Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-
Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya.
Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui
bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-
riwayat tentangnya atau karena memang Rasul saw. sendiri tidak menjelaskan semua
kandungan Al-Quran.
Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak
jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad,
khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu
'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah
nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-
Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan
lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.
Corak Tafsir Pada Masa Tabi’in
Ada beberapa tempat yang oleh tabi’in dijadikan sebagai pusat perkembangan
ilmu tafsir. Para tokoh tabi’in mendapatkan qaul-qaul sahabat di tiga tempat
yaitu Makkah, Madinah dan di Iraq. Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Orang-orang
yang paling mengerti tentang tafsir adalah orang-orang Makkah, karena mereka
adalah murid-murid Ibnu Abbas r.a. seperti Mujahid, ‘Atho’ ibn Abi Riyah,
‘Ikrimah, Jubair, Thawus, dan lain-lain. Begitu juga di Kufah ada murid-murid
Ibnu Mas’ud. Sedangkan ulama Madinah di bidang tafsir seperti Zaid Ibnu Aslam.”
Sebagaimana para sahabat, tabi’in pun ada yang menerima tafsir dengan ijtihad
ada pula yang menolaknya. Golongan yang tidak membolehkan mengkritik orang
yang membolehkan dengan beberapa hadis, seperti
Diantara tabi’in yang menolak metode tafsir bi al-ijtihad adalah Sa’id Ibn al-
Musayyab dan Ibnu Sirin. Diantara tabi’in yang membolehkan seperti Mujahid,
‘Ikrimah dan sahabat-sahabatnya.
Para tabi’in juga memberikan perhatian yang sangat besar kepada Israiliyyat dan
Nasraniyyat. Mereka menerima berita-berita dari orang-orang Yahudi dan Nashrani
yang masuk Isam, kemudian mereka memasukkannya kedalam tafsir. Menurut
keterangan yang ditulis Hamka, para mufassir saat itu sangat berbaik sangka
kepada pembawa berita. Mereka menganggap orang yang telah masuk Islam tidak
mau berdusta. Oleh sebab itu, para mufassir saat itu tidak mengoreksi lagi
khabar-khabar yang mereka terima.
Corak Tafsir Pada Masa Pembukuan
Masa tadwin ini dimulai dari awal zaman Abbasiah. Para ulama saat itu mengumpulkan
hadis-hadis yang mereka peroleh dari para sahabat dan tabi’in. Mereka menyusun tafsir
dengan menyebutkan sepotong ayat, kemudian menyebutkan riwayat dari para sahabat
dan tabi’in. Namun demikian, ayat-ayat al-Quran yang ditafsiri ini masih belum tersusun
sesuai dengan susunan mushaf.
Untuk memisahkan hadis-hadis tafsir dari hadis yang lain, para ulama mengumpulkan
hadis-hadis yang marfu’ dan hadis-hadis mauquf tentang tafsir. Mereka mengumpulkan
hadis bahkan dengan mengambilnya dari berbagai kota. Di antara ulama yang
mengumpulkan hadis dari berbagi daerah ini adalah: Sufyan Ibnu ‘Uyainah, Waki’ Ibnu
Jarrah, Syu’bah Ibnu Hajjaj, Ishaq Ibnu Rahawaih.
Pada akhir abad kedua barulah hadis-hadis tafsir dipisahkan dari hadis-hadis lainnya dan
disusun tafsir berdasarkan urutan mushaf. Menurut penelitian Ibnu Nadim, orang yang
pertama kali menafsirkan ayat-ayat al-Quran menurut tertib mushaf adalah al-Farra’. Ia
melakukannya atas permintaan ‘Umar Ibnu Bakir. Ia mendiktekan tafsirnya kepada
murid-muridnya di masjid setiap hari Jum’at.
Pada masa Abbasiyah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan berkembang pula
ilmu tafsir. Para ulama’ nahwu seperti Sibawaihi dan al-Kisaiy mengi’rabkan al-Quran.
Para ahli nahwu dan bahasa menyusun kitab yang dinamakan dengan Ma’ani al-Quran.
Tafsir Tematik (maudhu’i)
Thabaqat (lapisan tingkatan)
para mufassir
Diriwayatkan dari pada Ibnu Abbas ,ia berkata,ada empat corak tafsir:
Tafsir yang dapat diketahui oleh orang arab melalui bahasa mereka , yaitu tafsir yang
merujuk kepada tutur kata mereka melalui penjelasan bahasa.
Tafsir yang diketahui oleh orang banyak . Macam kedua ini ialah tafsir mengenai ayat
yang maknanya mudah dimengerti , seperti penafsiran nash – nash yang mengandung
hukum syari’at dan dalil – dalil tauhid secara tegas. Contohnya setiap orang pasti
mengetahui makna tauhid dari ayat , “ Maka ketahuilah , sesungguhnya tiada Tuhan
selain Allah. “ ( Muhammad : 19 ) , sekalipun ia tidak tahu bahwa kalimat ini
dikemukakan dengan pola “ nafi “ dan “ istisna “ yang menunjukkan hashr (Pembatasan).
Tafsir yang hanya bisa diketahui oleh para ulama . Yaitu tafsir yang merujuk kepada
ijtihad yang didasarkan pada bukti – bukti dan dalil – dalil dengan sejumlah ilmu terkait , seperti
Penjelasan ayat atau kata yang belum jelas maknanya , pengkhususan ayat - ayat yang umum dan
sebagainya .
Tafsir yang sama sekali tidak mungkin diketahui oleh siapa pun selain Allah . Tafsir ini
berkisar pada hal – hal yang gaib, seperti kapan terjadinya hari kiamat dan hakikat ruh dan lainnya.
Tafsir bir-Ra’yi
Menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang
shahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Firman Allah: “Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.”
(al-Israa’: 36)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Baransiapa berkata tentang
al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri atau menurut apa yang tidak
diketahuinya, hendaklah ia menempati tempat duduknya di dalam neraka.”
dalam redaksi lain dinyatakan: “Barangsiapa berkata tentang al-Qur’an
dengan ra’yu-nya, walaupun ternyata benar, ia telah melakukan kesalahan.”
(HR Tirmidzi, Nasa’i dan Abu Dawud. Menurut Tirmidzi hadits ini hasan, baik)
Oleh karena itu, golongan salaf berkeberatan, enggan, untuk menafsirkan al-
Qur’an dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui. Dari Yahya bin Sa’id
diriwayatkan, dari Sa’id bin al-Musayyab, apabila ia ditanya tentang tafsir
suatu ayat al-Qur’an maka ia menjawab: “Kami tidak akan mengatakan
sesuatu pun tentang al-Qur’an.” (Hadits Malik dalam al-Muwaththa’)
Israiliyyat
Kisah Israiliyyat adalah kisah- latar belakang timbulnya Israiliyyat adalah
kisah yang sebagian besar semakin banyaknya orang-orang Yahudi atau
bersumber dari orang-orang Ahli Kitab yang masuk Islam; adanya
Yahudi, baik diydan atau tidak, keinginan sebagian dari kaum Muslimin untuk
yang telah menyusup ke dalam mengetahui ihwal orang-orang Yahudi yang
khazanah tafsir Al-Qur’an dan mempunyai peradaban tinggi dibanding kaum
hadis Nabi. Muslim di Jazirah Arab pada waktu itu
Tafsir tentang Alif Lam Mim. Makna Alif ialah: Allah sangat
menyayangi Muhammad. Lam bermakna: Muhammad dicela dan
diingkari oleh orang-orang yang menentang. Mim maknanya:
orang yang menentang dan ingkar itu mengigau karena sakit.
Tafsir tentang Haa mim ‘ain sin qaf . ha menunjuk pada arti
perang antara Ali dan Muawiyah. Mim adalah
Marwaniyah,’Ain :kekuasaan Abbasiyah, Sin maksudnya kekuasaan
golongan Sufyaniah, qof adalah qudwah(kepemimpinan)Mahdi.
Ibnu faurak dalam menafsirkan ayat wa lakin liyathma ‘innah
qalbi (QS.Al-Baqarah:260) menyatakan bahwa Nabi Ibrahim
mempunyai seorang teman yang digambarkan oleh ibnu faurak
bahwa teman itu adalah hatinya. Jadi pengertian ayat ini adalah
agar temannya itu merasa tentram dengan pemandangan seperti
ini jika ia menyaksikannya langsung dengan mata kepalanya
sendiri.