Anda di halaman 1dari 9

TAFSIR PADA MASA SAHABAT

MAKALAH

Disusun sebagai Tugas


Pada Matakuliah metodologi tafsir al-qur’an
Dosen pengampu: A.M Ismatullah, S.Th.I,M.SI

oleh
Balqis nur fayaza 2241105010
Rafi raihan 2241105010
Irsadul anam 224110501065

PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USULUDIN ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
PROF. K.H.J SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO
2023
BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah al-Qur’an menunjukan bahwa kitab ini memang sangat untuk di pahami, di
karenakan arti al-Qur’an menunjukan arti yang sangat luas. Sangat sulit menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an yang mana mukjizat tersebut terletak pada bahasa dan isi tersebut,
dan tidak semua mengetahui atau mempelajari arti dari maksudnya. Al-Qur’an juga
mengandung segala ilmu pengetahuan yang sangat penting, al-Qur’an juga suci dan
murni yang tidak dapat di pahami dengan sempurna, lain halnya oleh mereka yang
memiliki budi pekerti yang jernih dan murni pula jiwanya.
Pada masa nabi penafsiran al-Qur’an tumbuh dan beliaulah yang mengawali dari kitab
allah untuk menjelaskan atau menerangkan wahyu-wahyu yang di bawanya. Ketika
rasullah wafat lalu para sahabat menempati posisi kedua setelah penafsiran rasullah,
seperti tafsir dari sahabat ali dan ibnu abbas (ibnu abbas wafat pada tahun 68 hijriyah)1
dan sahabat ali adalah mufasir kedua setelah rasullah.
Sahabat melakukan penafsiran secara otomatis sebagai tugas yang di embang rasul
sebelumnya dan beralih ke pada para sahabat. Penggantian ini telah di ketahui oleh Abd
muin salim dalam konsepsi kekuasan politik dalam al-Qur’an, bahwa beliau menjelaskan
kata kerja khala- yakhlufu dalam al-Qur’an di gunakan dalam arti “mengganti” baik
berupa konteks penggantian generasi atau pada pengertian penggantian dari
kepemimpinan. 2
Karena wafatnya rasullah berbagai pernyataan muncul di kalangan
sahabat sendiri tentang makna suatu ayat. Bagi para sahabat mempelajari atau
mengetahui tafsir al-Qur’qn sangat mudah di karenakan memang al-Qur’an di turunkan
dengan bahasa mereka, dan karena itu peristiwa turun ayat dapat mereka saksikan.
Pemikiran diatas akan memfokuskan pembahasan pada bagaimana pengembangan
tafsir al-Qur’an pada masa sahabat, apa yang menjadi sumber tafsir pada masa sahabat
dan bagaimana bentuk dan metode pada masa itu.

1
Husein muhammad al-zahaby, al-tafsir wa al-mufasirun , juz-1 (t,p.,1986),h.32
2
Abd Muin salim, konsepsi kukuasaan politik dalam al-Qur’an, (cet, I ;jakarta: PT , Raja Grafindo persada,
1994), h.114.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sumber atau perkembangan tafsir al-Qur’an pada masa sahabat
Rasullah saw ketika mendapatkan wahyu langsung di sampaikan kepada para sahabat serta
menafsiri makna yang perlu di tafsirkan. yang di gunakan rasullah itu ada yang menggunakan
metode qauliyah, fi’liyah dan ada juga yang memakai metode sunah taqririyah. Pada saat itu
tafsir yang di terima dari rasullah sendiri itu tidak begitu banyak.
Karena belajar memahami tafsir adalah suatu yang sangat sangat urgen, yakni harus
memahaminya, sahabat rasullah pun sangat sangat bersungguh untuk mempelajari al-Qur’an,
di tegaskan mempelajari tafsir. Apabila di antara mereka tidak mengetahui arti dari suatu ayat
al-Qur’an, segeralah mereka bertanya langsung kepada rasullah sendiri atau boleh kepada
sahabat yang dapat menjelaskanya. (Miswar,2016: 145.)
Di dalam al-Qur’an benar tidak sedikit ayat yang tidak dapat di ketahui dengan maksud
atau hanya modal bahasa saja. Karena al-Qur’an dapat di ketahui oleh sahabat itu berbeda
tingkatanya untuk memahami dan menafsiri yang di sebabkan oleh kurangnya alat untuk
memahami al-Qur’an. Menurut imam as suyuti yang di ambil oleh Ahmad al-shirbasyi bahwa
kadang-kadang kita menghampiri tafsir seorang sahabat nabi yang di kemukakan pada
beberapa susunan kalimat yang sangat sedikit sehingga sangat sulit di pahami oleh seseorang
walaupun sebenarnya tidak demikian. Namum harus di ketahui bahwa setiap keterangan
sahabat adalah makna dari ayat yang di pandang sebagai penjelasan yang sangat terang atau
yang paling memenuhi kebutuhan si penanya.
Di antara sahabat nabi ada yang menjelaskan suatu pengertian dari makna menurut
bahasa, tapi ada juga yang menjelaskan yang berbentuk kesimpulan terhadap maksud dari
suatu ayat. Juga semua seluruh keterangan yang di beri oleh sahabat itu juga sama
hakekatnya kembali lagi terhadap makna yang sama.
Dalam mabahis fi ulumul qur’an di terangkan bahwa para sahabat terkenal dalam
bidang ilmu tafsir adalah sebagai berikut:
1. Khulafaurrasidin
2. Abdullah bun mas’ud
3. Abdillan ibn abbas
4. Ubay bin kaab
5. Zaib bin tsabit
6. Abu musa al-asyary
7. Abdullah bin zubair
8. Anas bin malik
9. Abdillah ibn umar
10. Jabir bin abdullah
11. Abdullah ibn umar
12. Dan aisyah ( al-qathan, 1973:78)
Seorang mufassir yaitu ibnu Athiyyah merancang urutan para nama ulama tafsir dari
berbagai kalangan sahabat nabi. Menurut dia mufassir yang terkenal yang sudah di akui
sahabat nabi adalah Ali bin abi thalib ra.
Setelah sahabat Ali menyusul Abdullah bin abbas pada urutan kedua sahabat ibnu
abbas menafsiri al-Qur’an dengan menyempurnakan makna serta pengrtianya, tidak ada
sahabat nabi yang mendapat julukan bahrul ilm (lautan ilmu) kecuali ibnu abbas, dan
beberapa jajaran predikat yang di berikan kepadanya seperti habrul ummah (ulama umat)
dan turjumanul al-Qur’an ( juru tafsir al-Qur’an). Sahabat ali berkata bahwa sahabat ibnu
abbas bisa melihat suatu rahasia ghaib dari tirai yang sangay tipis. Sedangkan ibnu
mas’ud mengatakan bahwa dia adalah seorang penafsir al-Qur’an.( asy-syirbashi, 1994:
75)
Sahabat abdullah bin abbas adalah salah satu seorang yang hidupnya sangat banyak
bersama rasullah dari sejak kecil hingga pada suatu saat ketika malaikat jibril menemui
rasullah dan mendapatkan sahabat rasullah abdullah bin abbas lalu berwasiat kepada
rasullah saw. Bahwasanya dia adalah seorang pemimpin umat manusia dalam hal ini
maka wasiatkanlah kepada kebaikan, sehinnga nabi pun pernah mendoakan: ya allah
berikan kefahaman kepadanya dalam urusan agama dan ajarkan takwil (tafsir al-
Qur’an)
Sahabat abdulah yang sangat dekat dengan rasullah yang menjadikan dia banyak
menerima ilmu pengetahuan dari beliau, dapat dikatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an
setelah rasullah wafat beliau sangat banyak berguru kepada beberapa tokoh senior dari
beberapa kalangan sahabat, misalnya sahabat umar bin khattab, sahabat ubay bin ka’ab,
ali bin abi thalib, dan zaid bon tsabit. Ada beberapa metode yang di terapkan pada masa
sahabat abdullah bin abbas dalam kitab tafsir al-Qur’an yaitu merujuk kepada al-Qur’an
sendiri, tafsir nabi, sahabat yang lebih senior dan yang terakhir melakukan ijtihad.
2. Sumber-sumber tafsir al-Qur’an pada masa sahabat
Metode atau pemikiran para penafsir al-Qur’an yang di kasih oleh sahabat tidak
terdapat antara perbedaan dari penafsiran yang di berikan dari rasullah, kecuali di lihat
dari sudut pandang sumber. Bahwasanya kalau tafsir nabi itu datang atau berasal dari
Allah langsung atau perantara malaikat jibril atau dari nabi sendiri, sedangkan penafsiran
para sahabat itu bersumber dari al-Quran, nabi, dan ijtihad mereka. Perbedaan di antara
dua tersebut nabi lebih unggul jauh dari penafsiran para sahabat, dan hanya nabi yang
langsung menerima ayat al-Qur’an dari Allah. (miswar 2016:149)
Menurut kitab al-zahaby tafsir al-Qur’an pada masa sahabat ada sekitaran 4 macam
sumber yaitu: Al-Qur’an al-karim,Hadist hadist rasullah,Ijtihad dan Cerita ahlul kitab dari
kaum yahudi dan nasrani. ( zahaby, 1986:37) Berikut akan diuraikan:
a. Al-Qur’an al-karim
Bangsa arab pada awal di turunkanya al-Qur’an mampu bisa memahami maksud al-
Qur’an. Para sahabat sebagai orang orang yang mendapat kesempatan menyaksikan
turunya wahyu kepada nabi, bahkan tidak banyak menayakan kepada nabi. Penafsiran
al-Quran tidak pula tentang ayat-ayatnya, karena mereka adalah seorang pemilik
bahasa yang di pergunakan terhadap al-Qur’an. Kecuali hal hal yang sulit di pahami.
Karena mereka sudah merasa cukup dalam bidang balaghah dan pengetahuan mereka
tentang segala hal aspek bahasa arab. Dalam kondisi ini maka tidak perlu di susun
tafsir kecuali untuk sebagian ayat al-Qur’an yang maksudnya kurang jelas bagi para
sahabat seperti halnya ketika turun firman allah Q.S 6:62:
ٓ
َ‫وا َولَ ْم يَ ْلبِس ُٓو ۟ا ِإي ٰ َمنَهُم بِظُ ْل ٍم ُأ ۟و ٰلَِئكَ لَهُ ُم ٱَأْل ْمنُ َوهُم ُّم ْهتَ ُدون‬
۟ ُ‫ٱلَّ ِذينَ َءامن‬
َ
Artinya:
Orang-orang yang beriman dan tidak memperadukan iman mereka dengan
kedzaliman (syirik) mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang orang yang mendapat petunjuk.

Para sahabat sulit memahami kata dzulm yang terdapat pada ayat tersebut, lalu
mereka bertanya siapakah di antara kami yang tidak mendzalimi dirinya? Lalu nabi
menjawab ayat tersebut tidak seperti kalian duga akan tetapi maksud itu adalah
sebagaimana yang di katakan lukman kepada anaknya: hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, karena mempersekutukan Allah adalah benar-benar
kezaliman yang besar. (aridhl 1994: 14)
b. Hadist hadist nabi atau riwayat (nukilan dari nabi SAW.)
Setelah Rasulullah wafat pada tahun 11 H (632 M), para sahabat makin semangat dan
giat mempelajari dan memahami al-Qur’an dengan jalan riwayat ,secara lisan, dari
mulut ke mulut, dari antara sahabat yang satu kepada sahabat yang lain, terutama
kepada mereka yang sangat banyak mendengarkan hadis, tafsir dari Nabi. Penafsiran
al-Qur’an yang mengutip ulang kepada Nabi dilakukan dengan cara terutama ketika
para sahabat Nabi mendapatkan kesulitan pada saat memahami ayat dari al-Qur’an.
Karena dari beberapa ayat-ayat al-Qur’an ada juga ayat yang tidak dimengerti
takwilnya terkecuali pada saat setelah mendapatkan penjelasan atau pemahaman dari
Rasul saw. Menurut imam al-Zarqani, Nabi menerangkan ayat-ayat al-Qur’an kepada
para sahabatnya melalui perkataan nabi atau dengan perbuatan beliau atau melalui
ketetapannya (taqrirnya). Contoh, QS.al-Baqarah,/2:238.
ْ ‫ت والصَّالَ ِة ْال ُو ْسطَى َو قُو ُم‬
َ‫وا َّلل ِ ِ قَانِتِين‬ ِ ‫صلَ َو ا‬ ْ ُ‫﴾ َحافِظ‬٢٣٨ ﴿
َّ ‫وا َعلَى ال‬
Terjemahnya:
Peliharalah segala shalatmu dan perihalah shalat wustha’ berdirilah karena Allah
dalam shalatmu dengan khusyu. Kata al-Wusthā pada ayat tersebut ditafsirkan oleh
Nabi sama dengan shalat ashar.
c. Mengenai penafsiran dengan ijtihad, terdapat peselisihan diantara para sahabat.
Karena sebahagian sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an hanya berpedoman kepada
riwayat semata, tidak mau mempergunkan ijtihad. Sementara sebagian yang lain,
disamping menafsirkan ayat dengan hadis-hadis yang diterimanya dari Nabi atau dari
sesamanya, mereka menafsirkan juga dengan ijtihad. Tegasnya disamping mereka
menafsirkan dengan atsar, mereka juga menafsirkan al-Qur’an dengan berpegangan
kepada kekuatan bahasa arab dan asbab al-nuzul. Karena itu menjadilah ijtihad dasar
tafsir yang ketiga dan diantara sahabat yang menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad,
disamping riwayat, adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas. Keduanya berusaha
mengumpulkan sunnah mengenai tafsir dan keduanya terkenal mahir dalam bidang
takwil/istinbath. Karena itu, banyak paham-paham yang beliau ketengahkan dalam
memahami ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Ash-Shabuniy, tafsir dengan ijtihad disebut
juga dengan tafsir bi alDirayah, yang berdasarkan ijtihad dengan berpegang kepada
prinsip-prinsip yang benar. Ijtihad mufassir yang didukung oleh kemampuan bahasa
arab dalam berbagai aspeknya, lafalnya, dalilnya, syair-syair jahiliyahnya, demikian
asbab al-Nuzulnya, nasikh mansukhnya dan lain-lain. Penafsir harus menggunakan
nalarnya berdasarkan dalil-dalil syar’i, dan kaidah bahasa arab, terutama pada masa
turunnya ayat-ayat alQur’an. Hal ini dapat dilihat pada QS.Shad/38:29.

Artinya:
Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah
supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai fikiran.
Pemahaman dan ijtihad sahabat Nabi diperlukan ketika mereka tidak menemukan
tafsiran suatu ayat dalam kitab Allah dan juga tidak menemukannya dari penjelasan
Nabi. Diantara sahabat Nabi terdapat pedekar yang sangat tangguh dalam bidang tafsir
al-Qur’an, mereka itu antara lain :sahabat Nabi yang tergabung dalam empat khalifah
(al-Khulafā al-Arba’ah), Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit
dan lain-lain.
d. Cerita ahli Kitab (dari kaum yahudi dan Nasrani) para sahabat menjadikan pula
kisah-kisah dan penjelasan-penjelasannya, sebagai dasar bagi tafsir. Misalnya : Dari
pekabaran kitab Taurat: bahwa apabila mereka mendengar kisah anjing pemuda-
pemuda gua, umpamanya, merekapun berkata; Bagaimana rupa dan warnanya ?
Ketika mereka membaca kisah khaidir beserta Musa, mereka bertanya pula siapakah
nama anak yang dibunuh Khaidir itu ? Penjelasan-penjelasan tentang hal tersebut
banyak terdapat dalam Taurat dan dalam tambahan-tambahannya. Isi taurat dan
tambahan-tambahannya, diterima para sahabat dari orang-orang yahudi yang telah
masuk islam, seperti Ka,bul Ahbar dan Wahab Ibn Munabbih. Dan Ibnu Abbas
seringkali bersama-sama dengan Ka’bul Ahbar.19 Dengan demikian dipahami bahwa
jika para sahabat ingin mengetahui beritaberita umat terdahulu yang ada hubungannya
dengan ayat yang hendak ditafsirkan (sedang riwayat yang shahih dari Nabi tidak
diperoleh), maka mereka bertanya kepada orang Nasrani atau yahudi yang telah
masuk islam. Mereka menerima riwayat-riwayat dahulu itu dari kisah-kisah yang
diceritakan oleh orang-orang tua mereka. Dengan demikian masuklah keterangan-
keterangan yang disampaikan oleh orang yahudi ke dalam bidang tafsir dalam hal
yang tidak bersangkutan dengan hukum. Padahal Nabi SAW tidak membenarkan para
sahabat untuk mempercayai kisah-kisah itu. Dengan tidak disadari kisah-kisah
tersebut menjadi bahan tafsir. Dan inilah yang disebut dengan israiliyyat. Abuddin
Nata menambahkan bahwa jikalau kita mengamati metode penafsiran sahabat Nabi
saw., ditemukan bahwa pada dasarnya setelah mereka gagal menemukan penjelasan
Nabi saw, mereka merujuk kepada pemggunaan bahasa dan syair-syair Arab.20
Cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini, misalnya Umar ibn
Khattab pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah QS.16:47.
3. Bentuk dan Metode Tafsir Sahabat.Dilihat dari segi sumber-sumber tafsir tersebut, bentuk
tafsir para sahabat pada umumnya adalah al-Ma’sur, yaitu penafsiran yang lebih banyak
didasarkan atas sumber yag diriwayatkan atau diterima dari Nabi dari pada pemikiran (al-
ra’yu).. Dilihat dari segi metode penafsiran, ternyata para sahabat memakai metode tafsir
ijmali (gobal), yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara singkat dan ringkas, hanya
sekedar memberi penjelasan muradif (sinonim) kata-kata yang sukar dengan sedikit
keterangan. Menurut Abd Muin Salim, dalam praktek penafsiran al-Qur’an pada masa
sahabat sudah menggunakan berbagai teknik interpretasi, diantaranya
1. Teknik Interpretasi Tekstual
2. Teknik Interpretasi Linguistik
3. Teknik Interpretasi Sosio Historis
4. Teknik Interpretasi Teleologis
5. Teknik Interpretasi Kultural
6. Teknik interpretasi logis

KESIMPULAN
1. Penafsiran para sahabat pada mulanya didasarkan atas sumber yang mereka
terima dari Nabi saw. Mereka menerima bacaan ayat-ayat al-Qur’an langsung
dari Nabi. Juga menyaksikan peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat.
serta banyak mendengarkan tafsiran Nabi dan memahami serta menghayatinya
dengan baik..
Adapun Sumber-sumber tafsir pada masa sahabat paling tidak ada empat yaitu: alQur’an al-
Karim, Hadis-hadis Nabi, Ijtihad atau kekuatan istinbath (melalui
bahasa, budaya, adat kebiasaan bangsa Arab), serta cerita ahli kitab dari kaum
yahudi dan Nasrani yang dikenal dengan israiliyat
2. Metode penafsiran al-Qur’an yang ditempuh oleh sahabat tidak jauh berbeda
dengan penafsiran yang diberikan oleh Nabi. Tafsir Nabi berasal dari Allah
langsung atau lewat jibril atau dari pribadi beliau sendiri, sementara penafsiran
sahabat bersumber dari al-Qur’an, Nabi dan ijtihad mereka ditambah dengan
israiliyat (meskipun hal tersebut tidak diperkenankan oleh Nabi.). Jadi
perbedaan teknis tidak begitu jauh, namun dari segi kualitas, jelas penafsiran
Nabi jauh lebih unggul dan lebih terpercaya karena beliau langsung menerima
ayat dari Allah

Anda mungkin juga menyukai