Anda di halaman 1dari 17

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/362014083

Penafsiran al-Tabarsi Lafal "Ulil Amri" Qs. al-Nisa' ayat 59 (Telaah Kitab
Majma' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an)

Article · July 2022

CITATIONS READS

0 282

1 author:

Handri Setyarama
UIN Sunan Ampel Surabaya
5 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Studi Kajian Barat atas Alquran View project

Studi Tokoh Mufasir dan Karya Tafsirnya View project

All content following this page was uploaded by Handri Setyarama on 15 July 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Penafsiran al-Tabarsi Lafal “Ulil Amri” Qs. al-Nisa’ ayat 59
(Telaah Kitab Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an)

Oleh:

Handri Setyarama1

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Jl. Ahmad Yani
No. 117, Kota Surabaya, Telp: (031) 8410298. Website: fuf.uinsby.ac.id/E-
mail: fuf@uinsby.ac.id
Korespondensi penulis. E-mail: 1)e93219088@student.uinsby.ac.id

Abstrak: Artikel ini membahas penafsiran mufasir Syiah yaitu Imam al-
Tabarsi tentang makna lafal Ulil Amri Qs. al-Nisa’ ayat 59 dalam
kitab Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Ayat ini sering kali
dijadikan dalil bagi golongan Syiah terkait prinsip imamah atau
keimaman. Konsepsi imamah yang dimaksud berarti ketentuan
imam dalam kepemimpinan umat Islam yang seharusnya
ditetapkan sebagai pengganti atas kepemimpinan Rasulullah Saw.
Sebagai ulama Syiah Ja’fariyah yang dikenal dekat dengan sunni, al-
Tabarsi masih menaruh kefanatikan terhadap mazhab teologinya
dalam memaknai Ulil Amri. Ia memaknainya sebagai para imam
atau pemimpin dari keluarga Rasulullah (golongan ahlul bait). Al-
Tabarsi lebih terbuka dan moderat dalam memaknai ulul amri
dengan mengutip beberapa pendapat ulama Sunni, meski
bagaimana pun juga tetap menguatkan pemahaman ulul amri
sebagai para imam Syiah.

Kata Kunci: Majma’ al-Bayan, Ulil Amri, Syiah, Imamah

A. Biografi al-Tabarsi
Imam al-Tabarsi mempunyai nama lengkap Abu Ali Ibn al-Dal ibn
Al-Hasan ibn al-Fadl al-Tabarsi al-Thusi al-Sabzawari al-Radhawi al-
Masyhadi. Terjadi perbedaann pendapat para ulama tentang tahun
kelahiran dan tahun wafat al-Tabarsi.1 Pendapat pertama mengatakan
ia lahir pada tahun 468 H/1073 M di Tabristan (sekarang bagian dari
wilayah Iran), tinggal di tempat kelahiran hingga tahun 523 H kemudian
pindah ke daerah Sabzevar dan menetap di sana hingga wafat tahun 552
H/1158 M. Ada yang menyatakan bahwa ia meninggal tahun 548 H/1154
M pada malam Idul Adha dalam usia 81 tahun.2 Kemudian makamnya
dipindahkan ke Masyhad al-Radhawi, Khurasan lalu dimakamkan di
sebuah pemakaman terkenal yaitu Qatlakan.3 Pendapat lain
menyebutkan ia meninggal dunia pada tahun 538 H/1144 M dan
dikebumikan di satu tempat di al-Najaf.4 Dalam suatu riwayat usia
beliau mencapai 90 tahun.5
Kata al-Tabarsi dinisbahkan kepada daerah tempat tinggal al-
Tabarsi yaitu Tabristan6, merupakan sebuah kota di provinsi
Mazandaran, berada di sebelah selatan pantai Laut Kaspia dan
berhadapan dengan Kota Qum di Iran.7 Dari segi keturunan, kata al-
Tabarsi dikaitkan dengan Tabras yaitu nama seorang keturunan dari
golongan ulama Syiah Imamiyyah. Sedangkan kata al-Masyhadi
dikaitkan dengan daerah Masyhad al-Radhawi yaitu daerah tempat
beliau dimakamkan.8

1
Ali Aljufri dan Mufidah Aljufri, “Al-Tabarsi Tokoh Tafsir Klasik Syiah Moderat (468-548 H)
(Telaah Atas Kitab Majma’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an),” Al-Munir: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan
Tafsir 3, no. 2 (2021): 362.
2
Ibid.
3
Majdi Awad al-Zarihi, Manhaj Al-Syiah Al-Imamiyah Al-Itsna ’Asariyah (Mekah: tt, 2009), 92.
4
Abu Umar Muhammad bin Abdul Malik Al-Zaghbi, Al-Syiah Al-Rawafid (Kairo: Dar al-Ghad al-
Jadid, 2013), 154.
5
Ali Aljufri dan Mufidah Aljufri, “Al-Tabarsi Tokoh Tafsir Klasik Syiah Moderat (468-548 H)
(Telaah Atas Kitab Majma’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an),” 361.
6
Abu al-Fadl ibn al-Hasan Al-Thabarsi, Majma’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an, jil. 1 (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1986), 5-6.
7
Ihsan Al-Amin, Tafsir Bi Al-Ma’sur Wa Tatwiruh ‘Inda Al-Syiah Al-Imamiyyah (Beirut: Dar al-
Hadi, 2000), 421.
8
Husain Muhammad Al-Dzahabi, Al-Tafsir Wa Al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Hadits, 2005), 86.
al-Tabarsii dibesarkan di lingkungan keluargaa berilmu dan
berwawasan luas.9 Bersama putranya bernama Ridha al-Aldin Abu Nasr
Hasan ibn al-Fadl ia telah berhasil menyusun sebuah karya tulis
berjudul Makarim al-Akhlak.10 Mufasir abad 6 Hijriyah ini menganut
mazhab teologi Syiah Ja’fariyah. Ia merupakan ulama yang terkenal
dengan budi pekerti luhur, sangat terpandang berkat disiplin keilmuan
yang dikuasai sehingga menjadi rujukan ulama lain pada saat itu. 11
Tidak hanya ahli bidang tafsir tetapi ilmu-ilmu yang lain sepertii fikih,
hadis, bahasa, dan lainn sebagainya, sehingga dikenal dengan banyak
sebutan meliputi; al-Fadil, al-Alim, al-Mufassir, al-Faqih, al-Muhaddis,
al-Jalil, al-Tsiqah, al-Kamil, dan al-Nabil. Bahkan disebut sebagai Umdat
al-Mufassirin (tempat sandaran para mufasir).12
Awalnya al-Tabarsi tinggal di Tabristan mendalami dan memahami
ilmu-ilmu keagamaan serta kesusastraan di samping ilmu falsafah dan
bahasa Arab. Kemudian pindah ke Masyhad ar-Radhawi yang terletak
di Khurasan. Ia menghabiskan sebagian besar waktu dan usianya untuk
mengajar. Di antara guru al-Tabarsi adalah Abu Ali ibn al-Tusi, Abu al-
Wafa’ Abd al-Jabbar ibn Ali al-Muqri, al-Ajli al-Hasan ibn al-Husain ibn
al-Hasan ibn Babuyah al-Qumi, Muhammad bin al-Husain al-Qasabi al-
Jurjani, dan lainnya. Adapun di antara murid al-Tabarsi adalah putranya
Ridha al-Din Abu Nasr Hasan ibn al-Fadl, Rasyid al-Din Abu Ja’far
Muhammad ibn Ali ibn Syahra Syaub, Muntajab al-din, Sayyid
Fadlullah al-Rawandi, dan masih banyak lainnya.13
Dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki, al-Tabarsi berhasil
menciptakan karya tafsir yang menjadi keinginan beliau sejak usia

9
Ibid.
10
Ali Aljufri dan Mufidah Aljufri, “Al-Tabarsi Tokoh Tafsir Klasik Syiah Moderat (468-548 H)
(Telaah Atas Kitab Majma’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an),” 363.
11
Ibid.
12
Al-Dzahabi, Al-Tafsir Wa Al-Mufassirun, 86.
13
Majdi Awad al-Zarihi, Manhaj Al-Syiah Al-Imamiyah Al-Itsna ’Asariyah, 69-71.
muda; memuat keindahan sastra melalui analisis kebahasaan (ilmu
nahwu dan i’rab) serta menerangkan qiraat dan ilmu al-Qur’an lainnya.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Ja’far Muhammad at-Thusi
dalam karya tafsirnya al-Tibyan. Lalu ia pindah ke Sizwar untuk belajar
hingga menghasilkan banyak karya di berbagai bidang sampai akhir
hayatnya.14 Seperti; Majma’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, al-Wafi fi Tafsir
Al-Qur’an, al-Wasit, al-Wajiz, A’lam al-Huda, Misykah al-Anwar,
Risalah Haqaiq al-Umur, Ilmu al-Faraidh, Syawahid al-Tanzil li Qawaid
al-Tafdhil, al-Jawahir, dan Nasr al’Ali.15

B. Paradigma Mufasir
Paradigma mufasir yaitu kecenderungan mufasir terhadap suatu cara
pandang tertentu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Di antara
paradigma al-Tabarsi dalam kitab tafsirnya; pemikiran Imam al-Tabarsi
dipengaruhi oleh doktrin Syiah imamiyah, sehingga dalam menafsirkan
ayat-ayat tertentu terutama yang berkaitan dengan teologi Syiah al-
Tabarsi cenderung memasukkan kritik di dalamnya. Seperti; pertama,
konteks prinsip imamah dan walayah atau kepemimpinan, misalnya Qs.
al-Maidah:55) yang dijadikan dalil sebagai penetapan Ali sebagai khalifah
setelah Rasulullah wafat. Kedua, kema’shuman/kesucian para imam
Syiah, misalnya Qs. al-Ahzab:33 yang menerangkan bahwa imam-imam
Syiah bersih dari dosa sebagaimana para Nabi. Ketiga, kepercayaan
kepada Imam Mahdi, misalnya Qs. al-Baqarah ayat 3 keharusan
mengimani yang ghoib yaitu Imam Mahdi. Keempat, konsep taqiyyah,
misalnya Qs. al-Nahl:106 tentang kemurkaan Allah kepada orang yang
membuka dadanya untuk kekafiran.16

14
Mahmud BaSunni Faudah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an: Perkenalan Dengan Metodologi Tafsir
(Bandung: Pustaka, 1987), 121-122.
15
Majdi Awad al-Zarihi, Manhaj Al-Syiah Al-Imamiyah Al-Itsna ’Asariyah, 69-71.
16
Ahmad Multazam, “Taqiyyah Dalam Pandangan Mufassir Syi’ i Klasik Dan Kontemporer (Studi
Kitab Tafsīr Majma‘ Al- Bayān Dan Tafsīr Al- Mīzān )” (Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018),
86-87.
Al-Tabarsi tidak meyakini adanya tahrif dalam al-Qur’an
sebagaimana akidah yang dianut al-Qummy. Yaitu meyakini adanya
pengurangan atau penambahan di dalam al-Qur’an yang ada pada tangan
umat Islam saat ini karena diubah dan diselewengkan. Kemudian
terdapat beberapa penafsiran al-Tabarsi yang cenderung menekankan
kepada aspek makna batini, dalam Syiah dikenal dengan sebutan tafsir
simbolik. Namun mayoritas penafsirannya disesuaikan dengan makna
dzahiri sebagaimana karya tafsir kebanyakan. Selain itu, al-Tabarsi
meyakini bahwa jumlah ayat dalam al-Qur’an sebanyak 6.236, yang
menyatakan selainnya berarti keliru. Selanjutnya al-Tabarsi memiliki
pemahaman Syiah moderat, yaitu paling dekat dengan Sunni sekaligus
muktazilah. Pemahaman yang demikian ini berpengaruh kepada
penafsiran ayat yang condong kepada sikap inklusif dan tengah-tengah
dalam menanggapi suatu persoalan yang berseberangan. Al-Tabarsi tidak
fanatik berlebihan dalam membela akidah Syiahnya dalam penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an, tidak ekstrem kanan maupun kiri.

C. Karakteristik Kitab Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an


Terdapat dua faktor yang menjadi motivasi al-Tabarsi dalam menulis
kitab tafsir. Pertama; faktor internal, yaitu nazarnya karena telah
diselamatkan Allah dari kejadian mati suri. Kedua; faktor eksternal, yaitu
di samping terkesan dengan kitab tafsir al-Tibyan karangan gurunya
sendiri, Abu Ja’far Muhammad Ibn al-Hasan al-Tusi karena mengandung
makna begitu indah dibarengi pendekatan analisis Bahasa yang luas, juga
dalam rangka memenuhi permintaan Maulana al-Amir al-Sayyid al-Ajl
al-Alam untuk menulis kitab tafsir.17 Oleh sebab itulah karya tafsir ini
sangat terpengaruh dengan riwayat-riwayat dari al-Thusi walaupun
masih terdapat perbedaan antara keduanya.18

17
Al-Dzahabi, Al-Tafsir Wa Al-Mufassirun, 75.
18
Majdi Awad al-Zarihi, Manhaj Al-Syiah Al-Imamiyah Al-Itsna ’Asariyah.
Penyajian dalam Al-Tibyan dinilai masih menggabungkan antara
I'rab dan nahwu, penggunaan lafal-lafal yang jauh dari makna yang
dimaksud, serta belum disusun secara sistematis. Sedangkan karya al-
Tabarsi dalam mukadimahnya diungkap bahwa ia berusaha
menghimpun rahasia nahwu dalam ayat-ayat al-Qur’an serta keterangan
i’rab-nya secara terpisah dan menyeluruh, melalui pendekatan bahasa
yang luas dan sistematis, keterangan qiraat yang lengkap, serta
memasukkan ilmu-ilmu al-Qur’an terkait lainnya.19
Kitab tafsir karya al-Tabarsi yang menjadi rujukan para ulama
terutama Syiah ini diberi judul Majma’ al-Bayan li ‘Ulum al-Qur’an,20
yaitu penghimpunan makna terhadap al-Qur’an melalui pendekatan
‘ulum al-Qur’an seperti qiraat, lughah, asbab al-nuzul, qashas, ahkam,
dan lainnya. Ada juga yang menyebut Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-
Qur’an,21 yaitu tempat berhimpunnya hujah, dalil, dan penjelasan
tentang ilmu al-Qur’an. Dilihat dari segi keluasan penjelasannya, tafsir
Majma’ al-Bayan dikategorikan sebagai tafsir tafsili-bayani. Sumber
penafsirannya ialah penggabungan antara riwayat (bi al-ma’tsur) dan
ijtihad akal/rasio (bi al-rayi). Namun al-Tabarsi lebih sering menafsirkan
ayat sesuai dengan rasio atau pemahamannya, sedangkan bi al-ma’tsur
digunakan sebagai penguat.
Di dalam pendahuluan, al-Tabarsi menyebutkan tujuh perkara
berkaitan dengan ilmu-ilmu al-Qur’an sebelum menafsirkan ayat-ayat
tertentu. Pertama, penjelasan jumlah ayat dan manfaat mengetahuinya;
kedua, penyebutan para imam qiraat dan perawi yang terekam di
beberapa negeri; ketiga, penjelasan definisi tafsir dan takwil; keempat,
penyebutan nama lain al-Qur’an dan maknanya; kelima, penjelasan

19
Ali Aljufri dan Mufidah Aljufri, “Al-Tabarsi Tokoh Tafsir Klasik Syiah Moderat (468-548 H)
(Telaah Atas Kitab Majma’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an),” 369-370.
20
Al-Thabarsi, Majma’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an, jil. 1, 9.
21
Ibid.
‘ulum al-Qur’an terkait secara detail; keenam, penyebutan hadis tentang
keutamaan al-Qur’an; dan ketujuh, anjuran membaca al-Qur’an dengan
suara yang indah.22 Adapun sistematika penulisan yang digunakan al-
Tabarsi dalam kitabnya, mengawali setiap surat dengan menyebut
identifikasi surat apakah termasuk makiyah atau madaniyah, kemudian
menjelaskan perbedaan pendapat ulamaa terkait bilangan ayat
sekaliguss qiraat, selanjutnya menjelaskann analisis bahasaa berkaitan
dengan maknaa lafal atauu kalimat, menjelaskan i’rab dan
kemusykilannya. Kemudian menjelaskan ‘illat dan hujjah masing-
masing, menjelaskan asbab al-nuzul, balaghah, ma’ani, hukum, kisah-
kisah dan kolerasi runtunan ayat (al-munasabah).23
Kelebihan tafsir karangan al-Thabarsi ini di antaranya: 1)
penyusunan bab-bab yang teratur sehingga mudah dipahami, 2)
pembahasan yang mendalam dari segi kebahasaan, qiraat, dan hukum
fikih; dikutip dari pendapat ahli bahasa, qiraat, dan fuqaha yang
berkompeten dari sahabat maupun tabi’in.24 Sedangkan kekurangannya
antara lain: 1) cenderung menafsirkan ayat dengan ra’yu-nya dan
memaksakan penafsiran sesuai paham Syiah terlebih dalam ranah akidah
dengan mengambil riwayat dari para imam Syiah, 2) memuat riwayat dan
hadits-hadits maudhu, 3) banyak dimasuki cerita-cerita israilliyat.25

D. Metode dan Corak Penafsiran


Metodologi penafsiran yang digunakan al-Tabarsi dikategorikan
sebagai tafsir al-tahlili (analitis), yaitu menafsirkan al-Qur’an ayat demi
ayat berdasar tartib mushafi mulai dari awal surat al-fatihah sampai akhir

22
Ibid, 5-6.
23
Ibid.
24
Ahmad Multazam, “Taqiyyah Dalam Pandangan Mufassir Syi’ i Klasik Dan Kontemporer (Studi
Kitab Tafsīr Majma‘ Al- Bayān Dan Tafsīr Al- Mīzān )” (Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018),
33.
25
Ibid.
surat al-Nas.26 Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang
dikandung ayat yang ditafsirkan, seperti kosakata, makna batin/konotasi
kalimat, asbabun nuzul, munasabah, serta pendapat-pendapat ulama
terdahulu berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang
disampaikan oleh Nabi, sahabat, maupun para tabi'in, dan khususnya
dari para Imam Syiah yang diyakininya.27
Mengutip dari Ali Aljufri bahwasanya Ali Ayazi menggolongkan
corak tafsir al-Thabarsi ke dalam bayani al-adabi.28 Sedangkan Al-
Dzahabi mengatakan terdapat beberapa penafsiran yang cenderung
kepada makna batini (dalam Syiah dikenal al-tafsir al-ramzi,29 Habil
Dabashi menggunakan istilah tafsir esoterik) sesuai ajaran Syiah dan
muktazilah.30 Sementara Rosihan Anwar dalam kajiannya menyatakan
bahwa tafsir al-Thabarsi secara keseluruhan bercorak syi’i.31 Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan oleh penulis, tafsir al-Thabarsi cenderung
bercorak lughowi. Dilihat dari komitmen al-Thabarsi dalam menjelaskan
aspek kebahasaan melalui ilmu nahwu dan i’rab yang bisa dipastikan ada
di setiap penafsiran ayat guna membedah makna yang terkandung di
dalamnya. Sehingga tak heran jika tafsir ini sering dijadikan sebagai
rujukan i’rab al-Qur’an.

26
Ali Aljufri dan Mufidah Aljufri, “Al-Tabarsi Tokoh Tafsir Klasik Syiah Moderat (468-548 H)
(Telaah Atas Kitab Majma’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an),” 373.
27
Al-Thabarsi, Majma’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Quran, jil. 1, 20.
28
Aljufri and Aljufri, “Al-Tabarsi Tokoh Tafsir Klasik Syiah Moderat (468-548 H) (Telaah Atas
Kitab Majma’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an),” 375.
29
Ahmad Yunus Mohd Noor dan Ahmad Dahlan Salleh, “Metodologi Pentafsiran Al-Tabarsi Dalam
Majma,” no. May 2015 (2016): 0–20.
30
Al-Dzahabi, Al-Tafsir Wa Al-Mufassirun, jil. 2, 120-122.
31
Rosihan Anwar, “Tafsir Esoterik Tafsir Al-Mizan Karya AlTabataba’i” (Desertasi Doktoral UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), 68-70.
E. Hasil Penafsiran Qs. al-Nisa’ Ayat 59

Gambar 1: Penafsiran lafal “Ulil Amri” dalam Qs. Al-Nisa’:59 oleh Al-Tabarsi
Sumber: Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jil 3, 96.

Ayat di atas sering kali dijadikan dalil bagi golongan Syiah terkait
prinsip imamah atau keimaman. Konsepsi imamah yang dimaksud di sini
berarti ketentuan imam dalam kepemimpinan umat Islam yang
seharusnya ditetapkan sebagai pengganti atas kepemimpinan Rasulullah
Saw. Imam yang dipilih sebagai pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi
Saw harus memiliki sejumlah sifat yang dimiliki Nabi Saw. Di antaranya
seperti; ishmah, kemampuan menjaga diri dari dosa kecil; dan ilm,
memiliki ilmu pengetahuan agama yang sempurna. Bertolak dari lafal
“ulul amri” pada Qs. al-Nisa’ ayat 59, al-Tabarsi mengemukakan
pendapat para mufasir terdahulu serta mendatangkan riwayat sahabat
dan tabiin guna menggiring pemikirannya sesuai dengan doktrin teologi
Syiah kaitannya dengan imamah atau kepemimpinan, sebagaimana
dilakukan mufasir Syiah lainnya.
Al-Tabarsi terlebih dahulu mengemukakan pendapat para mufasir
mengenai arti “ulul amri”. Pendapat pertama dari Abu Hurairah, Ibnu
‘Abbas (dalam salah satu riwayat), Maimun bin Mahran, as-Sadi, al-Jibai,
dan at-Thabari yang mengartikan sebagai “umara” berarti para
pemimpin. Pendapat kedua datang dari Jabir bin ‘Abdullah, Ibnu ‘Abbas
(dalam riwayat yang lain), Mujahid, al-Hasan, ‘Atha, dan Jama’ah yang
mengartikan sebagai “ulama” berarti orang yang ahli dalam bidang ilmu
pengetahuan agama. Mufasir lain menyebut bahwa ulama ialah orang
yang kepadanya keputusan hukum diserahkan, serta di tangannya setiap
perselisihan menyangkut agama dikembalikan untuk dicari jalan
keluarnya.32
Selanjutnya al-Tabarsi mengemukakan dalam perspektif Syiah
berdasarkan riwayat dari al-Baqir dan as-Shodiq bahwa “ulum amri” yaitu
para imam atau pemimpin dari keluarga Rasulullah (golongan ahlul bait),
Allah mewajibkan untuk taat kepada mereka secara mutlak sebagaimana
taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak seyogianya Allah mewajibkan
ketaatan kepada seseorang secara mutlak kecuali telah ditetapkan
kemaksumannya, diketahui isi batinnya sesuai dengan lahirnya, serta
terjaga dari segenap kesalahan dan perilaku atau perbuatan buruk.
Kriteria orang yang demikian ini hanyalah dimiliki oleh seorang imam
atau pemimpin serta ahli agama Islam. Kemudian al-Tabarsi
mengungkap alasan Allah untuk tidak mewajibkan menaati orang-orang
yang ingkar dan suka berselisih, baik dalam perkataan maupun
perbuatan, sebab hal itu mustahil; mereka tidak dapat mengumpulkan
dan mengambil keputusan terhadap apa yang mereka perselisihkan.33

32
Al-Thabarsi, Majma’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Quran, jil.3, 96.
33
Ibid.
Allah tidak menyandingkan ketaatan kepada ulul amri dengan
ketaatan kepada Rasul-Nya, sebagaimana menyandingkan ketaatan
kepada Rasul-Nya dengan ketaatan kepada-Nya. Kendati demikian,
kedudukan ulul amri di atas semua umat, sedangkan Rasul memiliki
kedudukan di atas ulul amri dan semua makhluk di muka bumi. Al-
Tabarsi mengatakan golongan yang termasuk dalam posisi ulul amri ini
ialah para imam atau pemimpin yang diberi petunjuk yaitu dari jalur
keluarga Rasulullah yang telah ditetapkan keimaman dan
kemaksumannya di dalam nash, bahkan umat pun sepakat untuk
mengakui betapa mulia derajatnya dengan sikap ‘adalah yang
dimilikinya.34
Mengenai kewajiban untuk menaati Allah dan Rasul-Nya, al-Tabarsi
mengatakan bahwa taat dan tunduk kepada semua perintah yang dibawa
Rasul di dalam risalahnya adalah sebagian ketaatan kepada Allah. Hal ini
mengartikan bahwa semua muslim yang mengaku taat kepada Allah
harus menaati Rasul-Nya dengan melaksanakan ajaran-ajaran yang
terdapat pada sunah atau hadis Nabi Muhammad. Menurut al-Tabarsi
pendapat Kalbi yang mengatakan bahwa ketaatan kepada Allah bersifat
wajib sementara ketaatan kepada Rasul bersifat sunah adalah pendapat
yang tidak sah. Karena manusia mengetahui bahwa seseorang itu Nabi
atau Rasul utusan Allah tentu dengan mengetahui risalah yang
dibawanya. Sedangkan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad tentu
saja datang dari Allah Swt sebagai bukti kerasulan sehingga bisa diterima.
Maka ketaatan kepada Rasul sifatnya adalah wajib, baik ketika beliau
masih hidup maupun setelah wafat. Sebab syariat yang dibawa Rasul
bersifat abadi sampai hari kiamat yang harus dikerjakan oleh setiap
mukalaf.35

34
Ibid.
35
Ibid, 95-96.
Selanjutnya al-Tabarsi mengutip pendapat dari Mujahid, Qatadah,
dan as-Sadi mengenai pengembalian perkara yang diperselisihkan
kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni al-Qur’an dan hadis. Mereka berkata
apabila umat Islam berselisih paham terhadap suatu hal menyangkut
perkara agama maka dirujuk atau dikembalikan perkara itu kepada al-
Qur’an dan hadis Nabi. Sedangkan al-Tabarsi berpendapat bahwa
mengembalikan suatu perkara kepada para imam yang telah ditunjuk
nash dari golongan ahlul bait sepeninggal Nabi Muhammad, dihukumi
sama dengan mengembalikan perkara itu kepada Nabi Muhammad
ketika masih hidup.36 Dikarenakan merekalah orang yang paling
Istikomah memelihara syariat Nabi, yang lebih utama memegang
kekhalifahan atas umat Nabi, serta menjalankan apa yang dijalankan
oleh Nabi semasa hidup. Al-Tabarsi berkata lalu Allah menegaskan maka
kembalikanlah perkara itu untuk dicari pembenarannya kepada al-
Qur’an, hadis Nabi, dan juga imam-imam terpilih jika memang beriman
kepada Allah dan hari kiamat.37
Makna lafal “ahsanu takwilan” di akhir ayat, al-Tabarsi setuju dengan
pendapat az-Zujaj karena dinilai lebih kuat yang diartikan sebagai
pengembalian perkara yang diperselisihkan itu lebih baik daripada
interpretasi tanpa menanggapi prinsip al-Qur’an dan hadis yang
keduanya dijadikan sebagai sumber penggalian hukum Islam. al-Tabarsi
menambahkan di samping mengembalikan perkara kepada al-Qur’an
dan hadis juga kepada para imam yang maksum, maka tentu hal itu lebih
baik daripada interpretasi asal-asalan tanpa pedoman yang berujung
pada perdebatan panjang.38

36
Ibid.
37
Ibid.
38
Ibid.
F. Analisis Penafsiran al-Tabarsi dalam Qs. al-Nisa’ Ayat 59
Dari penafsiran Qs. al-Nisa’ ayat 59 ini bisa diketahui bahwa
pemikiran al-Tabarsi sangat kental sekali dengan ajaran Syiah terkait
prinsip imamah, walaupun tidak secara frontal memaknai ulil amri
sebagai Sayidina Ali bin Abi Thalib. Terkait dengan kemaksuman ahlul
bait bahwa merekalah golongan yang ditetapkan al-Qur’an sebagai
orang-orang yang sangat terjaga dari dosa kecil dan selamat dari
perbuatan buruk sehingga memenuhi syarat dijadikan sebagai imam
untuk memimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad wafat. Adapun
riwayat yang diambil dari ulama terdahulu sebagaimana yang
diriwayatkan oleh al-Baqir dan as-Shodiq semata-mata untuk
menguatkan pendapatnya yang menggiring kepada ajaran Syiah
imamiyah.
Meskipun terdapat kefanatikan terhadap mazhab teologi Syiah
dalam penafsiran al-Tabarsi, namun hal itu tidaklah berlebihan. Sangat
berbeda dengan penafsiran al-Qummi yang memaknai ulul amri sebagai
amirul mukminin (pemimpin kaum beriman) yaitu Ali, atau penafsiran
dua mufasir terkemuka abad keempat Furat dan Ayyasi sampai
menyebut bahwa taat kepada Ali berarti pada hakikatnya taat kepada
Rasul. Sedangkan Al-Tabarsi lebih terbuka dan moderat dalam
memaknai ulul amri dengan mengutip beberapa pendapat ulama Sunni.
Memang betul bagaimana pun juga al-Tabarsi tetap menguatkan
pemahaman ulul amri sebagai para imam Syiah, namun pandangan tafsir
Sunni juga disuguhkan. Dari sinilah diketahui pemikiran al-Tabarsi
cenderung lebih moderat, dalam artian tidak memihak mati-matian
mazhab Syiahnya sendiri dengan menghiraukan pendapat mazhab lain
serta tidak mengatakan bahwa mazhab lain salah, keliru, sesat, bahkan
kafir sehingga harus diperangi. Begitu juga pandangan al-Tabarsi
mengenai kemaksuman atas diri para imam, ia tidak membarengi
dengan argumen polemik terhadap penolaknya yang biasanya disebut
sebagai mukholifun (orang-orang yang berselisih paham).
Sikap keterbukaan al-Tabarsi juga tampak ketika membahas tentang
pengembalian perkara kepada al-Qur’an dan hadis maupun kepada para
imam yang maksum. Selain merujuk kepada argumen ulama Syiah, ia
juga mengemukakan pendapat Sunni yang memilih jalan ijma’
(ketetapan ulama) ketika terjadi perselisihan di antara umat kaitannya
dengan masalah pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya. Dikatakan
bahwa pengambilan ijma’ menjadi sesuatu yang urgen sehingga harus
dilakukan jika terjadi perselisihan tentang suatu perkara tertentu
sementara sudah dikembalikan kepada al-Qur’an dan hadis namun tidak
ditemukan jalan keluar. Sehingga apabila tidak dijumpai perkara yang
diperselisihkan itu maka kehujahan ijma’ tidak diperlukan.39
Pada ayat ini al-Tabarsi tidak membahas tentang asbabun nuzul ayat.
Hal ini bisa jadi disebabkan karena tidak ada sumber riwayat mutawatir
yang didapat dari ahlul bait atau kutipan ulama Syiah pendahulunya,
atau barangkali sengaja tidak disebutkan sebab pada ayat ini ia ingin
fokus pada prinsip imamah, yakni diperoleh dari lafal “ulul amri” dan
ditakwilkan sebagai para imam Syiah sehingga terkesan mengabaikan
konteks. Selain itu al-Tabarsi juga tidak menjelaskan korelasi atau
hubungan ayat ini dengan ayat sebelum dan sesudahnya atau dengan
ayat pada surat-surat yang lain.
Al-Tabarsi menggunakan dua sumber penafsiran dalam menyingkap
makna Qs. al-Nisa’ ayat 59. Yaitu bi al-ma’tsur atau berdasarkan riwayat
para sahabat dan juga tabiin, lalu yang kedua bi al-ra’yi atau berdasarkan
pemahaman rasio yang masuk akal. Dilihat dari corak penafsirannya,
penulis menilai sangat kentara al-Tabarsi menggunakan corak mazhabi
sebab berhubungan dengan ayat-ayat teologi yang memerlukan dalil

39
Ibid, 96-97.
serta nalar kritis dengan tujuan legitimasi mazhab yang dianutnya, yaitu
Syiah. Penggunaan bahasa yang relatif sederhana dan konsisten sangat
mudah untuk dipahami dan dipelajari oleh para pembaca terlebih bagi
mereka yang masih awam dalam tafsir al-Qur’an.

G. Kesimpulan
Imam al-Tabarsi mempunyai nama lengkap Abu Ali Ibn al-Dal ibn Al-
Hasan ibn al-Fadl al-Tabarsi al-Thusi al-Sabzawari al-Radhawi al-
Masyhadi. Al-Tabarsi merupakan nisbah kepada tempat kelahirannya
Tabristan. Karya tafsir terkenalnya berjudul Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-
Qur’an. Sumber penafsiran yang digunakan dalam kitab tafsirnya ini
adalah gabungan antara bi al-ma’tsur (riwayat) dengan bi al-ra’yi
(penalaran/ijtihad akal). Sedangkan dalam penyajiannya menggunakan
metode tahlili (analitis) dengan sistem bayani dan tafshili. Penafsiran al-
Tabarsi dalam Qs. al-Nisa’ ayat 59 di samping bercorak lughowi dan fiqhi
juga bercorak mazhabi, sebab mufasir berusaha memasukkan paham
teologinya ke dalam penafsiran ayat khususnya pada lafal ulil amri.

Al-Tabarsi menafsirkan ulil amri sebagai para imam atau pemimpin


dari keluarga Rasulullah (golongan ahlul bait). Ia beranggapan bahwa
golongan yang termasuk dalam posisi ulul amri ini ialah para imam atau
pemimpin yang diberi petunjuk yaitu dari jalur keluarga Rasulullah yang
telah ditetapkan keimaman dan kemaksumannya di dalam nash. Al-
Tabarsi lebih terbuka dan moderat dalam memaknai ulul amri dengan
mengutip beberapa pendapat ulama Sunni. Memang betul bagaimana
pun juga al-Tabarsi tetap menguatkan pemahaman ulul amri sebagai
para imam Syiah, namun pandangan tafsir Sunni juga disuguhkan.
Daftar Pustaka

Al-Amin, Ihsan. Tafsir Bi Al-Ma’sur Wa Tatwiruh ‘Inda Al-Syiah Al-


Imamiyyah. Beirut: Dar al-Hadi, 2000.
Al-Dzahabi, Husain Muhammad. Al-Tafsir Wa Al-Mufassirun. Kairo: Dar al-
Hadits, 2005.
Al-Thabarsi, Abu al-Fadl ibn al-Hasan. Majma’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Quran.
Jil. 3. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986.
Al-Zaghbi, Abu Umar Muhammad bin Abdul Malik. Al-Syiah Al-Rawafid.
Kairo: Dar al-Ghad al-Jadid, 2013.
Aljufri, Ali, and Mufidah Aljufri. “Al-Tabarsi Tokoh Tafsir Klasik Syiah
Moderat (468-548 H) (Telaah Atas Kitab Majma’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-
Qur’an).” al-Munir: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 3, no. 2 (2021): 355–
378.
Anwar, Rosihan. “Tafsir Esoterik Tafsir Al-Mizan Karya AlTabataba’i.” UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.
Faudah, Mahmud Basuni. Tafsir-Tafsir Al-Qur’an: Perkenalan Dengan
Metodologi Tafsir. Bandung: Pustaka, 1987.
Majdi Awad al-Zarihi. Manhaj Al-Syiah Al-Imamiyah Al-Itsna ’Asariyah.
Mekah, 2009.
Multazam, Ahmad. “Taqiyyah Dalam Pandangan Mufassir Syi’ i Klasik Dan
Kontemporer (Studi Kitab Tafsīr Majma‘ Al- Bayān Dan Tafsīr Al-
Mīzān).” Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.
Noor, Ahmad Yunus Mohd, and Ahmad Dahlan Salleh. “Metodologi
Pentafsiran Al-Tabarsi Dalam Majma,” no. May 2015 (2016): 0–20.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai