Anda di halaman 1dari 15

Bab 1

Pendahuluan

A.Latar Belakang

Al –Qur’an adalah suatu pedoman hidup umat islam yang mana telah dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW untuk umat-Nya dengan perantara Malaikat Jibril yaitu isi tentang perkataan Ilahi
dan mengandung banyak yang terkait dalam hidup kita dunia maupun di akhirat dan mengetahui
makna dari al-qur’an tersebut adalah sebuah kewawjiban bagi umat islam tersendiri Karena
mengetahui makna dari kalam ilahi berarti melaksanakan dan megerti apa yang di perintahnya dan
menjauhi larangan-nya

B.Rumusan Masalah

 Mengetahui Sejarah Tafsir


 Mengenal Lebih dalam apa itu Ilmu Tafsir

C.Tujuan Dan Manfaat

 Agar Umat Islam Tak Melupakan Sejarah Tafsir


 Mengetahui Beberapa Jenis Tafsir
 Megenal Tafsir Lebih Dalam
Bab 2

Pembahasan

A.Pengertian Tafsir

Tafsir Al-Qur'an (bahasa Arab: ‫ )تفسير القرآن‬adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan
menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur'an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al-Qur'an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang
tidak di pahami dan samar artinya. Kebutuhan umat Islam terhadap tafsir Al-Qur'an, sehingga makna-
maknanya dapat dipahami secara penuh dan menyeluruh, merupakan hal yang mendasar dalam rangka
melaksanakan perintah Allah (Tuhan dalam Islam) sesuai yang dikehendaki-Nya.

Dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab,
tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur'an dan isinya. Ilmu untuk
memahami Al-Qur'an ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an (ilmu-
ilmu Al-Qur'an). Terdapat tiga bentuk penafsiran yaitu Tafsîr bil ma’tsûr, at-tafsîr bir ra’yi, dan tafsir
isyari, dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih
beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya
kemasyarakatan

Tafsir menurut bahasa mengandung arti kata lain :


a. Menjelaskan, menerangkan yakni ada sesuatu yang semula belum atau tidak jelas memerlukan
penjelasan lebih lanjut, sehingga jelas dan terang.
b. Keterangan sesuatu, yakni ; perluasan dan pengembangan dari ungkapan-ungkapan yang masih sangat
umum dan global, sehingga menjadi lebih terperinci dan difahami serta dihayati.2
c. alat-alat kedokteran yang khusus dipergunakan untuk dapat mendeteksi atau mengetahui segala
penyakit yang diderita oleh seorang pasien). Kalau tafsiroh adalah alat kedokteran yang mengungkap
penyakit dari seorang pasien, maka tafsir dapat mengeluarkan makna yang tersimpan dalam kandungan
ayat-ayat alQur‟an.3 Dalam Al-Qur‟anul karim, kata tafsir diungkapkan hanya satu kali saja dalam surat
al-Furqon ayat 33 :
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang padamu (membawa) sesuatu
yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan paling baik penjelasannya
(ahsana tafsira)”.
Sedangkan tafsir menurut istilah, para Ulama‟ memberikan rumusan yang berbeda-beda, karena
perbedaan dalam titik pusat perhatiannya, namun dalam segi arah dan tujuannya sama.(1)

B.Sejarah Tafsir

Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah masih hidup sering kali timbul beberapa perbedaan
pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan

pada Rasulullah .

Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat khalifah, Ibnu
Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada
masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadis (2)

Al-Qur’an turun membawa hukum-hukum dan syariat secara berangsurangsur menurut konteks
peristiwa dan kejadian selama kurun waktu dua puluh tahun lebih. Namun hukum-hukum dan syariat ini
ada yang tidak dapat dilaksanakan sebelum arti, maksud dan inti persoalannya dimengerti dan difahami.

Pada saat al-Qur’an diturunkan, Rasulullah Saw. menjelaskan kepada para sahabat tentang arti
dan kandungan ayat yang samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Muhammad
Saw. Jika pada masa Muhammad Saw. Para sahabat bisa langsung menanyakan kepadanya, tetapi setelah
beliau wafat mau tidak mau mereka harus melakukan ijtihad, padahal masih banyak ayat al-Qur’an yang
belum diketahui tafsirannya. Di samping itu, para sahabat juga ada yang menanyakan tentang sejarah
nabinabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam al-Qur’an kepada para tokoh ahlul kitab yang telah
memeluk agama Islam. Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui
para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur'an yang masing-
masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri, yaitu:

 Mekkah dengan madrasah Ibnu Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid ibn Jabir, Atha bin
Abi Rabah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani dan Said ibn Jabir,
 Madinah dengan madrasah Ubay ibn Ka'ab dengan murid-murid Muhammad bin Ka'ab al-
Qurazhi, Abu al-Aliyah ar-Riyahi dan Zaid bin Aslam, dan
 Irak dengan madrasah Ibnu Mas'ud dengan murid-murid Hasan al-Bashri, Masruq ibn al-
Ajda, Qatadah bin Da'amah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan Marah al-Hamdani.

(1) Wikipedia.Sejarah Tafsir


(2) ibid
Dari sini lahirlah benih-benih israiliyat. sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan
tabi’in, seperti Sa’id bin Zubair, Ka’ab Al-Ahbar, Zaid bin Aslam, Hasan Al-Bashri dan lain-lain.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul Saw., penafsiran para sahabat, serta penafsiran
tabi’in, disebut tafsir bil ma’tsur. Masa ini disebut dengan periode pertama dalam perkembangan tafsir.

Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi’in, sekitar tahun 150 H
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut
pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Meskipun begitu
mereka tetap berpegangan pada tafsir bi al-Ma`tsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad
berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi ar-
ra'yi yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan
ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyari., hal ini merupakan
periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir. Pada periode ini, hadis-hadis telah beredar dengan sangat
pesat, dan juga mulai bermunculan hadist-hadist palsu dan lemah di kalangan masyarakat. Sementara itu,
perubahan sosial semakin menonjol dan timbullah persoalan yang belum pernah terjadi pada masa nabi,
sahabat dan tabi’in.

Pada mulanya usaha penafsiran al-Qur’an berdasar ijtihad masih sangat terbatas dan terikat
dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan
berkembangnya laju masayarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad
dalam penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh al-Qur’an yang
keadaannya dikatakan oleh ,Abdullah Darraz dalam Al-Naba’ Al-Azhim: ‘Bagaikan intan yang setiap
sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan
tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak
dari apa yang anda lihat’.(3)

Muhammad Arkonoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: “al-Qur‟an


memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya
mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu
terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.” (4)

(3) M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), 72.

(4) Ibid.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwasanya seorang penafsir memiliki pandangan tersendiri
terhadap cara memandang makna alqur’an dan Tidak diragukan lagi bahwa sejarah tafsir al-Qur‟an
berlangsung melalui berbagai tahap dan kurun waktu yang panjang sehingga mencapai bentuknya yang
kita saksikan sekarang ini berupa tulisan berjilid-jilid banyaknya, baik yang
tercetak maupun yang masih berupa tulisan tangan

C.Corak Tafsir

Perkembangan tafsir al-Qur’an dari waktu ke waktu hingga masa sekarang dikenal berbagai corak
penafsiran al-Qur’an, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir dan perkembangan zaman
yang melingkupinya. Hal itu ditopang oleh al-Qur’an sendiri seperti dikatakan Abdullah Darraz, bagaikan
intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-
sudut yang lain.(5) Setiap mufassir yangmemiliki bidang keahlian tertentu dan menafsirkan al-Qur’an
berdasarkan latar belakang keahlian dan ilmu-ilmu yang dimilikinya, kemudian muncullah corak tafsir
yang bermacam-macam sebagaimana yang akan dijelaskan di bawah ini.

Pertama, Corak Bahasa

Corak lughawi adalah penafsiran yang dilakukan dengan kecenderungan atau pendekatan melalui
analisa kebahasaan. Tafsir model seperti ini biasanya banyak diwarnai dengan kupasan kata per kata
(tahlil-al-lafdz), mulai dari asal dan bentuk kosa kata (mufradat), sampai pada kajian terkait gramatika
(ilmu alat), seperti tinjauan aspek nahwu, shorf, kemudian dilanjutkan dengan qira’ah. Tak jarang para
mufasir juga mencantumkan bait-bait syair Arab sebagai landasan dan acuan.(6)

Oleh karena itu, seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan bahasa harus
mengetahui bahasa yang digunakan alQur’an yaitu bahasa Arab dengan segala seluk-beluknya, baik yang
terkait dengan nah}wu, balaghah dan sastranya. Dengan mengetahui bahasa Al-Qur’an, seorang mufasir
akan mudah untuk melacak dan mengetahui makna dan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an sehingga akan

mampu mengungkap makna di balik kalimat tersebut. Bahkan Ahmad Shurbasi menempatkan
ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu, shorf, etimologi,
balaghah dan qira’ah) sebagai syarat utama bagi seorang mufasir.(7)),

(5) Muhammad Chirzin, Permata al-Qur’an, Qirtas, Yogyakarta, 2003, hlm 79

(6) Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008), 87-89

(7) Ahmad Shurbasi, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Jakarta: Kalam Mulia, Cet. I, 1999
sinilah, urgensi bahasa akan sangat tampak dalam penafsirkan Al-Qur’an. Di antara kitab tafsir yang
menekankan aspek bahasa atau lughahadalah Tafsir al-Jalalain karya bersama antara al-Suyuthi dan al-
Mahalli, Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, dan lain-lain. Arab, yang timbul akibat banyaknya
orang non-Arab yang memeluk Islam, serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra,
sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman
arti kandungan al-Qur‟an di bidang ini.

Kedua, Corak Filsafat dan Teologi

Di antara pemicu munculnya keragaman penafsiran adalah perkembangan kebudayaan dan


pengetahuan umat Islam. Bersamaan dengan itu pada masa Khilafah ‘Abbasiyah banyak

digalakkan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Di antara buku-buku yang
diterjemahkan tersebut adalah buku-buku filsafat, yang pada gilirannya dikonsumsi oleh umat Islam,
akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat

masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan atau tanpa sadar masih

mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka, Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju
atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka. Tafsir falsafi adalah salah satu cara penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Penafsiran ini berupaya mengompromikan
atau mencari titik temu antara filsafat dan agama serta berusaha menyingkirkan segala pertentangan di
antara keduanya.(8)

Di antara ulama yang gigih menolak para filosof adalah Hujjah alIslam Imam Abu Hamid Al-Ghazali
yang mengarang kitab al-Isyarat dan kitab-kitab lain untuk menolak paham mereka. Tokoh yang juga
menolak filsafat adalah Imam Fakhr Ad-Din Ar-Razi, yang menulis sebuah kitab tafsir untuk menolak
paham mereka kemudian diberi judul Mafatih alGhaib. Kedua, kelompok yang menerima filsafat bahkan
mengaguminya. Menurut mereka, selama filsafat tidak bertentangan dengan agama Islam, maka tidak ada
larangan untuk menerimanya. ulama yang membela pemikiran filsafat adalah adalah Ibn Rusyd yang
menulis pembelaannya
terhadap filsafat dalam bukunya at-Tahafut at-Tahafut, sebagai sanggahan terhadap karya Imam al-
Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah. (9)

(8)Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 2007,
hlm 73

(9) Mohammad Nor Ichwan memahami Bahasa alquran, kerjasama Pustaka Pelajar dengan Walisongo
Press,semarang, hlm. 115-116
Ketiga, corak penafsiran ilmiah,

Corak ini muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu muncul
usaha-usaha penafsiran al-Qur’an yang sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi. Di samping itu,
al-Qur’an juga mendorong perkembangan ilmu
pengetahuan. al-Qur’an mendorong umat Islam untuk memerdekakan akal dari belenggu keraguan,
melepaskan belenggu-belenggu berfikir, dan mendorongnya untuk mengamati fenomena alam. Allah
ta’ala telah mendorong kita untuk mengamati ayat-ayat kauniyah, di samping ayat ayat qur’aniah, oleh
karena itu, mendorong manusia untuk berfikir dan memahami al-Qur’an secara mendalam. Keberadaan
ayat yang memiliki ketelitian redaksi mengindikasikan bahwa ayat-ayat seperti ini ditujukan bagi
kelompok tertentu yang mampu berfikir secara mendalam. Merekalah yang dibebani untuk
menyingkapnya karena hanya mereka yang mampu
melakukannya, sebagaimana hanya ahli Balaghah-lah yang dapat mengungkap keindahan bahasa al-
Qur’an.Dengan semangat ini, bermunculan mufasir yang menafsirkan ayatayat kauniah dengan bertolak
dari proposisi pokok-pokok bahasa, berdasarkan kapasitas keilmuan yang mereka miliki dan hasil
pemikiran dan pengamatan langsung terhadap fenomena-fenomena alam. Menurut Muhammad Shahrur,
sebagaimana dikutip oleh Abdul Mustaqim, untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an yang berisi informasi
ilmu pengetahuan diperlukan ‚ta’wilil ‘ilmi (penafsiran secara ilmiah). Dengan demikian, posisi Nabi
Muhammad SAW. sebagai Nabi sebenarnya belum melakukan takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
berisi informasi ilmu pengetahuan tersebut

. Nabi hanya diberi tugas untuk menyampaikannya kepada manusia tanpa menakwilkannya. Kalaupun
Nabi melakukan takwil, maka takwil itu merupakan sesuatu yang nisbi, sesuai dengan konteks zamannya.
(10)

Berangkat dari paradigma ini, penakwilan terhadap al-Qur’an harus dilakukan secara terus
menerus sesuai perkembangan dan kemajuan zaman dan ilmu pengetahuan. Asumsi ini berlandaskan pada
konsep thabat alnash} wa taghayyur al-muhtawa (bahwa teks al-Qur’an itu tetap, sedangkan pemahaman
mengenai kandungannya bersifat dinamis). Masih menurut Shahrur, dengan melakukan takwil, seseorang
akan dapat membuktikan kemu’jizatan al-Qur’an, tidak saja dari aspek linguistic atau keindahan bahasa,
akan tetapi juga dari aspek saintifik dan sisi keilmiahannya. Hal ini karena al-Qur’an tidak hanya untuk
orang Arab, melainkan untuk seluruh manusia.(11)

(10) Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008), 128

(11) ibid.
Hanya saja, perlu digarisbawahi, bahwa meskipun ayat-ayat alQur’an bisa ditakwil oleh manusia, namun
yang dapat menakwilkan secara sempurna hanyalah Allah, sebab pengetahuan Allah bersifat sempurna
dan mutlak, sedangkan hasil takwil yang dilakukan oleh manusia bersifat
relatif, karena pengetahuan manusia juga bersifat nisbi. Sebagai konsekuensinya, takwil harus bersifat
‚sairurah (on going process) berkembang terus-menerus seiring kemajuan dan perkembangan teori ilmu
pengetahuan.(12) kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an
sejalan dengan berkembangnya ilmu itu sediri.

Keempat, corak fiqih atau hukum,

Sebagaimana corak-corak lain yang mengalami perkembangan dan kemajuan dengan berbagai
macam kritik dan pro kontranya, corak fiqhi
merupakan corak yang berkembang. Tafsir fiqhi lebih popular disebut tafsir ayat al-Ahkam atau tafsir
ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an.(13)

Dilihat dari sisi pro-kontranya, tafsir corak fiqhi merupakan jenis corak yang banyak diterima hampir
semua lapisan mufasir.(14) Tafsir ini berusia sudah sangat tua, karena kelahirannya bersamaan dengan
kelahiran tafsir al-Qur’an itu sendiri. Banyak sekali judul kitab yang layak untuk disebutkan dalam
deretan daftar nama-nama kitab tafsir ayat al-Ahkam, baik dalam bentuk tahlili maupun maudhu’i, antara
lain : Ahkam Al-Qur’an karya al-Jashshas} (917-980 M), seorang faqih madhhab Hanafi. Ahkam Al-
Qur’an karya ibn al-‘Arabi (1075-1148 M). al-Jami’ lil ahkamil-Qur’an karya al-Qurthubi (w-1272 M).
Ahkam Al-Qur’an karya al-Shafi’i (w: 204 H.). dan masih banyak lagi karya tafsir di bidang fikih atau

Sebelum membahas mengenai tafsir sufi, sebaiknya terlebih dahulu membahas tentang kata sufi,
menurut Ibnu Khaldun, kata tasawuf memiliki beberapa versi pengertian, salah satunya ialah
mushtaq dari kata shuf, karena para sufi memakai pakaian yang berbeda dengan masyarakat
umum yang memakai pakaian mewah, mereka menggunakan kain shuf (tenunan dari bulu

(12) Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an ; Qira’ah Mu’ashirah, (Damaskus: al-Ahali-li al-Thiba’ah) al-Nashr wa al-
Tauzi’, 1992),60

(13) Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur,2009), 200

(14) Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur,2009), 201

(15) Abu Abdillah al-Qurthubi, al-Jami’ lil Ahkamil-Qur’an, (Bairut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Arabi, Cet. V,
2003) Jilid. 6 hal. 90
domba atau yang disebut dengan wol), sebagai praktek gaya hidup sederhana dan kezuhudan. Ada pula
yang mengatakan, kata sufi diambil dari kata shafa’, yang berarti suci, hal ini karena kesucian hati para
sufi, dan kesucian kondisi batin dan lahir mereka dari menentang Allah. Ada juga yang mengatakan
diambil dari shuffah yang dinisbatkan pada sahabat-sahabat Nabi dari golongan yang tidak mampu yang
kemudian mereka dikenal dengan ahli shuffah. Pendapat yang lain menyebutkan bahwa kata ini bukan
mushtaq tapi merupakan laqab (sebutan) bagi mereka.(16)

Tafsir sufi dibagi menjadi dua, tafsir sufi nadzari dan tafsir sufi ishari. Tafsir sufi nadzari adalah tafsir
sufi yang berlandaskan pada teori-teori dan ilmu-ilmu filsafat(17)

Sedangkan tafsir sufi ishari adalah menafsirkan ayatayat al-Qur’an tidak sama dengan makna lahir dari
ayat-ayat tersebut, karena disesuaikan dengan isyarat-isyarat tersembunyi yang nampak

pada para pelaku ritual sufistik, dan bisa jadi penafsiran mereka sesuai dengan makna lahir sebagaimana
yang dimaksud dalam tiap-tiap ayat tersebut.(18)

Penafsiran yang dilakukan oleh para sufi, pada umumnya dikuasaioleh ungkapan mistik. Ungkapan-
ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali orang-orang sufi dan yang melatih diri untuk menghayati
ajaran tasawuf. Terdapat dua arah dalam menafsirkan al-Qur’an dengan corak:
a. Tasawuf Teoretis ( al-Tasawuf al-Nadhary)
Aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji al-Qur’an berdasarkan teori-teori mazhab dan sesuai dengan
ajaran-ajaran mereka. Mereka berusaha maksimal untuk menemukan ayat-ayat al-Qur’an tersebut, faktor-
faktor yang mendukung teori mereka, sehingga tampak berlebihan dan keluar dari dhahir yang
dimaksudkan syara’ dan didukung oleh kajian bahasa. Penafsiran demikian ditolak dan sangat sedikit
jumlahnya. Tidak pernah ada karya yang lahir dari aliran ini. Hanya karya-karya penafsiran ayat-ayat al-
Qur’an secara acak yang dinisbatkan kepada Ibn Arabi yang bernama kitab al-Futuhat al-Makiyyah dan
alFushush al-Hikam.
b. Tasawuf praktis ( al-Tasawu al-‘Amaly)
Yang dimaksud dengan tasawuf praktis adalah tasawuf yang mempraktekkan gaya hidup sengsara, zuhud
dan meleburkan diri dalam ketaatan Allah SWT. Para tokoh aliran ini menamakan tafsir mereka dengan
(16) Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (Kairo: Maktabah at-Taufiqiyah, t.th.), 522

(17) Al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadith, 2005), 297.

(18) ibid.308
al-Tafsir al-Isyari, atau disebut juga Tafsir al-Faidhi yaitu menta’wil ayat-ayat, berbeda dengan arti
dhahirnya berdasarisyarat-isyarat tersembunyi yang

hanya tampak jelas oleh para pemimpin suluk, namun tetap dapat dikompromikan dengan arti
dhahir yang dimaksudkan. Di antara kitab tafsir tasawuf praktis ini adalah ‘Arais al-Bayan fi
Haqaiq al-Qur’an karya Imam as-Syirazi, Ruh al-Ma’ani karya AlAlusi, Gharaib al-Qur’an wa Raghaib
al-Furqan karya Imam alNaisabury, Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Tusturi dan Haqaiq alTafsir oleh
al-Alamah Abu Abdurrahman al-Sulami al-Sufi.(19)

Menurut Quraish Shihab, corak ini muncul akibat munculnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi
dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang
dirasakan.(20) Di samping karena dua faktor yang dikemukakan oleh Qurais Shihab di atas, faktor lain
adalah karena berkembangnya era penerjemahan karya-karya filsafat Yunani di dunia Islam, maka
muncul pula tafsir-tafsir sufi falsafi. Antara lain adalah Tafsir al-Qur’an karya Sahal ibn Abdillah
al-Tustari (w: 283H). Tafsir ini dinilai oleh sebagian orang tidak memuaskan karena tidak lebih dari 200
halaman dan tidak lengkap mengapresiasi al-Qur’an 30 juz.(21)
Kemudian muncul pula Haqaiq al-Tafsir karya Abu Abdurrahman al-Sulami (w: 412 H). Namun tafsir ini
dinilai oleh Ibnu Shalah} dan al-Dhahabi sebagai tafsir yang banyak mengadung kecacatan, bahkan
dituduh banyak bid’ah, berbau syi’ah dan banyak memuat hadis maudhu’.(22) Demikian pula al-Dhahabi
dalam kitab Tadzkirah al-Huffaz} pernah berkomentar bahwa kitab Haqaiq al-Tafsir banyak terdapat
takwil kaum bathini. Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhaj al-Sunnah menyatakan bahwa kitab tersebut
banyak dusta.37 ibid Ada juga pula Lathaif al-Isyarat karya Abd al-Karim ibn Hawazin ibn Abdul-Malik
ibnu Thalhah ibnu Muhammad al-Qushairi (374 H- 465 H). Kitab ini dinilai positif oleh para ulama
karena penafsirannya tidak menyimpang dan selalu berusaha mempertemukan antara dimensi syariat dan
hakikat, antara lain makna lahir dan batin. Selain itu, tafsir tersebut relatif steril dari pembelaan ideologi
madzhab.38ibid
akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecendrungan berbagai pihak terhadap materi,
atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.

(19) Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm 72

(20) Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), 108.
(21) Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 62.

(22) ibid.
Keenam, bermula pada masa Muhammad Abduh, corak-corak tersebut mulai berkurang dan
perhatian mulai tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan, yakni satu corak tafsir yang
menjelaskan petunjuk ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta
usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah
mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjukpetunjuk tersebut dalam bahasa
yang mudah dimengerti.

al-Adabi w-al-Ijtima’i terdiri dari dua kata, yaitu al-Adabi dan al-Ijtima’i. Corak tafsir yang
memadukan filologi dan sastra (tafsir adabi), dan corak tafsir kemasyarakatan. Corak tafsir
kemasyarakatan ini sering dinamakan juga ijtima‘i. Kata al-Adabi dilihat dari bentuknya termasuk masdar
(infinitif) dari kata kerja (madi) aduba, yang berarti sopan santun, tata krama dan sastra. Secara leksikal,
kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku
dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya.

. Oleh karena itu, istilah al-adabi bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata al-Ijtima‘i
bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan atau sosial. Jadi
secara etimologis tafsir al-Adabi al-Ijtima‘I adalah tafsir yang berorientasi pada satra budaya dan
kemasyarakatan, atau bisa disebut dengan tafsir sosio-kultural.(23)

Corak al-Adabi w-al-Ijtima ’i

Kepopuleran corak ini dimulai pada masa Shaikh Muhammad Abduh (1849-1905).(24) Corak tafsir Al-
Adabi-l-Ijtima‘ adalah corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang
berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit
masyarakat atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan
petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.(25).
Jadi, corak penafsiran al-Adabi-l-Ijtima‘ adalah corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya
kemasyarakatan. Suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi

(23) M. Karman Supiana, Ulumul Qur’an (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002), 316-317.

(24) Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), 108.

(25) ibid.
ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang
indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat, kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut
dengan hukumhukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.

Tafsir al-Qur’an juga ada yang bercorak tarbawi, kata tarbawi bermakna sesuatu yang bersifat
atau mengenai pendidikan (26)

dari arti ini, tafsir tarbawi berarti tafsir yang digunakan sebagai alat untuk mengeksplor
ajaran-ajaran Islam dalam kaitannya untuk mengembangkan dan mencapai tujuan

Ketujuh Corak Tafsir Tarbawi pendidikan.

Definisi dari tafsir tarbawi sendiri adalah tafsir yang menekankan kepada tematema dan untuk
keperluan tarbiyah (pendidikan Islam), sehingga yang menjadi fokus pada pembahasan tafsir bercorak
seperti ini adalah sistem pengajaran yang ada dalam al-Qur’an, seperti bagaimana (27), Luqman
mengajari anaknya untuk tidak menyekutukan Allah, bagaimana alQur’an mengajarkan umat Islam untuk
berbuat baik kepada kedua orang tuanya, selama kedua orang tuanya tersebut tidak mengajak pada
kesyirikan. Contoh dari penafsiran bercorak seperti ini bisa kita lihat pada Surah Al Luqman Yang
artinya:

Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi


pelajaran kepadanya: hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang
besar(.28)

Dalam ayat ini, Luqman bin ‘Anqa’ bin Sadun berpesan kepada anaknya yang bernama Tharan
agar tidak menyekutukan Allah, karena menyekutukan Allah termasuk kedzaliman yang besar. Hal ini
menurut Ibnu Kathir bisa dimaklumi mengingat orang tua merupakan orang yang paling sayang terhadap
anaknya, maka pantas jika ia memberikan yang terbaik untuk anaknya, dan pelajaran pertama yang
diberikan oleh Luqman adalah ajaran ketauhidan dan peringatan agar menjauh dari berbuat dzalim kepada
Allah, yaitu dengan cara menyekutukan-Nya.(29)

(26) Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, t.th.),454.

(27).mengenal corak tafsir alqur’an .el furqonia edisi 01 no 1 agustus 2015 Abdul Syukur Al-Mujtama’ Pamekasan
(28) Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: UD Mekar, 2000), 654.

(29) Ibnu Kathir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.t, Dar Thayyibah, 1999), 412
Bab 3

Penutup

Kesimpulan

 Di dalam setiap tafsir memiliki kelebihan masing-masing dan memiliki ciri khas masing-masing
 Tafsir memiliki ciri khas di setiap penulisnya
 Dan Dalam penulisan tafsir memiliki sejarah tersediri
Daftar Pustaka

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Penerbit Mizan, 2002),

Ibnu Kathir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.t, Dar Thayyibah, 1999)

Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: UD Mekar, 2000),

Abdul Syukur Al-Mujtama’ mengenal corak tafsir alqur’an .el furqonia edisi 01 no 1 agustus
2015 ,Pamekasan

M. Karman Supiana, Ulumul Qur’an (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002)

Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007)

Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, t.th.)

Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008)

Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007

Al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadith, 2005)

Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur,2009)

Abu Abdillah al-Qurthubi, al-Jami’ lil Ahkamil-Qur’an, (Bairut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Arabi, Cet.
V, 2003) Jilid. 6

Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (Kairo: Maktabah at-Taufiqiyah, t.th.)

Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an ; Qira’ah Mu’ashirah, (Damaskus: al-Ahali-li al-Thiba’ah) al-Nashr wa


al-Tauzi’, 1992)

Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur,2009)

Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 2007,

Mohammad Nor Ichwan memahami Bahasa alquran, kerjasama Pustaka Pelajar dengan Walisongo
Press,semarang,

Ahmad Shurbasi, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Jakarta: Kalam Mulia, Cet. I, 1999)

Muhammad Chirzin, Permata al-Qur’an, Qirtas, Yogyakarta, 2003.

Anda mungkin juga menyukai