Dosen Pengampu:
Dr. Ahmad Husnul Hakim, SQ, MA
Penyusun:
Muhammad Syukron Ali Habibie
Muhammad Rifqy Anisul Fuad
Muhammad Nur Asshiddiq Wijaya
Muhammad Ihsan
A. MENGENAL MUFASSIR DAN TAFSIRNYA
a. AL-THABARI DAN TAFSIR JAMI’ AL-BAYAN
Nama lengkap Al-Thabari adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid
bin Katsir bin Ghalib Al-Thabari. Beliau dikenal seorang ulama yang mumpuni,
khususnya di bidang sejarah dan tafsir. Beliau lahir pada akhir tahun 223 H, di Amal,
ibu kota Tibristan, Iran. Beliau wafat pada bulan Syawal tahun 310 H, dan dimakamkan
dalam rumahnya sendiri.
Al-Thabari tumbuh di lingkungan keluarga yang agamis dan cinta ilmu. Pada
usia 7 tahun, beliau sudah hafal Al-Quran dan sudah mengimami shalat. Bahkan ketika
usianya masih belum genap 9 tahun, beliau sudah menulis hadits. Al-Thabari juga
dikenal sebagai ahli qira’at, balaghah, fikih, mufassir, khususnya terkait ayat-ayat
hukum, ahli hadits dan rijal al-hadits (perawi-perawi hadits), bahkan beliau sempat
mendirikan mazhab tersendiri, yang dikenal dengan sebutan mazhab Jarriyah, hanya
saja mazhab ini tidak berkembang.Kitab tafsir Al-Thabari ini disusun antara tahun 283
H-290 H, dengan cara didiktekan kepada murid-muridnya. Kitab ini menafsirkan
seluruh ayat di dalam Al-Quran, seluruhnya terdiri dari 12 jilid.
Tafsir Al-Thabari adalah kitab tafsir yang sangat masyhur, bahkan ia dianggap
sebagai induk dari kitab-kitab tafsir lainnya, tafsir Al-Thabari juga dipandang sebagai
kitab tafsir bi al-ma’tsur yang terbesar, walhasil Al-Thabari bisa dikatakan sebagai
Syaikh Al-Mufassirin karena beliaulah yang pertama kali menghimpun dua pendekatan
dalam penafsiran Al-Quran yaitu bi al-riwayah dan bi al-dirayah yang belum pernah
ada sebelumnya, sebab dalam penafsirannya, beliau bukan hanya menyantumkan
riwayat semata, tetapi beliau juga memberikan komentar, kritik, bahkan mentarjih
beberapa riwayat yang ada.
Beliau juga menjelaskan I’rab serta melakukan istinbath hukum, serta
menggunakan syair-syair Arab untuk memperkuat sisi kebahasaannya. Mula-mula
beliau menyebutkan nama surah dan beberapa riwayat yang berkaitan dengan nama
surah tersebut, jika memang ada. Kemudian menyebutkan asbab al-nuzul-nya, yang
juga disandarkan kepada riwayat. Selanjutnya beliau langsung menafsirkan ayat
dimaksud tanpa menyebutkan makkiyah dan madaniyyah-nya. Dan, di hampir setiap
penafsiran ayat selalu diperkuat dengan riwayat-riwayat, baik dari Rasulullah, sahabat,
2
maupun tabi’in. namun jika tidak ditemukan nash (riwayat) yang kuat atas tafsir ayat
tersebut, maka beliau berijtihad sendiri. Dalam hal ini beliau menyandarkan
penafsirannya pada sisi kebahasaan, termasuk ilmu qira’at, atau mengutip semua qira’at
jika masing-masing diperkuat oleh riwayat-riwayat yang shahih. Beliau selalu
menganjurkan untuk merujuk pada riwayat-riwayat baik dari kjalangan sahabat
maupun tabi’in.
Sementara terkait dengan ayat-ayat hukum, pada mulanya beliau dasarkan
penjelasannya kepada hadits, pendapat para sahabat dan tabi’in, lalu beliau menarjih
dari beberapa pendapat yang diperselisihkan diantara mereka. Namun jika mereka
sepakat maka Al-Thabari mengumpulkan semua pendapat tersebut tanpa menarjihnya.
Al-Thabari juga tidak menarjih jika pendapat tersebut diperselisihkan di kalangan
sahabat; beliau hanya memilih dari beberapa pendapat yang ada, yang dipandang lebih
kuat, terutama dari segi sanadnya.
Di sisi lain tafsir Al-Thabari juga ternyata tidak bersih dari riwayat-riwayat yang
munkar, daif, dan israiliyat. Misalnya tentang kisah-kisah para Nabi dan pernikahan
Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy.
Jika disimpulkan maka manhaj-nya meliputi hal-hal berikut ini:
Berpegang kepada riwayat-riwayat, lengkap dengan sanad-sanadnya.
Menghindari penafsiran bi al-ra’yi.
Sangat berpegang kepada pokok-pokok bahasa Arab.
Banyak dipenuhi dengan hadits-hadits.
Menggunakan syair-syair Arab kuno sebagai sumber penafsiran.
Menampilkan keragaman bacaan (qira’at)
Membahas beberapa pendapat ulam fikih.1
1
Dr. A. Husnul Hakim IMZI, M.A., Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, (Depok: Lingkar Studi Al-
Quran eLSiq, 2013), cet 1, hal. 12
3
b. MUHAMMAD ABDUH, RASYID RIDHA DAN TAFSIR AL-MANAR
1. Biografi Singkat Muhammad Abduh
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin ‘Abduh bin Hasan Khairullah al-
Turkmani. Beliau lahir di Syanira, pada tahun 1226 H, namun hidup dan besar di Kairo.
Dan wafat pada tahun 1323 H di Iskandariyah, lalu dimakamkan di Kairo, Mesir.2
Muhammad ‘Abduh dikenal seorang mufti dan tokoh pembaharu dalam Islam.
Beliau kuliah di Universitas al-Ahmadi, Thanta, lalu pindah ke Universitas al-Azhar,
Kairo. Beliau menguasai bahasa Prancis setelah usianya di atas 40 tahun. Dan beliau
juga sibuk mengajar dan menulis buku. Di antara karya-karyanya adalah:
1. Tafsir al-Qur’an Karim (belum sampai selesai)
2. Risalah al-Tauhid
3. Hasyiyah ‘ala Syarh al-Dawani li al-‘Aqaid al-Adhadiyah
4. Syarh Nahj al-Balaghah
5. Al-Islam wa al-Nasraniyyah ma’a al-‘ilm wa al-Madaniyyah.
2
Dr. A. Husnul Hakim IMZI, M.A., Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, (Depok: Lingkar Studi Al-
Quran eLSiq, 2013), hal.151
3
Dr. A. Husnul Hakim IMZI, M.A., Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, (Depok: Lingkar Studi Al-
Quran eLSiq, 2013),, hal 152
4
Rasyid Ridha dari gurunya ‘Abduh. Selanjutnya diteruskan oleh Ridha sendiri dengan
mengikuti manhaj gurunya. Adapun proses penyusunan tafsir ini bermula dari tulisan-
tulisan ‘Abduh yang dimuat di majalah al-Urwah al-Wutsqa. Lalu Ridha berkeinginan
mengedit kembali tulisan ‘Abduh di majalah tersebut agar menjadi sebuah kitab tafsir.
Ridha menulis apa saja yang beliau dengar dari gurunya lalu ditambah beberapa
komentar, diedit baru kemudian diterbitkan di majalah al-Manar. Namun sebelum
diterbitkan dibaca terlebih dahulu oleh gurunya, hal ini untuk menjaga orisinalitas
pemikiran ‘abduh.
‘Abduh mengistilahkan manhaj tafsirnya dengan manhaj tarbawi (manhaj
pendidikan). Melalui manhaj ini, beliau sebarkan pemikiran rasionalnya, yang
didukung dengan pendekatan sastra. Sehingga manhaj beliau juga dikenal dengan al-
Adab al-Ijtimai. Secara terbuka beliau melawan kejumudan pemikiran para ahli fikih
dan taklid buta. Beliau menyeru agar umat isalm berani melakukan ijtihad dengan
merujuk kepada sumber utamnaya, yakni al-Qur’an dan Sunnah.
Karakteristik penafsiran dalam tafsir al-Manar adalah memadukan antara
riwayat yang sahih dan rasio yang sehat, baik menyangkut hukum-hukum syari’at,
hukum-hukum kemasyarakatan (sunnatullah), dan keberadaan al-Qur’an sebagai kitab
hidayah bagi manusia.4
Namun, jika melihat penafsiran Rasyid Ridha, maka akan ditemukan dua hak
yang tidak ada dalam penafsiran gurunya, yaitu:
1. Berpedoman pada tafsir bi al-ma’tsur, terutama riwayat dari Nabi Muhammad
saw.
2. Banyak kutipan dari para mufassir.
Demikian, menurut Ridha, karena ‘Abduh dalam memberi pelajaran, hanya
berpedoman pada akal fikirannya sendiri, sebagai hasil perenungan dan pemahaman
beliau terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Sementara karakteristik penafsiran ‘Abduh mencakup beberapa hal, yaitu:
1. Meneliti uslub-uslub al-Qur’an dan makna yang dikandungnya.
2. Membahas segi i’rabnya dengan tidak bertele-tele.
3. Mengungkap kisah-kisah dalam al-Quran sevara rasional dan kontekstual.
4. Nasehat-nasehat kemanusiaan.
4
Dr. A. Husnul Hakim IMZI, M.A., Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, (Depok: Lingkar Studi Al-
Quran eLSiq, 2013), hal 156
5
5. Menafsirkan dibalik makna yang tersurat.5
Salah satu karakteristik yang cukup menonjol pada tafsir al-Manar adalah di
dedikasikan untuk mengobati penyakit masyarakat yang mengakibatkan umat islam
menjadi umat yang terbelakang dibawa menuju terwujudnya sebuah masyarakat Islam
yang kuat, serta mengembalikan semangat umat Islam kepada revolusi yang benar yang
Qur’ani.
5
Dr. A. Husnul Hakim IMZI, M.A., Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, (Depok: Lingkar Studi Al-
Quran eLSiq, 2013), hal 157
6
Dr. A. Husnul Hakim IMZI, M.A., Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, (Depok: Lingkar Studi Al-
Quran eLSiq, 2013), hal 169
6
B. PENAFSIRAN AYAT
س ِجي ٍل َم ْنضُو ٍد َ علَ ْي َها ِح َج
ِ ارة ِم ْن َ سافِلَ َها َوأ َ ْم
َ ط ْرنَا َ فَلَ َّما َجا َء أ َ ْم ُرنَا َجعَ ْلنَا عَا ِليَ َها
)83( ين ِب َب ِعي ٍد َّ س َّو َمة ِع ْن َد َر ِبكَ َو َما ِه َي ِم َن ال
َ ظا ِل ِم َ ) ُم82(
Artinya: (82). Maka ketika keputusan Kami datang, Kami menjungkir-balikkan
negeri kaum Lut, dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang
terbakar. (83).yang diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan siksaan itu tiadalah jauh
dari orang yang zalim.
Setelah Nabi Lûth as., bersama pengikut-pengikutnya meninggalkan kota
Sodom tempat pemukiman mereka, ketika itu subuh telah tiba pula. Maka tatkala
datang ketentuan Kami, yakni ketetapan Allah untuk menjatuhkan siksa-Nya, Kami
jadikan negeri kaum Lûth itu yang di atasnya ke bawahnya, yakni Kami hancurkan
sehingga menjadi jungkir balik, dan Kami hujani mereka dengan batu sijjîl, yakni batu
bercampur tanah atau tanah bercampur air lalu membeku dan mengeras menjadi batu,
yang menimpa mereka dengan bertubi-tubi. Batu-batu itu diberi tanda dari sisi
Tuhanmu serta dipersiapkan secara khusus untuk menjadi sarana penyiksaan dan
siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang zalim yang mantap kezalimannya, baik yang
hidup pada masa itu maupun yang serupa dengan mereka di masa datang.
Firman-Nya ja‘alnâ ‘âliyahâ sâfilahâ/Kami jadikan yang di atasnya ke
bawahnya di samping memberi gambaran tentang kehancuran total, juga mengesankan
persamaan sanksi itu dengan kedurhakaan mereka. Bukankah mereka juga
memutarbalikkan fitrah. Seharusnya, pelampiasan syahwat dilakukan dengan lawan
seks, tetapi mereka membaliknya menjadi homoseks. Seharusnya, ia dilakukan dengan
penuh kesucian, tetapi mereka menjungkirbalikkan dengan melakukannya penuh
kekotoran dan kekejian. Seharusnya, ia tidak dibicarakan secara terbuka, tidak
dilakukan di tempat umum, tetapi mereka menjungkirbalikkannya dengan
membicarakan di tempat-tempat terbuka dan melakukannya di tempat umum.
Demikian sanksi sesuai dengan kesalahan
a. TAFSIR AL-THABARI
Abu Ja'far berkata: Allah SWT berfirman menginformasikan ayat tersebut,
“Jadi, tatkala datang ketetapan Kami untuk menjatuhkan siksa dan ketentuan Kami
tentang kebinasaan mereka (' ) َجعَ ْلنَا َعا ِليَ َهاKami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas.
َ سافِلَ َها َوأ َ ْم
Maksudnya, negeri mereka yang di atas, posisinya (ط ْرنَا َعلَ ْي َها َ ) 'Ke bawah (Kami
7
balikkan), dan Kami hujani mereka '. Kami kirimkan negeri tersebut (ارة ً ِم ْن ِس ِجيل
َ )ح َج
ِ
'dengan batu dari tanah yang terbakar'.
Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam menakwilkan makna Sijjil. Sebagian
berpendapat, “Kalimat ini diambil dari bahasa Persia yang berarti batu dan tanah.”
Mereka" yang berpendapat demikian menyebutkan riwayat berikut ini: 18492.
Muhammad bin Abdul A’la menceritakan kepada kami, ia berkata: Muhammad bin
Tsaur menceritakan kepada kami dari Ma’mar, dari Qatadah dan Ikrimah, tentang
firman Allah, ()م ْن ِس ِجيل
ِ “Dari tanah yang terbakar, ” keduanya berkata, "Dari tanah." 7
Abu Ja'far berkata: Menurut kami, pendapat yang benar adalah yang dikatakan
oleh mufassir, bahwa kalimat tersebut berarti tanah. Dengan demikian, Allah
menjelaskan kalimat tersebut dalam kitab-Nya pada pembahasan ini, dan itulah firman-
Nya,
ْ س َّو َمة ِع ْن َد َربِكَ ِل ْل ُم
َس ِرفِين َ علَي ِْه ْم ِح َج
ٍ ارة ِم ْن ِط
َ ين * ُم ِ ِلنُ ْر
َ س َل
“Agar kami timpakan kepada mereka batubatu dari tanah yang (keras), yang
ditandai di sisi Tuhanmu untuk (membinasakan) orang-orang yang melampaui
batas".(Qs. Adz Dzaariyaat [51]: 33-34)
Abu Ja'far berkata: Kami telah menjelaskan pertama kali pendapat yang
menurut kami itu tepat. Oleh karena itu, tidak perlu mengulas kembali dalam
pembahasan ini. Telah disebutkan pendapat Al Hasan Al Bashri yang mengatakan
bahwa asal batu itu adalah tanah, kemudian dikeraskan. 8
Firman-Nya:
َم ْنضُو ٍد
“Dengan bertubi-tubi".
Ar-Rabi’ bin Anas mengatakan tentang hal tersebut pada riwayat berikut ini:
18500. Al Mutsanna menceritakan kepadaku, ia berkata: Ishaq menceritakan kepada
kami, ia berkata: Ibnu Abi Ja'far menceritakan kepada kami dari bapaknya, dari Ar-
Rabi bin Anas, tentang firman Allah, " َم ْنضُودDengan bertubi-tubi. " ia berkata,
“Bertumpuk satu sama lain".
Sebagian berpendapat bahwa manduhd artinya mengikuti satu sama lain.
Ia berkata, "Itulah yang disebut dengan ُضدَه
َ َن.“
7
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan an Ta’wil Ayi Al-Quran, terj:
Anshari Taslim, dkk., (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), cet 1, jilid 14, hal. 229
8
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan an Ta’wil Ayi Al-Quran, terj:
Anshari Taslim, dkk., (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), cet 1, jilid 14, hal. 234
8
Abu Ja'far berkata: Pendapat yang tepat dalam hal tersebut adalah pendapat
yang dikatakan oleh Ar-Rabi bin Anas, dan itu adalah firman-Nya, " َم ْنضُودDengan
bertubi-tubi," mengikuti kalimat “سجيلtanah yang terbakar ”, bukan mengikuti kalimat
الحجارةSesungguhnya kaum itu telah dihujani dengan batu yang terbuat dari tanah,
menjadi sifat tanah tersebut, karena kedatangannya terus mengikuti satu sama lain. Lalu
dirubah menjadi batu, dan tidak diturunkan tanah, karena menjadi yang disifati, sebab
kedatangan tanah itu terus-menerus mengikuti kaum.9
Abu Ja’far berkata : Boleh ditakwilkan dengan penakwilan seperti ini, kendati
kalimat َم ْنضُودةpada waktu diturunkan sebagai nashab, namun maka pada waktu itu ia
mengikuti kalimat الحجارة.
Fiman-Nya: َس َّو َمةً ِع ْندَ َربِك
َ “ ُمYang diberi tanda oleh Tuhanmu", ia berkata, "Diberi
tanda yang bersumber dari sisi Allah. Allah yang menandakan tanda itu, dan kalimat
ًس َّو َمة
َ ُمmengikuti kalimat الحجارة. Oleh sebab itu, di-nashab-kan, atas na't.
Para malaikat membalik negeri Soddom yang berada di atas menjadi di bawah.
Sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat berikut ini:
18520. Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Jabir bin Nuh menceritakan
kepada kami, ia berkata: Al A'masy menceritakan kepada kami dari Mujahid, ia
berkata, “Jibril mengambil kaum Luth dari halaman rumah mereka, lalu membawa
pergi mereka dengan binatang ternak dan harta benda mereka, hingga penduduk langit
mendengar gonggongan anjing mereka, kemudian mereka dibalik.10
b. TAFSIR AL-MANAR
Tafsir ini cenderung merasionalkan gambaran yang digambarkan al-Quran
tentang adzab yang ditimpakan kepada kaum Lut as. Allah swt.,- telah menetapkan
َ ) َج َع ْلنَا عٰ ِليَ َهاmemaknai bagian ayat
adzab atas mereka. Syaihk Muhammad Abduh (سافِلَ َها
ini dengan menenggelamkan daratan tempat tinggal kaum Lut as. Proses ini terjadi
dikarenakan kosongnya rongga di bawah daratan tempat tinggal mereka yang
sebelumnya terisi oleh lumpur panas. Dan ketika adzab itu terjadi, terjadi getaran yang
menyebabkan dataran retak dan bergerak kearah samping dan bergesar. Kemudian
dataran diatasnya terperosok kedalalm lapisan yang kosong dibawahnya.
9
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan an Ta’wil Ayi Al-Quran, terj:
Anshari Taslim, dkk., (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), cet 1, jilid 14, hal. 235
10
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan an Ta’wil Ayi Al-Quran, terj:
Anshari Taslim, dkk., (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), cet 1, jilid 14, hal. 241
9
Namun pendapat yang unggul di kalangan ulama’ tafsir sepakat bahwasanya
tempat tinggal kaum Lut as., terbenam kedalam laut yang kini dikenal dengan laut Luta
atau danau Lut.
(ارةً ِم ْن ِس ِجيل َم ْنضُود َ )وأ َ ْم
َ ط ْرنَا َعلَ ْي َها ِح َج َ Sebelum atau ketika terjadinya bencana
tersebut, Allah swt., menghujani mereka dengan batu-batuan. Tujuan dijatukannya
batu-batuan itu adalah agar orang-orang yang tidak berkumpul dengan gerombolan
kaum Lut as., pada saat turunnya adzab tersebut terkena dampaknya juga. Dan term
sijjil adalah arti serapan dari bahasa Persia. Sijjil sendiri dimaknai oleh Syaihk
Muhammad Abduh sebagai lumpur yang membatu. Disini beliau mengutip pendapat
Raghib al-Asfahani bahwasanya batu yang dilemparkan secara bertubi-tubi itu berasal
dari neraka. Beliau mengartikan batuan neraka sebagai batuan yang terlempar dari
gunung berapi yang mengalami erupsi sebagaimana yang terjadi di peristiwa
meletusnya gunung Krakatau dan Tambora. Beliau kemudia memberikan analogi
tentang turunnya hujan batu itu seperti bebatuan yang terangkat dari permukaan
disebabkan daya angina yang kuat semisal tornado atau topan yang mengangkatnya ke
angkasa dan dengan sunnatullah Allah swt., menurunkannya dimanapun ia
berkehendak. Dan Mandudh adalah gambaran tentang hujan batu tersebut, beliau
memadankan kata kata ini dengan mutarakkab/bertubi-tubi dan antara satu batu dan
batu yang lain tak ada jarak antara masing-masing turunnya.
( َس َّو َمةً ِع ْندَ َربِك
َ ) ُمmusawwamah terambil dari kata saumah yang sama artinya
dengan alamat/pertanda. Makna dari bagian ayat ini adalah “wahai sekalian rasul,
turunnya azab terhadap kaum Lut as., adalah pertanda bagi Allah swt.” Bagian dari ayat
ini adalah-, bagi beliau-, adalah majas. Sebagaimana majasi ini juga digunakan untuk
menerangkan tentang pasukan malaikat yang dikirimkan Allah swt., pada perang badar
َ س ِة آالف ِمنَ ْال َمال ِئ َكةُ ُم
(﴾ َس ِو ِمين َ )﴿ َهذَا يُ ْم ِددْ ُك ْم َر ُّب ُك ْم ِبخ َْم.
َّ ِي ِمنَ ال
(ظا ِل ِمينَ بِبَ ِعيد َ )و َما ه َ Ayat ini adalah sindiran bagi kaum musyrik Makkah yang
mendustakan baginda Nabi Muhammad saw., padahal lokasi tempat tinggal kaum Lut
as., tidak jauh dari jalur kafilah dagang mereka.
c. TAFSIR AL-MARAGHI
فَلَ َّما جا َء أ َ ْم ُرنا َجعَ ْلنا عا ِليَها سافِلَها
10
Dan tatkala datang perintah kami untuk menyiksa mereka dan keputusan
tentang pembinasaan mereka, maka kami balikan kampung mereka seluruhnya dan
kami benamkan ke dalam tanah.
Memang, telah terjadi sunnatullah,apabila hendak membenamkan tanah disuatu
tempat, dibawahnya suatu rongga keluar asap dari dalam perut tanah, kemudian
robohlah bagian atas tempat itu, sehingga runtuh dan terbenam kebawah secara rata.
Sehingga tanah terbalik menjadi diatas dan sebaliknya. 11
Para ahli geologi menegaskan bahwa kampung kaum luth itu telah dibenamkan
di bawah air yang terkenal dengan danau luth atau laut luth. Sementara itu para
penyelidik menemukan beberapa peninggalan mereka pada baru-baru ini.
Namun demikian, para mufassir terdahulu banyak menyampaikan beberapa
dongeng khurafaat yang tidak dikuatkan oleh dalil agama dan tidak bisa diterima oleh
akal tentang terbenamnya kaum luth. Mereka katakan bahwa, jibril As telah memukul
negeri kaum luth dari permukaan bumi dengan sayapnya, lalu mengangkatnya tinggi-
tinggi ke langit sehingga, penduduk langit dapat mendengar gonggongan anjing, suara
ayam, dan rintihan keledai. Kemudian malaikat jibril membalikkan kaum luth sampai
rata. Padahal bukti-bukti yang ditemukan pada saat ini menunjukkan bahwa pesawat-
pesawat terbang hanya mampu terbang bebas di udara mencapai lapisan angkasayang
tekanan udaranya ringan. Sedangkan diluar itu tidak ada kehidupan yang
memungkinkan. Oleh karena itu, pesawat-pesawat mereka dilengkapi dengan oksigen,
udara yang cukup untuk bernafas dilapisan angkasa yang tertinggi. Dalam pada itu
AlQur'an telah mengisyaratkan bahwa naik ke angkasa yang sangat tinggi dapat
menyebabkan kesesatan dada dan sulitnya bernafas, sesuai dengan firmanya:
َ الم َو َم ْن يُ ِر ْد أ َ ْن يُ ِضلَّهُ يَجْ عَ ْل
صد َْرهُ ضَيِقا َح َرجا ِ س َ َّْللاُ أ َ ْن يَ ْه ِديَهُ يَش َْرح
ِ ْ صد َْرهُ ِل
ْ ْل َّ فَ َم ْن يُ ِر ِد
ماء
ِ س َّ ََكأَنَّما ي
َّ صعَّ ُد فِي ال
Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadaNya petunjuk,
niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa
yang dikehendaki Allah kesesatan-kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya
sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. (al-An’am 6 : 125)
11
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terjemahan oleh Bahrun Abubakar dkk,
(Semarang: Toha Putra.) Vol:12, Hlm:127
11
َس َّو َمة ِع ْن َد َربِك
َ ُم.ٍس ِجي ٍل َم ْنضُود
ِ جارة ِم ْن َ َوأ َ ْم َط ْرنا
َ علَيْها ِح
Dan kami hujankan kepada mereka sebelum dibalik, atau ketika dibalik itu batu-
batu sijjil, yaitu tanah yang membatu.
Sebagaimana dikatakan pula dalam surah Azzariyaat
12
keadaan kezhaliman, sedikit atau banyaknya, dan kadar pengaruhnya terhadap
kerusakan umat. 12
12
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terjemahan oleh Bahrun Abubakar dkk,
(Semarang: Toha Putra.) Vol:12, Hlm:127-130
13
Hakim, Husnul. 2013. Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir. Depok: Lingkar Studi
Al-Quran eLSiq, 2013
ibn Jarir Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad. 2009. Jami’ Al-Bayan an Ta’wil
Ayi Al-Quran). Terjemah Anshari Taslim dkk. Jakarta: Pustaka Azzam
Al-Maraghi, Ahmad Mustofa. Tafsir al-Maraghi. Terjemahan oleh Bahrun
Abubakar dkk. Semarang: Toha Putra.
14