Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

HUKUM ISLAM PERIODE KHULAFAUR RASYIDIN


Disusun untuk memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah : Tarikh Tasyri‟
Dosen Pengampu : Umihani, M. Pd. I

Disusun oleh :

RIZKI 1808101175
AHMAD SAEFUDDIN AMIN 2108101165
M. NAJIHUL HASAN 2108101195

KELAS PAI E/2


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, nikmat,
ilmu pengetahuan kemudahan dan petunjuk-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Islam Periode Khulafaur
Rasyidin” sebagai tugas kelompok dengan baik meskipun banyak kekurangan di
dalamnya. Shalawat dan salam tidak lupa pula kita sanjungkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Dan juga penulis berterima kasih kepada dosen pengampu Ibu
Umihani, M. Pd. I selaku dosen mata kuliah Tarikh Tasyri‟ yang telah
memberikan tugas ini.

Penulis menyadari bahwa kemampuan dalam penulisan ini jauh dari kata
sempurna. Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan atau
kesalahan, baik dalam penulisan ataupun pembahasannya, maka penulis sangat
menyadari bahwa semua itu atas keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Penulis
berharap kritik dan saran untuk perbaikan dan penyempurnaan karya tulis ini.

Akhir kata, penulis sampaikan terimakasih kepada pihak yang telah


berperan dalam pembuatan makalah ini, dan semoga hasil makalah ini dapat
memberikan manfaat dan dapat dijadikan wacana untuk memperluas wawasan.

Cirebon, 18 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i


DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... I
A. Latar Belakang .......................................................................................... I
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... I
C. Tujuan Masalah ......................................................................................... II
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 1
1. Kondisi politik dan hukum Islam pada masa Khulafa Rasyidin ............... 1
2. pengaruh ijtihad sahabat terhadap perkembangan hukum Islam .............. 9
3. Sumber hukum Islam pada masa Khulafa Rasyidin ................................. 14
4. penyebab perbedaan pendapat dikalangan sahabat ................................... 16
BAB III PENUTUP .............................................................................................. I
KESIMPULAN ..................................................................................................... I
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... II

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Khulafaur Rasyidin merupakan pemimpin Islam dari kalangan
sahabat, pasca Nabi Muhammad SAW wafat. Mereka merupakan
pemimpin yang dipilih langsung oleh para sahabat melalui mekanisme
yang demokratis. Siapa yang dipilih, maka sahabat yang lain berhak untuk
memberikan bai‟at (sumpah setia) pada calon yang terpilih tersebut.
Perjalanan empat khalifah akhirnya di pimpin oleh Abu Bakar as- Shiddiq,
Umar bin Khatab, Usman bin „Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Format peradaban tampaknya lebih banyak dilakukan oleh dua khalifah
berikutnya yakni Umar bin Khatab serta Usman bin Affan, karena
keduanya memerintah relatife cukup lama di banding Abu Bakar as-
Shiddiq dan Ali bin Abi Thalib. Sehingga fakta sejarah menunjukkan
bahwa zaman Khulafa al-Rasyidin tersebut termasuk kedalam zaman
perkembangan Islam yang cemerlang yang ditandai dengan ekspansi,
integrasi, pertumbuhan dan kemajuan yang menunjukkan peradaban
tersendiri dengan segala karakteristiknya. Berikut akan dijelaskan
mengenai kondisi pemerintahan, hukum islam, Sumber Hukum yang
dipakai pada masa khulafaur rasyidin.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana Kondisi politik dan hukum Islam pada masa Khulafa
Rasyidin?
Apa pengaruhnya ijtihad sahabat terhadap perkembangan hukum Islam?
Apa saja Sumber hukum Islam pada masa Khulafa Rasyidin?
Apa yang menjadikan sebab perbedaan pendapat dikalangan sahabat?
C. Tujuan Masalah
Untuk mengetahui Kondisi politik dan hukum Islam pada masa Khulafa
Rasyidin.
Supaya dapat memahami pengaruhnya ijtihad sahabat terhadap
perkembangan hukum Islam.

I
Untuk mengetahui Sumber hukum Islam pada masa Khulafa Rasyidin.
Untuk mengetahui sebab perbedaan pendapat dikalangan sahabat.

II
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONDISI POLITIK DAN HUKUM ISLAM PADA MASA


KHULAFAUR RASYIDIN
1) Politik Pada masa Khulafaur Rasyidin
Pasca Nabi Muhammad SAW. wafat, status sebagai Rasulullah tidak
dapat diganti oleh siapapun, akan tetapi kedudukan Rasulullah SAW.
sebagai pemimpin kaum muslimin harus tergantikan, sebagaimana
diketahui dalam sejarah bahwa pengganti tersebut dinamakan “Khulafaur
Rasyidin,” yang terdiri dari dua kata, “al-khulafa‟” bentuk jama‟ dari
“khalifah” yang berarti “pengganti,” dan “ar-Rasyidin” ialah berarti
“benar, halus, arif, pintar, dan bijaksana”.
Jika digabungkan Khulafaur Rasyidin ialah berarti para (pemimpin)
pengganti Rasulullah SAW. yang arif dan bijaksana. Akan tetapi perlu
diketahui bahwa jabatan sebagai khalifah disini bukanlah jabatan warisan
turun menurun sebagaimana yang dilakukan oleh para raja Romawi dan
Persia, namun dipilih secara demokratis.3Pada masa khulafaur rasyidin
terhitung selama 30 tahun, yang terdiri dari empat khalifah, dalam hal ini
sebagaimana berikut:

A. Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)


Abu Bakar as-Siddiq, namanya ialah Abdullah bin Abi Quhafa at-
Tamimi. Di zaman pra Islam bernama Abdul Ka‟bah, kemudian diganti
oleh Nabi menjadi Abdullah. Ia termasuk salah seorang sahabat yang
utama. Julukannya ialah Abu Bakar (Bapak Pemagi) karena dari pagi-pagi
betul (orang yang paling awal) memeluk Islam. Gelarnya as-Siddiq
diperolehnya karena ia dengan segera membenarkan Nabi dalam berbagai
peristiwa, terutama Isra‟ dan Mi‟raj. Nabi seringkali menunjuk untuk
mendampinginya di saat-saat penting atau jika berhalangan, Rasul
mempercayainya sebagai pengganti untuk menangani tugas-tugas

1
keagamaan dan atau mengurusi persoalan-persoalan aktual di Madinah.
Pilihan umat terhadap tokoh ini sangatlah tepat.
Abu Bakar memangku jabatan khalifah selama dua tahun lebih sedikit.
Yang pertama kali menjadi perhatian khalifah adalah merealisasikan
keinginan Nabi yang hampir tidak terlaksana. Yaitu mengirimkan
ekspedisi ke perbatasan Suriah di bawah pimpinan Usamah untuk
membalas pembunuhan ayahnya, Zaid, dan kerugian yang diderita oleh
umat Islam dalam Perang Mu‟tah. Sebagian sahabat menentang keras
rencana ini, tetapi Khalifah tidak peduli. Nyatanya ekspedisi itu sukses dan
membawa pengaruh positif bagi umat Islam, khususnya didalam
membangkitkan kepercayaan diri mereka yang nyaris pudar.6 Dan Umar
menyebut dirinya Khalifah Khalifati Rasulillah (pengganti dari pengganti
Rasulullah).
Masa pemerintahannya sangatlah singkat. Walaupun, berjangka pendek
masa pemerintahannya penuh dengan perbuatan-perbuatan dan aksi-aksi
yang agung. Di antaranya sebagai berikut :
a. Pemberangkatan Pasukan Usamah bin Zaid Sesuai dengan Pesan
Rasulullah
b. Penghimpunan Al-Qur‟an
c. Permulaan perang yarmuk
d. Penaklukan Islam

Sistem pemerintahan yang dilaksanakan pada masa khalifah abu bakar as-
shidiq bersifat sentral, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif
terpusat ditangan khalifah. Pada masa khalifah abu bakar as-shiddiq selain
menjalankan pemerintahan beliau juga menjalankan hukum, namun Abu
bakar selalu mengajak para sahabat besarnya untuk bermusyawarah,
adapun untuk urusan pemerintah yang diluar kota madinah, khalifah abu
bakar membagi wilayah kekuasaannya menjadi beberapa provinsi, dan
setiap provinsi di tugaskan kepada seoranng amir atau wali ( semacam
mjabatan gubernur )

2
Usaha-usaha yang dilakukan Abu Bakar Ash-Shidiq
1. Merealisasikan keinginan Nabi yang hampir tidak terlaksana yaitu ;
mengirimkan ekspedisi ke perbatasan Syiri‟ah di bawah pimpinan
usamah untuk membalas pembunuhan ayahnya, zaid, dan keguruan
umat islam dalam perang Mut‟ah
2. Abu bakar menghentikan pergolakan yang ada dalam negeri, beliau
juga menghadapi bahaya dari luar yang ada pada gilirannya dapat
menghancurkan eksistensi islam
3. Memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat dari
suku-suku Yaman, Yamanah, dan Oman
4. Menghancurkan Nabi-nabi palsu

Perluasan Wilayah

Setelah terjadinya perang Riddah melawan kaum murtad berakhir, Abu


Bakar mengangkat seseorang di wilayah timur yaitu Khalib bin Walid dan
Mutsana bin Haritsah sebagai panglima perang pada tahun 12H/633M dan
berhasil menguasai Iran dan beberapa kota Irak, Pasukan ini berhasil
memenangkan pertempuran di Yarmuk. Abu Bakar juga
memberangkatkan pasukan-pasukan dibeberapa daerah. Diantaranya
adalah Damaskus dipimpin oleh Yazid bin Abi Sufyan, Palestina dipimpin
oleh „Amr bin Al Ash dan Hilms dipimpin oleh Abu ubaydah bin Al
jarrah.

Akhir Pemerintahan

Masa pemerintahan Abu Bakar berakhir setelah Abu Bakar meninggal


dunia pada hari senin, 23 Agustu 624 M. Setelah kurang lebih berbaring
ditempat tidur selama 15 hari, pada usia 63 tahun dan kekhalifahan
berlangsung selama 2 tahun 3 bulan 11 hari

B. Umar bin Khattab


Proses Pemilihan Sewaktu masih terbaring sakit, Khalifah Abu
Bakar secara diam-diam melakukan tinjauan pendapat terhadap tokoh-
tokoh terkemuka dari kalangan sahabat mengenai pribadi yang layak untuk

3
menggantikannya. Pilihan beliau jatuh pada Umar Ibn Al-Khatab, akan
tetapi ia ingin mendengarkan pendapat-pendapat tokoh yang lain. Untuk
menjejaki pendapat umum, Abu Bakar melakukan serangkaian konsultasi
terlebih dahulu dengan beberapa orang sahabat, seperti Abdur Rahman Ibn
Auf dan Utsman Bin Affan.
Memang pada awalnya terdapat berbagai keberatan mengenai
rencana pengangkatan Umar, kemudian Thalhah segera menemui Abu
Bakar untuk menyampaikannya, namun pada akirnya Umar adalah orang
yang paling tepat dalam menduduki kursi kekhalifahan.
Masa Pemerintahan Umar Ibn Al-Khathab Lama Pemerintahan: 13-23 H /
634-644 M
Sistem Pemerintahan
Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah provinsi:
Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir.
Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan
pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga
Yudikatif dengan lembaga Eksekutif. Khalifah Umar menerapkan prinsip
demokratis dalam kekuasaan. Yaitu dengan menjamin hak-hak bagi setiap
warga negara.
Adapun kekuasaan eksekutif dipegang oleh Umar bin Khhattab dalam
kedudukannya sebagai kepala Negara.untuk menunjang kelancaran
administrasi dan operasional tugas-tugas eksekutif, Umar melengkapinya
dengan beberapa jawatan,diantaranya:
1) Diwana al-kharaj (jawatan pajak)
2) Diwana alahdats (jawatan kepolisian)
3) Nazarat al-nafi‟at (jawatan pekerjaan umum)
4) Diwana al-jund (jawatan militer)
5) Baitul al-mal (baitul mal)
Sumber-sumber keuangan Negara untuk mengisi baitul mal diperoleh dari
alfarz,usyri,usyur,zakat dan jizya.

Perluasan Wilayah

4
Ekspansi Umar yang berhasil antara lain dilancarkan ke ibu kota Syiria.
Damaskus, Ardan, dan Hims yang berhasil dikuasai pada 14 H/635 M
dibawah pimpinan Abu Ubaydah Ibn Al-Jarrah. Setahun kemudian setelah
tentara Byzantium dikalahkan dalam perang Yarmuk, seluruh daerah syiria
dapat dikuasai. Melalui Syiria ini penguasaan Mesir dilakukan dengan
pimpinan Amr Bin Al Ash. Sedangkan ke Irak dipimpin oleh Syurahbil
Ibn Hasanah dan Sa‟ad Ibn Al Waqqash. Selanjutnya Al Qadisiyah sebuah
kota dekat Hirah di Irak dikuasai. Pada tahun 673 M berhasil menjatuhkan
Al Madain. Dan pada tahun 641 M Mosul dapat ditaklukkan pula. Dengan
demikian, pada masa pemerintahan Umar wilayah kekuasaan islam
meliputi seluruh semenanjung Arabia, sebagian besar wilayah Persia, dan
sebagian wilayah romawi.

Akhir Pemerintahan
Khalifah Umar memerintah selama 10 Tahun lebih 6 Bulan. Masa
jabatannya berakhir dengan kematian yang tragis yaitu seorang budak
Persia yang bernama Abu Lu‟luah secara tiba-tiba menyerang dari
belakang. Ketika Umar hendak sholat jama‟ah subuh di masjid Nabawi.

C. Utsman Bin Affan (Lama Pemerintahan: 23-35 H / 644-656 M)


Utsman terpilih menjadi Kalifah diantara enam orang yang dinilai
sangat pantas menduduki kursi kekhalifahan dan ditunjuk oleh Umar pada
saat menjelang ajalnya. Keenam Orang itu adalah Abdurrahman bin Auf,
Saad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam,
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Mereka itulah yang
bermusyawarah untuk menentukan siapa yang menjadi khalifah. Umar
menempuh cara petepan yang berbeda dengan cara Abu Bakar. Agar
perolehan suaranya tidak sama, maka Umar mengizinkan anaknya ‟Abd
Allah ikut bermusyawarah dengan syarat tidak boleh dipilih sebagai
khalifah. Dalam pemilihan itu Usman mendapat 4 suara , sedangkan Ali
mendapat 3 suara.

5
Sistem Pemerintahan
Untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan di daerah, khalifah usman
mempercayakannya kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah atau
propinsi pada masanya kekuasaan wilayah madinah dibagi menjadi 10
propinsi. Sedangkan kekuasaan legislative dipegang oleh Dewan
Penasehat Syura, tempat khalifah mengadakan musyawarah dengan para
sahabat terkemuka. Prestsai tertinggi masa pemerintahan Usman sebagai
hasil majlis syura adalah menyusun al-quran standar, yaitu penyeragaman
bacaan dan tulisan Al-Quran.Untuk mengisi baitul mal diperoleh dari
alfarz, usyri, usyur, zakat dan jizya. Umar juga melengkapinya dengan
beberapa jawatan. Utsman paling berjasa dalam membangun bendungan
untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke
kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-
masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.

Perluasan Wilayah
Di wilayah barat Utsman mengizinkan pasukan islam melakukan
penaklukan ke Benua Afrika. Maka berangkatlah ‟ Abd Allah Ibn Abi
Sarh hingga berhasil menaklukkan Tripoli pada 648 M. Sewaktu terjadi
perang Dzatus Shawari 651 M armada laut pasukan islam dapat
mengalakan pasukan romawi. Hal inilah yang membedakan Utsman
dengan pendahulunya yang tidak boleh melakukan penyerbuan melalui
laut. Sementara itu di wilayah timur pasukan islam berhasil menaklukkan
daerah Farghanah, Kabul, Juran, Balkah, dan Herat.

Akhir Pemerintahan
Situasi politik pada masa akhir pemerintahan Utsman semakin mencekam
dan timbul pemberontakan-pemberontakan yang mengakibatkan
terbunuhnya Utsman. Utsman Akhirnya wafat sebagai Syahid pada hari
Jum‟at tanggal 17 Dzulhijjah 655 M. Ketika para pemberontak berhasil
memasuki rumahnya dan dan membunuh Utsman saat sedang membaca Al
Quran.

6
D. Ali Bin Abi Thalib
Peristiwa pembunuan Utsman mengakibatkan kegentingan di
seluruh dunia islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia
dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu mnguasai Madinah tidak
mempunyai pilihan lain selain Ali Bin Abi thalib menjadi khalifah. Waktu
itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair Bin Awwam dan Thalhah bin
Ubaidillah memaksa beliau sehingga akhirnya Ali menerima baiat mereka.
Menjadikan Ali satu-satunya khalifah yang di baiat secara massal. Karena
khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.

Masa Pemerintahan/Lama Pemerintahan : 35-40 H / 656-661 M


Sistem Pemerintahan
Ali berhasil memecat sebagian besar gubernur yang korupsi dan
mengembalikan kebijaksanaan Umar pada setiap kesempatan yang
memungkinkan. Ia membenahi dan menyusun arsip Negara untuk
mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah dan
kantor sahib-ushsurtah, serta mengkoordinir polisi dan menetapkan tugas-
tugas mereka. Ali juga mengambil kembali tanah-tanah yang dibagikan
Utsman kepada famili-famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah.

Akhir Pemerintahan
Dalam pemerintahannya ali banyak mengalami pertentangan karena ada
anggapan Ali tidak mampu mengungkap pembunuhan Utsman. Kelompok
Khawarij bahkan menyimpulakan bahwa penyebab terpecahnya kamu
Muslimin adalah tiga orang, yaitu Ali, Muawiyah, dan Amr Bin Ash.
Maka ketiganya harus di bunuh. Ketika rencana tersebut akan
dilaksanakan ternyata hanya Ali yang berhasil terbunuh. Ali wafat pada
tanggal 17 Ramadhan 40 H / 660 M. Ali tewas ketika hendak berangkat
shalat subuh

7
2.) Hukum Islam Pada masa Khulafaur Rasyidin
Periode Khulafa‟ur Rasyidin ini dimulai sejak wafatnya Rasulullah SAW
pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H atau 632 M, dan diakhiri pada
akhir abad pertama Hijriyah (11-41 H atau 632-661 M). Menurut para ahli
sejarah islam, periode ini adalah periode penafsiran undang-undang dan
terbukanya pintu-pintu Istinbath Hukum dalam kejadian-kejadian yang
tidak ada nash hukumnya. Dari pemuka-pemuka sahabat timbullah banyak
pendapat dalam menafsirkan nash-nash hukum dalam al-Quran dan al-
Hadits yang dapat dipandang sebagai pandangan yuridis bagi penafsiran-
penafsiran nash serta sebagai penjelasannya. Setelah wafatnya Nabi, umat
islam menghadapi banyak masalah. Hal ini dikarenakan semakin
meluasnya pemerintahan islam hingga melampaui semenanjung Arabiyah,
itu juga tentunya membawa dampak yang begitu besar bagi perkembangan
pemikiran umat islam pada masa itu. Berbagai macam permasalahan yang
timbul dikarenakan vakumnya pemerintahan dan karena perluasan wilayah
islam semakin memaksa para sahabat untuk benar-benar berijtihad dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut. Secara umum permasalahan-
permasalahan itu dapat diklasifikasikan menjadi beberapa aspek, yaitu:
1) Aspek politik
2) Aspek Aqidah
3) Aspek Fiqih

8
B. IJTIHAD SAHABAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

Ijtihad SahabatAda tiga hal pokok yang berkembang pada waktu itu
sehubungan dengan hukum Islam. Pertama, begitu banyaknya muncul
kejadian baru yang membutuhkan jawaban hukum secara lahiriah tidak
dapat ditemukan jawabannya dalam al-Qur‟an maupun penjelasan dari
Sunnah Nabi. Kedua, timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah
diatur ketentuan hukumnya dalam al-Qur‟an maupun Sunnah Nabi, namun
ketentuan itu dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan
menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan persoalan yang tengah
dihadapi. Ketiga, yakni dalam alQur‟an ditemukan penjelasan terhadap
suatu kejadian secara jelas dan terpisah. Bila hal itu berlaku di dalam
kejadian tertentu, maka para sahabat menemui kesulitan dalam
menerapkan dalil-dalil yang ada (Amir Syarifuddin, 1997: 22).Berangkat
dari kondisi tersebut maka lahirlah ijtihad yang berperan dalam dua
lapangan. Pertama di bidang di mana nash-nash (teks) yang tegas tidak
menyebutkannya. Dengan demikian mujtahid dapat leluasa memberikan
interpretasinya dan merealisasikannya sesuai dengan kehendak agama
melalui proses ijtihad, analogi, mashlahah mursalah (kemaslahatan
terlepas), istihsan, istishhab(pemberlakuan hukum yang sudah ada), dan
sebagainya.

Bidang garapan yang kedua ialah teks-teks zhanni (relatif benar, dalil yang
mendatangkan dugaan kuat), baik zhanni dalam hal otentisitasnya (hadits-
hadits Nabi pada umumnya berstatus demikian) maupun zhanni dalam hal
pengertian yang dapat dipahami. Teks-teks hukum seperti ini merupakan
bidang garapan mujtahid. Adapun bidang yang tertutup bagi kemungkinan
ijtihad ialah wilayah alqath‟iyat (kepastian-kepastian), misalnya tentang
dasar dan pokok agama.Secara kongkrit dalam memaparkan ijtihad
sahabat-sahabat Nabi Muhamad SAW., terutama sepeninggal beliau, maka
perlu sekali untuk memahami batasan daripada sahabat yang dimaksud
serta bagaimana status mereka menurut pandangan para ulama. Sebab

9
dalam hal ini selain Nabi Muhammad SAW., para sahabatlah yang
dipandang sebagai figur utama dalam tata cara berijtihad, baik ketika
mereka masih bersama beliau maupun setelah beliau tidak lagi bersama
mereka.Dalam lintasan sejarah, ijtihad telah ada sejak zaman Rasulullah
SAW. Hal ini dapat dilacak antara lain dari riwayat berikut: Dari Amr ibn
al-„Ash r.a. ia mendengar Rasulullah SAW. bersabda, “Apabila seorang
hakim hendak menetapkan hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata
benar ijtihadnya, maka baginya dua pahala, dan apabila dia hendak
menetapkan hukum kemudian dia berijtihad dan ijtihadnya ternyata salah,
maka untuknya satu pahala” (Amir Mu‟allim Yusdani, 1997: 25).
Rasulullah memang telah mempersiapkan jalan berijtihad bagi mereka
dengan melatih dan merelakan mereka untuk berijtihad, baik ijtihadnya
salah atau benar. Riwayat yang dikeluarkan al-Baghawi dari Maimun bin
Mahran berikut ini menggambarkan dengan jelas bagaimana mereka
melakukan istinbath. Dia berkata: “Sesungguhnya Abu Bakar, kalau ada
pertikaian yang disampaikan kepadanya, ia akan melihat ke Kitabullah.
Kalau ditemukan penyelesaiannya dalam Kitabullah, ia akan
memutuskannya dengan Kitabullah. Kalau tidak terdapat pada Kitabullah
dan ia menemukannya dalam al-Sunnah, ia akan berhukum dengan
alSunnah. Kalau sulit menemukannya, ia akan keluar dan bertanya kepada
orang lain, “Telah sampai kepadaku kasus begini dan begini, apakah anda
mengetahui Rasulullah pernah memutuskan masalah itu?‟ Terkadang
kelompok (yang ditanyakan) secara keseluruhan sepakat menyebutkan ada
keputusan tentang masalah itu dari Rasul SAW. Kalau pada kelompok itu
sulit ditemukan sunnah, dia mengumpulkan para pemimpin dan orang
terkemuka untuk bermusyawarah. Kalau pendapat mereka disepakati
bersama, maka dia akan memutuskan Ijtihad Sahabat di Tengah
Pergumulan Transformasi Pemikiran Hukum (Tri Ermayani)45

hukum dengan pendapat itu.” (Syekh Muhammad Ali as-Saayis, 1995:


34).Umar r.a. juga pernah melakukan tindakan seperti itu. Jika ia kesulitan
menemukan dalam al-Qur‟an dan Sunnah, ia akan mencari apakah Abu
Bakar pernah memutuskan masalah itu. Kalau ia temukan, ia memutuskan

10
hukum dengan keputusan Abu Bakar. Jika tidak juga ditemukan, maka ia
mengundang para pemimpin. Dan jika mereka sepakat, Umar memutuskan
masalah itu dengan berdasarkan hasil kesepakatan.Pada masa sahabat,
wilayah kekuasaan Islam semakin meluas keluar melintasi wilayah Jazirah
Arab sendiri. Oleh karenanya banyak penduduk non-Arab yang memeluk
agama Islam, sehingga hal ini merupakan suatu tantangan tersendiri bagi
dunia Islam di waktu itu yang juga ditandai dengan munculnya berbagai
peristiwa atau permasalahan yang sebelumnya tidak atau belum pernah
terjadi. Kemudian masalah inilah yang menjadi tanggung jawab para
sahabat untuk dihadapi serta dipecahkan sesuai dengan prinsip syariat
Islam, karena wahyu dan sunnah Rasul tidak ada lagi, sementara persoalan
yang mereka hadapi semakin berkembang. Para tokoh mujtahid yang
termasyhur di zaman sahabat di anataranya „Umar ibn al-Khaththab, „Ali
ibn Abi Thalib, dan „Abdullah ibn Mas‟ud (Nasrun Haroen, 1997:
8).Untuk pertama kalinya ijtihad dilakukan terhadap masalah yang
pertama timbul dalam Islam, yaitu tentang siapa pengganti Nabi
Muhammad sebagai khalifah atau kepala negara setelah beliau wafat?
(Harun Nasution, 1996: 109). Menurut ijtihad sahabat dalam bentuk
musyawarah, ditetapkan bahwa Abu Bakar r.a. adalah sebagai khalifah
pertama setelah melalui diskusi yang serius.Masalah kedua ialah
menghadapi para pembangkang zakat dan orang-orang murtad setelah
Nabi Muhammad SAW. wafat. Dalam persoalan memerangi orang murtad
tidak terjadi perselisihan dari para sahabat. Namun masalah pembangkang
zakat, terjadi perbedaan pendapat di kalangan mereka. Menurut ijtihad
„Umar r.a. para pembangkang zakat itu tidak perlu diperangi dengan
alasan bahwa disebutkan dalam sebuah hadits Nabi SAW “bahwa beliau
diperintahkan Allah SWT memerangi manusia kecuali telah mengikrarkan
syahadat”. Sebaliknya Abu Bakar r.a. berijtihad bahwa mereka harus
diperangi dengan alasan telah memisahkan antara kewajiban shalat dan
zakat.Ada juga peristiwa lain yang melatarbelakangi ijtihad sahabat ini,
yakni tentang kekhawatiran sahabat „Umar r.a. terhadap keutuhan al-
Qur‟an yang dikarenakan gugurnya para penghafal (huffazh alQur‟an)

11
dalam peperangan, sementara al-Qur‟an pada saat itu belum
terkodifikasikan, sehingga menurut pendapat dari „Umar r.a., alQur‟an
harus dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushhaf. Namun pada awalnya
Abu Bakar tidak setuju dengan pendapat „Umar r.a., karena hal itu tidak
pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Perbedaan pendapat itu
berakhir dengan persetujuan Zaid bin Tsabit r.a. yang diberi tugas sebagai
ketua panitia pengumpulan ayat-ayat alQur‟an.Dalam berijtihad, „Umar
ibn al-Khaththab seringkali, mempertimbangkan kemaslahatan umat,
dibanding sekedar menerapkan nash secara zhahir, sementara tujuan
hukum tidak tercapai. Seperti halnya, demi kemaslahatan rakyat yang
ditaklukkan pasukan Islam di suatu daerah, „Umar ibn al-Khaththab
menetapkan bahwa tanah di daerah tersebut tidak diambil pasukan Islam,
melainkan dibiarkan digarap oleh penduduk setempat, dengan syarat setiap
panen harus diserahkan sekian persen kepada pemerintahan Islam. Sikap
demikian diambilnya didasarkan atas pemikiran bahwa jika tanah
pertanian di daerah tersebut diambil pemerintah Islam, maka rakyat di
daerah itu tidak mempunyai mata pencaharian, yang akibatnya bisa
memberatkan beban negara. Para ulama ushul fiqh berpendapat bahwa
landasan pemikiran „Umar ibn al-Khaththab dalam kasus ini adalah demi
kemaslahatan (maslahah).Sedangkan „Ali ibn Abi Thalib juga melakukan
ijtihad dengan menggunakan qiyas. Qiyas adalah dalil yang dikuatkan oleh
naluri yang sehat dan ucapan yang benar. Adapun perbuatan sahabat dan
ucapannya, adalah membuktikan bahwa qiyas adalah juga hujjah
syar‟iyah. Mereka benar-benar telah melakukan ijtihad terhadap kejadian-
kejadian yang tidak ada nashnya. Mereka qiyaskan kejadian yang tidak ada
nashnya. Mereka mengambil pelajaran pada sebuah bandingan dengan
yang sebanding. „Ali bin Abi Thalib meng-qiyaskan hukuman orang yang
meminum khamr dengan hukuman orang yang melakukan
qadzaf(menuduh orang lain berbuat zina). Alasan „Ali ibn Abi Thalib
adalah bahwa seseorang yang mabuk karena meminum khamr akan
mengigau. Jika ia mengigau, maka ucapannya tidak bisa dikontrol dan
akan menuduh orang lain berbuat zina. Oleh sebab itu, hukuman orang

12
yang meminum khamr sama dengan hukuman menuduh orang lain berbuat
zina. Adapun hukuman bagi pelaku qadzaf adalah 80 kali dera. Sehingga
perkembangan permasalahan di zaman sahabat ini memerlukan upaya
ijtihad yang semakin luas.1

1
HUMANIKA Vol. 6 No. 1, Maret 2006, hal. 39-5146

13
C. SUMBER HUKUM ISLAM MADA MASA KHULAFA’UR
RASYIDIN

1. Al-Qur‟an
Al-Quran adalah sumber primer dalam penggalian atau
pembentukan hukum islam, apakah itu pada masa Nabi, Sahabat,
Tabi‟in hingga sekarang peran al-Quran sebagai Sumber Hukum Islam
Pertama atau primer yang wajib didahulukan daripada sumber hukum
lainnya. Al-Quran adalah kalam Allah yang diimplementasikan dalam
bentuk kalam insan yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW
bertahap-tahap sesuai dengan permasalahan yang terjadi di sekitar
Nabi pada masa itu, atau permasalahan yang ditanyakan kepada Nabi,
atau hal-hal lainnya yang belum diketahui manusia.
Pengimplementasian al-Quran dalam bentuk kalam insan ini terjadi
karena Sang Pemilik Kalam (Allah swt) menghendaki agar kalamNya
dapat dipahami untuk dijadikan sebuah pedoman, disebarkan,
diajarkan kepada seluruh umat manusia. Sehingga jika hal ini yang
dinginkan maka tentu saja didalam kalam Insan tersebut harus memuat
unsur-unsur esensial yang dapat diterima dan diterapkan di berbagai
space, time and people di seluruh dunia. Oleh karena itu, walaupun
kalam insan ini diturunkan di sosio kultural suatu daerah yang terkenal
dengan padang pasirnya yang panas, namun unsur-unsur esensial atau
filosofi dalam kalam insan ini pasti berlaku umum bagi seluruh lapisan
manusia di berbagai daerah dan waktu. Hanya saja yang dibutuhkan
adalah pemahaman nilai – nilai ajarannya dengan menggunakan
pemahaman atau tafsir yang sesuai dengan jiwa hukumnya. Hal ini
semakin dipermudah terutama setelah dibukukannya atau
dikumpulkannya ayat-ayat al-Quran dalam satu mushaf pada masa Abu
Bakar, sehingga proses penggalian hukum pada masa ini semakin
memperoleh kemudahan.

2. Hadis

14
Bila ada suatu masalah hukum yang tidak terdapat pada al-
Quran, maka selanjutnya para sahabat selalu mengembalikan
permasalahan hukum tersebut kepada al-Hadits selaku sumber hukum
kedua (Sekunder). Hal ini juga berlaku umum untuk seluruh masa
perkembangan hukum islam. Pada masa Khulafa‟ur Rasyidin, proses
Takhrijul Hadits Listinbatil Hukmi benar-benar diawasi dengan sangat
ketat, agar tidak ada satupun hadits yang diriwayatkan oleh perowi
dalam keadaan maudhu‟ atau dibuat-buat. Bahkan sahabat Abu bakar
dan Umar pun mensyaratkan para perowi untuk menyebutkan para
rijalul haditsnya ketika meriwayatkan suatu hadits tertentu. Kelemahan
dari penggunaan dalil hokum islam ini belum dibukukannya hadits,
sehingga tiap-tiap sahabat memilikikuantitas hafalan dan pengetahuan
yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain, sehingga hasil ijtihad
yang diambil pun kadang-kadang bertentangan dengan pendapat
sahabat yang lain. Namun, untuk mengatasi masalah ini, para sahabat
sering menggunakan metode ijma‟ atau diskusi serta tanya jawab
dengan sahabat yang lainnya. Sehingga akan tercipta khazanah
keilmuan yang mumpuni pada diri masing-masing sahabat dengan
adanya diskusi atau periwayatan hadits.

3. Ijtihad Sahabat
Jika dalam suatu permasalahan yang muncul itu tidak ditemukan
hukumnya dalam al – Quran maupun Hadits, maka para sahabat pun
berijtihad dengan menggunakan Ro‟yu atau buah pemikiran mereka.
Ijtihad adalah mencurahkan segenap kesungguhan dalam penggalian
hukum syar‟i yang bersumber dari al – Quran dan Hadits yang telah
ditetapkan sebagai dalil hukum. Ijtihad yang dilakukan para sahabat
dalam periode ini biasanya menggunakan metode ijma‟ atau qiyas,
baru kemudian maslahah. Ijma‟ terjadi secara jama‟i terhadap suatu
permasalahan, namun pada masa ini ijma‟ tidak harus dalam suatu
acara yang formal namun bisa berbentuk diskusi atau tanya jawab
antara dua orang sahabat atau lebih, yang walaupun biasanya masing –

15
masing punya metode sendiri – sendiri sehingga jarang sekali terjadi
penyatuan pendapat, namun perbedaan ini tidak sampai menimbulkan
konflik di kalangan umat islam itu sendiri, hal ini malah mampu
menambah tsarwah fiqhiyyah mereka. Dalam metode qiyas para
sahabat mengambil hukum dari nash-nash yang bisa dikaji ulang,
dengan asumsi bahwa setiap nash itu punya illat (sebab hukum) yang
menjelaskan sebab hukumnya, punya illat yang bisa dijadikan dasar
penggalian hukumnya, punya illat yang bisa memungkinkan masuknya
kategori permasalah baru yang di dalamnya dijumpai adanya illat
tersebut, sedangkan nash itu tidak menghukumi perkara baru tersebut.
Bila kedua hal itu tidak bisa dilakukan maka biasanya para Kaba‟irus
Shohabah mencari jiwa hukumnya atau subtansi hukumnya yang
menurut mereka pasti akan mempunyai satu arah tujuan yaitu
kemaslahatan dan keadilan hukum. Metode maslahah ini banyak
digunakan sahabat ketika melihat bahwa dalam masyarakatnya yang
baru dan majemuk, serta perbedaan sosio-kultural di antara masyarakat
satu dengan yang lainnya, membutuhkan dinamisasi hukum, karena
permasalahan-permasalahan sosial yang bersifat dinamis itu tidak
mungkin dihukumi dengan nash-nash syar‟i yang statis, yang hanya
diberlakukan pada suatu daerah hukum dan masyarakat di Makkah dan
Madinah saja.

16
D. PENYEBAB PERBEDAAN PENDAPAT DIKALANGAN SAHABAT

Perbedaan pendapat (ikhtilaf) merupakan hal yang pasti terjadi,


bahkan hal ini juga terjadi dikalangan sahabat pada masa Rasulullah saw.
masih hidup, seperti perbedaan pendapat saat Rasulullah memerintahkan
sahabat pergi ke bani Quraidhoh, beliau mengatakan:

َ ُ‫قُ َر ْي َظ َة ََل ي‬
‫ص ِّل َينَّ أ َ َح ٌد ا ْل َعص َْر ِإ ََّل ِفي َب ِني‬

"Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian shalat „Ashar keculi di


perkampungan Bani Quraizhah." Lalu tibalah waktu shalat ketika mereka
masih di jalan, sebagian dari mereka berkata, „Kami tidak akan shalat
kecuali telah sampai tujuan‟, dan sebagian lain berkata, „Bahkan kami
akan melaksanakan shalat, sebab beliau tidaklah bermaksud demikian‟.
Maka kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi saw, dan beliau tidak
mencela seorang pun dari mereka." (HR. Bukhory dari Ibnu „Umar r.a)

Hanya saja tatkala perbedaan pendapat tidak disikapi dengan benar, maka
hal ini menjadi pintu masuknya fitnah yang bisa dimanfaatkan oleh musuh
Islam untuk mengadu domba antar umat Islam sehingga tidak ada lagi rasa
pembelaan terhadap sesama saudara se‟aqidah yang berbeda pendapat
dengannya. Tulisan ini mencoba mengurai secara ringkas sebab-sebab
perbedaan pendapat, memilah dan bagaimana menyikapinya.

Sebab-Sebab Ikhtilaf

Ikhtilaf bisa muncul karena hawa nafsu, atau karena ijtihad yang
memang diizinkan syara‟ (bagi yg layak untuk berijtihad). Ikhtilaf yang
disebabkan karena hawa nafsu adalah ikhtilaf yang tercela, karena berarti
menjadikan hawa nafsu sebagai dalil syara‟ dan ikhtilaf karena hal ini
tidak dianggap sebagai ikhtilaf yg ditolerir syara‟.

Adapun ikhtilaf karena ijtihad yang diizinkan syara‟ terjadi karena banyak
sebab yang bisa dikembalikan kepada dua hal yakni: karena dalil atau
karena kaidah-kaidah ushul yang berkaitan dengan dalil.

17
Sebab Ikhtilaf karena Dalil

Al Bathlayusy (w. 521 H) dalam kitabnya Al Inshâf, ikhtilaf dalam berdalil


bisa karena beberapa hal, diantaranya:

Lafadz yg mengandung beberapa makna (musytarok) juga lafadz yg


mengandung penakwilan. Seperti:

‫والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثالثة قروء‬

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali


quru. (Al Baqarah : 228)

Quru‟ diartikan suci oleh orang-orang Hijaz, dan diartikan haid oleh
orang-orang „Iraq.

Lafadz yang mengandung makna hakiki dan majazi (kiasan). Semisal:

ْ ‫… أَ ْو ََل َم‬
َ ِّ‫ست ُ ُم الن‬
‫سا َء‬

Atau menyentuh perempuan. (QS. al-Maidah[5]: 6)

Yang dimaksud menyentuh di dalam ayat ini bisa berarti menyentuh


dengan tangan atau jima‟. Sehingga terjadi perbedaan pendapat apakah
menyentuh dengan tangan membatalkan wudlu atau tidak.

Penggunaan dalil antara ‘umum dan khusus.

ِ ‫( الَ ِإ ْك َراهَ فِي الد‬tidak ada paksaan dalam beragama (untuk


Semisal ayat ‫ِين‬
memeluk Islam)) apakah berlaku „umum untuk semua org kafir atau
khusus untuk ahli kitab yang membayar jizyah.

Perbedaan qira’at (bacaan) al Qur’an dan pandangan terhadap


periwayatan hadits. Semisal bacaan Al Qur‟an:

‫سكم وأرجلكم‬
ِ ‫ وامسحىا برؤو‬..

Dan sapulah kepala kalian dan kaki kalian … (Al Ma‟idah : 6).

18
Nafi‟ dan Al Kisa‟i membacanya dengan nashab (‫ )وأرجلَكم‬sedangkan
riwayat Al Walid bin Muslim bacaannya rofa‟ (‫ )وأرجلُكم‬ini adalah
qira‟atnya Al Hasan, adapun qira‟atnya Abu „Amr, Ibnu Katsir dan
Hamzah dengan khafdl ‫))وأرج ِلكم‬. Sehingga bagi yg membaca nashob maka
mereka mengatakan yang wajib dalam wudlu adalah membasuh, bukan
mengusap – ini adalah pendapat jumhur, sebaliknya yang membacanya
khofdl menyatakan wajibnya adalah mengusap, bukan membasuh.

Termasuk juga perbedaan bisa terjadi saat menilai hadits, semisal Imam
An Nawawi (w. 676 H), yang menilai hadits bahwa Rasul saw. tidak
meninggalkan qunut shubuh sebagai hadits shahih (dalam Al Majmu‟),
sedangkan ahli hadits yang lain mendlo‟ifkannya. Begitu juga semisal
mengusap tangan ke wajah setelah berdo‟a, Ibnu Hajar Al Asqalany
menilainya hasan (dalam Bulughul Maram), sedang ahli hadits yang lain
banyak yang mendlo‟ifkannya.

Adanya anggapan penghapusan hukum (nasakh) atau ketiadaannya.


Seperti:

Aku telah melarang kalian berziarah kubur. (Akan tetapi sekarang)


silakan berziarah. (HR. Al Hakim dari Anas)

Terlupakan atau tidak terperhatikannya suatu hadits

Misalnya saat para shahabat mau menuju syam saat melewati daerah yang
diserang wabah tha‟un, sebagian ingin melewati saja dg alasan taqdir
Allah, sebagian ingin kembali ke Madinah, sampai Abdurrahman bin „Auf
datang dan berkata:

ٍ ‫س ِم ْعت ُ ْم بِ ِه بِأ َ ْر‬


َ ‫ض فَ َال ت َ ْق َد ُمىا‬
‫علَ ْي ِه‬ ً ‫ض َوأ َ ْنت ُ ْم بِهَا فَ َال ت َ ْخ ُر ُجىا فِ َر‬
َ ‫ارا ِم ْنهُ فَ ِإذَا‬ ٍ ‫َوإِذَا َوقَ َع بِأ َ ْر‬

Maka itu jika kalian mendengar ada wabah tersebut (tha‟un) di suatu
wilayah janganlah kalian memasuki wilayah tersebut dan jika kalian
sedang berada di wilayah yang terkena wabah tersebut janganlah kalian
mengungsi karena lari darinya (HR. Bukhory)

19
Dampak Perbedaan Para Sahabat

Para sahabat radyallahu „anhu, meskipun berbeda pendapat dalam masalah


furu‟, mereka tetap teguh memelihara kesatuan, jauh dari perpecahan dan
tidak berpecah belah. Sebagai contoh, membaca basmalah secar jahr
(dikeraskan), sebagian sahabat menyatakan bahwa hal itu disyariatkan,
sementara yang lain menyatakan tidak disyariatkan. Demikian juga
masalah menyentuh wanita setelah wudhu, ada yang berpendapat batal dan
ada yang berpendapat tidak batal, sekalipun demikian, mereka tetap shalat
berjama‟ah dibelakang seorang imam dan tidak mau meninggalkan shalat
dibelakang seorang imam dikarenakan perbedaan pendapat.

Adapun para pelaku taklid, maka perselisihan mereka bertolak belakang


dengan perselisihan para sahabat. Salah satu dampaknya adalah tercerai
berainya kaum muslimin dalam rukun islam terbesar yaitu shalat. Orang
yang berbeda madzhabnya tidak mau shalat dibelakang imam yang tidak
sama madzhabnya.

Bahkan perselisihan ini mencapai keadaan yang lebih ekstrim lagi pada
sebagian pelaku taklid. Misalnya larangan menikah antara pria
bermadzhab Hanafi dengan wanita bermadzhab Syafi‟i,

Itulah contoh perbedaan yang telah nyata berdampak negatif terhadap


umat, sebagai akibat dari perselihan penadpat ulama muta‟akhirin yang
terus dipertahankan. Hal ini berbeda dengan ikhtilaf yang terjadi
dikalangan salaf yang tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap umat.
Oleh karena itulah golongan salaf saat ini merupakan golongan yang
paling selamat, karena mereka mematuhi larangan untuk bercerai berai
dalam agama. Semoga Allah subhanahu wa ta‟ala menunjukkan kepada
kita semua pada jalan yang lurus.

20
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkembangan pemikiran dalam bidang hukum Islam pada masa sahabat
Rasulullah merupakan suatu tatacara untuk menetapkan hukum yang memerlukan
suatu daya upaya yang sesuai dengan pemahamannya terhadap keberadaan hukum
Islam yang harus ditegakkan dan dilaksanakan tanpa ada suatu tindakan maupun
pandangan yang menyimpang atau menjauhi dari tujuan hukum Islam sendiri dan
dasar-dasar hukum di dalamnya, yakni al-Qur‟an dan Sunnah. Meskipun
perbedaan selalu muncul di kalangan para sahabat, namun itu tidak membuat
suatu pertentangan yang berarti pada permusuhan, tetapi ada hikmah di balik
perbedaan tersebut, karena memang masing-masing sahabat pada waktu itu juga
memiliki dasar serta orientasi keilmuan yang berbeda dan latar belakang
pribadinya, yang tentunya semua itu mendukung sekali terhadap keputusan
hukum yang dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang muncul
dalam dinamika kehidupan masyarakat Islam di saat itu.Tuhan menjadikan syariat
yang dibawa Muhammad SAW.-lah syariat terakhir yang bisa berlaku untuk
sepanjang masa, tetapi jumlah ayat al-Qur‟an dan Sunnah terbatas, sedang
kejadian-kejadian baru yang dihadapi manusia silih berganti sesuai dengan
kemajuan yang terus berkembang. Sekiranya ijtihad dalam penetapan hukum tidak
boleh, sedangkan nash-nash terbatas pada yang telah ada, maka akan
menimbulkan kesempitan hidup, dan tentunya harus ada jalan keluar, dengan jalan
ijtihad

I
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. (1994). Ushul Fiqih. Penerjemah: Saefullah Ma‟shum
dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus.Ahmed, Al-Haj Moinuddin. (1992).
The Urgency of Ijtiha., India: Kitab Bhavan.Ali As-Saayis, Syekh Muhammad.
(1995).
Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh(Hasil Refleksi Ijtihad). Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.Djamil, Fathurrahman. (1999).
Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.Hallaq, Wael B. (2001).
Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan, Bandung.Haroen,
Nasrun. (1997).
Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.Hasan, Ahmed. (1994).
The Early Development of Islamic Jurisprudence. Delhi: Adam Publishers &
Distributors.Khallaf, Abdul Wahhab. (1996).
Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh). Penerjemah: Noer Iskandar
Al-Barsany & Moh. Tolchah Mansoer. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Muh. Anis Al-Qalam Jurnal Kajian Islam & pendidikan Volume 8, No. 1, 2016 ISSN
(print) : 1858-4152

II

Anda mungkin juga menyukai