Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Segala puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT,
karena atas izin-Nya jugalah kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Tafsir bil Al-ma’tsur. Makalah ini disusun
berdasarkan amanah. Tafsir adalah upaya untuk
melakukan melakukan dialog antara Al-Qur’an dan ragam
problematika zaman yang dinamis dengan membongkar makna
terdalam atau pesan tersirat yang terkandung didalam Al-Qur’an.
Sementara itu, dalam peta keilmuan islam, tafsir adalah ilmu yang
tergolong belum matang, sehingga selalu terbuka untuk
dikembangkan.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Tafsir bil Al-ma’tsur
2. Perbedaan pendapat Ulama
3. Syarat-syarat Tafsir bil Ma’tsur
4. Metode Tafsir bi al-Ma’tsur

1
2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Tafsir bil Al-ma’tsur

Kata Al-Ma’tsur adalah isim maf’ul (objek dari kata atsara-ya’tsiru/ya’tsuru


atsaran-wa-atsaratan yang secara etimologis adalah berarti menyebutkan atau
mengutip (naqala) dan memuliakan atau menghormati (akrama). Al atsar juga berarti
sunnah,hadis jejak, bekas pengaruh dan kesan. Jadi kata kata al-ma’tsur, al-naql/al-
manqul, dan al-riwayah pada hakikatnya mengacu pada makna yang sama yaitu mengikuti
atau mengalihkan sesuatu yang sudah ada dari orang lain atau masa lalu sehingga tinggal
mewarisi dan meneruskan apa adanya.1

Sebagaimana dijelaskan Al-Farmawy, tafsir bil ma’tsur (disebut pula bi ar-riwayah


dan an-naql) adalah penafsiran Al-Qur’an yang mendasarkan pada penjelasan Al-
Qur’an, Rasul, para sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tabi’in. Jadi bila
merujuk pada definisi di atas, ada empat otoritas yang menjadi sumber
penafsiran bi al- ma’tsur.

 Al-Qur’an sendiri yang dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap Al-Qur’an.


Umpamanya, penafsiran kata muttaqin pada surah Ali Imran (3) ayat 133 dengan
menggunakan kandungan ayat berikutnya, yang menjelaskan bahwa yang
dimaksud adalah yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun
sempit, dan seterusnya.
 Otoritas hadis Nabi yang memang berfungsi sebagai penjelas (mubayyin) Al-
Qur’an. Umpamanya, penafsiran Nabi terhadap kata ‘al-zulm’ pada surah Al-
An’am (6) dengan pengertian syirik.
 Otoritas penjelasan sahabat yang dipandang sebagai orang yang banyak
mengetahui Al-Qur’an. Umpamanya, penafsiran ibnu abbas terhadap kandungan
surat An-Anshr dengan kedekatan waktu kewafatan nabi.

1
Muhammad amin suma, ulumul Qur’an, (jakarta: PT. Rajagrafindo persada), h. 332-333

2
 Otoritas penjelasan tabi’in yang dianggap sebagai orang yang bertemu langsung
dengan sahabat. Umpamanya, penafsiran tabi’in terhadap surah Ash-Shaffat.

Akan tetapi, tidak diperoleh alasan yang memadai tentang penafsirantabi’in yang
dijadikan sebagi salah satu sumber tafsir bil al-ma’tsur. Padahal dalam menafsirkan
Al-Qur’an, mereka tidak hanya mendasarkannya pada riwayat yang
diterimanya dari sahabat, tetapi juga terkadang memasukkan ide-ide mereka. Dengan kata
lain, terkadang merekapun melakukan ijtihad dan memberi interpre tasinya terhadap Al-
Qur’an. Di samping itu, mereka berbeda dengan sahabat tidak mendengar langsung dari
nabi dan tidak menyaksikan langsung situasi dan kondisi ketika Al-Qur’an diturunkan. Oleh
sebab itu, otoritas mereka sebagai sumber penafsiran Al-Qur’an bil al-ma’tsur masih
diperdebatkan para ulama. Di antara ulama yang menolak otoritas mereka adalah ibnu
syaibah dan ibnu Aqli. Abu Hanifah pernah berujar, “Apa yang datang dari rasulullah harus
diterima; apa yang datang dari tabi’in, (kita menyikapinya) mereka adalah laki-laki dan
kami pun laki-laki. Namun, mayoritas ulama, seperti ad-dahhak bin Al-mujahim.2

Bila ibnu Aqli dan Sya’bah mempersoalkan ototritas Nabi dan sahabat, Quraisy Shihab
mencoba lebih dalam lagi mempersoalkan otoritas Nabi dan sahabat. Menurutnya,
penafsiran Nabi dan sahabat dapat dibagi menjadi dua kategori:

 La majal li al-‘aql fihi (masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar) seperti
masalah metafisika dan perincian ibadah.
 Fi majal al-‘aql (dalam wilayah nalar), seperti masalah kemasyarakatan.

Yang pertama, apabila nilai riwayatnya sahih, penafsiran itu dapat diterima apa adanya
tanpa ada pengembangan karena sifatnya diluar jangkauan akal. Adapun yang kedua, walaupun
harus di akui bahwa penafsiran Nabi pasti benar, penafsirannya itu harus di dudukkan pada
proporsinya yang tepat. Apalagi jika dikaitkan dengan miltifungsional Nabi.

2
Rosihon Anwar, ulumul qur’an, (Bandung: cv pustaka setia, 2000), h. 215-217

3
Adapun pendapat sahabat, maka apabila permasalahan yang diungkapkan fi majal al-‘aql,
la fi hukm al-marfu’ dan diterima apa adanya. Bila tidak demikian, ia hanya
dipertimbangkan dan dipilih mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai. Bertolak dari
pendapata shihab di atas, maka tidak merupakan suatu keharusan menerima produk penafsiran
bil al-ma’tsur bila persoalannya menyangkul fil majal al-‘aql meskipun penafsiran itu berasal
dari Nabi.

Dalam pertumbuhannya, tafsir bil al-ma’tsur menempuh tiga periode, yaitu:

 Periode I, yaitu masa Nabi, sahabat, dan permulaan masa tabi’in ketika tafsir belum tertulis
dan secara umum periwayatannya masih secara lisan (musyafahah).
 Periode II, bermula dengan pengodifikasian hadis secara resmi pada masa pemerintahan
‘umar bin ‘Abd Al-‘Aziz (95-101). Tafsir bil al-ma’tsur ketika itu ditulis bergabung
dengan penulis hadis dan dihimpun dalam salah satu bab-bab hadis.
 Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab tafsir bil al-ma’tsur yang berdiri sendiri.

Di antara kitab yang dipandang menempuh corak bil al-ma’tsur adalah:

 Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, karya ibnu jarir Ath-Thabari (w.310/923)


 Anwar At Mantsur, karya Al-Baidhawi (w.685/1286)
 Ad-Durr Al Mantsur fi At-Tafsir bil Al-Ma’tsur, karya jalal ad-Din As-Suyuthi
(w.911/1505)
 Tanwir Al-Miqbas fi tafsir ibn Abbas, Karya fairuz Zabadi (w.817/1414), dan
 Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, karya ibnu katsir (w.774/1373)3

2. Perbedaan pendapat Ulama


Tafsir dengan maktsur berkisar sekitar riwayat tentang ayat yang dinukil dari
sumbernya. Dalam ayat ini sedikit sekali terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
ulama dengan menisbahkan kepada orang-orang yang datang sesudahnya. Kebanyakan
tidak seberapa perbedaan pendapat dalam perubahan disamping kesatuaan arti. Atau ada
orang yang menafsirkan secara umum dengan beberapa ifradnya yaitu dengan jalan

3
Rosihon anwar, h. 218-219

4
tamsil. Kata Ibnu Taimiah. Perbedaan dan pendapat Ulama Salaf dalam masalah tafsir itu
hanya sedikit. Biasanya perbedaan itu dikembalikan kepada perbedaan menurut macam,
bukan berbeda yang berlawanan, yang demikian itu hanya dua macam.
Pertama, salah seorang dari mereka itu mengibaratkan apa yang dimaksud itu
dengan ibarat yang bukan ibarat orang yang punya. Menunjukkan arti dalam
menamakan, bukan arti lain yang di samping kesatuan yang dinamakan itu,
seperti mereka menafsirkan sirathalmustaqiim. Sebagian mereka berpendapat, Al-
Qur’an itu berarti pengikutnya. Kata sebagian lagi, -islam. Kedua perkataan ini
bersesuaian. Karena agama islam itu adalah pengikut Al-Qur’an.Tapi tiap-tiap
keduanya itu menerangkan sifat bukan sifat yang lainnya.
Kedua, keduanya itu menyebutkan nama umum, sebagian dari macam macamnya
itu berbentuk tamsil. Kepada orang yang mendengarkannya itu diterangkan atas
macamnya. Misalnya, apa yang dinukil dari firman tuhan.4

3. Syarat-syarat Tafsir bil Ma’tsur


 Perawinya mesti memiliki pengetahuan tentang sunnah baik riwayah
ataupun dirayah.
 Perawi mesti memiliki pengetahuan yang baik tentang apa-apa yang ada
dalam sunnah berhubung kait dengan tafsir, kemudian tentang perkataan
sahabat, tabi’in dan imam-imam mujtahid.
 Penafsir mampu menggabungkan dan menyusun antara periwayatan-
periwayatan yang berbeda.
 Penafsir mengetahui hakikat perbedaan antara riwayat-riwayat dalam
tafsir dan sebab-sebabnya serta mesti mengetahui dengan sepenuh
keyakinan bahwa Al-Qur’an memiliki beberapa wajah.
 Penafsir mesti memperhatikan hal-hal yang disebutkan dalam pembahasan
tentang apa-apa yang wajib diperhatikan ketika memindahkan perkataan-
perkataan ahli tafsir.
 Penafsir mesti mengetahui sebab turun ayat dan nasikh mansukh

4
Mana’ul quthan, pembahasan ilmu al-qur’an 2, (jakarta: PT. Rineka cipta), h.189-190

5
Penafsir terkait dengan apa-apa yang termasuk dalam pembahasan sebaik-
baik cara mentafsirkan dan pada pembahasan tentang metode yang wajib
diikuti oleh pentafsir ketika mentafsirkan Al-Qu’an.
 Semestinya penafsir, dengan metode bil al-ma’tsur, hanya menerima
pendapat-pendapat yang selari dengan pemikiran atau akal. Tidak boleh
baginya menyebutkan penafsiran yang gharib (anah) dan permasalahan-
permasalahannya yang tidak dapat diterima akal.
 Tidak berpegang pada periwayatan israiliyat yang dimasukkan kepada
tafsir bil al-ma’tsur.5

4. Metode Tafsir bi al-Ma’tsur


Tafsir bi al-Ma’tsur adalah tafsir yang merujuk pada penafsiran Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an, atau penafsiran Al-Qur’an dengan al-Hadis melalui penuturan para
sahabat. Metode ini, merupakan dua tafsir tertinggi yang tidak dapat
diperbandingkan dengan sumber lain, karena menyaksikan disaat turunya wahyu.
Penafsiran merekalah yang layak untuk dijadikan sumber. Disamping itu mereka
adalah orang yang dididik Rasulullah SAW, dalam berbagai aspek.6

5
Afrizal nur, khazanah dan kewibawaan tafsir bi Al-ma’tsur, (Riau: fakultas ushuludin uin suska riau kerja sama
dengan asa riau), h. 59-60
6
Thameem ushama, metodologi tafsir Al-Qur’an, (jakarta: Riora Cipta), h. 5-6

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kata Al-Ma’tsur adalah isim maf’ul (objek dari kata atsara-ya’tsiru/ya’tsuru
atsaran-wa-atsaratan yang secara etimologis adalah berarti menyebutkan atau
mengutip (naqala) dan memuliakan atau menghormati (akrama). Al atsar juga
berarti sunnah,hadis jejak, bekas pengaruh dan kesan. Jadi kata kata al-ma’tsur,
al-naql/al-manqul, dan al-riwayah pada hakikatnya mengacu pada makna yang
sama yaitu mengikuti atau mengalihkan sesuatu yang sudah ada dari orang lain
atau masa lalu sehingga tinggal mewarisi dan meneruskan apa adanya.
2. Tafsir dengan maktsur berkisar sekitar riwayat tentang ayat yang dinukil dari
sumbernya. Dalam ayat ini sedikit sekali terdapat perbedaan pendapat dikalangan
para ulama dengan menisbahkan kepada orang-orang yang datang sesudahnya.
Kebanyakan tidak seberapa perbedaan pendapat dalam perubahan disamping
kesatuaan arti. Atau ada orang yang menafsirkan secara umum dengan beberapa
ifradnya yaitu dengan jalan tamsil. Kata Ibnu Taimiah. Perbedaan dan pendapat
Ulama Salaf dalam masalah tafsir itu hanya sedikit. Biasanya perbedaan itu
dikembalikan kepada perbedaan menurut macam, bukan berbeda yang
berlawanan, yang demikian itu hanya dua macam.
3. Perawinya mesti memiliki pengetahuan tentang sunnah baik riwayah ataupun
dirayah. Perawi mesti memiliki pengetahuan yang baik tentang apa-apa yang ada
dalam sunnah berhubung kait dengan tafsir, kemudian tentang perkataan sahabat,
tabi’in dan imam-imam mujtahid. Penafsir mampu menggabungkan dan
menyusun antara periwayatan-periwayatan yang berbeda. Penafsir mengetahui
hakikat perbedaan antara riwayat-riwayat dalam tafsir dan sebab-sebabnya serta
mesti mengetahui dengan sepenuh keyakinan bahwa Al-Qur’an memiliki
beberapa wajah.Penafsir mesti memperhatikan hal-hal yang disebutkan dalam

7
pembahasan tentang apa-apa yang wajib diperhatikan ketika memindahkan
perkataan-perkataan ahli tafsir.
4. Tafsir bi al-Ma’tsur adalah tafsir yang merujuk pada penafsiran Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an, atau penafsiran Al-Qur’an dengan al-Hadis melalui penuturan para
sahabat. Metode ini, merupakan dua tafsir tertinggi yang tidak dapat
diperbandingkan dengan sumber lain, karena menyaksikan disaat turunya wahyu.
Penafsiran merekalah yang layak untuk dijadikan sumber. Disamping itu mereka
adalah orang yang dididik Rasulullah SAW, dalam berbagai aspek

Anda mungkin juga menyukai