi
pungtuasi di kalangan para ulama’. Seorang Tabi’in, Abu al-Aswad al-Duali
pertama kali mengenalkan tanda titik ke dalam naskah al qur’an. Tanda baca
yang diberikan adalah berupa titik diatas huruf sebagai tanda fathah, titik
dibawah huruf sebagai kasrah, dan titik disamping huruf sebagai dlummah.
Tahap berikutnya, Yahya bin Ya’mur dan Nashr bin ‘Ashim menyempurnakan
pemberian titik pada semua huruf al qur’an yang dianggap penting untuk diberi
harakat. Usaha selanjutnya dilakukan oleh Khalil bin Ahmad, yaitu mengganti
titik diatas huruf dengan huruf alif kecil sebagai tanda fathah, titik dibawah

15
huruf diganti ya’ sebagai kasrah, titik disamping huruf diganti dengan waw kecil
sebagai dlummah, pemberian tanda sukun berupa mim kecil diatas huruf, tanda
tasydid berupa sin kecil diatas huruf, dan pemberian tanda madd. Pemberian
nomor ayat, tanda waqof, batas pangkal surah dan akhir surah, penulisan jenis
Makkiyah dan Madaniyah, dan penulisan sejumlah ayat dari setiap surah
dilakukan oleh para ulama’ berikutnya. Begitu pula pembuatan tanda untuk
setiap juz,ruku’,dll, sehingga jadilah bentuk mushaf al qur’an seperti sekarang.

II.6. Rasm Al-Qur’an


II.6.1. Pengertian
Kita telah membicarakan penumpulan al-Qur’an pada masa Utsman.
Zaid bin Tsabit Bersama tiga orang Quraisy telah menempuh metode
khusus dalam penulisan al-Qur’an yang disetuju oleh Utsman. Para ulama
menamakan metode tersebut dengan ar-rasmul ‘Utsmani lil Mushaf, yaitu
dengan menisbatkan kepada Utsman.6
Rasm Utsmani adalam rasm (bentuk ragam tulisan) yang telah diakui
dan diwarisi oleh umat islam sejak masa Utsman. Dan pemeliharaan rasm
Utsmani merupakan jaminan kuat bagi penjagaan al-Qur’an dari
berubahan dan penggantian huruf-hurufnya. Seandainya diperbolehkan
menuliskannya menurut imla’ disetiap masa, maa hal ini akan
mengakibatkan perubahan Mushaf dari masa ke masa. Bahkan kaidah-
kaidah imla’ itu sendiri berbeda-beda kecenderungannya pada masa yang
sama, dan bervariasi pula dalam beberapa kata di antara satu negeri dengan
negeri lain.7
Perbedaan bentuk tulisan yang disebutkan oleh Abu Bakar al-Balqani
adalah satu hal, dan rasm imla’ adalah hal lain sebab perbedaan bentuk
tulisan adalah perubahan dalam bentuk huruf, bukan dalam rasm kata.
Mengenai alasan kemudahan membaca bagi para siswa dan pelajar dengan
meniadakan pertentangan antara rasm Qur’an dengan rasm imla’ istilahi,
6
Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Surabaya: Litera Antar Nusa, 2014), 213
7
Ibid, 217

16
tidaklah dapat menghindarkan perubahan tersebut dengan yang akan
mengakibatkan kekurangcermatan dalam penulisan Qur’an.
Dalam Syu’abul Iman Baihaqi mengatakan: “Barang siapa menulis
Mushaf, hendaknya ia memperhatikan ejaan (kaidah imla’) yang mereka
pakai dalam penulisan mushaf-mushaf dahulu, janganlah menyalahi
mereka dalam hal itu dan jangan pula mengubah apa yang telah mereka
tulis sedikit pun. Ilmu mereka lebih banyak, lebih jujur hati dan lisannya,
serta lebih dapat dipercaya daripada kita. Maka bagi kita tidak pantas
menyangka bahwa diri kita lebih tahu dari mereka.8
II.6.2. Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Utsmani dan Rasm Imla’i
Kedudukan rasm Utsmani diperselisihkan para ulama. Apakah pola
penulisan merupakan petunjuk Nabi atau hanya ijtihad kalangan
sahabat. Adapun pendapat mereka adalah sebagai berikut:

A.Jumhur Ulama berpendapat bahwa pola rasm Utsmani bersifat


taufiqi dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-
sahabat yang ditunjuk dan dipercaya Nabi SAW. Pola penulisan
tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para
sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal
yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi. Bentuk-bentuk
inkonsentensi didalam penulisan baku, tetapi dibalik itu ada rahasia
yang belum dapat terungkap secara keseluruhan. Pola penulisan
tersebut juga dipertahankan para sahabat dan tabi’in.9

Dengan demikian, menurut pendapat ini hukum mengikuti rasm


Usmani adalah wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut
merupakan petunjuk Nabi, (taufiqi). Pola itu harus dipertahankan
meskipun beberapa diantaranya menyalahi kaidah penulisan yang
telah dibukukan. Bahkan Imam Ahmad Ibnu Hambal dan Imam
8
Al-Itqan, jilid 2, halaman 167 dalam Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Surabaya: Litera
Antar Nusa, 2014), 218
9
M.Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 95.

17
Malik berpendapat bahwa haram hukumnya menulis Al-Qur’an
menyalahi rasm Usmani. Bagaimanapun, pola tersebut sudah
merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).10

B.Sebagian Ulama berpendapat, bahwa pola penulisan al-Qur’an


dalam rasm Utsmani hanya merupakan hasil ijtihad para sahabat
Nabi, tidak bersifat taufiqi . Hal ini karena, tidak ada nash baik
berupa ayat al-Qur’an maupun al-Sunnah yang menunjukkan
adanya keharusan menulis al-Qur’an menurut rasm atau pola
tertentu. Sehubungan dengan ini, al-Qadi Abu Bakr al-Baqilani
sebagaimana dikutip oleh Muhammad Rajab Farjani menyatakan
sebagai berikut :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW. Memerintahkan untuk
menulis al-Qur’an, tetapi beliau tidak menunjukkan pola tertentu
kepada para sahabat, dan tidak juga melarang menulisnya dengan
model tertentu. Karena itu, berbeda model penulisan al-Qur’an
dalam mushaf-mushaf mereka; ada yang menulis suatu lafaz al-
Qur’an sesuai dengan bunyi lafaz tersebut, dan ada yang menambah
atau menguranginya (huruf-huruf tertentu), karena mereka tahu
bahwa hal ini hanya suatu cara. Karena itu, dibolehkan menulis
mushaf dengan bentuk huruf serta pola penulisan gaya masa
lampau, dan boleh pula menulisnya dengan bentuk huruf serta pola
penulisan menurut gaya baru.”11
Ulama yang tidak mengakui Rasm Utsmani sebagai rasm
tauqifi berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al-Qur’an ditulis
dengan pola penulisan standar (rasm imla’i). Persoalan pola
penulisan diserahkan kepada pembaca. Jika pembaca merasa lebih
mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola

10
Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an, Bandung: Humaniora,2011. 110
11
Hasanuddin AF, Anatomi Al-Quran Perbedaan dan Pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum Dalam
Al-Qur’an (Cet, I; Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995), 86.

18
tersebut karena pola penulisan itu hanyalah simbol pembacaan yang
tidak akan mempengaruhi makna Al-Qur’an.12
C.Sebagian Ulama lainnya mengatakan, bahwa Al-Qur’an dengan
rasm imla’I dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi
para ulama atau yang memahami rasm Usmani tetap wajib
mempertahankan keaslian rasm tersebut. Pendapat diperkuat Al-
Zarqani dengan mengatakan bahwa rasm imla’I diperlukan untuk
menghindarkan ummat dari kesalahan membaca Al-Qur’an,
sedangkan rasm Usmani di perlukan untuk memelihara keaslian
mushaf Al-Qur’an .

Tampaknya, pendapat yang ketiga ini berupaya


mengkompromikan antara dua pendapat terdahulu yang
bertentangan. Disatu pihak mereka ingin melestarikan rasm
Utsmani, sementara dipihak lain mereka menghendaki dilakukannya
penulisan Al-Qur’an dengan rasm imla’I, untuk memberikan
kemudahan bagi kaum muslimin yang kemungkinan mendapat
kesulitan membaca Al-Qur’an dengan rasm Usmani. 13 Dan pendapat
ketiga ini lebih moderat dan lebih sesuai dengan kondisi ummat.
Namun demikian, kesepakatan para penulis Al-Qur’an dengan rasm
Usmani harus diindahkan dalam pengertian menjadikannya sebagai
rujukan yang keberadaannya tidak boleh hilang dari masyarakat
Islam. Sementara jumlah ummat Islam dewasa ini cukup besar yang
tidak menguasai rasm Usmani. Bahkan, tidak sedikit jumlah ummat
Islam untuk mampu membaca aksara arab. Mereka membutuhkan
tulisan lain untuk membantu mereka agar dapat membaca ayat-ayat
Al-Qur’an, seperti tulisan latin. Namun demikian, Rasm Usmani
harus dipelihara sebagai standar rujukan ketika dibutuhkan.
Demikian juga tulisan ayat-ayat Al-Qur’an dalam karya ilmiah,
12
Ibid, Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an. 110
13
Hasanuddin AF, Anatomi Al-Quran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1990. 90

19
rasm Usmani mutlak diharuskan karena statusnya sudah masuk
dalam kategori rujukan dan penulisannya tidak mempunyai alasan
untuk mengabaikannya.

Dari ketiga pendapat diatas penulis menarik kesimpulan bahwa


menjaga keotentikan Al-Qur’an tetap merujuk kepada penulisan
mushaf Usmani. Akan tetapi segi pemahaman membaca Al-Qur’an
bisa mengunakan penulisan yang lain berdasarkan tulisan yang
diketahui ummat Islam. Namun tidak lepas dari subtansi tulisan
mushaf Usmani. Sebab berdasarkan sejarah dalam proses penulisan
Al-Qur’an mulai dari Zaman Rasulullah, zaman khalifah Abu Bakar
sampai khalifah Usman Bin Affan yang penulisnya tidak pernah lepas
dari Zayd Bin Tsabit yang merupakan sekretaris Rasulullah SAW.
Secara historis ini membuktikan bahwa Allah SWT tetap menjaga dan
memelihara keotentikan Al-Qur’an.

II.6.3. Kaitan Rasm Al-Qur’an dengan Qira’at


Sebagaimana telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf ustmani
yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang
untuk membacanya dengan berbagai qira’at (cara membaca Al-
Qur’an). Hal itu dibuktikan dengan masih terdapatnya keragaman cara
membaca al qur’an walaupun setelah muncul mushaf usmani seperti
qiroah 7, qiro’ah 10, dan qiroah 14.14

Sejak jaman sahabat telah ada pembagian Al-Qur’an menjadi :1/2,


1/3, 1/5, 1/7, 1/9, dan sebagainya. Pembagian tersebut hanya sekedar
untuk hafalan dan amalan di tiap-tiap hari semalam. Salah satu
pembagian Al-Qur’an itu ialah dibagi menjadi 30 juz, 114 surat, dan
60 hizb.

Dengan pembagian hizb yang dipakai oleh ahli-ahli Qiraat Mesir,

14
W.Montgomery watt, Pengantar Qur’an, (Jakarta:Rajawali Press,1991), 48

20
dan atas dasar itu pulalah percetakan Amiriyah milik pemerintah Mesir
mencetak Al-Qur’an sejak tahun 1337 Hijriah sampai sekarang,
dibawah pengawasan para guru besar Al-Azhar.15

PENUTUP

Kesimpulan

Qur'an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada Muhammad saw.
15
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya (Surabaya: Mahkota,1989),
16

21
Sehingga Qur'an menjadi nama khas kitab itu, sebagai nama diri. Dan secara gabungan
kata itu dipakai untuk nama Qur'an secara keseluruhan, begitu juga untuk penamaan
ayat-ayatnya.

Al-Qur’an yang diturunkan secara bertahap oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW
ternyata mempunyai banyak hikmah salah satunya yakni menguji ketabahan Rasulullah.

Penulisan Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW yakni ditulis di tempat-tempat yang
telah dianggap lazim namun sederhana seperti lempengan batu, potongan tulang-
belulang binatang, kulit binatang, pelepah kurma dan sebagainya, kemudian disimpan di
rumah Rasul sendiri agar tetap terjaga keotentikannya.

Pada masa Khulafaur Rasyidin penulisan telah dibukukan dan dirancang dalam bentuk
mushaf khususnya pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab dan dilanjutkan pada
khalifah Ustman dan Ali hingga penulisan Al-Qur’an menjadi lebih sempurna dengan
tulisan arab yang mempunyai tanda baca seperti yang telah kita jumpai pada zaman
sekarang ini.

DAFTAR PUSTAKA

AF, Hassanudin. Anatomi Al Qur’an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1990.

Anwar, Prof.Dr.Rosihon, Ulum Quran. Jakarta:Pustaka Setia, 2015.

Izzan, Ahmad. Ulumul Qur’an. Bandung: Humaniora, 2011.

22
Mana’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Surabaya: Litera Antar Nusa, 2014

Shihab, M. Quraish. Sejarah dan Ulum Qur’an. Cet.III. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.

Tim Reviewer MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Al-Qur’an. Surabaya: UINSA
Press, 2014.

Watt, W.Montgomery, Pengantar Qur’an. Jakarta: Rajawali Press, 1991.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya. Surabaya:


Mahkota,1989.

23

Anda mungkin juga menyukai