Anda di halaman 1dari 16

ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH

DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS MATA


KULIAH : ILMU KALAM
Dosen Pengampu :
Moh. Abdur Rohman M.Ag

Nama Penyusun:
Idris ( )

FAKULTAS USHULUDDIN

Prodi Ilmu Al Quran Dan Tafsir

INSTITUT AGAMA ISLAM HASANUDDIN PARE KEDIRI

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugrah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH

Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan Makalah ini selain untuk menyelesaikan
tugas yang diberikan oleh Dosen pengajar, juga untuk lebih memperluas pengetahuan para
mahasiswa khususnya bagi penulis. Penulis telah berusaha untuk dapat menyusun Makalah ini
dengan baik, namun penulis pun menyadari bahwa kami memiliki akan adanya keterbatasan
kami sebagai manusia biasa. Oleh karena itu jika didapati adanya kesalahan-kesalahan baik dari
segi teknik penulisan, maupun dari isi, maka kami memohon maaf dan kritik serta saran dari
dosen pengajar bahkan semua pembaca sangat diharapkan oleh kami untuk dapat
menyempurnakan makalah ini terlebih juga dalam pengetahuan kita bersama.

Penulis,

Idris
( )

1
Daftar Isi

Judul

Kata Pengantar.................................................................................................................. 1

Daftar Isi ........................................................................................................................... 2

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 3


B. Rumusan Masalah................................................................................................. 4
C. Tujuan Pembahasan ............................................................................................. 4

BAB II : PEMBAHASAN

A. Latar belakang dan sejarah ............................................................................... 5


....... ............................
1. Asy ariyah..... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. ...... 5
2.Sejarah Asy ariyah .......................................................................................... 7
3. Maturidiyah...................................................................................................... 8
4. Sejarah Maturidiyah...................................................................................... 9

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................ 12
B. Saran....................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 13

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan Islam sebagai konsep akidah mempunyai historis yang cukup panjang,
tertuma fase perkembangan Islam setelah wafatnya Rasulullah saw, telah menjadi polemik
yang selalu diperbincangkan dalam dunia akdemisi dan menjadi khasanah tersendiri dalam
tinjauan historiografi Islam. Salah satu masalah terpenting yang terjadi pasca wafatnya
Rasulullah saw. yaitu pemilihan siapa yang berhak memimpin umat Islam, masyarakat
muslim memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama dan dilanjutkan oleh Umar Bin Khatab
sebagai khalifah kedua.
Ketika Usman Bin Affan menjadi khalifah ketiga, asal muasal kekacauan mulai muncul
dari fisik maupun non fisik dan semakin membesar pada masa Ali Bin Abi Thalib ketika
memimpin umat Islam sebagai khalifah keempat. Puncak dari pertentangan ini lahirnya
keputusan arbitrase antara kedua belah pihak, dan hasil dari keputusan itu merugikan ‟Ali
sabagai khalifah yang sah. Mereka memandang Ali Bin Abi Thalib telah berbuat salah, dan
oleh sebab itu mereka meninggalkan barisannya.1
Sebagai reaksi terhadap aliran Mu‟tazilah yang rasional, maka pada akhir abad ke 3 H
lahirlah golongan Ahlussunnah wal Jamaah yang dipimpin oleh dua ulama besar yaitu Syeikh
Abu Hassan Ali Al Asy‟ari dan Syeikh Abu Mansur Al Maturidi. Perkataan Ahlussunnah wal
Jamaah kadang-kadang disebut sebagai Ahlussunnah saja atau Sunni saja dan kadang-kadang
disebut Asy‟ari atau Asya‟irah dikaitkan dengan ulama besarnya yang pertama yaitu Abu
Hassan Ali Asy‟ari.
Aliran Maturidiyah adalah sebuah aliran yang tidak jauh berbeda dengan aliran
Asy'ariyah. Keduanya lahir sebagai bentuk pembelaan terhadap sunnah. Bila aliran
Asy'ariyah berkembang di Basrah maka aliran Maturidiyah berkembang di
Samarkand.Asy'ari maupun Maturidi bukan tidak paham terhadap mazhab Mu'tazilah.
Bahkan al-Asy‟ari pada awalnya adalah seorang Mu‟taziliy namun terdorong oleh keinginan
mempertahankan sunnah maka lahirlah ajaran mereka hingga kemudian keduanya diberi
gelar imam Ahlussunnah wal Jama‟ah. Sepintas kita mungkin menyimpulkan bahwa
keduanya pernah bertemu, namun hal ini membutuhkan analisa.

1
Firman, Mohammad Yahya, “Perbandingan Aliran Muktazilah, Murjiah dan Asy‟ariyah Tentang Posisi Akal dan
3 1, No. 1 (Juni 2022), Hal. 13-14.
Wahyu”, AJIE: Al-Gazali Journal of Islamic Education, Vol.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Latar belakang ASY’ARIYAH perekembangannya?


2. Bagaimana Latar belakang MATURIDIYAH perekembangannya?

C. Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui Latar belakang ASY’ARIYAH perekembangannya


2. Mengetahui Latar belakang MATURIDIYAH perekembangannya

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar belakang Lahirnya Faham al-Asy’ariyah

Madzhab Asy‟ari atau yang sering disebut dengan madzhab Asy‟ariyah merupakan salah
satu aliran kalam terbesar dalam sejarah kajian teologi islam. Sebutan Asy‟ariyah sendiri
merupakan penisbatan pada pencetus madzhab ini, yakni Abu Hasan Al-Asy‟ari. Nama lengkap
Al-Asy‟ari adalah Abu Al-Hasan „Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin „Abdillah bin
Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy‟ari. 2
Abu Hasan al-Asy‟ari lahir di Basrah pada 260 H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40
Tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun /324 H/935 M. Abu al-Hasan al-
Asy'ari pada mulanya belajar membaca, menulis dan menghafal al-qur‟an dalam asuhan orang
tuanya, yang bertepatan meninggal dunia ketika ia masih kecil. Selanjutnya dia belajar kepada
ulama Hadis, Fiqh, Tafsir dan bahasa antara lain kepada al-Saji, Abu Khalifah al-Jumhi, Sahal Ibn
Nuh, Muhammad Ibn Ya'kub, „Abd al-Rahman Ibn Khalf dan lain-lain. Begitu juga ia belajar
Fiqih Syafi'i kepada seorang faqih: Abu Ishaq al-Maruzi (w.340 H./951 M.) seorang tokoh
Mu‟tazilah di Bashrah. Sampai umur 40 tahun ia selalu bersama Abu „Ali al-Jubbai, serta ikut
berpartisipasi dalam mempertahankan ajaran-ajaran Mu‟tazilah. 3
Karena kemahirannya ia selalu mewakili gurunya dalam berdiskusi. Meskipun demikian
pada perkembangan selanjutnya ia menjauhkan diri dari pemikiran Muktazilah dan condong
kepada pemikiran para Fuqaha dan ahli Hadis, padahal ia sama sekali tidak pernah mengikuti
majlis mereka dan tidak mempelajari „aqidah berdasarkan metode mereka.4 Al-Asy‟ari menganut
paham Mu‟tazilah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba, ia mengumumkan
dihadapan jama‟ah Masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan paham Mu‟tazilah dan
akan menunjukkan keburukan-keburukanya. Menurut Ibnu Asakir, yang melatarbelakangi Al-
Asy‟ari meninggalkan paham Mu‟tazilah adalah pengakuan Al-Asy‟ari telah bermimpi bertemu
dengan Rasulullah SAW,sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan
Ramadhan. Dalam tiga kali mimpinya, Rasulullah SAW memperingatkanya agar segera
meninggalkan paham Mu‟tazilah dan segera membela paham yang telah diriwayatkan dari beliau.
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat
Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil
riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada
sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketiga
pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari
Muktazilah, Al-Asy‟ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia
mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.5

2
Adnin, Muhammad Zein, “Epistemologi Kalam Asy‟ariyah dan Al-Maturidiyah”, AL-HIKMAHi, Vol. 2, No. 1
(Desember-Mei 2020), Hal. 146
3
Supriadin, “Asy-ariyah (Sejarah, Abu al-Hasan al-Asy‟ariyah dan Doktrin-doktrin Teologinya),… Hal. 63.
4
1Beti Mulu, “Al-Asy‟ariyah (Sejarah Timbul, Abu Hasan al-Asy‟ari dan Pokok-Pokok Ajarannya),…Hal 2.
5
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung:5 Puskata Setia, 2006), h. 120
Setelah itu, Abu Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf
dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian
barunya. Dalam kitab AlIbanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin
Hambal. Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah,
Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Alquran,
Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi‟in, serta imam ahli hadits.
Formulasi pemikiran Asy‟ari, secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antar formulasi
ortodoks ekstrem pada satu sisi dan Mu‟tazilah pada sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan
tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat yang
reaksionis terhadap Mu‟tazilah, sebuah reaksi yang tidak bisa 100% menghindarinya.16 Corak
pemikiran sintesis ini, menurut Watt dipengaruhi teologi Kullabiah (teologi sunni yang dipelopori
Ibn Kullab) (w.854 M).
7 Adapun epistemologi kalam Asy‟ari yang terpenting adalah sebagai berikut :
a. Tuhan dan Sifat Sifat-Nya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakalimin mengenai sifat – sifat Allah tidak dapat
dihindarkan meskipun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib hukumnya. Asy‟ari
dihadapkan pada dua pandangan yang ekstrem. Pada satu pihak, ia berhadapan dengan kelompok
sifatiah (pemberi sifat), kelompok mujassimah,dan kelompok musyabbihah yang berpendapat
bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Alquran dan sunnah bahwa sifat-sifat
itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Pada pihak lain, ia berhadapan dengan kelompok
Mu‟tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi -Nya, dan tangan,
kaki,telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi harus dijelaskan
secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok yang berbeda tersebut, Al-Asy‟ari berpendapat bahwa Allah
memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan Mu‟tazilah) dan sifat-sifat itu, seperti mempunyai
tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis (berbeda dengan
pendapat kelompok sifatiah). Selanjutnya, Asy‟ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah unik dan
tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah
berbeda dengan Allah, tetapi sejauh menyangkut realitasnya tidak terpisah dari esensi-Nya.
Dengan demikian, tidak berbeda dengan Nya.6
b. Kebebasan dalam Berkehendak
Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan serta mengaktualisasikan
perbuatanya.Asy‟ari mengambil pendapat menengah di antara dua pendapat yang ekstrem, yaitu
Jabariah yang fatalistic dan menganut paham pra determinisme semata-mata, dan Mu‟tazilah yang
menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatanya
sendiri7. Untuk menengahi dua pendapat diatas, Asy‟ari membedakan antara khaliq dan
kasb.Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah
yang mengupayakanya. Hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu.
c. Akal dan Wahyu dan Kriteria baik dan buruk
Meskipun Al-Asy‟ari dan orang-orang Mu‟tazlah mengakui pentingnya akal dan wahyu,
tetapi berbeda dalam menghadapi persoalanyang memperoleh penjelasan kontradiktif
6
http://syafieh.blogspot.com/2013/04/ahlus-sunnah-wal-jamaah-al-asyaridan.html, 24 feb 2024
7
6 Vidityas TEOLOGI SUNNI: PERBEDAAN TEOLOGI
Nur Annisa Istifarin, Zavira Orcana Nurnajib, M. Alfani, Siti
ASY‟ARI DAN MATURIDI, 2023, vol.+2,+No.+1,+2023,+102-127
dari akal dan wahyu. Al-Asy‟ari mengutamakan wahyu, sementar mu‟tazilah
mengutamakan akal.
d. Qadimnya Alquran
Mu‟tazilah mengatakan bahwa Alquran diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta
pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah
(yang qadim dan tidak diciptakan).Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan
bunyi Alquran adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling
bertentangan itu Asy‟ari mengatakan bahwa walaupun Alquran terdiri atas kata-kata, huruf dan
bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.8
e. Melihat Allah
Al-Asy‟ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem, terutama Zahiriah, yang
menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di
„Arsy. Selain itu, Al-Asy‟ari tidak sependapat dengan Mu‟tazilah yang mengingkari ru‟yatullah di
akhirat. 24 Al-Asy‟ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat,25 tetapi tidak digambarkan.
kemungkinan ru‟yat dapat terjadi ketika Allah menyebabkan dapat dilihat atau Ia menciptakan
kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
f. Keadilan Allah Swt
Pada dasarnya Asy‟ariyah dan Mu‟tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya
berbeda dalam cara pandang makna keadilan. AlAsy‟ari tidak sependapat dengan ajaran Mu‟tazilah
yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi
pahala kepada orang yang berbuat baik. Al-Asy‟ari berpendapat bahwa Allah tidak memiliki
keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Jika Mu‟tazilah mengartikan keadilan dari
visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy‟ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik
mutlak.
g. Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy‟ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu‟tazilah Mengingat kenyataan
bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang harus satu diantaranya. Jika tidak
mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy‟ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa
besar adalah mukmin yang fasik sebagai iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur

7
8
http://syafieh.blogspot.com/2013/04/ahlus-sunnah-wal-jamaah-al-asyaridan.html, 24 feb 2024
B. Latar belakang Lahirnya Faham Muturidiyah
Dalam sejarah Islam, telah berkembang pemikiran teologis yang memadukan rasio, dalil al-
Qur'an, dan hadis untuk memahami akidah Islam. Salah satu mazhab yang populer di mahzab ini
adalah Maturidiyah. Mazhab Maturidyah percaya bahwa akal dan syariah saling melengkapi untuk
mencapai kebenaran ilahi. Sedangkan penamaan Maturidiyah dikaitkan dengan nama pendirinya,
Abu Mansur Al-Maturidi. Sementara itu, Abu Mansur Al-Maturidi adalah seorang pemikir Islam
terkemuka yang lahir di Maturid, Samarkand pada tahun 853 M atau abad ke-3 Hijriah, tepatnya
pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mutawakkil dari Dinasti Abbasiyah. Saat ini, wilayah
Maturid berada di Uzbekistan. Dahulu sekte ini berkembang pesat di Maturid, Samarkand,
sehingga dikenal dengan mazhab Maturidiyah Samarkand. Selain Samarkand, Maturidiyah
berkembang di Bukhara. Kedua tempat ini dipandang sebagai episentrum tumbuhnya aliran
Maturidiyah.
Munculnya Maturidiyah dianggap sebagai respon terhadap perkembangan aliran Mu'tazilah
pada masa Dinasti Abbasiyah. Kaum Mu'tazilah berpandangan bahwa kebena Munculnya Aliran
Maturidiyah dalam Pemikiran Teologi Islam. Munculnya Maturidiyah dianggap sebagai respon
terhadap perkembangan aliran Mu'tazilah pada masa Dinasti Abbasiyah. Kaum Mu'tazilah
berpandangan bahwa kebenaran hanya bisa dicapai dengan akal atau akal manusia. Sementara itu,
Maturidiyah membantah dan menawarkan gagasan bahwa, untuk mencapai kebenaran ilahi,
seorang Muslim tidak bisa hanya berpegang pada akal, tetapi harus mengiringi pertimbangan
rasional dengan syariat Allah SWT.
Dari segi fikih, para penganut Maturidiyah pada masa awal kemunculannya adalah mazhab
Hanafi. Mazhab ini memiliki pengaruh yang besar terhadap mahzab Maturidiyah. Mazhab Hanafi
dikenal sebagai mazhab fikih yang banyak melahirkan pemikiran-pemikiran tentang hukum Islam,
yang disertai dengan pertimbangan-pertimbangan rasional tanpa mengabaikan sumber-sumber
utama dalam syariat.9
Faktor-faktor yang melatar belakangi munculnya pemikiran oleh AlMaturidi sehingga
melahirkan dan berkembangnya Aliran Al-Maturidiyah adalah sebagai berikut..
a) Ketidakpuasan terhadap konsep teologi Mu‟tazilah yang terlalu berlebihan dalam
memberikan otoritas pada akal. Dan pada saat itu popularitas Mu‟tazilah mulai menurun
popularitasnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa judul tulisannya yang secara eksplisit
menggambarkan penolakannya terhadap Mu‟tazilah, seperti Kitab Radd Awa‟il al-Adillah li al-
Ka‟bi, Kitab Radd Tahdhib al-Jadal li al-Ka‟bi dan Kitab Bayan Wahm al-Mu‟tazilah. Dan pada
saat yang sama al-Maturidi juga tidak puas atas konsep teologi ulama salaf yang mengabaikan
penggunaan akal.
b) Kekhawatiran atas meluasnya ajaran Syi‟ah terutama aliran Qaramithah yang dengan
keras menentang ulama-ulama salaf. Khusus di wilayah Asia Tengah aliran ini banyak
dipengaruhi oleh paham Mazdakisme, sebuah aliran komunis yang dicetuskan oleh Mazdak bin
Bambadh seorang reformis militan pada abad ke-5 M pada masa kekuasaan Sasania. Ajaran
aliran ini terkait dengan Manichaeism sebuah ajaran yang merupakan percampuran antara ajaran
9
Ananda Devi Nur Islamiyah, Munculnya Aliran Maturidiyah, diakses tanggal 18-02-2024 (14.44) pada
8
https://www.laduni.id/post/read/73876/munculnya-aliran-maturidiyah-dalampemikiran-teologi-islam
Kristen dengan Zoroaster dan ajaran-ajaran Budha.10 Kitab al-Radd ‘ala Qaramitah yang ditulis
oleh al-Maturidi merupakan suatu indikasi akan kekhawatirannya atas pengaruh ajaran ini pada
masyarakat.
Terdorong oleh kedua faktor tersebut, al-Maturidi kemudian bangkit mengembangkan
metode sintesis al-Naql dan al-aql dalam pemikiran kalam, jalan tengah antara aliran rasional ala
Mu‟tazilah dan aliran tradisional ala Hambali. Dalam pemikiran teologinya, al-Maturidi yang
merupakan pengikut Abu Hanifah, memberikan otoritas yang cukup besar pada akal, paling tidak
bila dibandingkan dengan al-Asy‟ari yang juga dikenal sebagai tokoh yang memadukan antara al-
aql dan al-naql dalam teologinya. Misalnya, baik dan buruk dapat diketahui melalui akal meski
tak ada wahyu, karena baik dan buruk dinilai berdasarkan substansinya, demikian menurut al-
Maturidi. Sedangkan menurut alAsy‟ari, baik dan buruk dinilai menurut Syara‟. 11

10
James Hansting (ed.), Encyclopaedia of Religion & Ethics, (New York: Charles Scribner‟s Sons, t.th), Vol. 8, hlm.
508-509
11
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: 9 Dari Khawarij Ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi,
(Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), hlm. 99-100.
C. Ide Pokok Aliran al-Maturidiyah
1. Akal dan Wahyu
Kebaikan dan keburukan menurut akal bagi kaum Maturidiyah Samarkand ada tiga bagian.
Sebagian adalah suatu perbuatan yang kebaikannya dapat diketahui oleh akal. Sebagian yaitu
perbuatan yang keburukannya dapat diketahui oleh akal. Dan sebagian lagi adalah perbuatan yang
tidak jelas kebaikan dan keburukannya bagi akal. Kebaikan dan keburukan yang terakhir ini hanya
dapat diketahui melalui syara‟. Menurut aliran Mu‟tazilah bahwa apa yang diketahui kebaikannya
oleh akal, maka harus dikerjakan berdasarkan perintah akal. Begitu juga jika diketahui
keburukannya, maka harus ditinggalkan berdasarkan keharusan akal. Al-Maturidi tidak mengikuti
aliran Mu‟tazilah, tetapi mengikuti pendapat Abu Hanifah, yang mengatakan bahwa meskipun akal
sanggup mengetahui, namun datangnya perintah yang diwajibkan itu dari syara‟, karena akal tidak
dapat bertindak sendiri dalam kewajiban-kewajiban agama dan yang mengeluarkan perintah-
perintah agama hanyalah Tuhan. Aliran Maturidiyah juga tidak sejalan dengan Aliran Asy‟ariyah
yang mengatakan bahwa sesuatu tidak mempunyai kebaikan atau keburukan. Kebaikan ada karena
adanya perintah syara‟, begitu pula keburukan juga ada karena adanya larangan syara‟. Kebaikan
dan keburukan itu tergantung kepada Tuhan. Jadi, Maturidiyah berada di tengah-tengah antara
Mu‟tazilah dan Asy‟ariayah.12
2. Perbuatan Manusia
Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan
mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Ini sependapat dengan Mu‟tazilah namun dalam porsi
yang lebih kecil, mereka mengatakan bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatan-
perbuatannya. Dengan demikian pula ini sejalan dengan paham Qadariyah ataupun Mu‟tazilah
bukan paham Jabariyah ataupun Asy‟ariyah. Dalam masalah pemakaian daya ini, Al-Maturidi
membawa paham Abu Hanifah, yaitu adanya masy‟iyah (kehendak) dan rida (kerelaan).
Kebebasan manusia dalam malakukan baik dan buruk tetap dalam kehendak Tuhan, tetapi memilih
yang di ridhoi-Nya atau tidak di ridhoi-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan
Tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaanNya.
3. Sifat Manusia
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan antara pemikiran Al-
Maturidi dengan Al-Asy‟ari. Seperti halnya Al-Asy‟ari, ia berpendapat bahwa Tuhan memiliki
sifat-sifat. Kaum Maturidiyah golongan Bukhara, juga sebagaimana kaum Asy‟ariyah, mereka
berpendapat bahwa Tuhan itu mempunyai sifat-sifat. Sifat-sifat itu kekal karena kekekalan yang

12 10
A. Mustajib, Akidah Akhlak II, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997), hlm. 88.
terdapat pada esensi Tuhan dan bukan karena kekekalan sifat-sifat itu sendiri. Tuhan bersama
sifatnya itu kekal, tetapi sifat-sifat itu jika sendiri maka tidak kekal.
4. Melihat Tuhan
Mengenai hal ini, Mu‟tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat, sebab Tuhan
bersifat immateri, karena itu tidak mengambil tempat. Hanya yang bersifat materi sajalah yang
dapat dilihat. Maturidiyah Samarkand maupun Bukhara berpendapat sama dengan Asy‟ariyah dan
berbeda dengan Mu‟tazilah. Mereka mengatakan bahwa Tuhan akan dapat dilihat dengan mata,
kepala di akhirat nanti. Ini karena tuhan memiliki sifat-sifat antropomorphis (tajassum) walaupun
sifat tersebut tidak sama dengan sifat jasmaniah manusia yang ada dalam alam materi ini.
Walaupun Tuhan bersifat immateri, dengan kekuasaan Tuhan maka tidak mustahil manusia dapat
melihat Tuhan di akhirat nanti. Mereka juga berargumen bahwa yang tak dapat dilihat itu hanya
yang tidak memili wujud, yang memiliki wujud pasti dapat dilihat. Dan Tuhan itu berwujud,
karena itu Tuhan pasti dapat dilihat.
5. Kedudukan Al-Qur‟an
Mengenai kedudukan Al-Qur‟an, Aliran Maturidiyah sebagaimana Asy‟ariyah berpendapat
bahwa Al-Qur‟an (Kalamullah) itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim. Al-Qur‟an sebagai
manifestasi sabda Tuhan, berdiri pada zat dan azalinya Dzat. Sedangkan huruf dan suara adalah
baru. Al-Qur‟an kekal bersama kekalnya Dzat, sedangkan kalimat-kalimat yang menunjukkan
kepada makna kalam adalah bersifat baru. Jadi, Al-Qur‟an yang berupa huruf, lafadz, dan susunan
kalimat yang menunjukkan arti keazalian adalah baru.13
6. Pelaku Dosa Besar (Murtakib al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di
dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan sudah menjanjikan akan
memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah
balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Berbuat dosa besar selain syirik tidak akan
menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain
syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup
dengan tashdiq dan iqrar. Adapun amal adalah penyempurna iman. Oleh karena itu, amal tidak
akan mengurangi atau menambah esensi iman.
7. Pengutusan Rasul
Akal tidak akan selamanya mengetahui kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada
manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari syariat yang
dibebankan kepada manusia. AlMaturidi berpendapat bahwa akal memerlukan bimbingan ajaran
wahyu untuk dapat mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan rasul adalah hal
yang niscaya yang berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang
13 11
Syahrin Harahap, Ensiklopedi Akidah Islam, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 374
disampaikan rasul, berarti manusia membebankan akalnya pada sesuatu yang berada diluar
kemampuannya. Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Mu‟tazilah
yang berpendapat bahwa pengutusan rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan,
agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya dengan ajaran para rasul. Bagi
kaum Maturidiyah Bukhara, pengiriman rasul kepada manusia itu hanya bersifat mungkin saja.
Bukan bersifat wajib bagi Tuhan, sebab Tuhan itu mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak.
Tuhan berkuasa mengirimkan rasul-rasul dan Tuhan juga berkuasa tidak berkehendak
mengirimkan rasul-rasulatau disebut muhaddisy.14

14 12 hlm. 130
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2001),
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Madzhab Asy‟ari atau yang sering disebut dengan madzhab Asy‟ariyah merupakan salah satu
aliran kalam terbesar dalam sejarah kajian teologi islam. Penamaan Asy‟ariyah sendiri
merupakan penisbatan pada pencetus madzhab ini, yakni Abu Hasan Al-Asy‟ari. Nama lengkap
Al-Asy‟ari adalah Abu Al-Hasan „Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin „Abdillah bin
Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy‟ari. Lahir di Basrah pada 260 H/875 M.
Mazhab Al-Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, Al-Maturidi yakni Abu Mansur
Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-Hanafi al-Maturidi alSamarkandi. Beliau dilahirkan
di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Transoxiana di Asia Tengah, daerah
yang sekarang disebut Uzbekistan. Asy‟ariyah menggunakan konsep atom dan teori wajib
mumkin dalam upaya memperkuat keyakinan akan keberadaan tuhan mereka. Asy‟ari
mengganggap tuhan memiliki kekuasaan absolut dalam melakukan segala perbuatan sesuai
kehendak-Nya.
Maturidiyah memiliki pandangan yang terletak di antara Asy‟ariyah dan Mu‟takzilah. Dalam
hal pemahaman baik dan buruk, kalam nafsy, kekuasaan manusia, perbuatan Tuhan sebagai
pencipta alam, dan pengabulan janji-Nya, terdapat perbedaan antara Maturidiyah dan
Asy'ariyyah. Namun, dalam hal Sifat Tuhan, Maturidiyah kemudian membatasi permasalahan
tersebut dengan menyatakan bahwa "Sifat-sifat Tuhan adalah sifat-sifat-Nya" dan tidak lebih dari
itu.
B. Saran
Dalam makalah ini tentunya ada banyak sekali koreksi dari para pembaca, karena kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca yang dengan itu semua kami harapkan makalah ini
akan menjadi lebih baik lagi.

13
Daftar Pustaka

Mustajib, 1997, Akidah Akhlak II, Jakarta: Direktorat Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam
Abu Zahrah, Pent: Abdul Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, 1996, Aliran Politik dan
Aqidah dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing House.
Adnin, Muhammad Zein, “Epistemologi Kalam Asy‟ariyah dan Al-Maturidiyah”, AL-
HIKMAHi, Vol. 2, No. 1 (Desember-Mei 2020), Hal. 146.
M. Yunan Yusuf, 2014, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: Dari Khawarij Ke Buya
Hamka Hingga Hasan Hanafi, Jakarta: Prenada Media Grup.
Mulu, Beti. “Al-Asy‟ariyah (Sejarah Timbul, Abu Hasan al-Asy‟ari dan PokokPokok
Ajarannya), Al-Adl, Vol. 8, No. 1 (2008), Hal 1

Anda mungkin juga menyukai