Anda di halaman 1dari 12

1

PENDAHULUAN

Islam merupakan agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad Saw setelah
sekian lama kehidupan umat tidak memiliki seseorang yang menjadi panutan dan suri
tauladan sehingga pada zaman itu kehidupan umat mulai berjalan sesuai dengan apa
yang di kehendakinya masing-masing. Pada zaman ini manusia berada dikurun yang
di sebut dengan zaman jahiliyah, kata jahiliyah berasal dari bahasa Arab yaitu kata
“Jahilun” yang berarti orang yang bodoh kemudian kata ini di tambah dengan ya
nisbat yang menjadikan lafadz tersebut berarti bangsa kebodohan.

Walaupun demikian bukan berarti kehidupan orang-orang dimasa itu adalah


orang-orang yang bodoh melainkan kurang adanya budi pekerti dan akhlak yang baik
yang dimiliki umat oleh karenanya umat dikala itu melakukan apa saja yang
dikehendaki tanpa ada penalaran secara akal persis seperti yang di lakukan oleh orang
yang bodoh oleh karenanya zaman itu di namakan zaman jahiliyah.

Kemudian di utuslah Nabi Muhammad Saw dengan membawa ajaran agama


islam dari situlah kemudian perlahan lahan keadaan umat mulai memeluk ajaran
agama islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad Saw.

Akan tetapi dengan beberapa ayat di atas manusia yang hidup di dunia tentu
belum puas dengan kehadiran islam yang di bawa oleh Rasulullah Saw sehingga tak
sedikit orang muslim yang memiliki kefahaman yang dangkal dalam agama tetapi
memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi seorang pemimpin sehingga terkadang
orang tersebut membuat ajaran yang baru yang terkadang sering mempermasalahkan
tradisi islam yang sudah ada yang tidak sefaham dengan dirinya.

Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi banyak ajaran agama Islam yang
sering mengatakan kata-kata bid’ah seperti dalam masalah tawassul. Padahal
sebelumnya tidak satu pun orang muslim yang menentang diperbolehkannya
tawassul.

Bertawassul merupakan cara berdoa dan satu diantara pintu-pintu menghadap


Allah SWT dengan menggunakan perantara (wasilah) tujuan hakiki tawassul adalah
2

Allah dan yang dijadikan tawasul adalah hanya perantara untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Orang bertawassul tidak lain karena mencintai apa yang di jadikan
tawassul, disamping percaya bahwa Allah SWT juga mencintai apa yang di jadikan
tawassul itu.

Secara semantik tawasul merupakan mengambil sesuatu perantara yang dapat


di jadikan perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT guna memperoleh
atau memperoleh sesuatu yang diharapkan dari Nya. Secara garis besar bertawassul
dapat dilakukan dengan beberapa cara baik berupa tindakan-tindakan, melalui doa,
melalui sifat-sifat dan nama-nama Allah (Asma’ul khusna), dengan syafa’at Nabi
Muhammad Saw, atau melalui cara yang lain seperti panggilan kepada orang-orang
yang alim.

Sebenarnya ajaran tawassul sudah ada sejak manusia pertama yaitu


Nabiyulloh Adam As, di mana ketika mau mendekati Siti Hawa tidak di perkenankan
oleh Allah sebelum sah menjadi istrinya. Dan ketika proses pernikahan antara Nabi
Adam dan Hawa yang dijadikan maharnya adalah sholawat kepada baginda Rosul,
walaupun Rosulullah pada waktu itu belum lahir kedunia namun Nur kenabianya
sudah ada di lauh mahfudz. Contoh lain ketika habil dan qobil di perintah untuk
mendekatkan diri kepada Allah, mereka berdua mendekat kepada Allah dengan hasil
pertanianya masing-masing. Dan masih banyak contoh yang lain. Ini membuktikan
bahwa tawasul merupakan hal penting bagi kita sebagi orang awam.

PEMBAHASAN

Deskriptif Mufasir beserta Kitab Tafsirnya

a. Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya Ibn Katsir

Nama lengkap Ibn Katsir adalah ‘Imad ad-Din Abu al-Fida, Isma’il bin
Umar bin Katsir (bin Dhau’ ibnu Katsir bin Zar’i Al-Bashri Ad-Dimasyqi), al-
Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, al-Faqih al-Muarrikh al-Mufassir asy-Syafi’i.
Ibnu Katsir dilahirkan di Basrah (Syam) pada tahun 700 Hijriyah, dan meninggal
dunia pada usia 74 tahun di bulan Sya’ban tahun 774 Hijriyah.
3

Ayahnya berasal dari Bashra, bernama Abu Hafsh Umar ibn Katsir, salah
seorang alim di kotanya, imam dan khatib di kampungnya. Ayahnya wafat ketika Ibn
Katsir berumur tiga tahun. Selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahab yang
mendidik dan mengasuh Ibn Katsir kecil, dan membawanya ke Basrah, Damaskus.
Pada saat itu, beliau berguru pada ulama-ulama besar di Damaskus. Beliau menuju ke
Damaskus untuk mencari ilmu, belajar kitab-kitab fiqh, hadis, tafsir, sejarah dan
bahasa, hingga ia dapat menguasai banyak ilmu. Beliau banyak belajar dari Ibn
Taimiyah.1

Di antara karya tulisnya:


A. Al-Bidayah wa An-Nihayah, dalam bidang sejarah. Kitab ini termasuk referensi
terpenting bagi sejarawan
B. Al-Kawakib Ad-Darari, dalam bidang sejarah, semacam ringkasan dari Al-
Bidayah wa An-Nihayah
C. Tafsir Al-Quran Al-Adzim
D. Al-Ijtihad wa Thalab Al-Jihad
E. Jami’ Al-Masanid
F. As-Sunnah Al-Hadi Li Aqwami Sunan
G. Al-Wadih An-Nafis fi Manaqib Al-Imam Muhammad bin Idris.2
            Ibn Katsir di dalam menyusun tafsirnya yang pertama adalah menyebutkan
ayat terlebih dahulu, kemudian menjelaskan makna secara umum, selanjutnya
menafsirkannya dengan ayat, hadits, perkataan sahabat dan tabi’in. Terkadang beliau
menjelaskan seputar hukum yang berkiatan dengan ayat, dengan dukungan ayat/dalil
lain dari Al-Qur’an dan hadits serta dilengkapi dengan pendapat para ahli fiqh disertai
dalilnya apabila masalah tersebut diperselisihkan di antara mereka, selanjutnya beliau
melakukan tarjih (memilih dan menguatkan) salah satu pendapat tersebut.
            Dalam penulisan kitab ini Ibnu Katsir menggunakan metode tafsir tahlili. Hal
ini dapat dilihat dari kecenderungan penafsiran ayat dengan cara analitis atau

1
. A. Husnul hakim, Ensiklopedi kitab-kitab tafsir, (Depok: lingkar studi Al-Qur’an th. 2013)
hal. 117
2
A. Husnul hakim, Ensiklopedi kitab-kitab tafsir, hal. 118
4

menafsirkan ayat-ayat di dalam Al-Quran dengan mengemukakan segala aspek yang


terkandung di dalam ayat-ayat yang di tafsirkannya.
        Dalam tafsirnya Ibnu Katsir menggunakan hadits dan riwayat, menggunakan
ilmu Jarh wa Ta’dil, melakukan komparasi berbagai pendapat dan mentarjih
sebagiannya, serta mempertegas kualitas riwayat-riwayat hadits yang shahih dan yang
dhaif. Terkait dengan israiliyat, Beliau memiliki daya kritis yang tinggi terhadap
cerita-cerita israiliyat yang banyak tersebar dalam kitab-kitab tafsir bil ma’tsur, baik
secara global maupun mendetail. Beliau selalu memaparkan masalah-masalah hukum
yang ada dalam berbagai madzhab, kemudian mediskusikannya secara
komprehansif.3
            Corak penafsiran dalam kitab Ibnu Katsir adalah menitikberatkan masalah
fiqih. Beliau mengetengahkan perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqih dan
menyelami madzhab-madzhab serta dalil-dalil yang dijadikan pegangan oleh mereka,
manakala membahas tentang ayat yang berkaitan dengan masalah hukum. Tetapi
meski demikian, beliau mengambil cara yang pertengahan, singkat, dan tidak
berlarut-larut sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan ulama fiqih ahli tafsir
dalam tulisan-tulisan mereka.4
Tafsir Ibnu Katsir termasuk kategori tafsir bil ma’tsur. Imam Ibnu Katsir
menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan Sunnah, dengan
perkataan sahabat, perkataan tabi’in dan bahasa arab, kemudian menyimpulkan
hukum-hukum dan dalil-dalil dari ayat al-Qur’an.

b. Mafatihul ghaib karya ar-Razy

Nama lengkap al-Razi adalah Muhammad bin Umar bin al-Husen bin Ali al-
Qurasyi al-Tamimi al-Bakri al-Tibristani, yang di kenal dengan sebutan “Fakhr al-
Din al-Razi”.

3
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Kairo Maktabah Wahbah, t,th), hal. 355
4
M. Husain az-Dhahabi, al-Tafsir Wa al-Mufassirun (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hal. 211
5

Beliau lahir di Ray, Tibristan, pada 25 Ramadhan 543 H (ada yang


berpendapat 544 H). Bapaknya adalah salah seorang tokoh agama, khususnya dalam
bidang ilmu kalam, yang memiliki kitab Ghayah al-Maram.

Al-Razi mendapat didikan langsung dari bapaknya. Bahkan, keseluruhan


waktunya ia habiskan untuk belajar kepada bapaknya tersebut. Maka menjadi sangat
wajar jika pola pikir dan beberapa pendapatnya, khususnya dalam bidang ilmu kalam,
banyak di pengaruhi oleh cara berfikir dan pemikiran bapaknya sendiri, sebagai sosok
yang sangat ia kagumi.5

Adapun sistematika penulisan Tafsir ar-Razi, yaitu menyebut nama surat.


Kemudian tempat turunnya, bilangan ayatnya, perkataan-perkataan yang terdapat
didalamnya, kemudian menyebut satu atau beberapa ayat, lalu mengulas munasabah
antara satu ayat dengan ayat sesudahnya, sehingga pembaca dapat terfokus pada satu
topik tertentu pada sekumpulan ayat, tidak hanya munasabah antara ayat saja, ia juga
menyebut munasabah antara surat.
Setelah itu ar-Razi mulai menjelaskan masalah dan jumlah masalah tersebut,
misalnya ia mengatakan bahwa dalam sebuah ayat Al-Qur’an terdapat beberapa yang
jumlahnya mencapai sepuluh atau lebih. Lalu menjelaskan masalah tersebut dari
sisi nahwunya, ushul, sabab al-Nuzul, dan perbedaan qira’at dan lain sebagainya.
Sebelum menjelaskan suatu ayat, beliau terlebih dahulu mengungkapkan penafsiran
yang bersumber dari Nabi, Sahabat, tabi’in ataupun memaparkan masalah
antara nasikh dan mansukh, bahkan jarh wat’ta’dil barulah kemudian menafsirkan
ayat disertai argumentasi ilmiyahnya dibidang ilmu pengtahuan, filsafat, ilmu alam
maupun yang lainnya.
Tafsir Mafātīh al-Ghaib atau yang dikenal sebagai Tafsir al-
Kabir dikategorikan sebagai tafsir bi al-ra’y, yaitu tafsir yang dalam menjelaskan
maknanya mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan yang
didasarkan oleh ra’y  semata; dengan pendekatan Mazhab Syafi’iyyah dan
Asy’ariyah.6
5
A. Husnul hakim, Ensiklopedi kitab-kitab tafsir, hal. 89
6
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Kairo Maktabah Wahbah, t,th), hal. 357
6

Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, pengarang, Fakhruddin ar-Razi tidak


menyempurnakan kitab tafsirnya ini. Sebagaimana yang juga dikatakan oleh Ibn
Khalkan di dalam kitab Wafiyatul A’yan. Dalam kitab Kasyf ad-Dhunun dijelaskan
bahwa Fakhruddin ar-Razi hanya menulis kitabnya sampai pada surat al-Anbiya’,
kemudian diteruskan oleh Syihabuddin al-Khauyi. Akan tetapi beliaupun belum
menyelesaikannya dengan sempurna. Akhirnya dilanjutkan oleh Najmuddin al-
Qamuli sampai sempurna. 7

c. Khowatir al-Sya'rawi karya Mutawalli Sya'rawi

Nama lengkap al-Sya’rawi adalah Syaikh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi.


Beliau adalah ulama kontemporer yang sangat terkenal kepakarannya, khususnya di
bidang Fikih, Tafsir, dan Bahasa Arab. Beliau juga sangat produktif menulis sehingga
banyak melahirkan karya-karya,8 antara lain:

1. Al-Mukhtar min Tafsir al-Karim (3 jilid)


2. Mu’jizah al-Qur’an al-Karim
3. Al-Qur’an al-Karim: Mu’jizatan wa Manhajan
4. Al-Isra wa al-Mi’raj
5. Al-Qashash al-Qur’ani fi Surah al-kahf
6. Al-Mar’ah fi al-Qur’an al-Karim
7. Al-Ghaib
8. Mu’jizat al-Rasul
9. Al-Halal wa al-Haram
10. Al-Hajj al-Mabrur
11. Khawathir Syaikh al-Sya’rawi haula ‘Umran al-Mujtama’
12. Al-Sihr wa al-Hasad

7
M. Husain az-Dhahabi, al-Tafsir Wa al-Mufassirun, hal. 249-251
8
A. Husnul hakim, Ensiklopedi kitab-kitab tafsir, hal. 219
7

Selain bercorak islahi (perbaikan), tafsir al-Sya’rawi juga bercorak tarbawi


(pendidikan) dan al-hida’i (bimbingan). Karena, beliau mengaitkan penafsirannya
dengan aktifitas manusia. Pada hakekkatnya manhaj ini bisa dibilang sebagai
pembaharuan dan upaya yang serius dalam penafsiran. Meskipun begitu beliau juga
tidak meninggalkan sama sekali pendapat para ulama’ tafsir klasik, beliau juga
berusaha memberikan penjelasan yang memadai kepada para pembacanya sekitar
persoalan akidah, keimanan, dan akhlak.

Al-Sya’rawi juga beryakinan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an merupakan satu


kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, beliau selalu melihat
keterkaitan makna, antara ayat satu dengan ayat lainnya. Beliau juga terkadang
berpendapat bahwa diantara beberapa surat ada keterkaitan antara satu dengan
lainnya. Karena itu, beliau ada yang mengkategorikan sebagai mufassir bi al-ma’tsur.

Penafsiran dari Ketiga Mufasir

َ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َوا ْبتَ ُغوا ِإلَ ْي ِه ْال َو ِسيلَةَ َو َجا ِه ُدوا فِي َسبِيلِ ِه لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan
yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya
kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah 35)

Ibnu katsir dalam penafsiranya mengatakan bahwa Allah berfirman seraya


menyuruh hamba-hambanya yang beriman supaya bertaqwa kepadanya. Jika ketaqwaan
dibarengi dengan menaatinya, maka yang dimaksud taqwa ialah menahan diri dari
segala perkara yang diharamkan dan meninggalkan aneka hal yang dilarang. Sesudah
perintah taqwa Allah berfirman, “carilah wasilah kepada-Nya”. Ibnu Abbas berkata,
maksudnya kedekatan. Menurut Qatadah, berarti bertaqorub kepada-Nya dengan
menaati dan mengamalkan perbuatan yang diridhoi-Nya.9

Ar-Razy mengatakan bahwa lafadz Ittaqullah mempunyai dua makna. Yang


pertama adalah meninggalkan segala sesuatu yang dilarang, yang kedua mengerjakan
segala sesuatu yang diperintahkan. Yang dimaksud dengan perkara yang dilarang adalah

9
Muhammad Nasib Rifa’i Tafsir Ibnu Katsir pen: Sihabuddin (Jakarta: Gema Insani, 1999).
hal. 82
8

segala sesuatu yang diharamkan, sedangkan yang dimaksud perkara yang diperintahkan
ialah perkara yang wajib dilakukan. Selain itu, ar-Razy mengatakan bahwa lafadz
Tarkul manhiyat bisa juga diartikan dengan meninggalkan ahklak yang buruk sedangkan
Fi’lul ma’murot diartikan dengan melakukan ahklak yang utama. Lebih lanjut dalam
aspek pemikiran, ar-Razy mengatakan Tarkul manhiyat sebagai menjaga diri dari
perkara subhat sedangkan Fi’lul ma’murot diartikan sebagai memikirkan dalil-dalil atas
ketauhidan dan risalah kenabian.10

Wasilah ialah sesuatu yang dijadikan pengantar kepada pencapaian tujuan.


Wasilah juga berarti alam yang berada pada peringkat tertinggi di surga. Wasilah ini
merupakan tempat yang paling dekat dengan Arsy.11

Lafadz Al-wasilah menurut ar-Razy berasal dari kata Wasala ilaihi. Kemudian
pengertiannya ialah sesuatu yang bisa mengantarkan kepada tujuan. Ayat ini
menunjukkan bahwa tidak ada jalan yang bisa mengantarkan kepada Allah kecuali
dengan adanya guru yang mengajari kita bagaimana cara mengenal Allah, dan Mursyid
yang membingbing kita untuk lebih mengenal Allah. Oleh karenanya kita di perintahkan
untuk mencari wasilah, dan iman itu merupakan agung-agungnya sesuatu yang dicari
dan semulya-mulyanya tujuan.12

Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan untuk mencari wasilah setelah


beriman kepada-Nya, dan iman disini diartikan Ma’rifat dengan Allah. Maka yang
dimaksud dengan mencari wasilah adalah mencari ridho Allah dan hal itu tidak bisa
dilakukan kecuali dengan ibadah dan ta’at.13

Dari beberapa penafsiran diatas, setidaknya ada beberapa arti dari kata wasilah,
diantaranya adalah: mencari sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah, kedudukan
didalam surga, lalu media untuk mendekatkan diri kepada Allah berupa pemberian atau
perbuatan baik, serta segala sesuatu yang dapat menjadi sebab sampainya sebuah tujuan,
sarana untuk mendapatkan ridho Allah.
10
Muhammad Fakhruddin Ar-Razy, Mafatihul Ghaib (Beirut: Dar al-Fikr 1981 M). hal. 225
11
Muhammad Nasib Rifa’i Tafsir Ibnu Katsir pen: Sihabuddin hal. 84
12
Muhammad Fakhruddin Ar-Razy, Mafatihul Ghaib. hal. 226
13
Muhammad Fakhruddin Ar-Razy, Mafatihul Ghaib. hal. 226
9

Selanjutnya, tawassul itu terdiri dari dua jenis: 1. Tawassul yang di syari’atkan 2.
Tawassul yang dilarang. Tawassul yang di syari’atkan ialah tawassul yang di syari’atkan
oleh Allah dan disampaikan oleh Rasulullah Saw. Yang terbagi menjadi tiga:

A. Tawassul dengan zat Allah, sifat-sifatnya yang agung dan dengan Asma’ul
Husna
B. Tawassul kepada Allah dengan amal shaleh orang yang bertawassul
C. Tawassul dengan do’a kaum muslimin, dan tidak ada bedanya antara do’a
muslim lebih tinggi kepada muslim yang lebih rendah atau sebaliknya. Inilah
tawassul yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw, para sahabatnya, para
pelaku masa yang terpilih, dan setiap orang yang mengikuti jalan mereka
hingga hari kiamat.14

Adapun tawassul yang dilarang ialah yang tidak di syari’atkan oleh Allah Swt,
tidak disampaikan oleh Rasulnya dan tidak dikenal sebagai perbuatan sahabat, seperti
tawassul melalui makhluk, baik dengan maksud meminta perolehan kepada Allah
melalui mereka atau menjadikan mereka sebagai perantara antara Allah dan
makhluknya supaya do’a diterima, atau menjadikan mereka sebagai orang yang dekat
dengan Allah sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhanya dan memintakan
petunjuk kepada Allah bagi kepentingannya. Orang-orang shaleh yang dijadikan
sarana tawassul itu akan dipanggil oleh Allah ta’ala dan mereka berada pada
kedudukan yang tinggi di sisinya, Insya Allah. Kedudukan mereka ini tidak akan
diraih oleh orang yang menjadikannya sebagai sarana tawassul kecuali jika dia
beramal shaleh pula. Yang harus dicamkan oleh orang yang ber tawassul ialah bahwa
apabila dia melakukan amal shaleh seperti yang dilakukan oleh orang yang dijadikan
sarana tawassul, niscaya dia mendapatkan bahwa amal shaleh itu merupakan sarana
terbaik untuk bertawassul kepada Allah SWT. Namun, setan menghalang-halangi
mereka dari jalan yang benar dan lurus. Lalu mereka beranggapan bahwa tuhannya
itu tidak akan menyayangi, mengasihi, dan mengampuni dirinya kecuali jika di
pengaruhi oleh orang-orang yang dianggap oleh mereka sebagai sarana. Padahal,

14
Muhammad Nasib Rifa’i Tafsir Ibnu Katsir pen: Sihabuddin. hal. 83
10

Allah tak terpengaruh oleh siapapun, dia tidak membutuhkan seseorang yang
mengenalkan makhluk kepadanya.15

Imam asy-Sya’rawi berpendapat bahwa tawassul itu di perbolehkan, namun


harus dengan syarat yang akan di jelaskan. Tawassul di perbolehkan jika seseorang
memohon kepada Allah dengan didasari kecintaannya kepada siapa yang ia yakini
lebih dekat kepada Allah dari pada dirinya, maka ketika itu cintanya berperanan
bermohon, dan dalam saat yang sama ia yakin tidak akan memperoleh dari Allah
sesuatu yang tidak wajar di perolehnya, sementara itu apabila seseorang percaya
bahwa orang yang ia tawassuli akan memberinya apa yang tidak di izinkan oleh Allah
maka hal ini terlarang bahkan imam asy-Sya’rawi mengkafirkannya.16

Muqaranah

Ketiga penafsir yakni ibnu katsir, ar-Razy dan asy-sya’rawi sepakat bahwa
makna dari lafadz wasilah adalah sesuatu yang di jadikan pengantar kepada
pencapaian tujuan. Mereka juga mengatakan bahwa makna lain dari wasilah adalah
salah satu tempat di surga yang derajatnya paling tinggi dan dekat menurut arsy.

Namun dalam masalah hukum tawasul, terdapat perbedaan pandangan. Ibnu


katsir dan ar-Razy berpendapat bahwa boleh melakukan tawasul tapi hanya sebatas
yang disyariatkan Allah dan disampaikan Rasulullah Saw yaitu yang pertama
Tawassul dengan zat Allah, sifat-sifatnya yang agung dan dengan Asma’ul Husna.
Yang kedua Tawassul kepada Allah dengan amal shaleh orang yang bertawassul dan
yang terakhir Tawassul dengan do’a kaum muslimin dan tidak ada bedanya antara
do’a muslim lebih tinggi kepada muslim yang lebih rendah atau sebaliknya. Inilah
tawassul yang di lakukan oleh Muhammad Saw, para sahabatnya, para pelaku masa
yang terpilih, dan setiap orang yang mengikuti jalan mereka hingga hari kiamat.

15
Muhammad Nasib Rifa’i Tafsir Ibnu Katsir pen: Sihabuddin. hal. 84
16
Mutawalli Al-sya’rowi, Al-Tafsir Al-Sya’rowi, pdf (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1991). hal.
3107
11

Didalam kitabnya ibnu katsir melarang seseorang untuk bertawasul kepada


makhluk. baik dengan maksud meminta perolehan kepada Allah melalui mereka atau
menjadikan mereka sebagai perantara antara Allah dan makhluknya supaya do’a
diterima, atau menjadikan mereka sebagai orang yang dekat dengan Allah sehingga
mereka dapat memenuhi kebutuhanya dan memintakan petunjuk kepada Allah bagi
kepentingannya. Sementara itu ar-Razy berpendapat hampir sama dengan ibnu katsir,
beliau mengatakan bahwa Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan untuk mencari
wasilah setelah beriman kepada-Nya, dan iman disini diartikan Ma’rifat dengan
Allah. Maka yang dimaksud dengan mencari wasilah adalah mencari ridho Allah dan
hal itu tidak bisa dilakukan kecuali dengan ibadah dan ta’at.

Dalam pembahasan hukum tawasul imam sya’rawi mempunyai pandangan


yang berbeda. Beliau berpendapat bahwa Tawassul di perbolehkan jika seseorang
memohon kepada Allah dengan didasari kecintaannya kepada siapa yang ia yakini
lebih dekat kepada Allah dari pada dirinya, maka ketika itu cintanya berperanan
bermohon, dan dalam saat yang sama ia yakin tidak akan memperoleh dari Allah
sesuatu yang tidak wajar di perolehnya, sementara itu apabila seseorang percaya
bahwa orang yang ia tawasuli akan memberinya apa yang tidak di izinkan oleh Allah
maka hal ini terlarang bahkan imam Sya’rawi mengkafirkannya.

PENUTUP

Dari pembahasan di atas maka bisa kita tarik kesimpulan bahwa ada
perbedaan pendapat antara para penafsir tentang hukum bertawasul. Ibnu katsir dan
ar-Razy memperbolehkan tawasul dengan syarat tidak tawasul kepada makhluq.
Sementara asy-sya’rawi memperbolehkan tawasul kepada makhluq dengan syarat ia
meyakini bahwa yang bisa mengabulkan doanya hanyalah Allah semata, sementara
orang yang ditawasuli hanya sebatas perantara saja.

Demikian makalah ini kami buat. Kami menyadari masih banyak kekurangan
dalam pembuatan makalah ini. oleh karenanya besar harapan kami atas kritik saran
dari pembaca agar pembuatan makalah berikutnya bisa lebih baik.
12

DAFTAR PUSTAKA

Husnul hakim, Ahmad, Ensiklopedi kitab-kitab tafsir, (Depok: lingkar studi Al-
Qur’an th. 2013)
al-Qaththan, Manna’, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Kairo Maktabah Wahbah, t,th)
az-Dhahabi, M. Husain, al-Tafsir Wa al-Mufassirun (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.)
Fakhruddin Ar-Razy, Muhammad, Mafatihul Ghaib (Beirut: Dar al-Fikr 1981 M)
Nasib Rifa’i, Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir pen: Sihabuddin (Jakarta: Gema Insani,
1999)
Al-sya’rowi, Mutawalli, Al-Tafsir Al-Sya’rowi, pdf (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1991)

Anda mungkin juga menyukai