Anda di halaman 1dari 21

TASYRI’ ABAD KE EMPAT SAMPAI RUNTUHNYA ABBASIYA

Di Susun Guna Memenuhi

Tugas Mata Kuliah Tarikh Tasyri”

DosenPengampu :

H. Ahmad Munadirin, M.Pd.I

DisusunOleh :

1. Khusni Mubarok (21111519)

2. M. Luthfi Aris (21111509)

PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ISLAM KENDAL
TAHUN AKADEMIK 2022
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq,
hidayah, dan inayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini tanpa
halangan suatu apapun.
Tak lupa penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad
SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak. Penulisan makalah berjudul
“Tasyri‟ Pada Abad Ke-4 sampai runtuhnya Abasiyah bertujuan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Tarikh Tasyri‟.
Dalam penyusunan makalah ini, kami banyak mendapat bantuan dan bimbingan serta
dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu saya menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr.H.Ahmad Tantowi,M.Si.,M.Pd. selaku Ketua Sekolah Tinggi Islam Kendal
(STIK) yang telah memberikan kesempatan untuk membuat makalah ini.
2. Bapak H. Ahmad Munadirin, M.Pd.I Selaku Dosen Pengampu mata kuliah Tarikh Tasri‟
yang telah memberikan banyak pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan makalah
ini.
3. Semua pihak yang berperan dalam proses penyusunan makalah ini. Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Besar harapan penulis agar pembaca
berkenan memberikan kritik dan saran demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini
bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Kendal, 14 Mei 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………..……..………………………………
KATA PENGANTAR……………………………………..……..…………………………….….
DAFTAR ISI…………………………………………………...………………………………….

BAB I PENDAHULUAN……………………………...…………………………………………..
A. Latar Belakang……………………..…………..…………………………………………...
B. Rumusan Masalah……………………..………..…………………………………………..
C. Tujuan Penulisan………………………..……..……………………………………………
D. Manfaat Penulisan…………………………………………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………..……….…...
A. Pengertian Tarikh Tasyri‟……….…….………...……………...……………...…………...
B. Tasyri‟ Pada Abad keempat……………..……………………………...…………………..
C. Runtuhnya Khalifah Abbasiyah………..…………............………………………..….……

BAB III PENUTUP……………………………………………..…….…………………………...


A. Simpulan…………………………………………….…...…………………………………
B. Saran……………..………………………………....………………………………………

DAFTAR PUSTAKA……………………………..……………………………………….………
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Syari‟at Islam yang sampai kepada kita adalah yang diturunkan melalui ḥatam al-nabiyyin,
yaitu Nabi Muhammad SAW, dengan sumber utama yaitu al-Qur‟an. Kemudian sumber utama
tersebut, beliau terjemahkan dengan sunnahnya, baik dalam bentuk ucapan, perkataan, maupun
penetapan.1

Karena itulah otoritas utama dalam legislatif (pembuat undangundang), pada periode Nabi
Muhammad berada pada tangan Nabi Muhammad sendiri, dan tidak seorangpun selain Nabi
Muhammad diperbolehkan berijtihad sendiri, untuk menentukan suatu permasalahan hukum,
baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain.2Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa
dalam masa ini telah terjadi ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat, yaitu dalam bentuk
penerapan hukum (taṭbiq). Oleh karena itu, produk ijtihad para sahabat belum menjadi ketetapan
hukum (tasyri‟) yang menjadi pedoman bagi umat, kecuali setelah adanya legitimasi, dari Nabi
Muhammad SAW. Dengan demikian, sumber hukum pada masa ini hanya al-Qur‟an dan al-
Hadis.3

Setelah Nabi Muhammad SAW wafat maka berakhirlah periode pewahyuan, maka
otoritasnya beralih ke tangan para sahabat Nabi. Oleh karena itu para sahabat memainkan peran
yang siginifikan dalam membela dan mempertahankan agama. Para sahabat tidak hanya
mempertahankan “tradisi hidup Nabi”, tetapi juga menyebarkan dakwah Islam melintasi
semenanjung arabia. Dalam hal ini untuk pertama kalinya fiqih berhadapan dengan permasalahan
baru, meliputi penyelesaian atas masalah etika, moralitas, kultural, dan kemanusiaan dalam
masyarakat yang plural. 4

Daerah-daerah yang “diislamkan” pada saat itu memiliki perbedaan masalah tradisi, kultural,
kondisi dan situasi yang menghadang para ahli fiqih di kalangan sahabat untuk memberikan
“kepastian hukum” pada masalah-masalah baru yang muncul belakangan. Kapasitas pemahaman

1
Muhamad Khudari Beik, Usul al-Fiqh, (Deirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 3
2
Abd al Wahhab Khallaf, Khulasah Tārikh Tasyri’ al-Islām, alih bahasa Aziz Mashuri, (Solo: Ramadan, 1990), hlm. 11.
3
Direktoral Pembinaan PTAI, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Proyek Pembinaan PTAI/IAIN, 1981), hlm. 16.
4
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 33
yang komperhensif yang dimiliki para sahabat terhadap Islam karena intens dan lamanya
berkomunikasi dengan Nabi Muhammad dengan menyaksikan sendiri proses turunya syari‟at
merespon setiap masalah yang muncul dengan merujuk al-Qur‟an dan Sunnah. Para sahabat
menggali dimensi etis al-Qur‟an, adakalanya mereka menemukan naṣ al-Qur‟an atau Sunnah
Nabi yang secara jelas menunjukan pada permasalahan itu, akan tetapi dalam banyak hal para
sahabat harus menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema di alQur‟an
untuk diterapkan terhadap kasus-kasus yang tidak ada naṣ nya. Perkembangan baru seiring
perluasan teritorial Islam itu, sangat membantu dalam memperkarya kekayaan fiqih, mulailah
terjadi perbedaan interprestasi terhadap naṣ sebagaimana perbedaan itu muncul dikarenakan
perbedaan pendapat dan persepsi.

Berangkat dari pemaparan diatas, metodologi pemikiran hukum Islam yang digunakan
Ibrahim Hosen dalam rangka penggalian hukum untuk berfatwa merupakan penelitian yang
menarik. Apakah beliau dalam berfatwa telah berdasaran dengan kaidah-kaidah istinbat hukum
sehingga hasil ijtihadnya menjadi valid. Disamping itu penulis memilih Ibrahim Hosen dalam
kajian ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Pertama, untuk mengkritisi asumsi yang telah
ada bahwa Ibrahim Hosen adalah ahli dan pakar ilmu al-Qur‟an, ushul fiqih sekaligus fiqih
perbandingan madzhab. Kedua, pemikiran hukum Islam Ibrahim Hosen menarik untuk diteliti,
karena pendapat dan pandangannya kadang berbeda dengan mainstream pemikiran yang telah
ada, khususnya di Indonesia. Hal ini mendorong minat untuk dianalisis dan dikaji.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Tasyri‟ Pada abad keempat?

2. Bagaimana Runtuhnya Dinasti Abasiyah?

C. Tujuan Penulisan

1. Utntuk mengetahui bagaimana tasyri‟ pada abad keempat

2. Untuk mengetahui bagaimana runtuhnya Abasiyah


BAB II

PEMBAHASAN

A. Tasyri’ Pada Abad Ke Empat

Kemenangan Bani Abbas (Abu Abbas As-Safah) atas Bani Umayah tidak lepas dari peran
serta dan bantuan kaum Syi‟ah. Namun sayang, setelah berkuasa, Syi‟ah dinistakan oleh Bani
Abbas. Ibarat peribahasa, air susu dibalas air tuba. Syi‟ah, yang saat memerangi bani Umayah
merupakan sekutu yang paling besar jasanya disingkirkan dari kancah politik dan kekuasaan,
bahkan dianggap musuh yang harus dimusnahkan setelah Abbasiyyah berhasil mengalahkan
Umayyah. 5

Daulat Abbasiyyah didirikan oleh Abu al-Abbas (750-754 M), dan Irak menjadi panggung
drama besar dinasti ini. Ketika pidato pertamanya di hadapan umat Islam, Abu al-Abbas
menyebut dirinya sebagai al-saffah (penumpah darah), yang kemudian menjadi pertanda buruk
bagi dinasti ini, karena julukan tersebut mengisyaratkan lebih mengutamakan kekuasaan dalam
menjalankan kebijakannya. Menurut Philip K. Hitti, baru pertama kali dalam sejarah peradaban
Islam, di sisi singgasana khalifah terdapat karpet yang digunakan sebagai tempat eksekusi. Selain
itu, dinasti ini juga menggantikan pemerintahan sekuler (al-mulk) Umayyah dengan negara
teokrasi, 6dan bergesernya pengertian khalifah dari pengganti Rasulullah ketika masa khulafa‟ al-
rasyidin menjadi wakil Tuhan di bumi. 7

Setelah Abu al-Abbas turun tahta, kekuasaan digantikan saudaranya alManshur (754-775),
yang terus melengkapi imperial absolitis Abbasiyyah. 8Al-Manshur juga mengembangkan sistem
administrasi pemerintahan, sehingga di sekeliling khalifah terdapat staf administrasi yang bisa
ditunjuk langsung olehnya. Ia mengembangkan tiga biro istana, yaitu biro arsip dan persuratan,
perpajakan, dan pengeluaran istana. Selain itu, ditunjuk pula beberapa qhadi dari para fuqaha‟
yang bertugas untuk menerapkan hukum Islam di masyarakat. Dari sini pula kemudian muncul
wazir yang bertugas sebagai pengontrol terhadap tugas-tugas birokrasi.9Al-Manshur yang

5
Karen Amstrong, Islam: Sejarah Singkat. Penerjemah Fungky Kusnaedy Timur, (Yogyyakarta: Jendela, 2003), h. 63.
6
Philip K. Hitti, History of Arab, h. 358.
7
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, h. 114.
8
Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam II, h. 72.
9
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, h. 118.
mempunyai nama Abu Ja‟far inilah, menurut Philip K. Hitti, khalifah yang benar-benar
membangun dinasti baru ini. 10

Setelah al-Manshur mangkat dari kekuasaannya, khalifah digantikan oleh anaknya Al-Mahdi
(775-785), yang dalam masa kekuasaannya sibuk memerangi pengaruh agama Mani
(Manicheanisme). Mani sendiri mendapatkan momentumnya bagi anggota-anggota istana yang
jenuh dengan kehidupan duniawi, sedangkan dalam pandangan orang-orang Islam yang canggih
justru menimbulkan kebencian.11Dalam hal inilah, Al-Mahdi menunjukkan kecenderungannya
untuk memurnikan ajaran Islam dari pengaruh-pengaruh ajaran tersebut.

Setelah Al-Mahdi, kekuasaan dilanjutkan oleh anaknya Harun al-Rasyid, yang sejak awal
dipercayakan pendidikannya kepada putra Khalid ibn Barmak, Yahya. 12Harun Al-Rasyid
memerintah sejak tahun 786 sampai 809 M. Ia memiliki corak kepemimpinan seperti seorang
raja absolut gaya lama, dan ciri pemerintahannya selalu mengagungkan kemewahan dan
kemegahan. Khalifah tidak langsung mengurusi permasalahan rakyat, tetapi diserahkan kepada
para staf kerajaan. Sementara khalifah sendiri bertugas untuk meningkatkan kewibawaan
kerajaan, dengan memimpin shalat Jum‟at atau memimpin peperangan. Salah satu ciri dari
pemerintahan Harun al-Rasyid ini adalah para prajurit dan tentara tidak lagi berasal dari tentara
rakyat, tetapi didominasi oleh orang-orang Persia.13

Namun, salah satu sisi positif Harun al-Rasyid dan membuatnya terkenal sampai saat ini
adalah kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan dan kesenian. Pada masanya tersebut terjadi
kebangkitan besar dalam kebudayaan Islam: Kritik sastra, filsafat, puisi, kedokteran, matematika,
dan astronomi. Selain itu, dibangun pula Baitul Hikmah, sebagai pusat ilmu pengetahuan.14 Para
ulama, filosof pengarang dan penerjemah pun mendapat posisi yang tinggi dan digaji oleh
kerajaan. Dalam fase ini, dilakukan penerjemahan secara besar-besaran teks filsafat dan
kedokteran Hellenisme klasik dari Yunani dan Syiria ke dalam bahasa Arab.15Selain itu, dalam
masa Abbasiyyah ini lahir tokoh-tokoh, seperti alFarabi, ibn Sina, al-Jabar, Ibn Hayyan dll. Para
khalifah Bani Abbas betul-betul memanjakan ulama, bahkan seringkali khalifah memberikan
10
Philip K. Hitti, Philip K. Hitti, History of Arab, h. 360.
11
Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam II, h. 75-76
12
Philip K. Hitti, The History of Arab, h. 365-366.
13
Philip K. Hitti, The History of Arabs, h. 367.
14
M. Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1988), h. 55
15
Karen Armsrong, Islam: Sejarah Singkat, h. 66
hadiah-hadiah kepada para ulama untuk penghormatan kepada mereka. Maka, pada masa itu
berkembanglah berbagai bidang ilmu, seperti filsafat, hukum, kedokteran, bahasa, kimia,
astronomi, dll. 16

Pada masa khilafah Abbasiyah, Mu‟tazilah (sebagai madzhab rasional) pernah mendominasi
kekuasaan dinasti Abbas. Buruknya pemerintahan Bani Abbas adalah terlalu pilih kasih pada
ulama. Ulama yang loyal terhadap pemerintahannya, akan dimanjakan dengan kedudukan dan
harta, tetapi ulama yang mengkritik dan berseberangan dengan kepentingan penguasa akan
dikucilkan.

Para khalifah di masa Bani Abbasiah mudah terpengaruh, ditunggangi dan diperalat oleh
ulama sekelilingnya untuk menghancurkan faham yang berseberangan dengan pendapat ulama
tersebut. Mu‟tazilah misalnya, pernah memaksakan kehendak dengan menggunakan kekuasaan
pemerintahan terhadap ulama sunni yang berseberangan pendapat dengan mereka, khususnya
dalam masalah bahwa al-Qur‟an itu adalah hadis (baru) yakni diciptakan Allah, seperti halnya
makhluk lain, berbeda dengan pendapat Sunni yang mengatakan bahwa al-Qur‟an itu adalah
qadim (lama) dan telah ada sejak zaman azali. Peristiwa itu dinamakan dengan peristiwa mihnah.
Banyak ulama sunni yang menjadi korban, diantaranya adalah imam Hambali. Dan peristiwa
mihnah ini menjadi bumerang bagi mu‟tazilah. Adanya demonstrasi besar-besaran dari
masyarakat atas tindakan sewenang-wenang khalifah yang – dimotori oleh Mu‟tazilah atas diri
ulama-ulama karismatik – nota bene merupakan pimpinan dari masyarakat. Lambat laun
pengaruh dan eksistensi Mu‟tazilah setelah peristiwa mihnah ini redup dan akhirnya menghilang.

Hal yang sama juga diterima oleh ulama lain, seperti Abu Hanifah yang didera karena
menolak jadi qadhi – perlu diingat kembali bahwa Abu Hanifah menerima perlakuan yang tidak
mengenakkan dari dua kekuasaan, yakni Bani Umayah dan Bani Abbas –, demikian juga hal ini
terjadi pada Imam Malik yang mengalami nasib sama, didera dihadapan publik karena fatwanya
yang diangap menggangu stabilitas negara. Imam Malik memfatwakan bahwa bai‟at yang
diikrarkan oleh masyarakat dengan cara paksa adalah tidak sah.

Berlainan dengan gurunya, Abu Hanifah, Abu Yusuf bersikap lebih kooperatif dengan
kekuasaan, walaupun hal ini dilakukan setelah gurunya meninggal dunia. Abu Yusuf diangkat

16
Philip K. Hitti, The History of Arab, h. 454;
menjadi qadhi, kemudian mendirikan lembaga qadhi al-qudhat, setingkat Mahkamah Agung.
Dan Abu Hanifah memberikan kontribusi pemikiran dalam administrasi negara, khususnya
dalam masalah keuangan dan pengelolaan dana negara. Ia merumuskan peraturan tentang
pengelolaan kekayaan negara agar terhindar dari penyelewengan. Buku yang beliau tulis diberi
nama “al-Kharraj”.

Di samping masalah itu, Abu Yusuf memanfaatkan jabatannya sebagai qadhi al-qudhat yang
berhak mengangkat dan memberhentikan hakim, untuk mengisi jabatan hakim di daerah-daerah
kekuasaan Bani Abbas dengan hakim yang semazhab dengannya. Ia menggunakan lembaga
kehakiman sebagai sarana terbaik untuk mensosialisasikan madzhab Hanafiyah, sehingga
tersebarlah madzhab ini ke berbagai daerah.

Zaman ini sering disebutkan oleh para sejarawan sebagai the golden age atau masa
keemasan, karena begitu pesatnya ilmu pengetahuan. Dalam bidang fiqh saja ribuan ulama
tampil kedepan. Yang memenuhi kriteria sebagai mazhab fiqh mencapai 13 madzhab fiqh, yaitu:

1. Ja‟far ash-Shiddiq (80 H)

2. Abu Said Hasan ibn Yasar al-Basri (110 H)

3. Abu Hanifah al-Nu‟man (150)

4. Al-Auzai Abu Amar Abd Rahman (157 H)

5. Sufyan ibn Said al-Tsauri (160 H)

6. Al-Laits ibn Sa‟id ( 175 H)

7. Malik bin Anas (179)

8. Sufyan bin Unainah (198 H)

9. Muhamad Idris as-Syafi‟i (204 H)

10. Ahmad bin Muhammad bin Hambal (241)

11. Daud ibn Ali ashbahani ad-Dzahiri (270 H)


12. Ishaq ibn Rahawaih (238 H)

13. Abu Tsaur Ibrahim ing Khalid al-Kalabi (240 H)

Namun, sayangnya ketigabelas mazhab fiqh ini sebagian memang masih ada, tapi sebagian
lagi sudah hilang. 17 Sementara mazhab fiqih yang masih dikenal hingga saat ini hanya tinggal
beberapa saja, di antaranya yang terkenal adalah mazhab Ja‟fari (dari kalangan Syiah), mazhab
Malikiyyah, Hanafiyyah, Syafi‟iyyah dan Hanabilah

1. Madzab Hanafi

Pendiri mazhab ini adalah Abu Hanifah an-Nu‟man bin Tsabit bin Zufiat at-
Tamimi (80-150H/699-767M), yang berasal dari Kufah dan berkebangsaan Persia. Pada
masa itu, ada empat orang sahabat yang masih hidup, yakni Anas bin Malik di Basrah,
Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Sahal ibn Sa‟d al-Sa‟idi di Madinah, dan Abu Tufail di
Makkah. Beliau bergaul dengan kalangan pebisnis di Kufah, selain juga banyak para
ulama dan fuqaha. 18

Beliau sangat rajin belajar sejak kecil. Semua bidang pengetahuan digelutinya.
Guru beliau di Kufah adalah Anas bin Malik, Abdullah bin Auf, Abu Tufail, Hammad
bin Sulaiman. Beliau pernah belajar di Makkah dengan muridmuridnya Abdullah bin
Abbas. Selain faqih, beliau juga seorang yang zuhud dan tawadhu, dan menjauhkan diri
dari kekuasaan. Beliau adalah orang yang kuat pendiriannya dan karena ketegasannya,
beliau tak disenangi oleh pemerintahan dan justru menjadi bulan-bulanan politik dua
kekuasaan yakni Bani Umayah dan Bani Abbas. 19

Dalam mengistinbathkan hukum, Abu Hanifah berpegang pada al-Qur‟an dan


sangat berhati-hati dalam menggunakan Sunnah. Selain itu, ia banyak menggunakan
20
qiyas, istihsan, dan urf. Menurut Manna‟ al-Qatthan, Abu Hanifah juga sering
menggunakan hilu al-syariah, yang digunakannya ketika kondisi dan keadaan
mendesak.30 Belakangan diketahui bahwa Imam Abu Hanifah juga mengumpulkan hadis

17
Ibn Nadim, al-Fihrasat, h. 71-72
18
Manna’ al-Qhattan, Tarikh Tasyri’ al-Islami, h. 328-329
19
Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 95-97
20
Jalaluddin Rahmat, Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh, h. 275.
dalam sebuah buku yang disebut Musnad Abu Hanifah. Madzhab Hanafiyyah banyak
dianut oleh umat Islam di Pakistan, India, Afganistan, Turki, Asia Tengah, Mesir, Brazil
dan Amerika Latin.

2. Madzhab Maliki

Mazhab ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas (93-178H/ 712-795M), yang
sejak lahir sampai meninggal beliau tidak pernah meninggalkan Madinah. Guru yang
dianggapnya paling berpengaruh adalah Abdullah ibn Yazid ibn Hurmuz, seorang tabi‟in
muda. Di antara gurunya juga adalah Nafi‟, tabi‟in tua dan budak dari Abdullah bin
Umar. Selain kedua tokoh di atas, guru-guru Malik kebanyakan dari tabi‟in muda, seperti
Ibn Syihab al-Zuhry, Rabiah ibn Abu Abdurrahman, Abu al-Ziyad ibn Zakwan, dan
Yahya ibn Sa‟id al-Anshary. 21

Beliau belajar al-Qur‟an, hadis dan fiqh dari para sahabat. Ia sangat hatihati dalam
memberikan fatwa, dan sebelum memutuskan fatwa, terlebih dahulu ia melakukan
penelitian terutama dalam masalah hadis. Ia punya tujuh puluh teman untuk
mendiskusikan suatu pendapat. Keuletannya dalam bidang hadis tidak diragukan lagi dan
hafalannya tergolong sangat kuat.22

Karyanya dibidang hadis ini adalah kitab al-Muwatha‟ yang merupakan kitab
hadis dan sekaligus fiqh. Muwatha‟ adalah kitab hadis yang pertama kali ditulis dan
sampai kepada kita. Dan kitab ini pernah diminta oleh Harun alRasyid untuk dijadikan
rujukan resmi, namun beliau tolak. Murid beliau sangat banyak, salah satunya adalah
Imam Asy-Syafi‟i. Sumber hukum madzhab Malik adalah: al-Qur‟an, Sunnah, ijma ahli
Madinah, fatwa sahabat, qiyas, maslahah al-mursalah, khabar ahad, istihsan, sadd al-
zara‟i, mura‟at al-khilaf mujtahidin, istishab, dan syar‟ man qablana.23 Mazhab Maliki
tersebar di Maroko, al-Jazair, Mesir, Tunisia, Sudan, Spanyol (dulu), Kuait, Qatar dan
Bahrain.

21
Yasin Dutton, Asal Musal Hukum Islam: Al-Qur’an, Muwatta’, dan Praktik Madinah, h. 19
22
Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 105.
23
Jalaluddin Rahmat, Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh, h. 276.
3. Madzhab Syafi‟iyah

Pendiri mazhab ini adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟i (150-H/769- 820M).
Beliau lahir di jalur Ghazza, bertepatan dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah. Sejak
kecil ia sudah yatim dan hidup dalam kemiskinan. Namun hal tersebut tidak menjadikan
hambatan baginya untuk belajar dan menguasai ilmu pengetahuan. Sejak usia dini beliau
sudah hafal al-Qur‟an, dan banyak hadis. Pada usia 20 tahun, ia pergi ke Hijaz untuk
belajar hadis dan fiqh kepada Imam Malik, kemudian pergi ke Irak untuk mempelajari
fiqh kepada muridmuridnya Abu Hanifah. Ia pernah melawat ke Yaman dan mengajar di
sana. Harun al-Rasyid pernah mendengar kehebatan beliau, kemudian dipanggil ke
Baghdad untuk mengajar. Di Baghdad inilah, beliau mengeluarkan qaul qadimnya.
Kemudian ia hijrah ke Mesir dan mengajar di masjid Amru bin Ash. 24

Di Mesir, beliau merevisi pemikirannya yang disebut qaul jadid. Imam Syafi‟i
adalah orang yang sangat produktif. Banyak buku yang ia tulis, diantaranya al-Umm dan
al-Risalah Amali Kubro. Beliau adalah orang yang pertama kali meletakkan dasar dan
menulis Ushul fiqh. Dibidang hadis, beliau menulis Musnad Syafi‟i, beliau juga dijuluki
dengan Nashiru as-Sunnah, karena pembelaan beliau yang luar biasa terhadap orang-
orang yang hadis dan mencampakkan hadis.

Murid-murid beliau yang terkenal adalah: Muhammad bin Abdullah bin al-
Ahkam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya al-Muzani, Abu Ayub Yusuf alBuwaithi.
Sumber hukum yang menjadi pegangan madzhab Syafi‟i ini adalah: al- Qur‟an, sunah,
ijma, qiyas, istidlal. Imam Syafi‟i adalah orang yang menggempur habis istihsan yang
pemakaiannya secara membabi buta. Para pengikutnya tersebar di Afrika utara, Mesir,
Saudi Arabia, Yaman, Libanon, Palestina, Irak, Pakistan, Indonesia, Malaysia, Brunei,
Pattani (Thailand), Srilanka

4. Madzhab Hambali

Pendirinya adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal as-
Syaibani (164-241H /780-855M). Beliau lahir di Bagdad sebagai kiblat ilmu pada saat

24
Manna’ al-Qatthan, Tarikh Tasyri’ al-Islami, h. 358-361.
itu. Sama dengan Syafi‟i, beliau adalah anak yatim. Sejak kecil, ia memiliki sifat-sifat
yang mulia. Ia sudah hafal al-Qur‟an sejak belia, kemudian belajar bahasa Arab, hadis,
fiqh, dan sejarah. Dalam proses belajar beliau banyak melanglang buana ke Basrah, di
sini ia berguru kepada Imam Syafi‟i, kemudian pergi ke Yaman dan Mesir. Guru-guru
beliau adalah Yusuf al-Hasan bin Zaid, Husyaim, Umar, Ibn Hummam, dan Ibn Abbas.
Karya Ilmiah yang beliau tulis adalah Musnad Ahmad Bin Hanbal.

Dasar pengambilan hukum dalam madzhab ini adalah: al-Qur‟an, hadis shahih,
fatwa sahabat, hadis hasan atau dhaif dan qiyas, alasan mendahulukan hadis dha‟if
daripada qiyas adalah pernyataan beliau: “berpegang kepada hadis dha‟if lebih saya sukai
daripada qiyas”. Penganut madzhab Hanabilah tersebar di Saudi Arabia, Libanon, Syiria
dan beberapa negara di Afrika. 25

Adapun Faktor yang menyebabkan berkembangnya hukum Islam pada periode ini adalah:

1. Luasnya wilayah Islam (seperti yang sudah dibahas pada bagian sebelumnya).

2. Para ulama dalam menetapkan perundang-undangan dan memberi fatwa telah menguasai
metode tasyri‟ secara luas dan mudah, seperti halnya yang dilakukan para imam mujtahid
dalam mencari dan mamahami sumbersumber tasyri‟ dan mengetahui berbagai peristiwa
yang pernah terjadi dan sejumlah kemusykilan yang sudah diatasi jalan keluarnya oleh
para ulama sebelumnya.

3. Telah dibukukannya beberapa sumber hukum yang dibutuhkan oleh para


ulama/hakim/mufti yaitu: al-Qur‟an, hadis, fatwa sahabat, fatwa tabi‟in.

4. Antusiasme masyarakat dalam menyeleraskan seluruh aspek kehidupan agar bersesuaian


dengan syari‟at Islam, mendorong mujtahid menjadi produktif dan menghasilkan
pemikiran-pemikiran, dan menjadikan lapangan ijtihad semakin berkembang.

5. Munculnya tokoh-tokoh yang mempunyai bakat dan kemampuan yang brilian sehingga
hukum Islam semakin berkembang. Tokoh-tokoh itu adalah para pemuka mazhab serta
para sahabat dan murid mereka

25
Muhammad Ali Al-Sayyis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 102.
B. Runtuhnya Dinasti Abbasiyah

Masa keemasan Islam tidak dapat bertahan, setelah Baghdad dibumihanguskan oleh tentara
Mongol, di bawah Hulagu Khan pada tahun 1258 M (Amin, 2009: 11). Semua bangunan kota
termasuk istana emas tersebut dihancurkan pasukan Mongol, menghancurkan perpustakaan yang
merupakan gudang ilmu pengetahuan, dan membakar semua buku yang ada di dalamnya. Pada
tahun 1400 M, kota ini diserang pula oleh pasukan Timur Lenk, dan pada tahun 1508 M oleh
tentara Kerajaan Safawi.

Banyak para ahli sejarah mengungkapkan teori-teori mereka mengenai faktor-faktor


kemunduran Dinasti Abbasiyah, dalam tulisan ini penulis mengambil dua tokoh yaitu, William
Montgomery Watt dan Badri Yatim. Menurut William Montgomery Watt, ada beberapa faktor
yang menyebabkan kemunduran Islam pada masa Abbasiyah, yaitu: luasnya wilayah kekuasaan
Dinasti Abbasiyah, ketergantungan dengan tentara bayaran, dan kemerosotan ekonomi (1990:
165-166).

Sedangkan menurut Badri Yatim, penyebab kemunduran Dinasti Abbasiyah meliputi dua
faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Dari segi faktor internal yaitu: Pertama,
persaingan antar bangsa. Kedua, kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran
di bidang politik. Ketiga, konflik keagamaan.

Sementara faktor eksternal yang menyebabkan Dinasti Abbasiyah lemah dan akhirnya
hancur. Faktor-faktor eksternal itu, yakni: Pertama, terjadinya Perang Salib. Perang Salib yang
berlangsung beberapa gelombang banyak menelan korban. Konsentrasi dan perhatian
Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Abbasiyah serta Dampaknya terhadap Dunia Islam ... 89
pemerintahan Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara Salib, sehingga memunculkan
kelemahan-kelemahan. Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam
menyebabkan kekuatan Islam menjadi lemah (Yatim, 2005: 80-85).

Dari pendapat kedua pakar sejarah di atas terlihat perbedaan pendapat mengenai faktor-faktor
kemunduran imperium Islam di masa Dinasti Abbasiyah. Faktor kemunduran Dinasti Abbasiyah
menurut W. Montgomery Watt dan Badri Yatim menurut penulis belum begitu lengkap, karena
perilaku pejabat yang memperkaya diri (korupsi), meninggalkan ajaran agamanya, sistem
pergantian khalifah secara turun menurun, khalifah usia muda dan tidak memiliki kemampuan
memimpin belum dibahas. Menurut penulis, umat Islam meninggalkan ajaran agamanya perlu
dimasukkan. Karena pada masa Dinasti Abbasiyah sering terjadi saling bunuh antara umat Islam
ketika terjadi konflik keagamaan. Padahal dalam ajaran Islam itu dilarang saling membunuh apa
lagi sesama Muslim. Selain itu, para pejabat suka bermewah-mewahan dan memperkaya diri
sendiri. Dengan demikian, umat Islam pada masa kemunduran Dinasti Abbasiyah telah
meninggalkan ajaran agamanya, dan kemudian sistem pergantian khalifah secara turun-menurun
(monarki) menurut penulis ini juga merupakan salah satu faktor penyebab kemunduran Dinasti
Abbasiyah.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dinasti abbasiyah menurut penulis,


faktor eksternal kemunduran Dinasti Abbasiyah, yaitu: luasnya wilayah kekuasaan, berdirinya
dinasti-dinasti kecil, perebutan kekuasaan di pusat pemerintah, persaingan antarbangsa,
kemerosotan ekonomi, konflik keagamaan, gaya hidup bermewahmewahan dan bersenang-
senang, korupsi (memperkaya diri sendiri), umat Islam meninggalkan ajaran agamanya, sistem
pergantian khalifah secara turun menurun, serta khalifah usia muda dan tidak memiliki
kemampuan memimpin.

Dari faktor-faktor kemunduran Dinasti Abbasiyah di atas, menurut penulis yang paling
dominan adalah umat Islam meninggalkan ajarannya. Seandainya para pemimpin dan para
pejabat pemerintah menjalankan ajaran agama dan menjauhi segala larangan agama kemunduran
Dinasti Abbasiyah tidak akan terjadi.

Selanjutnya kemunduran Dinasti Abbasiyah yaitu, perang salib dan serangan tentara Mongol.
Serangan yang dilancarkan oleh pihak Kristen terhadap kekuatan Muslim dalam periode 1095-
1291 M yang dikenal dengan perang Salib. Hal ini dikeranakan adanya dugaan bahwa pihak
Kristen dalam melancarkan serangan didorong oleh motivasi keagamaan, selain itu perang ini
juga menggunakan simbol salib (Arsyad, 1993: 132). Ada beberapa penafsiran tentang berapa
kali Perang Salib itu terjadi. Batas antara Perang Salib yang satu dengan yang lainnya secara
pasti tidak dapat ditentukan, menurut K. Hitti perang salib terjadi tiga kali, sedangkan menurut
Shalaby tujuh kali, dan menurut Sa‟ad Abd Fatah „Asyur delapan kali.

Perang Salib awalnya disebabkan persaingan pengaruh antara Islam dan kristen. Penguasa
Islam Alp Arselan yang memimpin gerakan ekspedisi yang kemudian dikenal dengan “Peristiwa
Manzikart” pada tahun 464 H (1071 M) menjadikan orang-orang Romawi terdesak. Tentara Alp
Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 tentara, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan
tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, Al-
Akraj, Al-Hajr, Prancis, dan Armenia (Yatim, 2002: 76). Dengan peristiwa ini menanamkan
benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, sehingga terjadinya
perang salib.

Kemudian serangan tentara Mongol. Awal permusuhan dan perperangan bangsa Mongol
dengan negeri Islam bermula dari peristiwa tahun 1212 M. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti
Abbasiyah serta Dampaknya terhadap Dunia Islam ... 91 Ketika itu ada tiga orang saudagar
Bukhara bersama puluhan rombongannya tiba di wilayah Mongol dan menuju ibu kota
Karakorum. Entah mengapa, orangorang Mongol menangkap mereka dan kemudian
menyiksanya. Sedangkan barang dagangannya dirampas. Tidak lama setelah peristiwa itu, Jengis
Khan mengirim 50 orang saudagar Mongol untuk membeli barang dagangan di Bukhara. Atas
perintah Amir Bukhara Gayur Khan, mereka ditangkap dan dihukum mati. Jengis Khan marah
dan merancang penyerbuan ke kerajaan Khawarizmi dan negeri-negeri lainnya di Asia Tengah.
Penyerbuan itu baru terlaksana pada tahun 1219 M, hanya selisih tiga tahun tentara Mongol
menaklukkan seluruh wilayah Cina (Mufrodi, 1997: 127). Dengan dibunuhnya 50 orang
saudagar menumbuhkan rasa dendam dan kebencian terhadap umat Islam. Melihat dari
kemampuan bangsa Mongol menaklukkan bangsa Cina, dengan demikian bangsa Mongol
memiliki tentara yang kuat dan terlatih dalam seni perang. Sehingga bangsa Mongol merasa
terhina atas peristiwa tersebut dan kemudian melakukan serangan terhadap umat Islam.

Pada tahun 1258 M, tentara mongol yang berkekuatan 200.000 orang tiba di salah satu pintu
Baghdad. Khalifah al-Mu‟tashim tidak mampu membendung kekuatan tentara Hulagu Khan.
Pada saat krisis, wazir khalifah al-Alqami mengambil kesempatan menipu khalifah dengan
mengatakan, “saya telah menemui Hulagu Khan untuk perjanjian damai. Hulagu Khan berjanji
akan tetap menghormati khalifah, bahkan ia berkeinginan untuk mengawinkan putrinya dengan
putra tuanku, Amir Abu Bakar. Ia tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan (Yatim, 1999:
114). Dengan mempercayai informasi tersebut, khalifah al-Muta‟shim bersama seluruh pembesar
kerajaan dan hakim, serta keluarga mereka yang berjumlah 30.000 orang keluar menemui
Hulagu. Awalnya mereka disambut dengan ramah, tetapi setelah itu mereka kemudian
membantai habis, termasuk wazir al-Alqami. Namun sebelum membunuh wazir, Hulagu Khan
berkata: “Kamu pantas mendapat hukuman berat karena berhianat kepada orang yang telah
memberimu kedudukan” (Yatim, 1999: 114)

Selama 40 hari pasukan Hulagu Khan membunuh, menjarah, memperkosa wanita dan
membakar. Rumah-rumah ibadah dihancurkan, bayi-bayi dibunuh bersama ibunya, wanita hamil
ditusuk perutnya. Kota Baghdad dihancurkan rata dengan tanah. Sejak saat itu, berakhirlah
kekuasaan Abbasiyah dan kemudian dikuasai oleh Hulagu Khan (Nasution, 1997: 80). 92 Jurnal
el-Hekam, Vol. I, No. 1, Januari-Juli 2016 Perbuatan Hulagu Khan dan tentaranya sangat kejam
mereka membunuh orang yang tidak berdosa, seperti wanita, dan anak-anak. Setelah
tumbangnya Dinasti Abbasiyah umat Islam dipimpin oleh seorang raja beragama Syamanism.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Kemenangan Bani Abbas (Abu Abbas As-Safah) atas Bani Umayah tidak lepas dari peran
serta dan bantuan kaum Syi‟ah. Namun sayang, setelah berkuasa, Syi‟ah dinistakan oleh Bani
Abbas. Ibarat peribahasa, air susu dibalas air tuba. Syi‟ah, yang saat memerangi bani Umayah
merupakan sekutu yang paling besar jasanya disingkirkan dari kancah politik dan kekuasaan,
bahkan dianggap musuh yang harus dimusnahkan setelah Abbasiyyah berhasil mengalahkan
Umayyah.

Zaman ini sering disebutkan oleh para sejarawan sebagai the golden age atau masa
keemasan, karena begitu pesatnya ilmu pengetahuan. Dalam bidang fiqh saja ribuan ulama
tampil kedepan. Yang memenuhi kriteria sebagai mazhab fiqh mencapai 13 madzhab fiqh, yaitu:
Ja‟far ash-Shiddiq (80 H), Abu Said Hasan ibn Yasar al-Basri (110 H) , Abu Hanifah al-Nu‟man
(150), Al-Auzai Abu Amar Abd Rahman (157 H) , Sufyan ibn Said al-Tsauri (160 H) , Al-Laits
ibn Sa‟id ( 175 H), Malik bin Anas (179) , Sufyan bin Unainah (198 H) , Muhamad Idris as-
Syafi‟i (204 H) , Ahmad bin Muhammad bin Hambal (241) , Daud ibn Ali ashbahani ad-Dzahiri
(270 H), Ishaq ibn Rahawaih (238 H) , Abu Tsaur Ibrahim ing Khalid al-Kalabi (240 H)

Namun, sayangnya ketigabelas mazhab fiqh ini sebagian memang masih ada, tapi sebagian
lagi sudah hilang. 26 Sementara mazhab fiqih yang masih dikenal hingga saat ini hanya tinggal
beberapa saja, di antaranya yang terkenal adalah mazhab Ja‟fari (dari kalangan Syiah), mazhab
Malikiyyah, Hanafiyyah, Syafi‟iyyah dan Hanabilah.

Masa keemasan Islam tidak dapat bertahan, setelah Baghdad dibumihanguskan oleh tentara
Mongol, di bawah Hulagu Khan pada tahun 1258 M (Amin, 2009: 11). Semua bangunan kota
termasuk istana emas tersebut dihancurkan pasukan Mongol, menghancurkan perpustakaan yang
merupakan gudang ilmu pengetahuan, dan membakar semua buku yang ada di dalamnya. Pada
tahun 1400 M, kota ini diserang pula oleh pasukan Timur Lenk, dan pada tahun 1508 M oleh
tentara Kerajaan Safawi.

26
Ibn Nadim, al-Fihrasat, h. 71-72
B. Saran

Penulis sangat menyadari bahwasannya makalah yang dibuat ini masih banyak kekurangan
Dan masih banyak sekali hal-hal yang belum penulis tambahkan. Diharapkan bagi penulis lain,
bisa mengembangkan serta mencari suymber-sumber lain yang lebih luas Dan lebih konkrit lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Muhamad Khudari Beik, Usul al-Fiqh, (Deirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 3
Abd al Wahhab Khallaf, Khulasah Tārikh Tasyri‟ al-Islām, alih bahasa Aziz Mashuri, (Solo:
Ramadan, 1990), hlm. 11.
Direktoral Pembinaan PTAI, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Proyek Pembinaan PTAI/IAIN,
1981), hlm. 16.
Mun‟im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 33
Karen Amstrong, Islam: Sejarah Singkat. Penerjemah Fungky Kusnaedy Timur, (Yogyyakarta:
Jendela, 2003), h. 63.
Philip K. Hitti, History of Arab, h. 358.
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, h. 114.
Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam II, h. 72.
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, h. 118.
Philip K. Hitti, Philip K. Hitti, History of Arab, h. 360.
Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam II, h. 75-76
Philip K. Hitti, The History of Arab, h. 365-366.
Philip K. Hitti, The History of Arabs, h. 367.
M. Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1988), h. 55
Karen Armsrong, Islam: Sejarah Singkat, h. 66
Philip K. Hitti, The History of Arab, h. 454;
Ibn Nadim, al-Fihrasat, h. 71-72
Manna‟ al-Qhattan, Tarikh Tasyri‟ al-Islami, h. 328-329
Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 95-97
Jalaluddin Rahmat, Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh, h. 275.
Yasin Dutton, Asal Musal Hukum Islam: Al-Qur‟an, Muwatta‟, dan Praktik Madinah, h. 19
Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 105.
Jalaluddin Rahmat, Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh, h. 276.

Anda mungkin juga menyukai