Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan dengan kebenaran mutlak yang menjadi sumber ajaran
Islam. Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang memberi petunjuk kepada jalan yang
benar. Ia berfungsi untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara
pribadi maupun kelompok. Ia juga menjadi tempat pengaduan dan pencurahan hati bagi yang
membacanya. Al-Qur’an bagaikan samudra yang tidak pernah kering airnya, gelombangnya
tidak pernah reda, kekayaan dan khazanah yang dikandungnya tidak pernah habis, dapat
dilayari dan selami dengan berbagai cara, dan memberikan manfaat dan dampak luar biasa bagi
kehidupan manusia. Dalam kedudukannya sebagai kitab suci dan mukjizat bagi kaum
muslimin, Al-Qur’an merupakan sumber keamanan, motivasi, dan inspirasi, sumber dari segala
sumber hukum yang tidak pernah kering bagi yang mengimaninya. Di dalamnya terdapat
dokumen historis yang merekam kondisi sosio ekonomis, religious, ideologis, politis, dan
budaya dari peradaban umat manusia sampai abad ke VII masehi.

Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an melalui
penafsiran-penafsiran, memiliki peranan sangat besar bagi maju-mundurnya umat, menjamin
istilah kunci untuk membuka gudang simsimpani yang tertimbun dalam Al-Qur’an.
Sebagai pedoman hidup untuk segala zaman, dan dalm berbagai aspek kehidupan
manusia, Al-Qur’an merupakan kitab suci yang terbuka (open ended) untuk dipahami,
ditafsirkan dan dita’wilkan dalam perspektif metode tafsir maupun perspektif dimensi-dimensi
kehidupan manusia. Dari sini muncullah ilmu-ilmu untuk mengkaji Al-Qur’an dari berbagai
aspeknya, termasuk di dalamnya ilmu tafsir.

1
BAB II
SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

A. PENGERTIAN ILMU TAFSIR

Tafsir adalah suatu upaya mencurahkan pemikiran untuk memahami, memikirkan dan
mengeluarkan hukum yang terkandung dalam Al-Quran agar dapat diaplikasikan sebagai dasar
utama penetapan hukum.

Istilah tafsir didalam Al-Quran dapat dilihat pada surat Al-Furqan (25):33 yang berbunyi:

ْ َ‫سيرًاوَأ‬
َ ‫ح‬
ََ‫سن‬ ِ ‫َق تَ ْف‬ ْ ِ‫ك ب‬
َِ ‫الح‬ ََ ‫ج ْئنَا‬ ََ ِ‫م َثلَ إ‬
ِ ‫ّل‬ ََ ‫ي َْأتُوو‬
ََ َ‫َّل ن‬
َ ِ‫ك ب‬

Artinya : Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.
(QS. Al-Furqan : 33)

Secara harfiyah, kata tafsir yang berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk
masdar dari kata fassara serta terdiri dari huruf fa, sin dan ra itu berarti keadaan jelas (nyata
dan terang) dan memberikan penjelasan.

Ahmad Al-Syirbashi memaparkan ada dua makna tafsir dukalangan ulama, yakni : (1)
keterangan atau penjelasan sesuatu yang tidak jelas dalam Al-Quran yang dapat menyampaikan
pengertian yang dikehendaki, (2) merupakan bagian dari ilmu Badi’ yaitu salah satu cabang
ilmu sastra Arab yang mengutamakan keindahan makna dalam menyusun kalimat.

Sementara itu secara singkat al-Zahabi mengartikannya dengan al-Idhah wa al-Tabyin


yaitu penjelasan dan keterangan. Pengarang al-Majmu’ al-Wasith mengemukakan bahwa tafsir
bermakna menjelaskan (wadhaha) atau membuka sesuatu yang tertutup, seperti penelitian
seorang dokter atau megungkap maksud yang dikehendaki suatu lafal yang musykil.
Menurut Dr. Abd. Muin Salim semua itu dapat dikompromikan sehingga ada tiga konsep yang
terkandung dalam istilah tafsir :
1. Kegiatan ilmiah yang berfungsi memahami dan menjelaskan kandungan Al-Quran.
2. Ilmu-ilmu (pengetahuan) yang dipergunakan dalam kegiatan tersebut.Ilmu
(pengetahuan) yang merupakan hasil kegiatan ilmiah tersebut.1

1
Prof.Dr.Abd.Muin Salim, MA, Metodologi Ilmu Tafsir(Yogyakarta:Penerbit Teras,2010), h.26-30

2
B. KETERKAITAN ILMU TAFSIR DAN ULUMUL QURAN
Tafsir merupakan ruang lingkup Ulumul Quran dan relevansinya dengan tafsir Oleh
sebab itu keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat.
Kita meyakini bahwa Al-Quran benar-benar mengandung pengetahuan dan petunjuk yang
akan mengarahkan umat manusia kepada keselamatan dan kebahagiaan di dunia maupun
akhirat. Keyakinan tersebut tentu tidak akan ada hasilnya, jika kita tidak mempelajari dan
mengamalkan pengetahuan serta petunjuk yang ada didalamnya.
Oleh karena itu, merupakan sikap bijaksana, jika kita terlebih dahulu mengingatkan diri
sendiri agar senantiasa merenungkan kandungan Al-Quran, dan mempelajari seluk beluk
yang ada didalamnya, seraya mengamalkan pengetahuan dan petunjuk tersebut. Dengan
demikian kita akan dapat mencapai sebagian dari tujuan mempelajari Al-Quran yaitu
mengetahui, mengakui, membenarkan, mengamalkan, dan berperilaku sesuai ajaran Al-
Quran.2

C. PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR


Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi
sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd
(w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain. Dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para sahabat pertama-tama menelitinya dalam Al-Qur’an
sendiri, karena ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling menafsirkan; Kedua, merujuk
kepada penafsiran Nabi Muhammad SAW, sesuai dengan fungsi beliau sebagai mubayyin
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an; Ketiga, apabila mereka tidak menemukan keterangan tentang
ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak sempat menanyakannya kepada Rasulullah
SAW,para sahabat berijtihad dengan bantuan pengetahuan bahasa Arab, pengenalan terhadap
tradisi Arab dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun
atau latar belakang ayat tersebut diturunkan, dan dengan menggunakan kekuatan penalaran
mereka sendiri. Baru yang terakhir, sebagian sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah,
khususnya sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al Qur’an kepada
tokoh-tokoh Ahlul Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti ‘Abdullah ibn Salâm (w.
43 H), Ka’ab al-Ahbâr (w. 32 H)dan lain-lain.
Tafsir pada masa sahabat ini belum merupakan ilmu sendiri, masih merupakan bagian
dari riwayat-riwayat hadits yang berserakan, belum sistematis seperti tafsir yang kita kenal
sekarang. Di samping belum sistematis, pada masa sahabat ini pun Al-Qur’an belum
ditafsirkan secara keseluruhan, dan pembahasannya pun belum luas dan mendalam.Sesudah
priode sahabat, datanglah generasi berikutnya (tabi’in) meneruskan usaha yang telah dirintis
oleh para sahabat. Di samping menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabi,
mereka juga merujuk kepada penafsiran para sahabat dan sebagian juga tidak lupa mengutip
dari Ahlul Kitab. Setelah itu baru mereka mengembangkan penafsiran sendiri berdasarkan
ijtihad.

2
Dr.H.Abd. Rahman Dahlan, M.A,Kaidah Kaidah Tafsir(Jakarta:AMZAH,2010), h.131

3
Pada masa tabi’in ini, tafsir masih merupakan bagian dari hadits. Tetapi sudah
mengelompok menurut kota masing-masing.
Sesudah masa sahabat dan tabi’in datanglah masa kodifikasi (tadwîn) hadits di mana
riwayat-riwayat berisi tafsir dikelompokkan menjadi satu bab sendiri, walaupun tetap belum
sistematis seperti susunan Al-Qur’an. Dalam perkembangan selanjutnya tafsir dipisahkan dari
kandungan kitab hadits dan menjadi kitab sendiri. Para ulama seperti Ibn Mâjah (w. 273 H),
Ibn Jarîr at-Thabari (w. 310 H), Abû Bakar ibn Al-Munzir an-Naisabûri (w. 318 H) dan lain-
lain mengumpulkan riwayat-riwayat yang berisi tafsir dari Nabi, sahabat dan tabi’in dalam
kitab sendiri. Riwayat-riwayat yang dikumpulkan itu sudah mencakup keseluruhan ayat-ayat
Al-Qur’an dan disusun sesuai dengan sistematika mushaf. Bentuk penafsiran yang dirintis
Ibn Jarîr dan mufasir lain pada masa awal pembukuan tafsir inilah yang kemudian di kenal
dengan bentuk at-tafsîr bi al- ma’tsûr.
Sementara itu, setelah ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang pesat pada masa
Daulah’Abbasiyah, para mufasir tidak puas hanya dengan bentuk bi al- ma’tsûr, karena
perubahan dan perkembangan zaman menghendaki pengembangan bentuk tafsir dengan
memperluas dan memperbesar peran ra’yu atau ijtihad dibandingkan dengan
penggunaannya pada bentuk bi al-ma’tsûr. Tafsir dengan bentuk ini kemudian dikenal
dengan at-tafsîr bi- ar-ra’yi. Dengan at-tafsîr bi- ar-ra’yi seorang mufasir menafsirkan
ayatayat Al-Qur’an dengan menggunakan kemampuan ijtihad atau pemikiran
tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan hadits dan tidak pula
meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini mengembangkan
penafsiran dengan bantuan bermacam-macam ilmu pengetahuan seperti ilmu bahasa Arab,
ilmu qirâah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqh, ilmu sejarah, dan lain-
lain sebagainya.3

D. MACAM-MACAM TAFSIR

1. Tafsir bi al-Ma’tsur

Al-ma’tsur berarti sesuatu yang diriwayatkan. Secara istilah tafsir bi al-ma’tsur adalah
penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, penafsiran Al-Qur’an dengan hadis Nabi Saw.,
penafsiran Al-Qur’an dengan perkataan sahabat,penafsiran Al-Qur’an dengan tabi’in.

Tafsir Thabari misalnya,sekalipun didalamnya dia berijtihad dengan menggunakan


bahasa,sya’ir Arab, qira’at, ilmu nahwu, fiqh, namun dia selalu memihak pada pendapatan
ulama salaf dan kembali pada nash al-Qur’an, maka tafsirnya masih dikategorikan sebagai
tafsir bi al-ma’tsur. 4

Bagi yang memperhatikan kandungan Al-Qur’an secara keseluruhan, akan


menemukan bahwa pada satu tempat disebutkan satu hal dengan ringkas, tetapi pada tempat
lain diuraikan panjang lebar; pada satu tempat disebutkan secara muthlaq atau absolut tetapi
pada tempat lain dikaitkan dengan sesuatu; pada satu tempat disebutkan secara umum, tetapi

3
Prof.Dr.H. Yunahar Ilyas,Lc,M.A, Kuliah Ulumul Quran(Yogyakarta:ITQAN Publishing,2013), h.271-274
4
DR.H.Anshori,LAL.M,A, Ulumul Qur’an(Ciputat:PT Rajagrafindo Persada,2013), h.173-174

4
pada tempat lain disebutkan pengecualiannya secara khusus; demikianlah antara lain
bagaimana ayat-ayat Al-Qur’an menafsirkan satu sama lain

Penafsiran Rasulullah SAW terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dapat terdiri dari beberapa
bentuk. Bisa dalam bentuk merinci yang masih garis besar, menjelaskan yang sulit,
mengecualikan hal yang umum, mengaitkan hal yang mutlak, menjelaskan makna lafazh
tertentu, menjelaskan hukum tambahan dari hukum yang sudah ada dalam AlQur’an,
menjelaskan nâsikh mansûkh, memberi penegasan dan lain sebagainya. Kemudian tafsir Al-
Qur’an dengan pendapat atau ijtihad para sahabat. Sebagaimana sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa dalam para sahabat apabila mereka tidak menemukan keterangan tentang
ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak sempat menanyakannya kepada Rasulullah
SAW,mereka berijtihad dengan bantuan pengetahuan bahasa Arab, pengenalan terhadap
tradisi Arab dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun
atau latar belakang ayat tersebut diturunkan, dan dengan menggunakan kekuatan penalaran
mereka sendiri. Baru yang terakhir, sebagian sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah,
khususnya sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada
tokoh-tokoh Ahlul Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti ‘Abdullah ibn Salâm (w.
43 H), Ka’ab al-Ahbâr (w. 32 H) dan lain-lain.5

2. Tafsir bi ar-Ra’yi

Secara bahasa ar-ra’yu berarti al-I’tiqadu (keyakinan), al-‘aqlu (akal), dan at-tadbiru
(perenungan). Ahli fikih yang sering berijtihad, biasa disebut sebagai ashab ar-ra’yi. Karena
itu tafsir bi ar-ra’yi disebut juga sebagai tafsir bi al-‘aqly dan bi al-ijtihady, tafsir atas dasar
nalar dan ijtihad.

Menurut Istilah, tafsir bi ar-ra’yi adalah upaya untuk memahami nash Al-Qur’an atas
dasar ijtihad seorang ahli tafsir (mufassir) yang memahami betul bahasa Arab dari segala
sisinya, mengerti betul lafazh-lafazhnya dan dalalahnya, mengerti sya’ir-sya’ir Arab sebagai
dasar pemaknaan, mengetahui betul asbab nuzul, mengerti nasikh dan mansukh di dalam Al-
Qur’an, dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir. 6

Macam Macam Tafsir bi ar-Ra’yi :

1. Tafsir bi ar-ra’yi al-mahmud (terpuji)

Tafsir bi ar-ra’yi yang dianggap terpuji yaitu tafsir yang sesuai dengan tujuan
pembuat hukum (Allah), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-
kaidah bahasa Arab, berpegang pada uslub (susunan) bahasa Arab dalam memahami
nash Al-Qur’an.

2. Tafsir bi ar-ra’yi al-madzmum (tercela)

5
Prof.Dr.H. Yunahar Ilyas,Lc,M.A, Kuliah Ulumul Quran(Yogyakarta:ITQAN Publishing,2013), h.275-278
6
DR.H.Anshori,LAL.M,A, Ulumul Qur’an(Ciputat:PT Rajagrafindo Persada,2013), h.174

5
Tafsir bi ar-ra’yi dianggap tercela bila menafsirkan Al-Qur’an menurut selera
penafsir sendiri, disamping tidak mengetahui kaidah bahasa dan hukum, atau membawa
Firman Allah kepada mazhabnya yang menyimpang atau rusak, atau kepada bid’ah
dhalalah, atau mendalami Firman Allah Swt. dengan ilmunya tapi tidak mengetahui
kaidah bahasa Arab.7

Menurut Muhammad Husain az-Dzahabi, ada beberapa ilmu yang harus dikuasi oleh
seorang mufassir apabila akan melakukan tafsir bi ar-ra'yi yaitu: 1. Ilmu bahasa Arab, untuk
dapat mehami dan menjelaskan kosa kota tertentu yang ditafsirkan; 2. Ilmu Nahwu, karena
makna kalimat bisa berobah dan berbeda dengan perobahan i'rab; 3. Ilmu Sharf, agar mufassir
dapat memahami perobahan bentuk-bentuk kata; 4. Ilmu Isytiqaâ, untuk mengetahui asal usul
kata, karena jika sebuah kata berasal dari dua asal kata yang berbeda, akan berbeda pula
maknanya, seperti kata al-masîh; apakah berasal dari kata as-siyâhah atau al-mashu; 5. Ilmu
Balâghah (Ma'âni, Bayân dan Badi'), seorang mufassir tidak akan dapat menjelaskan I'jaz
lughawi Al-Qur'an tanpa mengetahui ilmu ini; 6. Ilmu Qirâât, karena dengan menguasai ilmu
ini dapat memilih salah satu dari versi qirâah yang berbeda; 7. Ilmu Ushûluddîn, untuk
menjelaskan masalah-masalah aqidah; 8. Ilmu Ushul Fiqh, untuk mengetahui bagaimana
istinbâth hukum dari ayat-ayat hukum; 9. Ilmu Asbâbun Nuzûl, karena dengan mengetahui
asbâbun nuzûl seorang mufassir dapat terbantu untuk memahami maksud ayat; 10. Ilmu
Kisah-kisah, karena dengan mengetahui kisah-kisah secara lebih detail dia dapat mmemahami
peristiwa yang dijelaskan secara umum oleh Al-Qur'an; 11.Ilmu Nâsikh dan Mansûkh,
agar tidak salah dalam menetapkan suatu hukum; 12. Ilmu tentang hadits-hadits yang dapat
menjelaskan mana yang mujmal dan mubham; 13. Ilmu Mauhibah8

3. Tafsir bi al-Isyarah

Tafsir bi al-isyarah adalah menjelaskan ayat ayat Al-Qur’an dengan isyarat-isyarat


batin yang terpancar dari para sufi, , pengikut tarekat atau orang yang bersih hatinya.

Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya menggunakan tafsir ini.
Sebagian membolehkan dan sebagian lainnya mengharamkan. Kelompok yang membolehkan
memberikan syarat:

1. Makna batinnya tidak bertentangan dengan makna zhahir Al-Qur’an.

2. Penafsirnya tidak mengklaim bahwa hanya pemafsiran batinnya yang paling benar, seraya
mengabaikan makna zhahirnya.

3. Penafsirannya tidak jauh melenceng dari makna dasarnya.

4. Hasil penafsirannya tidak bertentangan dengan hukum syar’I maupun akal.

5. Hasil penafsirannya didukung dengan dalil-dalil syar’I lainnya.

7
DR.H.Anshori,LAL.M,A, Ulumul Qur’an(Ciputat:PT Rajagrafindo Persada,2013), h.182-183
8
Prof.Dr.H. Yunahar Ilyas,Lc,M.A, Kuliah Ulumul Quran(Yogyakarta:ITQAN Publishing,2013), h.279

6
Sementara kelompok yang mengharamkan tafsir isyari menganggap bahwa tafsir ini
hanya berdasakan asumsi-asumsi yang sangat subjektif sehingga hasil penafsirannya jauh dari
kebenaran dan pada titik tertentu berakibat pada subjektivitas atau bahkan relativitas makna
Al-Qur’an.9

E. TAFSIR QURAN KONTEMPORER


Berawal dari studi terhadap al-Qur'an dan metodologi tafsir sebenarnya selalu
mengalami perkembangan yang cukup signifikan, seiring dengan akselerasi perkembangan
kondisi sosial budaya dan peradaban manusia, sejak turunnya al-Qur'an hingga sekarang.
Keinginan umat Islam untuk selalu mendialogkan antara al-Qur'an sebagai teks (nash) yang
terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi manusia sebagai
konteks (waqa'i) yang tak terbatas. Hal itu juga merupakan salah satu implikasi dari
pandangan teologis umat Islam bahwa al-Qur'an itu shalihun li kulli zaman wa makan, al-
Qur'an itu selalu cocok untuk setiap waktu dan tempat. Karena sebagaimana dikatakan
Muhammad Syahrur, al-Qur'an harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era
kontemporer yang dihadapi umat manusia.10

Oleh sebab itu, munculnya metodologi tafsir kontemporer merupakan keniscayaan


sejarah yang tidak terelakkan. Apalagi dalam pemikiran ilmu-ilmu keislaman, persoalan
metodologi tafsir yang notabennya adalah seperangkat konsep-konsep dan teori, proses dan
prosedur untuk mengembangkan tafsir merupakan ilmu yang belum matang (ghairu an-
nadji), sehingga selalu terbuka untuk diperbaharui dan dikembangkan.11

Mengikuti periodesasi yang dilakukan Abdul Mustaqim maka pada masa sekarang,
tafsir al-Qur'an sudah memasuki tahap modern. Pada masa ini lebih menitik-beratkan
penafsirannya kepada upaya menjadikan al-Qur'an sebagai kitab petunjuk (hudan) dan
kepada usaha untuk mengungkap ruh al-Qur'an. Di antara tokoh mufassir pada masa
kontemporer adalah Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, Muhammed Arkoun, Nasr Hamid Abu
Zaid, Muhammad Syahrur, Mahmoud Muhammad Thaha, Riffat Hassan, Amina Wadud
Muhsin, dan Asghar Ali Engineer.12

9
DR.H.Anshori,LAL.M,A, Ulumul Qur’an(Ciputat:PT Rajagrafindo Persada,2013), h.175
10
Mustaqim, Abdul, dkk. Studi Al-Qur'an Kontemporer : Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2002), cet. 1, hlm. ix
11
Mustaqim, Abdul, dkk. Studi Al-Qur'an Kontemporer : Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2002), cet. 1, hlm. x
12
Yusron, M, dkk. Studi Kitab Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: TH Press dan Teras, 2006), cet. 1, hlm. vii

7
BAB III

KESIMPULAN

A. Pengertian Tafsir

Tafsir adalah suatu upaya mencurahkan pemikiran untuk memahami, memikirkan dan
mengeluarkan hokum yang terkandung dalam Al-Quran agar dapat diaplikasikan sebagai
dasar utama penetapan hukum.

B. Keterkaitan Ilmu Tafsir dan Ulumul Quran


Tafsir merupakan ruang lingkup Ulumul Quran dan relevansinya dengan tafsir Oleh
sebab itu keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Kita meyakini bahwa Al-Quran
benar-benar mengandung pengetahuan dan petunjuk yang akan mengarahkan umat manusia
kepada keselamatan dan kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Keyakinan tersebut tentu tidak
akan ada hasilnya, jika kita tidak mempelajari dan mengamalkan pengetahuan serta petunjuk
yang ada didalamnya.
C. Perkembangan Ilmu Tafsir

Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat. Tafsir pada
masa sahabat ini belum merupakan ilmu sendiri, masih merupakan bagian dari riwayat-riwayat
hadits yang berserakan, belum sistematis seperti tafsir yang kita kenal sekarang. Di samping
belum sistematis, pada masa sahabat ini pun Al-Qur’an belum ditafsirkan secara keseluruhan,
dan pembahasannya pun belum luas dan mendalam.Sesudah priode sahabat, datanglah generasi
berikutnya (tabi’in) meneruskan usaha yang telah dirintis oleh para sahabat. Di samping
menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabi, mereka juga merujuk kepada
penafsiran para sahabat dan sebagian juga tidak lupa mengutip dari Ahlul Kitab. Sesudah masa
sahabat dan tabi’in datanglah masa kodifikasi (tadwîn) hadits di mana riwayat-riwayat berisi
tafsir dikelompokkan menjadi satu bab sendiri, walaupun tetap belum sistematis seperti
susunan Al-Qur’an

D. Macam-Macam Tafsir

Para ulama mengklasifikasikan tafsir menjadi tiga macam yaitu tafsir bi al-ma’tsur,
tafsir bi ar-ra’yi, dan tafsir bi al-isyarah.Tafsir bi ar-ra’yi yang terbagi menjadi Tafsir bi ar-
ra’yi al-mahmud dan Tafsir bi ar-ra’yi al-madzmum.

E. Tafsir Quran Kontemporer

Dengan seiring perkembangan zaman yang cukup signifikan al-Qur'an selalu


ditafsirkan dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi umat manusia dan seiring dengan
akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia. Sehingga mampu
menjawab perubahan dan perkembangan problem kontemporer yang dihadapi umat manusia.
Menjadikan munculnya pemikiran-pemikiran para tokoh untuk mendekonstruksi sekaligus
merekonstruksi dan mengembangkan metodologi penafsiran al-Qur'an yang lebih sesuai
dengan tantangan zamannya.

8
DAFTAR PUSTAKA

Anshori.2013. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Ilyas,Yunahar. 2013. Kuliah Ulumul Quran. Yogyakarta: ITQAN Publishing

Muin,Abd Salim.2010.Metodologi Ilmu Tafsir.Yogyakarta:Penerbit Teras

Mustaqim, Abdul, dkk.2002. Studi Al-Qur'an Kontemporer : Wacana Baru Berbagai


Metodologi Tafsir .Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya

Rahmad, Dahlan. 2010. Kaidah Kaidah Tafsir. Jakarta: AMZAH

Yusron, M, dkk.2006. Studi Kitab Tafsir Kontemporer .Yogyakarta: TH Press dan Teras

Anda mungkin juga menyukai