Oleh:
Muhammad Hilman-Muhammad Ihsan
Abstrak
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa misi dari Nabi Muhammad SAW mengajarkan
agama Islam sesuai apa yang beliau terima berupa wahyu yang diwujudkan dalam bentuk
Al-Qur’an memang pada waktu Nabi masih hidup belum muncul aliran-aliran dalam Islam
karena setiap ada permasalahan mengenai Islam atau yang lainnya beliau sebagai rujukan
langsung. Namun, setelah Nabi meninggal, maka mulailah muncul aliran-aliran dalam Islam
terutama pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Dengan munculnya aliran-aliran Islam tersebut, maka tidak mengherankan lagi diantara
mereka saling berbeda pendapat, terutama dalam menafsiri ayat-ayat Al-Qur’an. Karena kita
tahu bahwa dalam ayat-ayat Al-Qur’an masih banyak terdapat ayat yang masih bersifat mujmal
atau umum, sehingga perlu adanya penafsiran terutama ayat-ayat yang berhubungan dengan
teologi Islam. Dari sini kami akan mencoba membahas tentang salah satu aliran yang muncul
dalam teologi Islam, yaitu aliran Maturidiyah tentunya dengan keterbatasan pemahaman kami.
PEMBAHASAN
A. Sejarah Faham Maturidiyah
1. Biografi Al-Maturidi
Nama al-Maturidi yang sebenar ialah Abu Mansur Muhammad bin
Muhammad bin Mahmud, al-Maturidi, al-Ansari, al-Hanafi, al-Samarqandi. Beliau
lahir di Maturit atau Maturid,1 sebuah kawasan yang berdekatan dengan Samarkand,
salah sebuah kota yang terkenal di Asia Tengah.2
Selain itu, beliau juga dihubungkan kepada al-Ansar (al-Ansari) karena
dikatakan beliau itu keturunan daripada sahabat nabi, Abu Ayyub Khalid bin Zayd bin
Kulayb al-Ansari.3
1
Al-Sam`ani, Kitab al-Ansab, Leiden & London, 1912, h.498
2
Ibn al-Athir, al-Lubab fi Tahdhib al-Ansab, al-Qahirah, 1369H, h.76; Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, I, h.365.
3
Al-Sayyid al-Murtada al-Zabidi, Ithaf al-Sadat al-Muttaqin bi-Syarh Asrar Ihya' `Ulum al-Din, al-Qahirah, 1893, II,
h.5; al-Sam`ani, op.cit, h.498; al-Bayadi, Isyarat al-Maram min `Ibarat al-Imam, al-Qahirah, 1949, h.23.
Tarikh lahirnya tidak dapat dipastikan dengan tepat tetapi kemungkinan di
sekitar pertengahan abad ke-3/9 H. Menurut Watt, kemungkinan beliau dilahirkan
sekitar tahun 256/870.4 Berdasarkan perkiraan bahwa ketika gurunya, Muhammad bin
Muqatil al-Razi wafat pada tahun 248/862, al-Maturidi berusia 10 tahun.5 ini berarti
beliau mempunyai usia yang panjang, lebih kurang 95 tahun karena beliau wafat pada
tahun 333/944 di Samarkand.6
Jika berdasarkan kenyataan di atas, berarti al-Maturidi dilahirkan pada zaman
pemerintahan Khalifa Abbasiyyah al-Mutawakkil (232 - 247/847 - 861) yang sedang
memerangi kepercayaan-kepercayaan Mu’tazilah dan mendukung aliran tradisi
(Sunni).
Beliau merupakan salah seorang pengikut Abu Hanifah dengan mempelajari
fiqh dan kalam mazhab Hanafi di Samarkand yang pada masa tersebut sedang
berkembang di kawasan-kawasan sebelah timur.
Di antara guru-guru bermazhab al-Hanafi yang mengajarnya ialah Muhammad
bin Muqatil al-Razi (m.248/862), Abu Bakr Ahmad bin Ishaq al-Juzjani, Abu Nasr
Ahmad b. al Abbas al-Iyadi yang lebih dikenali al-Faqih al-Samarqandi dan Nusayr
bin Yahya al-Balkhi (m.268/881). Semuanya merupakan murid-murid Abu Hanifah
(m.150/767).7
Di antara hasil-hasil karyanya8 adalah seperti berikut:
9
Lihat: Al-Maturidi, op.cit, h.1; Al-Sayyid al-Murtada al-Zabidi, Ithaf al-Sadat al-Muttaqin, II, h.5.
10
Ayyub, A.K.M., " Maturidism " dlm. A History of Muslim Philosophy, Otto Harrasowitz, Wiesbaden, 1963, I, h.260.
3. Pendiri dan Tokoh-tokoh Maturidiyah
2) Perbuatan manusia
Apakah manusia mampu dan bebas mengadakan pilihan berdasarkan
kemampuan sendiri melakukan perbuatan (free will dan free act), ataukah manusia
tidak mampu memilih, apalagi melakukan perbuatan, sebagaimana faham Jabariyah,
sehingga hanya melakukan saja apa yang telah ditentukan terlebih dahulu oleh Tuhan
(predestination).
Dalam hal ini Al-Maturidi berpendapat, bahwa perbuatan manusia adalah juga
ciptaan Tuhan. Al-Maturidi sebagai pengikut Abu Hanifah menyebut dua perbuatan,
yaitu : perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan. Perbuatan Tuhan adalah dalam
bentuk penciptaan daya pada diri manusia, sedang pemakaian daya itu ada pada
manusia. Dengan kata lain, perbuatan Tuhan berarti majazi, sedang hakikatnya adalah
perbuatan manusia. Menurut Maturidi, daya itu dicipta Tuhan bersama-sama dengan
perbuatan manusia, bukan sebelum perbuatan manusia sebagai faham Mu’tazilah.
Aliran Bukhoro berpendapat bahwa manusia hanyalah merealisir perbuatan
Tuhan, perbuatan manusia hakikatnya adalah perbuatan Tuhan, sedang perbuatan
manusia hanyalah dalam pengertian majazi saja. Untuk ini lantas mengajukan dua
konsep, yakni masyi’ah dan ridlo. Masyi’ah adalah kemauan/kehendak, yang
bentuknya berupa berbagai pilihan perbuatan, yang baik dan yang jahat. Manusia
bebas memilih perbuatan mana yang akan dikerjakan, apabila ia kerjakan yang baik,
ini sesuai dengan kehendak Tuhan dan diridhoi Tuhan. Apabila ia memilih dan
mengerjakan yang jahat, ini juga sesuai dengan kehendak Tuhan, tetapi tidak diridhoi
Tuhan. Jadi Tuhan itu adil, demikianlah yang dikehendaki Maturidiyah dengan
konsep ini.
3) Kehendak dan kekuasaan Tuhan
Masalah ini erat hubungannya dengan persoalan kemampuan akal dan
kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan.
Maturidiyah Bukhoro berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan
mutlak. Al-Bazdawi menjelaskan bahwa memang Tuhan berbuat apa yang dikhendaki
serta menentukan segala sesuatu dengan menurut kemauan dan kehendak-Nya
sendiri. Tidak ada yang dapat menentang, menghalangi ataupun memaksa Tuhan,
tidak ada larangan bagi Tuhan, demikian pula tidak kewajiban. Dengan ini aliran ini
sefaham dengan Asy’ariyah.
Adapun Maturidiyah Samarkand, memberikan batasan sebagai berikut :
1. Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan adalah pada manusia.
2. Bahwa apabila Tuhan menjatuhkan hukuman, bukan berarti sewenang-
wenang, tapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia di dalam menggunakan daya
yang telah diciptakan Tuhan dalam dirinya, terserah kepada manusia, apakah akan
melakukan perbuatan yang baik ataukah yang jahat. Untuk itu Maturidiyah
Samarkand mangajukan konsep masyi’ah dan ridho sebagaimana diterangkan
sebelumnya.
3. Keadaan hukuman-hukuman Tuhan baik pahala ataupun siksa
sebagaimana kata Al-Bayadi tidak boleh tidak mesti terjadi. Adapun mengenai aturan
siksa atau pahala adalah ditentukan Tuhan dengan pengetahuan dan kemauan-Nya
sendiri.
Dari uraian di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Samarkand lebih
mendekati kalau tidak dikatakan sama dengan faham Mu’tazilah.
A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat pemakalah simpulkan sebagai berikut :
1. Aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya yaitu Abu Mansur
Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi, yang lahir di Samarkand
pertengahan kedua dari abad kesembilan masehi.
2. Aliran Maturidiyah berintikan pada pemikiran Imam Abu Hanifah dan
merupakan pengurainya yang sangat bebas.
3. Dalam perkembangannya aliran Maturidiyah terbagi menjadi dua golongan
yaitu :
• Golongan Samarkand yang cenderung dekat dengan faham-faham
Mu’tazilah.
• Golongan Bukhoro (pengikut Al-Bazdawi) yang cenderung dekat
dengan faham Asy’ariyah.
Al-Maturidi mengambil jalan tengah antara dalil aqli dengan dalil naqli,
berusaha menghubungkan antara fikir dan amal, dan dalam perselisihan atau
perdebatan aliran Maturidiyah tidak sampai saling mengafirkan sebagaimana
Qodariyah.