Anda di halaman 1dari 30

RESUME

PERBINCANGAN SEPUTAR TAFSIR DAN TAKWIL ALQURAN MENURUT SUDUT PANDANG URAFA

Oleh Muhammad Alcaff: Bapak Dosen Hadi Kharisman Program MA jurusan Mysticism semester II Ada dua terminologi yang melekat dan cukup akrab dengan Alquran al Karim, yaitu tafsir dan takwil. Hanya saja, tafsir lebih popular dan lebih diterima oleh banyak kalangan ulama mazhabmazhab Islam sebagai pendekatan yang paling pas dan paling otentik ketimbang takwil, bahkan tidak sedikit mazhab yang menolak takwil sebagai pendekatan yang dianggap ilegal dan pemerkosaan (baca: pemaksaan) terhadap teks lahiriah. Tak dapat disangkal bahwa tafsir sufi lebih identik dengan tafsir batin alias takwil Alquran, karena salah satu makna takwil adalah makna batin Alquran. Kaum sufi menolak mendekati Alquran hanya dari aspek bahasa (tata kata dan kaidah-kaidah baku kebahasaan) yang cenderung terbatas dan membelenggu pemahaman. Melalui apa yang mereka biasa sebut dengan mukasyafah, mereka membumbung jauh dan menerawang ayat-ayat Alquran melampaui bingkai kata-kata dan makna-makna eksetoriknya. Tafsir Alquran al Karimdilihat dari sisi metodedapat dibagi dalam dua pembagian: tafsir zahir dan tafsir batin. Tafsir zahir pada dasarnya mengacu pada indikator umum dan rasional yang mudah dipahami oleh semua ahli bahasa dan dapat dicerna oleh semua kalangan.

Sedangkan tafsir batin yang identik dengan ahli tasawuf/irfan atau ahli suluk dan syuhud memiliki cerita dan bentuk yang lain. Banyak kaum urafa berpandangan bahwa Alquran itu memiliki pelbagai tingkatan wujud, dimana wujud terakhirnya adalah tingkatan wujud lafal yang mampu dipahami oleh semua kalangan. Menurut mereka, buthun Alquran (jenjang-jenjang batin Alquran) yang banyak disinggung dalam riwayat yang terkenal dengan riwayat zahir dan batin adalah sesuatu di belakang dan di luar dari wujud lafal dan materi, sehingga karena itu mereka berusaha menafsirkan hakikat-hakikat wujud Alquran. Berdasarkan pandangan kaum urafa, seluruh maujud/makhluk di dunia ini dan pelbagai alam lainnya memiliki aspek zahir dan batin. Bilama manusia sebagai perwujudan global dari alam wujud memiliki sisi nasut dan lahut atau zahir dan batin, maka gambaran alam secara detail pun demikian. Dalam pandangan urafa seperti Ibn Arabi dan Syabestari, dunia dalam setiap saat bergerak dari buthun (batin) ke zhuhur (zahir) dan sebaliknya, sebagaimana proses bernafas yang memilik kondisi menahan dan membentangkan.1 Jadi, kaum urafa cenderung melihat segala sesuatu dengan mata basirah; dengan mata batin. Ketika mereka hendak menafsirkan Alquran, mereka pun menafsirkankan dengan jangkauan batin mereka yang dalam dan cemerlang, sehingga pantang bagi mereka hanya berhentik pada tafsiran lahiriah yang hanya berpusing-pusing pada kaidah bahasa dan perdebatan aspek kebahasaan yang melelahkan dan menjemukan. Tafsir sufistik/irfani cenderung menggunakan tiga dasar pendekatan: Dasar ontologis, dasar epistemologis, dan dasar linguistik. Tulisan ini berusaha membedah makna tafsir dan takwil dengan menekankan pada pandangan urafa, sehingga karena itu sangat kental beraroma sufistik.
1

Mahmud Syabestari, Majmuah Atsar, Gulistan Raz, hal. 94.

Pada kajian pertama, kami menyebutkan pembahasan tentang makna linguistik dan istilah dari tafsir dan takwil, dan selanjutnya pada mulahazhah (catatan), kami menyampaikan uraian kami terhadap suatu masalah yang dirasa memerlukan penjelasan lebih supaya lebih gamblang dan mudah ditangkap. Dan sebelum menyampaikan kesimpulan akhir, kami menyinggung beberapa contoh tafsir sufistik.

Mukadimah "al Qur'anu dzu wujuhin muhtamilatin fahmiluhu ala ahsanil wujuh."2 (al Qur'an itu memiliki beberapa kemungkinan makna maka jelaskanlah ia sesuai dengan makna (penafsiran) yang terbaik). Tak dapat disangkal bahwa ayat-ayat Alquran mengandung pemahaman yang tinggi dan dalam. Ketinggian dan kedalaman kitab suci ini menuntut kesiapan dari sisi keilmuan yang memadai dari sang mufasir, juga kebeningan hati. Tanpa keduanya, maka tafsir yang dilahirkan akan terasa mandul, kurang greget bak masakan tanpa garam dan bahkan bisa saja ngawur alias tafsir bi ar rayu yang sangat keras dilarang dalam riwayat Islam. Adanya pemahaman yang dalam dan tinggi tersebut tidak berarti membenarkan setiap orang untuk mengobak-obok Alquran seenaknya dan semaunya. Sebab, untuk memasuki rumah Alquran, maka seorang mufasir harus terlebih dahulu mempersiapkan dirinya dengan seperangkat ilmu yang cukup yang dibutuhkan untuk menafsirkan Alquran. Satu ayat Alquran, misalnya, bisa memiliki aneka penafsiran. Namun ini tidak berarti bahwa pemahaman Alquran itu relatif. Bisa saja satu ayat memiliki jenjang pemahaman yang bevariasi namun satu sama lain tidak saling bertentangan, namun justru saling melengkapi dan menguatkan. Obyeknya bisa banyak namun esensi dan kriterianya satu. Dan dari pelbagai
2

Al Burhan fi Ulumil Qur'an, juz 2, hal. 305.

penafsiran yang ada, tentu ada penafsiran yang dianggap paling ahsan (terbaik) dan aqrab lil mana (paling dekat dengan makna/maksud utama Alquran). Inilah barangkali yang dimaksud oleh hadis di atas, dimana setiap mufasir diinggatkan bahwa di balik aneka makna dan penafsiran yang dikandung ayat-ayat Alquran maka hendaklah ia berusaha mencari dan menelusuri makna yang paling pas dan paling meyakinkan.

Makna Tafsir dan Takwil Tafsir Dalam Alquran Dalam Alquran, Allah Swt menyebut bahwa salah satu tugas Nabi saw adalah menafsirkan Alquran kepada umat. Allah SWT berfirman: Dan kami turunkan kepadamu Aquran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. An Nahl: 44) Jadi, menurut ayat di atas, penafsir pertama dan utama Alquran adalah Nabi saw sendiri.

Sekilas Pandang Sejarah Tafsir Penafsir pertama Alquran adalah Nabi Besar Muhammad Saw. Allah SWT memerintahkan beliau supaya menjelaskan dan menafsirkan Alquran kepada umatnya.3 Karena itu, Rasul Saw menjelaskan pelbagai masalah yang ada dalam ayat-ayat Alquran atau beliau menjawab pertanyaan para sahabat yang mulia terkait dengan Alquran. Selanjutnya, ahlul bait beliau, khususnya Sayidina Ali bin Abi Thalib, para sahabat dan tabiin melanjutkan misi terhormat ini, yaitu menafsirkan Alquran. Pada masa-masa berikutnya hadis-hadis tafsir mereka ditulis dan muncullah tafsir riwayat (tafsir berdasarkan hadis Nabi Saw), seperti tafsir: Tafsir
3

QS. An Nahl: 44.

Jami`ul Bayan, karya Imam Thabari (310 H), Tafsir ad Durr al Mantsur, karya Imam Suyuthi (911 H). Kemudian Tafsir `Iyasi, karya Muhammad bin Mas`ud `Iyasyi (wafat 320 H), Tafsir ash Shofi, karya Faidh Kasyani (wafat 1091 H), Tafsir al Burhan, karya Bahrani (wafat 1107), Tafsir Nur at Tsaqalain, karya `Arusi Huwaizi (wafat 1112). Kemudian pada abad-abad berikutnya muncullah tafsir ijtihadi, yakni di samping para mufasir merujuk ke hadis-hadis Nabi saw untuk menafsirkan Alquran, mereka juga menjelaskan pandangan tafsir mereka sendiri, seperti: Tafsir Mafatihul Ghaib, karya Imam Fakrur Razi (602), Tafsir Anwaru at Tanzil, karya Imam Baidawi (691 H) dan Tafsir fi Zhilalil Quran, karya Sayid Quthub (1386). Kemudian Tafsir at Tibyan, karya Syaikh Thusi (460 H), Tafsir Majma`ul Bayan, karya Syeikh Thabarsi (548 H), Tafsir Raudhul Jinan, karya Abul Futuh Razi (abad keenam) dan Tafsir al Mizan, karya Allamah Thabathabai (1402 H). Defenisi Tafsir Salah satu terminologi/istilah yang cukup akrab di kalangan peminat tafsir adalah tafsir dan takwil. Secara singkat kami akan menjelaskan makna tafsir dan takwil. Kata at tafsir berasal dari akar kata "fasara" yang bermakna "abana wa kasyafa" (menjelaskan dan menyingkap). Dalam bahasa Arab at tafsir berarti al idah wal bayan (keterangan dan penjelasan). Sayid Shadruddin al Qabanji mengklaim bahwa seluruh kamus bahasa Arab sepakat akan makna itu.4 Dalam istilah ahli tafsir, tafsir berarti: Menghilangkan kesamaran dalam ungkapan yang rumit, dimana ia (kesamaran tersebut) mengkaburkan makna yang dimaksud. Tafsir dalam pengertian bahasa Arab berarti menyingkap, menghilangkan tabir (penutup) dan menjelaskan.5 Sedangkan menurut istilah bermakna menerangkan kesamaran kata dan

4 5

Muqaddimat fi `Ilmi at Tafsir, juz pertama, hal. 7 Mufradat Raghib Isfahani dan Qamus Quran, akar kata .

kalimat Alquran serta menguraikan maksud dan tujuannya.6 Jadi, tafsir adalah usaha menyingkap makna dan kerja keras untuk menghilangkan kekaburan/kerumitan dari ayat-ayat al Qur'an. Karena itu, ruang lingkup tafsir adalah ketika terdapat ibham (kesamaran/ketidakjelasan) dalam ayat, baik secara lafal (lafzhiyyan) maupun secara makna (ma`nawiyyan). Untuk menghilangkan kesamaran tersebut diperlukan usaha dan perhatian lebih, dimana seorang mufasir akan mencurahkan tenaganya untuk melakukan hal itu.7 Menurut pendapat Syaikh Thusi (wafat tahun 460 H) yang juga didukung oleh Zarkasyi (wafat tahun 794) dan juga Imam Suyuthi: Tafsir adalah ilmu tentang makna-makna Alquran dan seniseni serta tujuan-tujuannya, seperti qiraat, maani (ilmu sastra), irab (mengenal nahwu-sharf) dan mengetahui ayat-ayat mutasyabih serta menjawab pertanyaan-pertanyaan kaum ateis dan para penentang.8 Zarkasyi mengatakan: Ilmu tentang turunnya ayat dan surah-surah Alquran serta kisah-kisah dan asbab nuzul dan tertib surah-surah Makkiyah dan Madaniyyah serta ayatayat mutasyabih, nasikh dan mansukh, khas dan am, muthlaq dan muqayyad, mujmal dan mufashal.9 Tampaknya Zarkasyi dan Suyuthi saat mendefenisikan tafsir juga mengisyaratkan kepada adabadab dan syarat-syarat mufasir serta sumber-sumbernya, dan saat menjelaskan tafsir, mereka menunjukkan prasarana-prasarana yang diperlukan dalam tafsir.

Defenisi Tawil Secara etimologis, kata tawl adalah mashdar dalam bentuk tafl. Terkait dengan asal katanya, terdapat kontroversi di kalangan ahli bahasa. Ibn Manzhr dalam Lisn al-Arab
6 7

Al Mizan, juz 1, hal. 4. At Tafsir al Atsari al Jami`, juz 1, hal. 29. 8 3 -2 1 9 161 2 141 4

mendefinisikannya sebagai bentuk tafl dari kata awwala-yuawwilu-tawlan, yang bentuk tsults-nya adalah la-yalu yang berarti rajaa dan da. Sementara itu, al-Zarkasy memaparkan tiga asal kata dari tawl, yaitu: dari kata al-awl yang berarti al-ruj (kembali), dari kata al-mal (tempat kembali) yang berarti al-qibah (tujuan akhir), dan al-mashr (tempat kembali), dari kata al-iylah yang berarti al-siysah (siasat) dan al-tadbr (pengaturan). Jika dilihat dari segi penggunaannya, kata tawl dalam al-Qur'n terdapat tiga bentuk penggunaan. Pertama, menakwilkan yang mutasybih (tawl al-mutasybih), yaitu

mengarahkannya dengan yang diterima oleh argumentasi rasio dan tekstual. Hal ini mewujud dalam dua bentuk, yaitu: dalam perkataan sebagaimana Q.S. lu Imrn [3]: 7; atau dalam perbuatan sebagaimana dalam Q.S. al-Kahf [18]: 78 & 82. Kedua, menakbirkan mimpi (tabr al-ruy) sebagaimana tersebut delapan kali dalam Q.S. Ysuf [12]: 6, 21, 36, 37, 44, 45, 100, dan 101. Ketiga, akhir dari sesuatu dan akibatnya (mal al-amr wa qibatuh) sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Isr [17]: 35.[3] Term tawl dalam al-Qurn tersebut terulang sebanyak 17 kali dengan makna yang beragam: 1) tafsr atau tayn sebagaimana tersebut dalam Q.S. lu Imrn [3]: 7; 2) jaz, tsawb, dan qibah sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Nis [4]: 59; 3) terjadinya peristiwa yang telah diberitakan sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Arf [7]: 53; 4) hakikat yang diisyaratkan oleh sebuah mimpi sebagaimana tersebut dalam Q.S. Ysuf [12]: 6; 5) akibat dari perbuatan yang dilakukan dan penjelasan sebab-sebabnya sebagaimana Q.S. al-Kahf [18]: 78.

Makna sebuah kata tidak dapat dilepaskan dari kualitas pengalaman, perkembangan ilmu pengetahuan ataupun tingkat sosial budaya pemakainya. Ketentuan ini juga dialami oleh term tawl yang pemaknaannya juga mengalami pergeseran dari satu generasi ke generasi

selanjutnya. Pada periode salaf, kata tawl dapat dimaknai dalam dua pengertian: 1) Tafsir atas pembicaraan atau penjelasan makna yang kemungkinan sejalan atau tidak sejalan dengan makna literalnya. Antara tawl dan tafsr tidak terjadi perbedaan. Acap kali juga terjadi penyamaan antara tafsr, tawl, dan man. Ketiganya dianggap sinonim karena metodenya memang serupa dan adanya kesamaan makna. Ini bisa dilihat pada penggunaan kata tawl dalam tafsir alThabar yang sering kali menggunakan istilah ( fa ta'wluh). Menurutnya, kata tawl sama dengan tafsr.

Akan tetapi, sebenarnya di antara keduanya terdapat sebuah perbedaan. Perbedaannya dijelaskan oleh Ab sh bahwa setiap bentuk tawl pastilah termasuk tafsr, tetapi belum tentu semua tafsr adalah tawl, karena tawl dikhususkan untuk menjelaskan sesuatu yang membutuhkan pemikiran yang lebih mendalam.[4] Al-Rghib al-Ishfahn (w. 502 H) juga menyatakan bahwa tafsir lebih umum daripada tawl karena tafsir lebih banyak dipakai untuk menjelaskan kosakata, sedangkan tawl lebih banyak digunakan untuk menerangkan makna susunan kalimat.[5] 2) Hakikat yang dimaksud dari sebuah pembicaraan. Pengertian terakhir ini berbeda dengan pengertian tafsir, karena takwil berada di luar pikiran, pembicaraan, ataupun tulisan. Ia berbentuk peristiwa di masa lampau atau masa mendatang. Kendati demikian, takwil bukanlah sebuah bentuk interpretasi alegoris yang menolak seluruh bahan linguistik dan semantik, apalagi mengesampingkan keduanya. Takwil harus disesuaikan dengan konteksnya terutama munsabah dengan ayat sebelum dan sesudahnya, memerhatikan diktum-diktum linguistik, terlebih ketentuan al-Qurn dan hadis.[6] Ringkasnya, takwil bukanlah sesuatu yang tidak punya landasan tekstual sama sekali, karena takwil yang demikian adalah sebuah penyimpangan.

Pengertian seperti ini mengalami pergeseran makna pada periode selanjutnya, khususnya di kalangan fuqaha, teolog, sufi, dan filsuf yang memaknainya sebagai pengalihan makna lafal kepada makna lain yang dikandungnya atau mengalihkan makna sebuah lafal yang kuat (rjih) kepada makna yang diunggulkan (arjah) disebabkan oleh adanya dalil yang menyertainya. Terlepas dari kontroversi pemaknaan kata tawl tersebut, satu hal yang patut ditekankan bahwa sebuah penakwilan dapat diterima jika disokong oleh argumentasi yang valid, sehingga terbilang sebuah penyimpangan jika dilakukan tanpa argumentasi yang kuat.10

Jadi, kata at ta'wil berasal dari dasar kata al 'aul yang berarti ar ruju` (kembali). Sehingga at ta'wil berarti mengambalikan ke bentuk (makna) yang dapat diterima, sebagaimana dalam bab ayat-ayat mutasyabihat, atau mengembalikan ke kandungan ayat secara umum setelah terbukti ketidakbenaran pembatasan pada aspek zahir yang tampaknya khusus berkaitan dengan turunnya ayat.11 Sehingga dengan demikian menurut ahli tafsir, at ta'wil memiliki dua istilah: pertama, terkait secara khusus dengan masalah ayat-ayat mutasyabihat. Yakni, menakwilkan al mutasyabih (kesamaran) dalam perkataan12 atau perbuatan13 ke dalam makna yang logis (ma`qul) dan dapat diterima (maqbul). Maka ini adalah bentuk tafsir dimana yang bersangkutan berusaha menghilangkan kesamaran dari ayat, juga meniadakan persoalan (problem) darinya. Jadi, ta'wil dalam masalah ayat-ayat mutasyabihat berarti mengarahkan ayat-ayat itu ke makna yang dapat diterima oleh akal dan syariat. Sedangkan istilah lain dari at ta'wil adalah menjelaskan pemahaman umum yang tersembunyi di balik tirai lafal yang tampak secara khusus berkaitan dengan turunnya ayat. Mayoritas ayat-ayat yang turun karena pelbagai peristiwa
10 11

http://www.psq.or.id Ibid, hal. 30. 12 Sebagaimana terdapat dalam firman-Nya: " ." (QS. Ali Imran: 7) 13 Sebagaimana terdapat dalam kisah Nabi Musa dan Khidir: " ." (QS. Al Kahfi: 78)

tampak bertalian secara khusus dengan peristiwa yang melatarbelakanginya tersebut dan secara lahiriah tidak dapat melewati batas konteks peristiwa itu. Maka, hal ini menjadikan risalah Islam "mandul" (tidak relevan dan tidak aktual) selang beberapa lama. Namun Nabi saw menegaskan perlunya "membebaskan" ayat dari pelbagai kesamaran/ketidakjelasannya, sehingga ayat (al Qur'an) itu memiliki pemahaman yang umum yang mencakup seluruh kaum dan masa. Nabi saw bersabda: "Tiada ayat dalam al Qur'an kecuali ia memiliki aspek zahir dan batin." Ketika Imam al Baqir ditanya tentang penafsiran hadis tersebut, beliau menjawab: "Aspek zahirnya adalah tanzil (peristiwa yang melarbelakangi turunnya suatu ayat) dan aspek batinnya adalah ta`wil."14 Lebih jauh lagi, beliau menambahkan: "Andaikan ayat turun di suatu kaum lalu kaum tersebut mati maka ayat pun ikut mati, sehingga tiada sesuatu pun yang tersisisa dari al Qur'an. Namun al Qur'an permulaannya mengalir atas akhirannya selama langit dan bumi ada. Dan terdapat ayat pada setiap kaum yang dapat mereka baca, baik yang mengandung kebaikan maupun keburukan bagi mereka."15

Pendekatan dalam Penakwilan Metode takwil bagi kaum Sunni digunakan untuk memahami ayat-ayat al-Qurn (ataupun hadis) yang mengarah kepada paham antropomorfisme. Kendati demikian, takwil dari kalangan Sunni ini dapat diklasifikasi lagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu ijml dan tafshl. Contoh yang ijml adalah jawaban yang diungkapkan oleh Imam Malik sebagaimana disebutkan sebelumnya, sedangkan yang tafshl adalah penakwilan terhadap kata ayd dengan kekuasaan.

14 15

Basha'ir ad Darajat: 216/7. At Tafsir al Atsari al Jami`, juz 1, hal. 31, Al `Iyasyi 1: 21/7.

Oleh al-Dzahabi, penafsiran kalangan Sufi terhadap al-Qurn dapat diklasifikasi ke dalam dua kategori besar, yaitu: nazhar dan isyr. Yang pertama didasarkan pada ajaran filsafat, sedangkan yang kedua didasarkan pada isyarat-isyarat suci yang bersifat gaib yang diperoleh dari hasil latihan rohani. Contoh penting yang acap kali dikutip dalam menjelaskan tafsir sufi adalah penafsiran Ibn Arabi (w. 638 H) terhadap Q.S. al-Baqarah [2]: 163: Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Tokoh sufi ini menjelaskan bahwa Allah SWT. berbicara dalam ayat ini dengan kaum Muslimin bahwa orang yang menyembah selain Allah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT., sebenarnya sama dengan menyembah Allah SWT. juga.

Contoh lainnya adalah penakwilan al-Tustar (w. 283 H) terhadap Q.S. al-Baqarah [2]: 22: Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutusekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.

Kata andd yang terulang 6 kali dalam al-Qurn ini dimaknai oleh al-Tustar sebagai nafs ammrah yang senantiasa menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan jahat, yang hanya mengedepankan hasrat dan kepentingan pribadi tanpa mengindahkan petunjuk Allah SWT.

Bagi kalangan Syiah, syarat-syarat takwil adalah: Pertama, memerhatikan munsabah yang dekat antara bentuk eksoterik dan esoteriknya. Dengan begitu, tidak boleh terjadi keterasingan (ajnabiyyah), yaitu tidak adanya keterkaitan dengan lafal atau esoterik yang ditakwilkan. Kedua, memerhatikan susunan dan teliti dalam menanggalkan kekhususan yang terdapat dalam ungkapan.

Dalam salah satu tulisan tulisan Alexander D. Knysh, dikemukakan bahwa pemaduan antara penafsiran esoterik dan metafisiska sufistik dengan teologi Syiah dapat direpresentasikan dalam karya Haydar al-mul (w. 787/1385).[21] Kitab tafsir ini berjudul al-Muhth al-Azham wa alBahr al-Khidham f Tawl Kitbillh al-Azz al-Muhkam yang disusun oleh al-mul.[22] Kitab tafsir ini memakai metode tematik (mawdh) ini didominasi oleh dua bahasan utama, yaitu: Sufi dan Syiah. Penulisnya menguraikan bahwa sufi yang hakiki hanyalah Syiah.[23] Sumber penafsiran atau referensi yang digunakan dalam tafsir ini terdiri dari empat kitab yang dapat diklasifikasi ke dalam dua bagian besar, yaitu: kitab tafsir dan takwil. Kitab tafsir yang dimaksud adalah Majma al-Bayn karya al-Thabars yang dipandang oleh segenap pengikut Syiah Imamiyah sebagai tafsir utama dan anutan. Selanjutnya, tafsir al-Kasysyf karya al-Zamakhsyar yang beraliran Muktazilah. Adapun kitab takwil yang dirujuk adalah karya Najm al-Dn al-Rz yang beraliran Asyariyyah dan karya Abd al-Razzq al-Qsyn. Al-mul senantiasa

menegaskan bahwa ayat-ayat al-Qurn memiliki makna lahir dan makna batin. Dengan demikian, upaya memahami pesan yang dikandung ayat al-Qurn dapat ditempuh dengan tiga jalur, yaitu; aql, naql, dan kasyf. Atas dasar itu pula, beliau banyak menggunakan takwil dalam memaparkan ayat al-Qurn.

Secara umum disebutkan bahwa ada tiga komponen utama dalam kehidupan yang saling terkait, yaitu: manusia (insan), alam, dan al-Qurn. Manusia merupakan penampakan jiwa (zhuhr nafs) dari alam dan al-Qurn. Alam merupakan penampakan struktural (zhuhr takwn) dari manusia dan al-Qurn, sedangkan al-Qurn merupakan penampakan tertulis (zhuhr kutub) dari alam dan manusia. Dalam beberapa hal, penafsiran al-mul serupa dengan konsep yang diusung Ibn Arab, yaitu paham wahdah al-wujd-nya. Kaitannya dengan al-Qurn, al-mul menyebutkan bahwa kandungan al-Qurn hanya berisi dua pembahasan utama, yaitu: Allah dan manusia. Sedangkan pembahasan-pembahasan yang lain bersangkut-paut dengan kedua pokok tersebut.

Dengan corak sufistik, al-mul menafsirkan dengan mengombinasikan tiga fase keislaman, yaitu: syarah, tharqah, dan haqqah. Menurutnya, setiap orang yang menerima apa yang telah dikatakan Nabi saw. digolongkan ahl al-syarah. Adapun yang melakukan apa yang telah diperbuat oleh Nabi saw. termasuk ahl al-tharqah. Sedangkan yang melihat apa yang telah dilihat oleh Nabi saw. merupakan ahl al-haqqah. Penjelasan beliau tentang ketiga hal ini didalilkan dengan hadis Nabi saw. .) )) Salah satu dari ketiga hal pokok ini mesti diraih oleh seseorang. Bagi yang tidak memperolehnya, derajatnya akan sama dengan binatang (anm). Penjabaran konsep tersebut terlihat ketika beliau menafsirkan Q.S. al-Arf [7]: 179.

Ketika membahas tentang ilmu, al-mul membaginya kepada dua macam, yaitu: ilmu syarah dan ilmu marifah atau hikmah. Untuk memperoleh ilmu yang pertama ditempuh dengan jalan usaha atau upaya (thuruq kasbiyyah), sedangkan yang kedua ditempuh dengan cara penyucian dan pemurnian (thuruq tazkiyyah wa tashfiyyah). Selanjutnya, cara terakhir ini dapat dijabarkan melalui tiga sarana, yakni: a) menghadapkan diri sepenuhnya dan takwa (tawajjuh wa taqwa); b) hati dan fitrah (qalb wa fithrah); c) penyingkapan, penyaksian, dan wilayah (kasyf, syuhd, dan wilyah).[24] Perihal al-wilyah, beliau menjelaskan bahwa derajatnya (rutbah) terkadang lebih tinggi daripada nabi dan rasul, kecuali Muhammad saw. Penjelasan ini didalilkan dengan Q.S. alBaqarah [2]: 129.

Senada dengan pembahasan di atas, al-mul menyebutkan tiga maqmt orang saleh, yaitu: aml, ahwl, dan marif. Menurutnya, ketiga maqmt tersebut merupakan tata urutan yang mesti dilalui untuk memperoleh pengetahuan yang haqq. Dengan tindakan, kondisi (ahwl) seseorang akan berubah ke arah yang lebih baik dan memudahkan untuk memperoleh marifah. Hal ini berbeda dengan pencapaian pengetahuan pada umumnya yang berpola terbalik, yaitu dari marif ke ahwl dan bermuara pada aml. Adapun pokok marifah ada tiga, yaitu: marifah alhaqq, marifah al-alam, dan marifah al-insn. Ketiga objek marifah ini disebutkan dalam Q.S. Fushshilat [41]: 53. . ....... Dalam hal ini, alam (alfq) dan al-Qurn merupakan deskripsi (muzhir) terhadap asm, shift, dan afl Allah SWT. Adapun manusia (insn) merupakan hujjah terbesar akan ciptaan Allah SWT. Hal tersebut dapat dicontohkan dengan penciptaan organ manusia yang empat macam, yaitu: Adam, Hawa, Isa, dan anak-cucu Adam. Kemunculan semuanya berbeda satu sama lain dari segi sebab, namun serupa dalam hal bentuk jasmani dan rohani. Penjelasan ini mendapatkan landasan argumentasi pada Q.S. al-Hujurt [49]: 13. (.)) ( ) () (

Adapun gabungan penyebutan dimaknai dengan anak-cucu Adam yang lahir setelah melalui proses nikah dan berketurunan.

Dalam paparan selanjutnya, al-mul menjelaskan bahwa terdapat dua upaya untuk menuai petunjuk (hidyah) Allah SWT. yang galibnya disebut sulk. Beliau juga membagi sulk ini ke dalam dua macam, yakni: sulk mahbbiyyah dan sulk mahabbiyyah. Yang pertama diperoleh tanpa usaha, sedangkan yang kedua mesti dibarengi dengan usaha. Beliau mencontohkan kedua bentuk sulk ini dalam ayat al-Qurn. Pertama, sulk mahbbiyyah dengan ayat ,)) sedangkan sulk mahabbiyyah dicontohkan pada ayat (21[.)...... ] Pembahasan tentang hidyah ini disertai dengan penyebutan tingkatan-tingkatannya (martib) ke dalam empat macam, yaitu: untuk umum, untuk para nabi dan wali, untuk orang yang menempuh jalan kebahagiaan akhirat, dan hidayah di akhirat kelak. Beliau juga memaparkan kategori hidayah menurut ahl bthin ke dalam tiga macam, yakni: m (dengan islm dan mn), khsh (dengan keyakinan dan ihsn), dan akhashsh (dengan kasyf dan musyhadah).

Menurut pen-tahqq (muhaqqiq) tafsir ini, Muhsin al-Ms al-Thabris, al-mul berusaha menghindari fanatisme dalam permasalahan ilmiah. Ia sedapat mungkin menjadi penengah terhadap kontroversi yang ada. Hal ini merupakan pengejawantahan dari semangat awal penyusunan tafsir ini yang senantiasa hendak mendamaikan dua pihak yang berselisih paham (ishlh bayna al-ns). Sikap demikian dapat dilihat ketika menyoal kontroversi antara kalangan Muktazilah dan Sunni tentang apakah iblis berasal dari malaikat atau tidak. Kalangan pertama berpandangan bahwa iblis tidak berasal dari malaikat, sedangkan yang kedua berpandangan bahwa iblis berasal dari malaikat. Setelah memaparkan beberapa ayat tentang itu, al-mul

mengompromikan bahwa kontroversi itu hanya dari segi lafal. Namun, jika dipahami bahwa malaikat yang diusir ke bumi sebelum Adam dinamai dengan jin dan iblis berasal dari jin, maka iblis berasal dari malaikat. Menurutnya, tidak perlu dipermasalahkan lagi tentang malaikat bumi atau malaikat langit, tetapi malaikat secara umum. Dengan demikian, tidak terjadi kontroversi dari segi makna.16

Sebagai ilustrasi, kalangan Sunni memahami bahwa ayat-ayat yang menjelaskan sifat-sifat Allah seperti yang menyebut tangan, wajah, mata dan sebagainya tidak perlu ditakwilkan dengan kekuasaan, keridhaan, ataupun pengetahuan Allah SWT., meskipun mereka menegaskan tidak bolehnya memahami ayat-ayat seperti itu secara harfiah. Hal ini dapat dilihat pada penjelasan tentang kata istiw pada ayat Q.S. Thha [20]: 5. Oleh Imam Mlik, kata istaw tersebut dimaknai sebagai sesuatu yang tidak dikenal dan bentuknya tidak dapat dinalar, tetapi wajib diyakini sehingga mempertanyakannya adalah bidah.[17] Namun, ulama Sunni, jika tidak memberi takwil pada ayat tertentu, mereka tetap menolak antropomorfisme, dengan menyatakan bahwa kendati disebutkan bahwa Allah SWT. mempunyai tangan, wajah, mata, telinga, dan selainnya, tetapi semua itu tidaklah sama dengan yang ada pada manusia, dan keberadaannya adalah tanpa cara (bil kayf).17

Aspek Lahir dan Batin Al Qur'an

Pemahaman Al Qur'an itu memiliki pelbagai tingkat dan jenjang. Tangga makrifat ini dimulai dari tangga yang paling bawah, yaitu tangga zahir dan berakhir ke puncak tangga makrifat, yaitu tangga batin. karenanya, sekadar berhenti di tangga zahir dan mengabaikan tangga batin adalah kekurangan dan ketidaksempurnaan. Contoh yang paling ideal dalam hal ini
16 17

http://www.psq.or.id http://www.psq.or.id

adalah iblis. Sebab, ia adalah makhluk pertama yang hanya melihat aspek zahir dan materi (tanah), sedangkan di balik itu maqam spiritual dan khalifatullah Adam as diabaikannya. Dengan lancang dan kurang ajar, iblis berujar: "Aku lebih baik daripada ia (Adam). Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan Engkau ciptakan ia dari tanah." (QS. Shad: 67) Sedangkan memulai start dari tangga batin dan "menendang" tangga zahir adalah kejahilan, keserampangan dan kebablasan. Inilah yang dilakukan oleh sebagian kaum sufi dan kelompok Batiniah yang cenderung menafsirkan Al Qur'an hanya dari sisi batin dan menelantarkan aspek zahir. Sehingga tafsiran mereka ini pada hakikatnya tergolong tafsir bir ra`yu (tafsir yang berdasarkan pendapat pribadi) yang dalam riwayat Ahlu Sunah dan Syi`ah dilarang keras.18

Perlu ditegaskan di sini bahwa lewat dari tangga zahir ke tangga batin atau menyeberang dari jembatan kulit ke inti merupakan manifestasi pengetahuan terhadap takwil. Dalam hal ini, Imam Khomaini berpendapat bahwa hanya Rasulullah saw dan para Imam ahlul bait yang suci yang bisa mengetahui secara sempurna seluruh jenjang dan tingkatan ilmu takwil tersebut. Hanya saja, perlu digaris bawahi bahwa manusia biasa selain insan kamil pun dapat mencapai tingkatan-tingkatan ilmu takwil ini. Namun Imam Khomaini mensyaratkan beberapa hal berikut untuk mencapai tingkatan ilmu ini, yaitu: jihad ilmiah (mujahadat ilmiah), latihan-latihan akal yang disertai meditasi spiritual praktis, tazkiah nafs (penyucian diri), pembersihan hati dan penyucian ruh.19 Imam meyakini bahwa setiap kadar kebersihan dan kesucian seseorang semakin meningkat maka ia pun akan lebih mampu menangkap hakikat Al Qur'an dan pesannya serta

18

Bihar Anwar, karya al Majlisi, juz 92, hal. 111-112, al Hayat, karya al Hakimi, juz 2, hal. 13, Tafsir al Burhan, juz 1, hal. 18-19, al Jami` li Ahkamil Qur'an, karya al Qurthubi, juz 1, hal. 27.

19

Syarah Hadis Junud Aql wa Jahl, juz 2, hal. 61.

manifestasinya (tajalli).20 Dengan kata lain, daya pemahamannya pun terhadap wahyu Ilahi semakin meningkat dan tajam.

Berkaitan dengan aspek zahir dan batin Al Qur'an yang bak saudara kembar nan tak dapat dipisahkan, Imam lebih jauh lagi menyatakan: Zahir tanpa batin sebagaimana jasad tanpa ruh atau dunia tanpa akhirat. Maka demikian juga pemahaman batin ayat-ayat Al Qur'an tidak mungkin dapat ditempuh tanpa memperhatikan aspek zahir. Dan siapapun yang tidak memperhatikan zahir ayat dan hanya mendahulukan aspek batinnya, maka disamping dirinya sendiri tersesat, orang-orang lain pun diseretnya menuju kesesatan.21

Pengertian Tafsir bir Ra`yu

Imam Suyuthi dalam kitab al Itqan berpendapat: "Tafsir bir ra'yu adalah seseorang yang memiliki mazhab yang batil lalu ia menjadikannya sebagai dasar/pijakan dan ia menafsirkan al Qur'an sesuai dengan hal itu. Dengan cara apapun ia mengembalikan tafsir itu ke mazhab itu meskipun cara/metodologi yang dipakainya itu lemah."22 Beliau juga berkata: "Tafsir bir ra'yu adalah seseorang yang berkata, maksudnya Tuhan dalam ayat ini pasti demikian, padahal ia tidak memiliki dalil dalam hal itu.23 Thabarsi dalam mukadimah Majma` al Bayan menyatakan bahwa yang dimaksud tafsir bir ra'yu adalah menafsirkan Al Qur'an sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan pribadi.24 Jadi menurut beliau, menafsirkan Al Qur'an tanpa bersandar pada naql

20

Syarah Doa Sahar, hal. 59.

21

Syarah Doa Sahar, hal. 61-62, Adab ash Sholah, hal. 291.

22 23

Al Itqan fi Ulum al Qur'an, juz 4, hal. 191. Ibid, at Tafsir wal Mufassirin, Prof. Hadi Makrifat, juz 1, hal. 69. 24 Majma` al Bayan, juz 1, hal. 80-82.

(Sunah/Hadis) dan hanya bertumpu pada pendapat pribadi adalah bentuk praktek tafsir bir ra'yu. Lebih jauh lagi beliau menyatakan bahwa suatu kesalahan bila seseorang

mengarahkan/mengiring Al Qur'an agar sesuai dengan keyakinannya dan ia tidak memperhatikan petunjuk-petunjuk teks lahiriah (syawahid lafzhiyah wa dzahiriyah). Namun ini tidak berarti bahwa memberdayakan akal untuk memahami Al Qur'an itu adalah hal yang dilarang.25 Allamah Thaba'thabai juga mengecam penggunaan pendapat pribadi (ra'yu) yang beliau memaknainya sebagai bentuk ketidakbutuhan untuk merujuk kepada sumber-sumber yang lain.26 Prof. Hadi Makrifat berpendapat: "Tafsir bir ra'yu adalah komentar tentang al Qur'an tanpa didasari ilmu, yang boleh jadi memaksakan pendapat pribadi terhadap al Qur'ansebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang berafiliasi ke suatu aliran dan orientasi yang sesat, atau sikap arogansi dalam penafsirannya dimana ia tidak merujuk kepada orang-orang yang kompeten dari ahli ilmu dan ia mengesampingkan kaidah-kaidah yang dipakai dan ditetapkan dalam memahami sebuah kalam (pesan), terutama syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam merujuk nas-nas syariat, khususnya dalam memahami Kalam Allah yang mulia dan terpuji."27

Jadi, tafsir bir ra'yu adalah seorang mufasir "bonek" (baca: bondo nekad) dimana ia menafsirkan al Qur'an tanpa merujuk kepada qarinah (tanda) akliah (akal) dan naqliah (Al Qur'an-hadis). Atau, mufasir yang memaksakan pendapat pribadinya terhadap al Qur'an. Atau, seseorang yang tidak memiliki kriteria-keriteri yang harus dimiliki seorang mufasir, lalu ia mencoba menafsirkan al Qur'an. Kenekatan semacam ini diharamkan oleh syariat (Islam) dan dikecam oleh orang-orang yang berakal sehat (`uqala).

Larangan Tafsir bir Ra`yu dalam Sunah Nabi saw


Ibid. Al Mizan, juz 3, hal. 76-77. 27 At Tafsir al Atsari al Jami`, juz 1, hal. 55.
26 25

1-Diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: "Barangsiapa yang menafsirkan al Qur'an dengan pendapatnya sendiri maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka."28 2- Diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: "Barangsiapa yang mengomentari al Qur'an dengan pendapatnya sendiri maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka."29 3- Diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: "Barangsiapa berkata tentang al Qur'an dengan pendapatnya sendiri meskipun benar ia terhitung melakukan kesalahan."30 Mungkin di sini ada pertanyaan penting, yaitu apakah praktik tafsir sufistik bisa dianggap tafsir bir rayu? Jawabnya bisa iya dan bisa juga tidak. Iya, kalau tafsir yang dilakukan tidak mengindahkan/menampik kaidah-kaidah bahasa dan hanya bertumpu pada makna batin atau hanya cenderung menafsirkan berdasarkan pengalaman mistik. Tidak, kalau tafsir yang dilahirkan bagaian dari takwil yang merupakan bentuk manifestasi penafsiran yang paling dalam dan tinggi dimana ada munasabah antara makna zahir dan batin.

Tafsir Sufi Yang Cenderung Mengabaikan Kaidah-kaidah Sastra dan Bahasa Arab

Al-Qur`an turun dengan bahasa Arab yang fasih dan sesuai dengan bahasa yang berlaku di masa bitsah. Ciri khas kebahasaan Arab ini kesesuaian dengan bahasa yang berlaku dan di masa bitsah harus diperhatikan dan dalam memahaminya, harus memeiliki potensi-potensi keilmuan yang terkait. Agar tidak salah dalam penerapan kaidah-kaidah dan dalam memahami al-Qur`an, dan mencapai kesimpulan yang benar. Atas ciri khas pertama, ilmu bahasa antara lain nahwu, sharaf dan lain-lain harus dimiliki dalam batas mencukupi. Sebab dalam memahami kosa kata-

28 29

Muqaddimah Tafsir al Burhan, hal. 16, al Mizan, juz 3, hal. 75. Sunan at Turmudzi, juz 5, hal 199, Tafsir al Qurthubi, juz 1, hal. 27, Kanzul `Ummal, juz 2, hal. 10 . 30 Abu Dawud 2: 177/3652, At Tafsir al Atsari al Jami`, juz 1, hal. 55.

kosa kata al-Qur`an, musti melewati beberapa tahap yang setiap tahap harus memiliki pengetahuan khusus dan merujuk pada sumber-sumber khusus. Tahap pertama, mengetahui makna-makna bagi kosa kata secara umum- dengan menguasai ilmu isytiqaq (etimologi). Agar dapat menentukan akar kata yang asli dan menemukan maknamakna alternatif yang muncul disebabkan perbedaan akar bagi satu kosa kata. Dengan adanya makna alternative, boleh jadi itu yang dimaksud di antara makna-makna lainnya dalam ayat. Misalnya, kata mash bisa berasal dari kata siyhat (perjalanan) atau dari masah (pengusapan). Setelah melewati akar bahasa, kemudian memasuki sumber-sumber lughawi untuk mencapai makna-makna itu.

Tahap kedua, pengetahuan akan makna-makna hakiki dan majazi, yang menjadi dasar dalam interpretasi. Seorang peneliti harus memiliki ilmu kaidah-kaidah untuk mengetahui mana maknamakna yang hakiki dan yang majazi. Agar dapat membedakan antara keduanya di antara berbagai macam makna yang ada dalam kitab-kitab bahasa, yang menyebutkan makna-makna itu dalam catatan khusus mencakup makna-makna yang hakiki dan yang majazi. Seorang mufassir harus mengetahui macam-macam hubungan yang menghendaki makna-makna majazi, sehingga ia mengetahuinya. Dalam perkataan juga memuat qarinah yang menunjukkan makna-makna majazi. Dalam ayat tertentu tak ada satu qarinah pun yang menunjukkan makna majazi, dan yang diinginkan adalah makna hakiki.

Tahap ketiga, menentukan makna yang diinginkan dalam ayat. Pada tahap ini, mufassir harus mengetahui tentang kaidah-kaidah percakapan uqala`i (kalangan para pemikir) yang banyak disampaikan dalam ilmu usul dan terkadang dalam ilmu maani dalam batas-batas tertentu.

Hingga dapat menentukan makna yang ditunjukkan di antara makna-makna hakiki dan majazi, dengan merenungi ayat dan menelaah semua qarinah. Mengetahui ilmu nahwu dan sharaf adalah sebuah keharusan. Sebab, bangunan dan bentuk kalimat dapat diketahui melalui ilmu sharaf. Juga dengan bantuan ilmu nahwu, menjadi jelas makna-makna bagi kalimat-kalimat yang irabnya bermacam-macam.(3)

Ciri khas kedua, ialah kefasihan. Al-Qur`an adalah perkataan yang fasih, bahkan paling fasih. Di dalamnya banyak menggunakan perumpamaan, kiasan dan lain sebagainya, yang dapat dipahami dengan pengetahuan ilmu maani, bayan dan badi. Dengan ilmu maani, kekhususan yang dimiliki berbagai macam susunan perkataan menjadi jelas beserta makna yang ditunjukkan. Ilmu bayan membahas tentang bentuk yang khas bagi susunan perkataan dari sisi kejelasan dan kesamaran dilalah (signifikansi). Ilmu badi, mengajarkan sisisisi keindahan suatu perkataan. Ilmu-ilmu ini disebut dengan ilmu balaghah, yang sangat diperlukan oleh seorang mufassir untuk mengetahui aspek kemukjizatan penjelasan al-Qur`an. Ciri khas ketiga, al-Qur`an sesuai dengan bahasa masa bitsah. Ia turun dengan bahasa Arab masa itu. Bahasa ini seperti bahasa lainnya yang mengalami perubahan. Sebagian bahasa di masa bitsah mempunyai makna-makna yang tidak diketahui pada masa sekarang. Atau mempunyai makna-makna lain yang baru. Perlu dikaji bahwa apa makna yang berlaku di masa bitsah dan makna-makna yang kita pilih yang sesuai dengan makna sebelumnya bagi setiap lafaz. Dalam hal ini Syahid Bahesyti mengatakan, Seseorang mendapati kift dalam bahasa berarti burung berparuh tajam yang terbang. Kemudian ia mengartikan ayat ( QS: al-Mursalat 25):

Dengan makna demikian: Tidakkah Kami menjadikan bumi dalam bentuk seekor burung berparuh tajam. Argumentasi dia bahwa menurut al-Qur`an, bumi terbang (bergerak). Padahal kift makna aslinya adalah tempat pengumpulan. Yakni, Tidakkah Kami menjadikan bumi sebagai tempat pengumpulan? Kemudian dilanjutkan, bagi yang hidup maupun yang mati sebagaimana sesuai dengan ayat-ayat selanjutnya.

Walau dalam misal tersebut sebagian melontarkan sanggahan, tapi perbincangan tak keluar dari pokok masalah. Kita dapat menafsirkan kosa kata-kosa kata al-Qur`an sesuai dengan makna yang muncul setelah beberapa tahun kemudian. Untuk mengetahui makna-makna yang berlaku di masa turunnya al-Qur`an, kita harus merujuk pada sumber-sumber bahasa klasik, seperti kitab al-Ain dan kitab-kitab yang menyebutkan makna-makna sebagai bukti, seperti kitab Lisan alArab yang menjadikan makna-makna itu sebagai sandaran. Selain itu, harus memiliki kemampuan istinbat bagi makna-makna bahasa sesuai dengan masa turunnya ayat-ayat alQur`an. Agar dalam pemaparan kitab-kitab bahasa akan makna-makna yang berbeda dan kontradiktif, dapat diketahui mana makna-makna yang berlaku di masa turunnya al-Qur`an, dengan memperhatikan penggunaan setiap kosa kata dalam al-Qur`an, hadis dan budaya di masa itu yang ada dalam riwayat-riwayat dan sumber-sumber sejarah.

Dar penjelasan di atas menjadi jelas bagi kita urgensi memahami dan mempraktikkan serta memperhatikan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan bahasa Arab yang merupakan bahasa Alquran. Bahkan Allah Swt menegaskan bahwa Ia menurunkan Alquran berbahasa arab yang jelas (arabiiyan mubin). Artinya, bahasa yang digunakan Alquran adalah bahasa yang fasih dan bisa dipahami oleh semua kalangan. Sebab tujuan diturunkannya Alquran adalah memberikan petunjuk untuk umat manusia. Bila bahasa petunjuk yang digunakan sukar dan bahkan mustahil

dipahami maka disini secara tidak langsung Zat yang menurunkan Alquran dipertanyakan kebijakan-Nya: mengapa Ia menurunkan kitab suci yang penuh dengan kerumitan dan sangat sulit dipahami?! Padahal ia adalah petunjuk bagi semua manusia.

Penafsiran sufi yang tidak ada munasabah (keterkaitan dan keharmonisan) dengan makna lahiriah ayat Alquran patut dipertanyakan keabsahan dan validitasnya, bahkan tidak menutup kemungkin mereka pun bisa terjebak dalam praktik tafsir bil rayu.

Urgensi Tafsir Sufi

Tak syak lagi bahwa Alquran yang memiliki aspek zahir dan batin harus didekati dan ditafsirkan dengan kedua aspek tersebut. Mengabaikan salah satu aspek adalah penyimpangan dan kekurangan. Alquran yang suci dan bersih hanya bisa ditafsirkan oleh hati yang bersih dan suci. Dan hati kaum sufi adalah hati yang bersih dan suci, sehingga karena itu mereka sangat layak untuk menafsirkan Alquran. Imam Khomaini yang notabene juga seorang sufi, dalam hal ini menyatakan, selama kekotoran duniawi masih melekat dalam hati maka seseorang tidak akan dapat memahami Al Qur'an dan mengambil manfaat darinya.31 Dalam hal ini Al Qur'an berkata: "Sesungguhnya Al Quran itu adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara, tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan." (QS. al Waqiah: 77-79 )

Ya, tidak semua orang bisa dan berhak menyentuh Alquran. Menyentuh fisik Alquran saja disunahkan berwudu dan untuk menyentuh batin Alquran (baca: menafsirkannya) pun diperlukan kesucian jiwa alias tazkiyah an nafs dan orang-orang sufi adalah orang-orang yang ahli tazkiah.

Contoh Takwil Sufistik


31

Syarah Hadis Junud Aql wa Jahl, juz 2, hal. 105.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa salah satu makna takwil adalah aspek batin Alquran. Kaum sufi memang banyak memberikan perhatian terhadap aspek batin Alquran alias takwil. Di sini kami akan mencotohkan penakwil kaum sufi terhadap ayat Alquran.

Allah Swt berfirman: )125 : ( Berkenaan dengan ayat tersebut, Al Qusyairi an Naisyaburi berkata: secara lahiriah perintah [dalam ayat itu) tertuju untuk membersihkan Baitullah, sedangkan sejatinya ia mengisyaratkan pembersihan hati. Dan pembersihan hati itu terwujud dengan menjaganya dari perhatian orang lain. Dan tawafnya para jamaah haji sekeliling Kabah itu sudah jelas ditentukan dalam syariat, sedangan tawafnya ahli makna itu juga jelas bagi ahli haq.32 Juga diriwayatkan dari Ibn Arabi berkaitan dengan penafsiran ayat-ayat yang bertalian dengan Kabah dan Baitullah serta haji bahwa beliau mengatakan: Baitullah adalah hati, maqam Ibrahim adalah maqam ruh, al Mushalla adalah al musyahadah (penyaksian) dan kesinambungan Ilahi (al muwashalah al ilahiyyah), tempat yang aman adalah dada manusia, tawaf mengisyaratkan sampai ke maqam hati dan baitul mamur adalah kalbu orang yang alim dan hajar aswad adalah ruh.33

Mulahazhah (Catatan) Penafsiran Qusyairi telah keluar dari bingkai lafal/bahasa dan makna zahir meski ia sendiri mengakui bahwa makna bait dalam ayat tersebut adalah Baitullah. Demikian juga soal tawaf yang lazim dilakukan jamaah haji, dimana beliau mengangap ada tawaf model kedua yang hanya
32 33

Lathaif al Isyarat, juz 1, hal. 136. Durus fi al Manahij wa al Ittijahat at Tafsiriyyah lil Quran, hal. 204. At Tafsir al Mansub ila Ibn Arabi, juz 1, hal. 84-86. Durus fi al Manahij wa al Ittijahat at Tafsiriyyah lil Quran, hal. 204.

ditradisikan oleh ahli hakikat (kaum sufi). Penafsiran yang sama dilakukan oleh Ibn Arabi ketika semua ayat yang berkenaan dengan Baitullah dan haji ditakwilkannya dengan penakwilan yang sangat melampaui batas lahiriah lafal dan kaidah-kaidah bahasa Arab dan sangat berseberangan dengan ketentuan fikih. Bahkan Dr. Kautsar Azhari Noer menampik tuduhan bahwa tasawuf Ibn Arabi adalah tasawuf yang tidak berpegang pada dan menyimpang dari al-Quran tetapi berpegang pada unsur-unsur yang berasal dari luar Islam, seperti ajaran-ajaran Hinduisme dan cara hidup rahib-rahib Kristen tidaklah benar. Tuduhan itu disebabkan oleh ketidaktahuan dan kesalahpahaman banyak ulama tentang tasawuf Ibn Arabi, yang justru senantiasa berpegang pada al-Quran dan tentu saja al-Sunnah. Seluruh karya Syekh ini dipenuhi, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, oleh kutipan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Al-Quran selalu hadir dalam setiap karya Sufi ini. Para pengkaji Ibn Arabi seperti William C. Chittick dan Michel Chodkiewicz secara jujur mengakui bahwa semua karya Syekh ini, sesungguhnya, tidak lain dari tafsir al-Quran. Tafsirnya tentang ayat-ayat al-Quran memang banyak berbeda jika tidak dikatakan bertentangan dengan tafsir para ulama pada umumnya.34 Masih menurut Dr. Kautsar Azhari Noer, Ibn Arabi menolak takwil yang dikendalikan oleh penalaran, pemikiran, refleksi, apalagi yang dikuasai oleh hawa nafsu. Sebaliknya, ia menerima takwil yang diberi dan dibimbing oleh Allah. Takwil dalam arti ini adalah anugerah Allah yang Dia berikan kepada orang-orang bertakwa. Orang-orang yang dianugerahi takwil itu adalah orang-orang yang berakar kukuh dalam ilmu (al-rsikhna f al-ilm). Takwil adalah hasil takwa mereka kepada Allah. Allah mengajar mereka takwil.35

34 35

http://www.sadra.or.id Ibid.

Kesimpulan:

Ibn dari

Arabi kaum

dan urafa

Mulla tidak

Shadra

yang

merupakan aspek

pribadi-pribadi dan

agung dari

dan

luhur

menampik ahli batin

eksetorik

lahiriah hanya dan batin.

lafal/kata tertipu Bagi batin

namun dan

beliau terpedaya

sebagai dalam itu

dan dan

ahlul penjara zahir

haqiqah

tidak

mau lafal. Makna

bingkai mengandung

ibarah/bahasa dan makna

mereka,

Alquran

makna

Alquran al Karim melampaui aspek zahirnya. Apa yang disampaikan yang sudah oleh Ibn Arabi aspek dan zahir. Mulla Shadra adalah ini sebuah bisa

penafsiran

melampaui

Penafsiran

seperti

disebut dengan takwil, karena salah satu makna takwil adalah batin Alquran. Tak dapat dipungkiri bahwa sebagian penafsiran saja sufistik terjebak yang dalam saw. jauh praktik Kaum yang

meningggalkan tafsir sufi bir rayu

kaidah-kaidah yang sangat

bahasa dikecam

mungkin oleh

riwayat-riwayat syuhud untuk adanya, dan

Nabi

terkadang susah Hanya

menggandalkan dibuktikan saja

pengalaman kebenarannya maklum

mukasyafah-nya menafsirkan

memang Alquran.

ayat-ayat seperti ini

sebagaimana

pengalaman

tidak dapat jadi dalil untuk umum. Pengalaman ini bisa saja dan sah-sah saja menjadi ini dalil dan hujah dalam bahkan bagi yang bersangkutan, Alquran namun ketika pengalaman dipertanyakan dengan ya bisa dan dan qawaid tertolak. pintar batin

digunakan

menafsirkan kalau jelas-jelas zahir ketika korelasi

masih

keabsahannya, thawahir Penafsiran mampu

bertentangan Arab) dengan makna

lughah sufi

(kaidah-kaidah bisa diterima

bahasa mereka

yang

cerdas zahir

menunjukkan

hubungan

dan

antara

Alquran;

antara

dalalah

lughah

(indikator

kebahasaan)

dan

khibrah

irfaniyyah (pengalaman mistik). Adalah sangat tak dapat dipungkiri tingkat kata lain, sangat bahwa kesucian dan dan suci yang dan kebersihan kebersihan bersih dari batin tafsir noktah seseorang yang dosa

memengaruhi Dengan

kesucian jiwa yang

dilahirkannya. dan dan jerat

maksiat

akan Alquran.

membantu Alquran al

bersangkutan kitab (mereka Alquran

untuk suci yang saja

mendekati bisa

menafsirkan (baca: Kalau

Sebab, oleh

sebagai

hanya

disentuh jiwanya). harus ingin Ilahi tampak batin rohani

ditafsirkan) dalam

muthaharrun fisik

tersucikan fikih yang kalam akan

urusan

memegang bersuci alias dan

secara seseorang utama sinilah

atau

minimal

dianjurkan

berwudu

maka maksud

menyentuh maka

kedalaman ia

Alquran pun

memahami kesucian sufi

seyogianya tafsir

memiliki Sebab,

batin. terkenal spiritual

Di

urgensi dan

sufistik. sangat

kaum

dengan dan

kesucian perjalanan sendirinya bukan juga ia

mereka

akrab Namun sufi, dan

dengan ini sebab

meditasi tidak untuk

(suluk

manawi). setiap

berarti

dengan

membenarkan hanya

penafsiran

memahami atau

Alquran kalbu, tapi

diperlukan

kecemerlangan yang

kebeningan diketahui

batin

seperangkat

ilmu-ilmu

wajib

oleh

seorang

mufasir,

baik

mufasir sufi atau mufasir non-sufi. Rasul saw yang tak kepada ada umat seorang pun supaya yang meragukan teguh maqam spiritual zahir beliau dan

mengajarkan batin

memegang Alquran,

dengan

aspek

Alquran.

Dalam antara

menafsirkan kedua. Beliau

beliau dari

sendiri

tidak zahir

pernah dan

memisah-misah

berangkat

pemahaman

kemudian temukan terus terbuai

beliau dalam

mengisyaratkan sabda beliau Ini

kedalaman untuk

Alquran menggali

dan (tadabur) Islam

banyak Alquran tidak

kita dan hanya aspek

ajakan

merenungkannya. dengan serta

mengisyaratkan zahir Alquran

supaya dan tetapi barang

umat hanya lebih tentu

keindahan aspek

menikmati jauh akan

kefasihannya muhtawa

balaghah-nya, yang sudah

memikirkan mengantarkan

(kandungan/isi)nya

manusia pada kedalaman makna Alquran yang luar biasa dan tak terbatas. Apa yang dilakukan kaum sufi sebagaimana diapresiasi yang tampak dan dalam dilihat corak dari khas sisi ingin sejatinya sufi

tafsiran bahwa menggali adalah terhadap

mereka mereka lebih bentuk

kiranya ingin dalam, penakwilan

perlu

secara kualitas

wajar

meningkatan sehingga yang dengan sah-sah

penafsiran tafsiran kata lebih

Alquran; sufistik lain,

demikian saja.

Dengan penggalian

takwil

ayat-ayat

Alquran

adalah

bentuk

dalam

terhadap

Alquran dan bentuk tadabur dan tafakur terhadap kalam Ilahi. Bagi kaum sufi Alquran hanya itu bisa adalah sesuatu dan bagi bersifat yang imateri dan dengan adalah Sehingga bahasa sok sesuatu sesuatu yang imateri (mujarrad) juga, dan

didekati bahasa serta

dipahami mereka materi. level

yang yang

imateri membatasi

sedangkan membelenggu yang hanya

sesuatu karena adalah bodoh)

itu,

pemahaman tahajjur realitas

Alquran (sikap Alquran

bertumpu dan

pada

bentuk terhadap

konvensional)

tajahul

(bersikap

sebagai kalam Ilahi yang metafisik. Kiranya saking perlu dicatat atau bahwa memang terkadang cawan kaum cinta sufi yang karena mereka mungkin teguk,

mabuknya

terpengaruh

oleh

sehingga tafsiran identik rayu seorang ia

terkadang yang dengan

mereka tepat bi tafsir ar

melesat bila

begitu

jauh

dan penafsiran

melahirkan yang

tafsirandan bir

mungkin tafsir

disebut

sebagai perlu

ngawur tafsir

rayu. bir

Namun

dibedakan (teolog).

antara Karena sehingga kaum

sufi

dengan

rayu

mutakallim

biasanya terkadang

teolog

berusaha praktik untuk seperti

membela tafsir membela itu.

keyakinan bir rayu. mazhabnya

mazhabnya Sedangkan sehingga orang

terjebak

dalam usaha Alquran

sufi itu bebas

jarang ia dari

ditemukan menafsirkan

karena itu

Karena

biasanya

sufi

kepentingan, beda dengan kaum teolog yang banyak kepentingan.

Anda mungkin juga menyukai