PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad Saw setelah
sekian lama kehidupan umat tidak memiliki seseorang yang menjadi panutan dan suri
tauladan sehingga pada zaman itu kehidupan umat mulai berjalan sesuai dengan apa
yang di kehendakinya masing-masing. Pada zaman ini manusia berada dikurun yang
di sebut dengan zaman jahiliyah, kata jahiliyah berasal dari bahasa Arab yaitu kata
“Jahilun” yang berarti orang yang bodoh kemudian kata ini di tambah dengan ya
nisbat yang menjadikan lafadz tersebut berarti bangsa kebodohan.
Akan tetapi dengan beberapa ayat di atas manusia yang hidup di dunia tentu
belum puas dengan kehadiran islam yang di bawa oleh Rasulullah Saw sehingga tak
sedikit orang muslim yang memiliki kefahaman yang dangkal dalam agama tetapi
memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi seorang pemimpin sehingga terkadang
orang tersebut membuat ajaran yang baru yang terkadang sering mempermasalahkan
tradisi islam yang sudah ada yang tidak sefaham dengan dirinya.
Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi banyak ajaran agama Islam yang
sering mengatakan kata-kata bid’ah seperti dalam masalah tawassul. Padahal
sebelumnya tidak satu pun orang muslim yang menentang diperbolehkannya
tawassul.
Allah dan yang dijadikan tawasul adalah hanya perantara untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Orang bertawassul tidak lain karena mencintai apa yang di jadikan
tawassul, disamping percaya bahwa Allah SWT juga mencintai apa yang di jadikan
tawassul itu.
PEMBAHASAN
Nama lengkap Ibn Katsir adalah ‘Imad ad-Din Abu al-Fida, Isma’il bin
Umar bin Katsir (bin Dhau’ ibnu Katsir bin Zar’i Al-Bashri Ad-Dimasyqi), al-
Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, al-Faqih al-Muarrikh al-Mufassir asy-Syafi’i.
Ibnu Katsir dilahirkan di Basrah (Syam) pada tahun 700 Hijriyah, dan meninggal
dunia pada usia 74 tahun di bulan Sya’ban tahun 774 Hijriyah.
3
Ayahnya berasal dari Bashra, bernama Abu Hafsh Umar ibn Katsir, salah
seorang alim di kotanya, imam dan khatib di kampungnya. Ayahnya wafat ketika Ibn
Katsir berumur tiga tahun. Selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahab yang
mendidik dan mengasuh Ibn Katsir kecil, dan membawanya ke Basrah, Damaskus.
Pada saat itu, beliau berguru pada ulama-ulama besar di Damaskus. Beliau menuju ke
Damaskus untuk mencari ilmu, belajar kitab-kitab fiqh, hadis, tafsir, sejarah dan
bahasa, hingga ia dapat menguasai banyak ilmu. Beliau banyak belajar dari Ibn
Taimiyah.1
1
. A. Husnul hakim, Ensiklopedi kitab-kitab tafsir, (Depok: lingkar studi Al-Qur’an th. 2013)
hal. 117
2
A. Husnul hakim, Ensiklopedi kitab-kitab tafsir, hal. 118
4
Nama lengkap al-Razi adalah Muhammad bin Umar bin al-Husen bin Ali al-
Qurasyi al-Tamimi al-Bakri al-Tibristani, yang di kenal dengan sebutan “Fakhr al-
Din al-Razi”.
3
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Kairo Maktabah Wahbah, t,th), hal. 355
4
M. Husain az-Dhahabi, al-Tafsir Wa al-Mufassirun (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hal. 211
5
7
M. Husain az-Dhahabi, al-Tafsir Wa al-Mufassirun, hal. 249-251
8
A. Husnul hakim, Ensiklopedi kitab-kitab tafsir, hal. 219
7
َيَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َوا ْبتَ ُغوا ِإلَ ْي ِه ْال َو ِسيلَةَ َو َجا ِه ُدوا فِي َسبِيلِ ِه لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan
yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya
kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah 35)
9
Muhammad Nasib Rifa’i Tafsir Ibnu Katsir pen: Sihabuddin (Jakarta: Gema Insani, 1999).
hal. 82
8
segala sesuatu yang diharamkan, sedangkan yang dimaksud perkara yang diperintahkan
ialah perkara yang wajib dilakukan. Selain itu, ar-Razy mengatakan bahwa lafadz
Tarkul manhiyat bisa juga diartikan dengan meninggalkan ahklak yang buruk sedangkan
Fi’lul ma’murot diartikan dengan melakukan ahklak yang utama. Lebih lanjut dalam
aspek pemikiran, ar-Razy mengatakan Tarkul manhiyat sebagai menjaga diri dari
perkara subhat sedangkan Fi’lul ma’murot diartikan sebagai memikirkan dalil-dalil atas
ketauhidan dan risalah kenabian.10
Lafadz Al-wasilah menurut ar-Razy berasal dari kata Wasala ilaihi. Kemudian
pengertiannya ialah sesuatu yang bisa mengantarkan kepada tujuan. Ayat ini
menunjukkan bahwa tidak ada jalan yang bisa mengantarkan kepada Allah kecuali
dengan adanya guru yang mengajari kita bagaimana cara mengenal Allah, dan Mursyid
yang membingbing kita untuk lebih mengenal Allah. Oleh karenanya kita di perintahkan
untuk mencari wasilah, dan iman itu merupakan agung-agungnya sesuatu yang dicari
dan semulya-mulyanya tujuan.12
Dari beberapa penafsiran diatas, setidaknya ada beberapa arti dari kata wasilah,
diantaranya adalah: mencari sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah, kedudukan
didalam surga, lalu media untuk mendekatkan diri kepada Allah berupa pemberian atau
perbuatan baik, serta segala sesuatu yang dapat menjadi sebab sampainya sebuah tujuan,
sarana untuk mendapatkan ridho Allah.
10
Muhammad Fakhruddin Ar-Razy, Mafatihul Ghaib (Beirut: Dar al-Fikr 1981 M). hal. 225
11
Muhammad Nasib Rifa’i Tafsir Ibnu Katsir pen: Sihabuddin hal. 84
12
Muhammad Fakhruddin Ar-Razy, Mafatihul Ghaib. hal. 226
13
Muhammad Fakhruddin Ar-Razy, Mafatihul Ghaib. hal. 226
9
Selanjutnya, tawassul itu terdiri dari dua jenis: 1. Tawassul yang di syari’atkan 2.
Tawassul yang dilarang. Tawassul yang di syari’atkan ialah tawassul yang di syari’atkan
oleh Allah dan disampaikan oleh Rasulullah Saw. Yang terbagi menjadi tiga:
A. Tawassul dengan zat Allah, sifat-sifatnya yang agung dan dengan Asma’ul
Husna
B. Tawassul kepada Allah dengan amal shaleh orang yang bertawassul
C. Tawassul dengan do’a kaum muslimin, dan tidak ada bedanya antara do’a
muslim lebih tinggi kepada muslim yang lebih rendah atau sebaliknya. Inilah
tawassul yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw, para sahabatnya, para
pelaku masa yang terpilih, dan setiap orang yang mengikuti jalan mereka
hingga hari kiamat.14
Adapun tawassul yang dilarang ialah yang tidak di syari’atkan oleh Allah Swt,
tidak disampaikan oleh Rasulnya dan tidak dikenal sebagai perbuatan sahabat, seperti
tawassul melalui makhluk, baik dengan maksud meminta perolehan kepada Allah
melalui mereka atau menjadikan mereka sebagai perantara antara Allah dan
makhluknya supaya do’a diterima, atau menjadikan mereka sebagai orang yang dekat
dengan Allah sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhanya dan memintakan
petunjuk kepada Allah bagi kepentingannya. Orang-orang shaleh yang dijadikan
sarana tawassul itu akan dipanggil oleh Allah ta’ala dan mereka berada pada
kedudukan yang tinggi di sisinya, Insya Allah. Kedudukan mereka ini tidak akan
diraih oleh orang yang menjadikannya sebagai sarana tawassul kecuali jika dia
beramal shaleh pula. Yang harus dicamkan oleh orang yang ber tawassul ialah bahwa
apabila dia melakukan amal shaleh seperti yang dilakukan oleh orang yang dijadikan
sarana tawassul, niscaya dia mendapatkan bahwa amal shaleh itu merupakan sarana
terbaik untuk bertawassul kepada Allah SWT. Namun, setan menghalang-halangi
mereka dari jalan yang benar dan lurus. Lalu mereka beranggapan bahwa tuhannya
itu tidak akan menyayangi, mengasihi, dan mengampuni dirinya kecuali jika di
pengaruhi oleh orang-orang yang dianggap oleh mereka sebagai sarana. Padahal,
14
Muhammad Nasib Rifa’i Tafsir Ibnu Katsir pen: Sihabuddin. hal. 83
10
Allah tak terpengaruh oleh siapapun, dia tidak membutuhkan seseorang yang
mengenalkan makhluk kepadanya.15
Muqaranah
Ketiga penafsir yakni ibnu katsir, ar-Razy dan asy-sya’rawi sepakat bahwa
makna dari lafadz wasilah adalah sesuatu yang di jadikan pengantar kepada
pencapaian tujuan. Mereka juga mengatakan bahwa makna lain dari wasilah adalah
salah satu tempat di surga yang derajatnya paling tinggi dan dekat menurut arsy.
15
Muhammad Nasib Rifa’i Tafsir Ibnu Katsir pen: Sihabuddin. hal. 84
16
Mutawalli Al-sya’rowi, Al-Tafsir Al-Sya’rowi, pdf (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1991). hal.
3107
11
PENUTUP
Dari pembahasan di atas maka bisa kita tarik kesimpulan bahwa ada
perbedaan pendapat antara para penafsir tentang hukum bertawasul. Ibnu katsir dan
ar-Razy memperbolehkan tawasul dengan syarat tidak tawasul kepada makhluq.
Sementara asy-sya’rawi memperbolehkan tawasul kepada makhluq dengan syarat ia
meyakini bahwa yang bisa mengabulkan doanya hanyalah Allah semata, sementara
orang yang ditawasuli hanya sebatas perantara saja.
Demikian makalah ini kami buat. Kami menyadari masih banyak kekurangan
dalam pembuatan makalah ini. oleh karenanya besar harapan kami atas kritik saran
dari pembaca agar pembuatan makalah berikutnya bisa lebih baik.
12
DAFTAR PUSTAKA
Husnul hakim, Ahmad, Ensiklopedi kitab-kitab tafsir, (Depok: lingkar studi Al-
Qur’an th. 2013)
al-Qaththan, Manna’, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Kairo Maktabah Wahbah, t,th)
az-Dhahabi, M. Husain, al-Tafsir Wa al-Mufassirun (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.)
Fakhruddin Ar-Razy, Muhammad, Mafatihul Ghaib (Beirut: Dar al-Fikr 1981 M)
Nasib Rifa’i, Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir pen: Sihabuddin (Jakarta: Gema Insani,
1999)
Al-sya’rowi, Mutawalli, Al-Tafsir Al-Sya’rowi, pdf (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1991)