Anda di halaman 1dari 5

UJIAN TENGAH SEMESTER

Aida Mushbirotuz Zahro

19105030040

AL-TAFSIR WA AL-MUFASSIRUN KARYA AL-ZAHABI


TAFSIR BIL MA’TSUR

A. Pengertian Tafsir Bil Ma’tsur


Tafsir bil Ma’tsur meliputi bayan (penjelasan) dari al-Qur’an itu sendiri, hadits
Nabi saw., perkataan yang dinukil dari para sahabat dan juga para tabi’in, serta segala
sesuatu tersebut merupakan sebuah penjelasan mengenai tujuan dan maksud al-Qur’an.

B. Macam-macam Tafsir Bil Ma’tsur


1. Tafisr nash (Al Qur’an) dengan nash (Al Qur’an)
2. Tafsir nash (Al Qur’an) dengan al-sunnah
3. Tafsir sahabat

C. Kelemahan Tafsir Bil Ma’tsur


Tafsir bil ma’tsur mengandung beberapa kelamahan, diantaranya:
1. Tercampurnya riwayat antara yang shahih dan yang tidak shahih. Selain itu banyak
kutipan kata-kata yang dinisbatkan kepada sahabat dan tabi’in yang tidak mempunyai
ketentuan dan sandaran, sehingga menimbulkan adanya pencampuran antara yang haq
dan yang bathil.
2. Pengaruh riwayat-riwayat tersebut diantaranya dari cerita-cerita israiliyyat dan
khurafat yang bertolakbelakang dengan akidah islamiyyah. Dimana dalam hal ini
terdapat kesalahan cerita dari kelompok Islam yang dahulunya ahli kitab.
3. Terdapat keekstrima di kalangan para sahabat. Mereka mengambil pendapat dan
membuat kebathilan yang dinisbatkan kepada sahabat. Misalnya golongan syiah yang
fanatic kepada Ali, mereka banyak mengatakan hadisnya berasal dari Ali, sedangkan
mereka berdusta.
4. Terdapat kemungkinan kepalsuan tafsir yang berasal dari musuh Islam. Mereka
berusaha menghancurkan agama Islam dengan membuat hadis palsu.

D. Perkembangan Tafsir Bil Ma’tsur


Di masa perkembangannya, tafsir bil ma’tsur mengalami dua tahap perjalanan,
yaitu masa periwayatan dan masa kodifikasi. Pada masa periwayatan, Rasulullah saw.
menjelaskan ayat yang masih samar maksudnya, karena nya para sahabat menerimanya
melalui metode periwayatan, begitupula para Tabi’in yang diperoleh dari para sahabat.
Pada masa kodifikasi, pengkodifikasian tafsir bil ma’tsur merupakan hal yang
pertama dalam ilmu tafsir, rijal al-Hadis, serta riwayah yang menjadi pilar utama dalam
perihal pengkodifikasian, seperti halnya Imam Malik bin Anas dan Imam Daar al-Hijrah.
Di masa ini, bentuk ilmu tafsir belum mempunyai susunan yang rapih, akan tetapi hanya
dipahami sebagai salah satu bab dalam al-Hadis al-Mukhtalifah yang didalamnya
membahas periwayatan Nabi saw., Sahabat, dan Tabi’in. Hal ini terus berjalan hingga
sampai pada masa dipisahkannya ilmu hadis dengan ilmu tafsir. Hingga terjadinya
pengkodifikasian tafsir al-ma’tsur yang tidak disebutkan sanad (mata rantai) nya.

E. Pemalsuan Tafsir Bil Ma’tsur


1. Faktor Penyebab
Pemalsuan tafsir bil ma'tsur ada beberapa faktor :
a. Fanatisme madzhab, para golongan tersebut ingin memperkokoh madzhabnya
menggunakan tafsir al Qur'an
b. Kepentingan politik yang membuat mereka memalsukan tafsir, karena ali dan Ibnu
abbas memiliki posisi yang dekat dengan nabi. Keduanya diharapkan memiliki
posisi yang sangat kuat.
c. Dari Musuh islam, dimana musuh islam tidak mampu melawan dengan perang,
maka mereka memalsukan tafsir untuk melawan islam.
2. Pengaruh pembubuhan dalam tafsir
Dalam penafsiran, sesungguhnya banyak hal yang hilang dari tradisi mulia ulama’
tafsir salaf kepada kita. Sebab hal itu mencakup keraguan yang merenggut tsiqah. Maka
hal tersebut membuat kita mengembalikan setiap riwayat yang memiliki kelemahan
dalam riwayat shohih dari segi dzatnya. Misalnya pencampuran riwayat shohih dan
saqim yang dibuat oleh sebagian orang yang tidak mempunyai kaeahlian dalam
membedakan perkara shohih atau cacat,dan langsung mengklaimnya shahih. Jika
ditemukan dua riwayat yang bertentangan dari satu mufasssir, maka ia menuduhnya
dengan koontradiksi dalam perkataannya dan mencurigai orang tersebut dengan
penerimaan riwayat yang bertentangan ini.
Dalam kitab Madzahib al-Islamiyah fi al-Tafsir al-Qur`an yang ditulis Ustadz
Jauladzihar menyatakan, “Sesungguhnya ketika penglihatan berpaling dari batas ini,
yaitu fenomena asing, level pengajaran kepada Ibnu ‘Abbas membawa tabi’at
pembenaran dengan bentuk persamaan. Pada dirinya nampak pertentangan antara
sebagian dengan yang lain, mereka tidak menerima moderat dan penyesuaian.”
Sebagian yang lain berpendapat, “Mungkin hal tersebut akan dapat dilihat pada batas
mana kemampuan kesehatan akal yang bersanad sampai Ibnu ‘Abbas dan sampai mana
pengakuan (tsiqah)nya menurut ulama’. Apa yang perlu dipertimbangkan bisa diteliti
dengan menyandarkan kepada Ibnu ‘Abbas dan pendapat (atsar) yang lain.
Maka dapat ditarik kesimpulan dari penjelasan diatas, ‘sesungguhnya riwayat itu
tidak dapat ditemukan hanya dengan nisbat pada tafsir al-ma`tsur kepada al-Qur`an
dan belum mampu disebut sesuatu yang sempurna atau wujud yang kokoh, tetapi juga
perlu dinisbatkan dengan hadis nabi dan juga qaul. Tidak bisa dipungkiri bahwasanya
terdapat banyak perbedaan antara ulama’ salaf dalam tafsir. Namun perbedaan ini dapat
diatasi seperti yang telah dijelaskan secara terperinci, bahwa sesungguhnya mayoritas
perbedaan itu dari segi gaya bahasa dan keanekaragamannya, bukan perbedaan yang
bertentangan ataupun berlawanan. Oleh karenanya, pengumpulan keduanya sangat
mudah. Jika tidak memungkinkan adanya pengumpulan, maka qaul terakhir diantara
dua qaul yang dikatakan oleh orang yang sama lebih didahulukan (diambil riwayatnya),
dengan catatan keduanya memiliki derajat yang sama dalam keshahihannya. Apabila
tidak sama, maka diambil yang lebih shahih. Jika perkataan sebagian besar sahabat
bertentangan dan tidak dapat diambil kesimpulan maupun ditarjih, maka pendapat
Ibnuu ‘Abbas lebih diutamakan, karena Rasulullah memuliakannya dengan berdo’a,
“Ya Allah, berilah ia pengetahuan (ilmu) tentang ta’wil”.
Adapun riwayat-riwayat lain yang dikaitkan dengan Ibnu Abbas, menyatakan
bahwa yang dikorbankan adalah ishaq, maka mereka - jika terdapat sanad yang shohih-
diasumsikan bahwa yang dimasukkan untuk dijadikan korban adalah Ishaq. Terdapat
pendapat Ibnu Abbas dalam permulaan, karena dia mendengar dari beberapa sahabat
menceritakan sesuatu seperti ini yang mereka dengar dari Ka'ab dan muslim Yahudi
lainya. Kemudian Ibnu Abbas belajar darinya dan menyatakan kebalikanya. Seperti
perkataan Ibnu Jarir: Berkata kepadaku yunus, mengabarkan kepada kami Ibnu wahab,
mengabarkan kepadaku amr bin qais, dari atha Ibnu abi rabah, dari abdillah Ibnu abbas
sesungguhnya berkata: "yang ditebus adalah ismail, dan orang orang yahudi
mengklaim bahwa dia adalah ishaq, orang orang yahudi berdusta." dan atsar ini shohih
dari Ibnu Abbas. Sanadnya memenuhi syarat shohih. Seperti yang diketahui dengan
jelas dalam kebohongan yahudi dalam pendapatnya. Dan mereka memberantas seluruh
atsar dengan perbedaan pendapatnya. Dengan jalan ini mereka menyusun rapi atsar
atsar yang datang dari Ibnu abbas dalam bab ini.
Adapun apa yang dituduhkan kepadanya dari membuat tafsir al ma'tsur (dengan
riwayat) sama dengan tafsir bil ilmi (pengetahuan), dan klaimnya bahwa tidak ada
kesatuan yang lengkap atau kesatuan yang sempurna, ini berlebihan dalam pendapat,
dan ini hampir tidak aman bagi pendakwa, karena riwayatnya (tafsir bil ma'tsur) shah
dari Nabi saw yang memiliki kedudukan dan nilai. Adapun yang dishahkan oleh para
shohabah, sebagian besar adalah yang mereka terima dari Nabi saw. Sebagian kecil
dari perkataanya yakni dari yang mereka lihat dari Rosul dan ijtihad.

3. Nilai pemalsuan tafsir


Sesungguhnya tafsir palsu ini, jika kita melihat dari sudut pandang dzatiyah
(subyektif) terlepas dari sudut pandang isnadiyah (predikat), kita akan menemukan
bahwa tafsir palsu tidak terlepas dari nilai ilmiah, karena bagaimanapun, situasi
penafsiran terfokus pada riwayah itu sendiri, tetapi penafsiran itu tidak selalu perkara
khayal yang jauh dari ayat, melainkan - dalam banyak kasus- adalah hasil ijtihad ilmiah
yang memiliki nilai. Misalnya barang siapa menyusun suatu tafsir dan
menghubungkan dengan ali atau dengan Ibnu abbas, mereka tidak menulisnya tanpa
pertimbangan terlebih dahulu, sesungguhnya mereka melihatnya, dan ijtihad dalam
menafsirkan ayat itu didasarkan pada pemikiranya, dan mayoritas kedudukanya shohih.
Tujuan perkara ini sesungguhnya ingin pendapatnya populer dan diterima, maka dia
mengaitkanya dengan para sahabat. Lebih dari itu, penafsiran yang dikaitkan dengan
Ali ataupun Ibnu Abbas ini tidak sering kehilangan nilai ilmiahnya, melainkan sesuatu
yang tidak memiliki nilai didalamnya yang dikaitkan dengan Ali atau Ibnu Abbas.
Maka, pemalsuan tafsir - kebenaran dikatakan - bukan hanya khayalan atau ilusi
yang diciptakan, tetapi memiliki dasar, studi dan penelitian yang terlihat dalam
penafsiran yang menarik, serta memiliki nilai dzatiyah, meskipun tidak memiliki nilai
isnadiyah.

F. Karakteristik Penafsir
Tafsir bil ma’tsur memiliki dua jenis karakteristik pribadi penafsir, yakni:
1. Sebagaimana kita ketahui bahwa manusia yang menafsirkan suatu nash (ayat) akan
mewarnai penafsirannya sesuai dengan apa yang ia ketahui, yakni penafsir sendiri yang
membatasi makna dari suatu ayat sesuai dengan apa yang ia ketahui dari periwayatan.
2. Penafsir yang mumpuni dalam bidang periwayatan, yaitu penafsir yang mengetahui
sebab-sebab dhoif’ suatu riwayat, kualitas seorang perawi dan sanad. Maka, dalam
penafsirannya akan terhindar dari periwayatan-periwayatan dho’if dan terjaga dari
kecacatan.

Anda mungkin juga menyukai