Anda di halaman 1dari 10

MENGENAL FAHAM ALIRAN AL-MATURIDI DAN AL-MATURIDIYYAH

Oleh:
Muhammad Hilman-Muhammad Ihsan

Abstrak
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa misi dari Nabi Muhammad SAW mengajarkan
agama Islam sesuai apa yang beliau terima berupa wahyu yang diwujudkan dalam bentuk
Al-Qur’an memang pada waktu Nabi masih hidup belum muncul aliran-aliran dalam Islam
karena setiap ada permasalahan mengenai Islam atau yang lainnya beliau sebagai rujukan
langsung. Namun, setelah Nabi meninggal, maka mulailah muncul aliran-aliran dalam Islam
terutama pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.

Dengan munculnya aliran-aliran Islam tersebut, maka tidak mengherankan lagi diantara
mereka saling berbeda pendapat, terutama dalam menafsiri ayat-ayat Al-Qur’an. Karena kita
tahu bahwa dalam ayat-ayat Al-Qur’an masih banyak terdapat ayat yang masih bersifat mujmal
atau umum, sehingga perlu adanya penafsiran terutama ayat-ayat yang berhubungan dengan
teologi Islam. Dari sini kami akan mencoba membahas tentang salah satu aliran yang muncul
dalam teologi Islam, yaitu aliran Maturidiyah tentunya dengan keterbatasan pemahaman kami.

Kata Kunci: Aliran Islam, Wafat Nabi, Al-Maturidiyah


PENDAHULUAN
Munculnya berbagai macam golongan-golongan aliran pemikiran dalam Islam telah
memberikan warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah
wafatnya Rosulullah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya berbagai golongan
dengan segala pemikiranya. Diantaranya adalah faktor politik sebagaimana yang telah terjadi
pertentangan antara kelompok Ali dengan pengikut Muawiyah, sehingga memunculkan
golongan yang baru yaitu golongan khawarij. Lalu muncullah golongan-golongan lain
sebagai reaksi dari golongan satu pada golongan yang lain.
Golongan-golongan tersebut mempunyai pemikiran yang berbeda-beda antara satu
dengan yang lainnya. Ada yang masih dalam koridor Al-Qur’an dan sunnah, akan tetapi ada
juga yang menyimpang dari kedua sumber ajaran Islam tersebut. Ada yang berpegang pada
wahyu, dan ada pula yang menempatkan akal yang berlebihan sehingga keluar dari wahyu.
Dan ada juga yang menamakan dirinya sebagai ahlussunnah wal jama’ah.
Sebagai reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke 3 H timbullah golongan
yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang dipimpin oleh 2 orang ulama besar
dalam Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali Al Asy’ari yang merupakan pendiri aliran
Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur Al Maturidi sebagai pendiri aliran Maturidiyah.
Aliran Al-Maturidiyah sendiri adalah sebuah aliran yang tidak jauh berbeda dengan
aliran al-Asy'ariyah. Keduanya lahir sebagai bentuk pembelaan terhadap sunnah. Bila aliran
al-Asy'ariyah berkembang di Basrah maka aliran al-Maturidiyah berkembang di Samarkand.

PEMBAHASAN
A. Sejarah Faham Maturidiyah
1. Biografi Al-Maturidi
Nama al-Maturidi yang sebenar ialah Abu Mansur Muhammad bin
Muhammad bin Mahmud, al-Maturidi, al-Ansari, al-Hanafi, al-Samarqandi. Beliau
lahir di Maturit atau Maturid,1 sebuah kawasan yang berdekatan dengan Samarkand,
salah sebuah kota yang terkenal di Asia Tengah.2
Selain itu, beliau juga dihubungkan kepada al-Ansar (al-Ansari) karena
dikatakan beliau itu keturunan daripada sahabat nabi, Abu Ayyub Khalid bin Zayd bin
Kulayb al-Ansari.3

1
Al-Sam`ani, Kitab al-Ansab, Leiden & London, 1912, h.498
2
Ibn al-Athir, al-Lubab fi Tahdhib al-Ansab, al-Qahirah, 1369H, h.76; Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, I, h.365.
3
Al-Sayyid al-Murtada al-Zabidi, Ithaf al-Sadat al-Muttaqin bi-Syarh Asrar Ihya' `Ulum al-Din, al-Qahirah, 1893, II,
h.5; al-Sam`ani, op.cit, h.498; al-Bayadi, Isyarat al-Maram min `Ibarat al-Imam, al-Qahirah, 1949, h.23.
Tarikh lahirnya tidak dapat dipastikan dengan tepat tetapi kemungkinan di
sekitar pertengahan abad ke-3/9 H. Menurut Watt, kemungkinan beliau dilahirkan
sekitar tahun 256/870.4 Berdasarkan perkiraan bahwa ketika gurunya, Muhammad bin
Muqatil al-Razi wafat pada tahun 248/862, al-Maturidi berusia 10 tahun.5 ini berarti
beliau mempunyai usia yang panjang, lebih kurang 95 tahun karena beliau wafat pada
tahun 333/944 di Samarkand.6
Jika berdasarkan kenyataan di atas, berarti al-Maturidi dilahirkan pada zaman
pemerintahan Khalifa Abbasiyyah al-Mutawakkil (232 - 247/847 - 861) yang sedang
memerangi kepercayaan-kepercayaan Mu’tazilah dan mendukung aliran tradisi
(Sunni).
Beliau merupakan salah seorang pengikut Abu Hanifah dengan mempelajari
fiqh dan kalam mazhab Hanafi di Samarkand yang pada masa tersebut sedang
berkembang di kawasan-kawasan sebelah timur.
Di antara guru-guru bermazhab al-Hanafi yang mengajarnya ialah Muhammad
bin Muqatil al-Razi (m.248/862), Abu Bakr Ahmad bin Ishaq al-Juzjani, Abu Nasr
Ahmad b. al Abbas al-Iyadi yang lebih dikenali al-Faqih al-Samarqandi dan Nusayr
bin Yahya al-Balkhi (m.268/881). Semuanya merupakan murid-murid Abu Hanifah
(m.150/767).7
Di antara hasil-hasil karyanya8 adalah seperti berikut:

1. Kitab Ta’wilat al-Qur’an @ Ta’wilat Ahl al-Sunnah.(Tafsir)


2. Kitab Ma’khadh al-Syari‘ah.(Usul al-Fiqh)
3. Kitab al-Jadal.(Tafsir & Kalam Ahl al-Sunnah)
4. Kitab al-Usul (Usul al-Din).
5. Kitab al-Maqalat.
6. Kitab al-Tawhid.
7. Kitab Bayan Wahm al-Mu‘tazilah.
8. Kitab Radd Awa’il al-Adillah li al-Ka‘bi.
9. Kitab Radd Tahdhib al-Jadal li al-Ka‘bi.
10. Kitab Radd Wa‘id al-Fussaq li al-Ka‘bi.
11. Radd al-Usul al-Khamsah li Abi Muhammad al-Bahili.
4
Lihat: The Formative Period of Islamic Thought, Univ. Press Edinburgh, h.312.
5
Ayyub, A.K.M., " Maturidism ", dlm. A History of Muslim Philosophy, I, h.260.
6
Abu Zuhrah, M., Tarikh al-Madhahib al-Islamiyyah fi al-Siyasah wa al-`Aqa'id, I, h.207.
7
Al-Bayadi, Isyarat al-Maram, h.23.
8
Ibn Qutlubugha, Taj al-Tarajum fi Tabaqat al-Hanafiyyah, Baghdad, 1962, h.59.
12. Radd Kitab al-Imamah li ba‘d al-Rawafid.
13. Kitab al-Radd ‘ala al-Usul al-Qaramitah.

Sebagai penghormatan terhadap keilmuannya dalam bidang teologi dan juga


sumbangannya untuk mempertahankan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, murid dan para
ulama memberikan gelar sebagai ‘Ilm al-Huda, 9 Imam al-Huda dan Imam al-
Mutakallimin.10

2. Sejarah Lahirnya faham Maturidiyah


Rupanya pertentangan faham antara Mu’tazilah/Qodariyah yang rasionalis
liberal dengan Ahlul Hadits yang tekstualis orthodoks bersama Jabariyah yang fatalis,
membawa pengaruh yang besar di dunia Islam. Tetapi barangkali kalau tidak karena
Mu’tazilah, maka tidak akan demikian besar reaksi yang ditimbulkan karenanya.
Reaksi terhadap Mu’tazilah lahir di tiga daerah Islam yang cukup berjauhan
dan dalam masa yang hampir bersamaan.
Di Irak (Bashrah), Al-Asy’ari (260-324 H) yang membentuk aliran Asy’ariyah.
Di Mesir, At-Tahtawi (w. 321 H) dan di Iran (Samarkand) Al-Maturidi (238-352 H).
Mereka secara sendiri-sendiri di daerahnya masing-masing, bersama-sama melawan
Mu’tazilah.
Manifestasi daripada perlawanan itu tidak sama persis satu dengan yang lain,
karena kondisi daerahnya masing-masing, tetapi bagaimanapun antara ketiganya
mempunyai banyak persamaan.
Sebenarnya kalau disebut perlawanan kurang begitu tepat, sebab apa yang
dilakukan mereka bermaksud untuk memberi pegangan ummat dalam situasi
perbedaan pendapat diantara kaum muslimin.

9
Lihat: Al-Maturidi, op.cit, h.1; Al-Sayyid al-Murtada al-Zabidi, Ithaf al-Sadat al-Muttaqin, II, h.5.
10
Ayyub, A.K.M., " Maturidism " dlm. A History of Muslim Philosophy, Otto Harrasowitz, Wiesbaden, 1963, I, h.260.
3. Pendiri dan Tokoh-tokoh Maturidiyah

Pendiri Maturidiyah adalah Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin


Mahmud Al-Maturidi, sering pula disebut Abu Mansur. Lahir di kota kecil Maturidi,
daerah Samarkand (Soviet sekarang) pada ± 238/853 M dan meninggal di Samarkand
pula pada 333 H. Tidak banyak yang kita ketahui tentang riwayat hidupnya, tetapi
yang jelas ia adalah penganut madzhab Hanafi.
Abu Mansur menerima pendidikan yang baik dalam berbagai bidang ilmu ke-
Islaman di bawah empat orang guru yang terkenal pada waktu itu, Syekh Abu Baker
Ahmad, Abu Nasr Ahmad bin Abbas yang dikenal sebagai Al-Faqih As-Samarkandi,
Nusair bin Yahya Al-Balkhi (w. 268) dan Muhammad bin Muqotil Al-Rozi (w. 248)
yang dikenal sebagai Qodli Al-Roy. Semua mereka itu bermadzhab hanafi. Oleh
sebab itu tidak heran apabila Abu Mansur pun bermadzhab Hanafi.
Kita tidak begitu banyak mengetahui hasil-hasil pemikirannya karena buku-
buku karangannya masih dalam bentuk tulisan tangan dan belum dicetak. Seperti
kitabnya : Kitab At-Tawhid, Kitab Ta’wil Al-Qur’an, Risalah Fil-Aqoid dan Syarah
Al-Fiqh Al-Akbar.
Tokoh penting Maturidiyah adalah Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi
(421-493 H), neneknya adalah murid Al-Maturidi dan Al-Bazdawi memperoleh
ajaran-ajaran Maturidiyah daripadanya. Al-Bazdawilah yang membawa ajaran
Maturidiyah ke Bukhoro, yang memperoleh banyak pengikut sehingga menjadi
Maturidiyah aliran/cabang Bukhoro, dimana pendapat-pendapatnya mendekati
kepada faham Asy’ariyah. Sedang aliran-aliran asli (Samarkand) lebih dekat kepada
faham Mu’tazilah. Al-Bazdawi mengarang kitab : Ushuluddin, sedang muridnya
Najmuddin Muhammad Al-Nasafi (460-537 H) mengarang Al-Aqoid Al-Nasafiyah.
Perngikut Al-Maturidi tidak selalu sefaham dengan gurunya, oleh sebab itu ada
dua aliran Maturidiyah, yaitu aliran Samarkand dan aliran Bukhoro.
Letak perbedaannya pada tingkat pengakuan akal sebagai instrumen penafsiran
kebenaran. Aliran Samarkand dikenal lebih dekat dengan Mu’tazilah dalam beberapa
pemikirannya, seperti penerimaannya At-Ta’wil terhadap ayat-ayat yang memuat
sifat-sifat antroposentris dari Tuhan. Sementara aliran Bukhoro dalam hal ini lebih
dekat dengan metodologi berfikirnya Asy’ariyah.
4. Ajaran-ajaran Pokok Maturidiyah

Al-Maturidi di dalam memberi pegangan kepada ummat, selalu berusaha untuk


mengambil jalan tengah dari beberapa aliran teologi yang bertentangan.
Beberapa ajaran pokok Maturidiyah antara lain membahas :
1. Masalah akal dan wahyu.
2. Perbuatan manusia
3. Kehendak dan kekuasaan Tuhan. dan
4. Masalah keadilan Tuhan.

1) Masalah akal dan wahyu


Dalam hal kemampuan akal manusia, Al-Maturidi berpendapat bahwa akal
dapat :
1. Mengetahui adanya Tuhan
2. Berkewajiban mengetahui Tuhan.
3. Mengetahui perkara baik dan jahat
Demikianlah pendapat Al-Maturidi dan para pengikutnya di Samarkand.
Bahwa akal dapat mengetahui wujudnya Tuhan. Demikian pula kewajiban
mengetahui Tuhan dapat diketahui oleh seseorang yang sudah matang akalnya,
kematangan akal tidak ditentukan oleh umur. Sama seperti apa yang baik dan jahat
pun dapat diketahui akal dan pikiran.
Adapun kewajiban untuk megerjakan yang baik dan meninggalkan yang jahat,
akal tidak mampu mengetahuinya. Hal ini hanya dapat dketahui oleh wahyu. Aliran
Samarkand ini tampak sekali mendekati Mu’tazilah, karena mengakui kemampuan
yang besar terhadap akal.
Sedang aliran Bukhoro berpendapat bahwa akal manusia hanya mampu untuk
mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan jahat. Adapun kewajiban, baik
kewajiban mengetahui Tuhan maupun mengetahui kewajiban melakukan yang baik
dan meninggalkan yang jahat, akal manusia tidak mampu mengetahui.
Menurut aliran Bukhoro, akal tidak mampu mengetahui kewajiban. Masalah
kewajiban hanya dapat diketahui dengan pertolongan wahyu. Oleh sebab itu sebelum
datangnya para Rasul/wahyu, kita tidak berkewajiban percaya kepada Tuhan dan
bukan merupakan suatu dosa. Dengan demikian aliran Bukhoro ini mendekati
pendapat Asy’ariyah, karena memandang lemah kemampuan akal manusia dan
memandang wahyu mempunyai kemampuan dan fungsi yang lebih tinggi.
Dengan demikian wahyu bagi aliran Samarkand berfungsi menunjukkan
adanya kewajiban untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan kejahatan. Tetapi
bagi aliran Bukhoro disamping menunjukkan kewajiban seperti di atas, juga
kewajiban untuk mengetahui Tuhan. Dengan perkataan lain wahyu berfungsi untuk
menunjukkan tentang kewajiban-kewajiban bagi manusia.

2) Perbuatan manusia
Apakah manusia mampu dan bebas mengadakan pilihan berdasarkan
kemampuan sendiri melakukan perbuatan (free will dan free act), ataukah manusia
tidak mampu memilih, apalagi melakukan perbuatan, sebagaimana faham Jabariyah,
sehingga hanya melakukan saja apa yang telah ditentukan terlebih dahulu oleh Tuhan
(predestination).
Dalam hal ini Al-Maturidi berpendapat, bahwa perbuatan manusia adalah juga
ciptaan Tuhan. Al-Maturidi sebagai pengikut Abu Hanifah menyebut dua perbuatan,
yaitu : perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan. Perbuatan Tuhan adalah dalam
bentuk penciptaan daya pada diri manusia, sedang pemakaian daya itu ada pada
manusia. Dengan kata lain, perbuatan Tuhan berarti majazi, sedang hakikatnya adalah
perbuatan manusia. Menurut Maturidi, daya itu dicipta Tuhan bersama-sama dengan
perbuatan manusia, bukan sebelum perbuatan manusia sebagai faham Mu’tazilah.
Aliran Bukhoro berpendapat bahwa manusia hanyalah merealisir perbuatan
Tuhan, perbuatan manusia hakikatnya adalah perbuatan Tuhan, sedang perbuatan
manusia hanyalah dalam pengertian majazi saja. Untuk ini lantas mengajukan dua
konsep, yakni masyi’ah dan ridlo. Masyi’ah adalah kemauan/kehendak, yang
bentuknya berupa berbagai pilihan perbuatan, yang baik dan yang jahat. Manusia
bebas memilih perbuatan mana yang akan dikerjakan, apabila ia kerjakan yang baik,
ini sesuai dengan kehendak Tuhan dan diridhoi Tuhan. Apabila ia memilih dan
mengerjakan yang jahat, ini juga sesuai dengan kehendak Tuhan, tetapi tidak diridhoi
Tuhan. Jadi Tuhan itu adil, demikianlah yang dikehendaki Maturidiyah dengan
konsep ini.
3) Kehendak dan kekuasaan Tuhan
Masalah ini erat hubungannya dengan persoalan kemampuan akal dan
kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan.
Maturidiyah Bukhoro berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan
mutlak. Al-Bazdawi menjelaskan bahwa memang Tuhan berbuat apa yang dikhendaki
serta menentukan segala sesuatu dengan menurut kemauan dan kehendak-Nya
sendiri. Tidak ada yang dapat menentang, menghalangi ataupun memaksa Tuhan,
tidak ada larangan bagi Tuhan, demikian pula tidak kewajiban. Dengan ini aliran ini
sefaham dengan Asy’ariyah.
Adapun Maturidiyah Samarkand, memberikan batasan sebagai berikut :
1. Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan adalah pada manusia.
2. Bahwa apabila Tuhan menjatuhkan hukuman, bukan berarti sewenang-
wenang, tapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia di dalam menggunakan daya
yang telah diciptakan Tuhan dalam dirinya, terserah kepada manusia, apakah akan
melakukan perbuatan yang baik ataukah yang jahat. Untuk itu Maturidiyah
Samarkand mangajukan konsep masyi’ah dan ridho sebagaimana diterangkan
sebelumnya.
3. Keadaan hukuman-hukuman Tuhan baik pahala ataupun siksa
sebagaimana kata Al-Bayadi tidak boleh tidak mesti terjadi. Adapun mengenai aturan
siksa atau pahala adalah ditentukan Tuhan dengan pengetahuan dan kemauan-Nya
sendiri.
Dari uraian di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Samarkand lebih
mendekati kalau tidak dikatakan sama dengan faham Mu’tazilah.

4) Masalah keadilan Tuhan


Faham kekuasaan mutlak pada Tuhan, menimbulkan bantahan dan sanggahan,
karena membayangkan suatu pengertian bahwa Tuhan pada suatu ketika akan berbuat
tidak adil. Akan tetapi faham keadilan Tuhan bisa pula menimbulkan pengertian
bahwa Tuhan adalah tidak berkuasa mutlak, karena kekuasaan-Nya akan dibatasi oleh
keadilan-Nya.
Dalam hal ini Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa perbuatan manusia
adalah perbuatannya sendiri dalam arti yang sebenarnya, karena manusia menurut
pandangannya adalah bebas di dalam kemauan dan berbuat (free will dan free act).
Dengan demikian bagi Maturidiyah Samarkand tidak begitu sukar memahami
masalah keadilan. Sebagaimana diketahui bahwa keadilan menurut Mu’tazilah adalah
erat hubungannya dengan hak, dimana Tuhan akan memberi kepada seseorang akan
haknya. Keadilan Tuhan berarti Tuhan berkewajiban membuat apa yang yang baik
dan terbaik bagi manusia, termasuk di dalamnya memberi daya pada manusia untuk
berbuat.
Bagi Maturidiyah Bukhoro, berpendapat bahwa perbuatan menusia pada
hakikatnya adalah perbuatan Tuhan. Pendapat ini akan cenderung berakibat bahwa
Tuhan tidak adil atau dengan kata lain Tuhan adalah dhalim. Untuk menghindari
kecaman ini mereka berpendapat bahwa Tuhan yang berkuasa mutlak berbuat
sekehendak hatinya dan penciptaannya tidak mesti harus mengandung hikmah. Alam
yang diciptakan ini bukan untuk kepentingan manusia. Selanjutnya mereka
mengajukan konsepsi masyi’ah dan ridho, dimana manusia bebas berbuat menurut
pilihan dan kemauannya. Apabila ia memilih dan mengerjakan yang baik, maka
adalah sesuai serta mendapat ridho dari Tuhan, sebaliknya apabila ia memilih dan
mengerjakan yang buruk/jahat maka tidak dikehendaki dan tidak akan mendapat
ridho dari Tuhan.
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat pemakalah simpulkan sebagai berikut :
1. Aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya yaitu Abu Mansur
Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi, yang lahir di Samarkand
pertengahan kedua dari abad kesembilan masehi.
2. Aliran Maturidiyah berintikan pada pemikiran Imam Abu Hanifah dan
merupakan pengurainya yang sangat bebas.
3. Dalam perkembangannya aliran Maturidiyah terbagi menjadi dua golongan
yaitu :
• Golongan Samarkand yang cenderung dekat dengan faham-faham
Mu’tazilah.
• Golongan Bukhoro (pengikut Al-Bazdawi) yang cenderung dekat
dengan faham Asy’ariyah.

4 Ajaran pokok Maturidiyah antara lain membahas tentang :


• Masalah akal dan wahyu.
• Perbuatan manusia.
• Kehendak dan kekusaan tuhan.
• Masalah keadilan Tuhan.

Al-Maturidi mengambil jalan tengah antara dalil aqli dengan dalil naqli,
berusaha menghubungkan antara fikir dan amal, dan dalam perselisihan atau
perdebatan aliran Maturidiyah tidak sampai saling mengafirkan sebagaimana
Qodariyah.

Anda mungkin juga menyukai