Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Periode Pembinaan Hukum pada Masa Khulafa’ur Rasyidin, Sumber Hukum serta
Penetapan Hukum Islam

Di susun guna Memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Tasyri’

Dosen Pengampu : Achmad Kholik, LC.,M.Ag.

Di susun oleh:

Wahyuningsih 33030180020

HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang mana telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kita semua dalam menjalankan kehidupan di dunia yang sementara ini. Shalawat dan
salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus oleh Allah SWT
sebagai nabi terakhir yang menjadi petunjuk bagi semua makhluk.

Alhamdulillah kami ucapkan ke hadirat Allah SWT atas terselesaikannya makalah ini
dengan judul “Periode Pembinaan Hukum pada masa Khulafa’ur Rasyidin, Sumber Hukum
serta Penetapan Hukum Islam ” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas dari
dosen, Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung
dalam penyusunan makalah ini, penulis juga menyadari akan kekurangan dan kesalahan
dalam makalah ini, olehnya itu kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis
butuhkan untuk mengoreksi kesalahan dalam makalah ini.

Salatiga, 19 Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB IPENDAHULAUN 1

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 1

BAB II PEMBAHASAN 2

A. Kondisi Hukum Islam Pada Masa Khulafa’ur Rasyidin 2


B. Sumber Hukum Islam Pada Masa Khulafa’ur Rasyidin 8

BAB III PENUTUP 10

KESIMPULAN 10

SARAN 11

DAFTAR PUSTAKA 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Periode kedua pada masa perkembangan fiqh atau hukum islam bermula sejak
wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 11 H dan berakhir ketika Mu’awiyah bin Abi
Sufyan menjabat sebagai khalifah pada tahun 41 H. pada priode-periode ini hidupah
sahabat-sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan bendera dakwah islam setelah
wafatnya Nabi Muhammad Saw.

Masa Khulafa’ur Rasyidin atau masa Kibarus Sahabat, bisa dibilang masa yang
penuh dengan kekuatan sekaligus perpecahan. Disebut sebagai amsa kekuatan islam,
Karena pada masa ini, jiwa dan akidah umat islam masih melekat erat pada diri masing-
masing identitas masyarakat islam pada masa itu sebagai hasil usaha keras Nabi dalam
menyebarkan agama islam dan mengajarkan ketauhidan pada diri mereka, sehingga
akidah umat islam masa ini masih kuat. Namun masa ini disebut juga masa permulaan
perpecahan umat islam, karena setelah Nabi Muhammad Saw meninggal dunia, para
sahabat mulai berselisih mengenai siapakah yang akan menjadi pemimpin umat islam
berikutnya, yang bermula dari peristiwa Tsaqifah Bani Sa’idah yang berjarak beberapa
kilometer dari kediaman Nabi di Madinah pada masa wafatnya. Hal ini muncul karena
Nabi Muhammad, sebagai panutan dan petunjuk bagi mereka tidak mewasiatkan atau
menunjuk seseorang sebagai penggantinya kelak. Beberapa pendapat mengatakan bahwa
hal ini dilakukan agar para sahabat dapat berijtihad sesuai dengan perkembangan zaman
masing-masing sahabat itu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi hukum islam pada masa Khulafa’ur Rasyidin?
2. Apa saja yang menjadi sumber hukum islam pada masa Khulafa’ur Rasyidin?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kondisi hukum islam pada masa Khulafa’ur Rasyidin.
2. Untuk mengetahui sumber hukum islam pada masa Khulafa’ur Rasyidin.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONDISI HUKUM ISLAM PADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN

Periode Khulafa’ur Rasyidin ini dimulai sejak wafatnya Rasulullah Saw pada
tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H atau 632 M, dan diakhiri pada akhir abad pertama
Hijriah (11-41 H atau 632-661 M). Menurut para ahli sejarah islam, periode ini adalah
periode penafsiran undang-undang dan terbentuknya pintu-pintu istinbath hukum dalam
kejadian-kejadian yang tidak ada nash hukumnya. Dari pemuka-pemuka sahabat
timbullah banyak pendapat dalam menafsirkan nash-nash hukum dalam alquran dan al
hadist yang dapat dipandang sebagai pandangan yuridis bagi penafsiran-penafsiran nash
serta sebagai penjelasannya.1 Setelah wafatnya Nabi, umat islam banyak menghadapi
masalah. Hal ini dikarenakan semakin meluasnya pemerintahan islam hingga melampaui
semenanjung Arabiyah, itu juga tentunya membawa dampak yang begitu besar bagi
perkembangan pemikiran umat islam pada masa itu. Berbagai macam permasalahan yang
timbul dikarenakan vakumnya pemerintaha dan karena perluasan wilayah islam semakin
memaksa para sahabat untuk benar-benar berijtihad dalam menyelesaikan permasalahan-
permasalahan tersebut. Secara umum permasalahan – permasalahan itu dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa aspek, yaitu:

1. Aspek Politik
a. Kekhalifahan Abu Bakar Ash Shidiq (11 – 13 H atau 632 – 634)

Masalah yang paling urgen di kalangan umat islam pasca wafatnya Nabi
SAW adalah masalah politik, terutama masalah imamah atau kekhalifahan. Dalam
masa kevakuman pemerintahan ini, masyarakat islam membutuhkan sosok
pemimpin baru, karena tanpa kehadiran seorang pemimpin baru, wilayah
kekuasaan islam yang telah membentang sampai wilayah sebagian besar jazirah
Arab, akan dengan mudah hancur atau terpecah – belah kembali, di samping
kekhawatiran adanya serangan dari bangsa – bangsa lain, seperti dari bangsa
Romawi dan Persia, sehingga stabilitas keamanan umat islam saat itu terancam.
Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa Nabi Muhammad di akhir hayatnya

1
Abdul Wahab Khallaf. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam. 1985. Yogyakarta: CV. Bayu Grafika Offset. Hal. 21.

2
tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan meneruskan perjuangannya
menjadi khalifah dan menyebarkan agama islam ke seluruh Dunia.

Sampai akhirnya muncullah suatu peristiwa bersejarah yang terkenal


dengan sebutan “Tsaqifah”. Peristiwa ini terjadi di Madinah, tepatnya di daerah
Tsaqifah dengan penduduk sekitarnya adalah mayoritas keturunan suku ‘Aus dan
suku Khazraj yang secara historis telah menjadi musuh bebuyutan semenjak pra-
islam.

Kedua suku yang terkenal dengan sebutan kaum Anshor, merasa paling
berhak untuk menyatakan dan mengangkat diri mereka sebagai seorang khalifah
sebagai penerus dan pengganti Nabi SAW, karena atas jasa merekalah umat islam
bisa terus Berjaya hingga saat itu. Meskipun sebenarnya kedatangan Nabi dan Para
Muhajirin Lainnya ke kota yang dulu terkenal dengan nama Yatsrib itu adalah atas
permintaan dari kedua kelompok sosial itu, dengan tujuan agar perseteruan di
antara kedua suku itu berhenti, karena kalau peperangan antar kedua suku itu
terjadi terus – menerus maka kedua suku itu akan punah. Dan benar saja Nabi
Muhammad dengan kekuatan Islam dan akhlaknya yang luhur mampu
mendamaikan kedua suku itu selama 13 tahun lebih.

Beralih ke masalah Tsaqifah, pada peristiwa ini, kedua suku itu serasa
dikembalikan kembali ke adat jahiliyah mereka, untuk saling bertarung dan
bermusuhan kembali walaupun dalam diri mereka telah tertanam nilai – nilai islam
yang menjunjung tinggi perdamaian dan persaudaraan. Bagi mereka, bila Nabi
Muhammad telah wafat berarti tidak ada lagi seorang pendamai di antara mereka,
sehingga hal itu membuat mereka bermusuhan kembali. Pada saat itu datanglah
para sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, yang dipimpin oleh Abu Bakar dan
Umar. Umar dan sahabat lainnya kemudian langsung memproklamirkan Abu
Bakar dari golongan Muhajirin sebagai Pengganti Nabi sebagai Khalifah Umat
Islam. tentu saja hal ini tidak di setujui oleh kaum anshor, yaitu kedua suku ‘Aus
dan Khazraj, karena menurut mereka, mereka tidak lebih baik dari golongan
anshor. Namun, meskipun demikian, ternyata pada akhirnya kedua suku itu -
dikatakan - menyetujui Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Nabi SAW. Namun
sebenarnya tindakan mereka yang turut membai’at Abu Bakar sebagai khalifah
pertama tidak lebih hanyalah sebuah perfect disguise (Pura – pura yang sempurna).

3
b. Kekhalifahan Umar bin Khattab (13 – 23 H atau 634 – 643 M)

Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza dari bani Adi bin Ka’ab. Bani
Ka’ab juga termasuk keturunan Quraisy. Dulunya Abu Bakar, Umar bin Khatab,
dan Abu Ubaidah yang menjalin keakraban sejak awal masuk islam, dalam
peperangan hingga kepergiannya kepertemuan tsaqifah tanpa memberitahu sahabat
lainnya termasuk Ali bin Abi Thalib, untuk mengajukan Abu Bakar sebagai
Khalifah Pertama, ternyata tidak berhenti sampai di sini saja, persekongkolan
politik mereka berlanjut hingga saat pemberian wasiat Abu Bakar kepada Umar di
tengah – tengah sahabat yang lain sebagai khalifah penggantinya.

Meskipun Abu Bakar beralasan agar tidak terjadi konflik politik lagi seperti
dahulu, namun sebagai manusia berjiwa Arab yang menjunjung kesukuan Quraisy,
tentu saja dia tidak ingin masyarakat islam dipimpin oleh selain Suku Quraisy,
sehingga dia kemudian berinisiatif untuk mewariskan kekhalifahannya kepada
Umar bin Khattab.

Berbeda dengan Abu Bakar yang tidak terlalu suka dengan Politik, Umara’
adalah sosok sahabat yang memiliki naluri negarawan atau jiwa nasionalis yang
besar, arif akan liku – liku kekuasaan dan lebih paham tentang bagaimana caranya
menangani penduduk Arab yang berjiwa pengembala yang keras. Umar bukanlah
prajurit yang hebat di medan peperangan, bila dibandingkan dengan Ali bin Abi
Thalib atau Hamzah, namun dalam mengatasi kemelut politik ini, dia termasuk
pemberani yang sedia juga menerjang bahaya.

Kekhalifahannya berakhir setelah kematian syahidnya akibat sebuah konspirasi


politik yang dirancang oleh musuh – musuh islam, terutama kalangan Yahudi dan
Persia, yang sangat membencinya karena pada kekhalifahannya, Kekaisaran Persia
telah dihilangkan dari muka Bumi. Beliau Mati syahid terkena tikaman belati
beracun saat sedang melakukan sholat subuh, oleh seorang mantan budak Persia,
Abu Lu’luah al – Majusi. Sebelum naza’ dia sempat ingin memilih Abu Ubaidah
sebagai penerusnya, karena hubungan dekatnya dengan abu ubaidah dari semenjak
awal masuk islam, pembaia’atan Abu Bakar dan pengangkatannya. Namun karena
sahabat terdekat seperjuangannya telah meninggal dunia, maka dia pun
mewasiatkan tampuk kekhalifahannya pada 6 orang sahabat yang termasuk dalam
orang – orang yang akan masuk surga berdasarkan hadits Rasulullah, yaitu :

4
Utsman bin Affan, Ali bin abi Thalib, Thalhah, Zubair, Abdur Rahman bin Auf dan
Sa’ad bin Abi Waqosh. Kepada 6 orang ini umar berwasiat untuk memilih salah
satu di antara mereka sebagai khalifah penerusnya. Umar bin Khattab Wafat pada
bulan Dzulhijjah 23 H atau 643 M dan memerintah selama 10 tahun lamanya.

c. Kekhalifahan Utsman bin Affan (23 – 35 H atau 644 – 656 M)

Setelah wafatnya Umar, para sahabat enam yang ditunjuknya ternyata sama –
sama tidak berhasrat untuk menjadi khalifah, satu persatu di antara mereka
mengundurkan diri hingga akhirnya hanya tinggal Utsman dan Ali, kemudian
mereka pun mengadakan voting (pengambilan suara) di mana mereka bertanya
pada penduduk muslim setempat, manakah yang mereka pilih sebagai khalifah,
Utsman atau Ali. Setelah dilakukan pengambilan suara oleh keempat sahabat yang
mengundurkan diri tersebut yang ternyata langsung mengajukan diri mereka
menjadi dewan pemilihan umum, akhirnya mayoritas umat islam menginginkan
Utsman bin Affan sebagai Khalifah karena usianya yang lebih tua dibandingkan
dari Ali, tentunya akan lebih menjadi pemimpin yang bijaksana.

Dia dibai’at sebagai khalifah saat berusia 70 tahun. Pada masa pemerintahannya
jumlah kekayaan kaum muslimin sangat banyak sekali dan dia melihat bahwa
banyak gubernur – gubernur yang kurang cakap memerintah dijadikan gubernur,
sehingga yang terjadi adalah korupsi dan penggelapan uang Negara, hingga
akhirnya dia memutuskan untuk mengganti gubernur – gubernur yang tidak
kompetitif tersebut dengan gubernur – gubernur baru, yang tentu saja berasal dari
keturunan bani Umayyah. Permainan politik ini tentu saja diprotes oleh mantan
gubernur – gubernur di berbagai daerah tersebut, hal ini dimanfaatkan oleh seorang
yahudi, Abdullah bin Saba’ untuk menyebarkan fitnah di kalangan umat islam
Mesir, Kufah dan Bashrah, yang pada prinsipnya bahwa Utsman telah merebut hak
Ali bin Abi Thalib sebagai seorang khalifah, maka pasukan pemberontak dari
Mesir, Kuffah dan Bashrah secara bersamaan datang bersama – sama menyerbu
Madinah untuk mendebat Khalifah, namun Ali yang mengetahui hal ini segera
menenagkan mereka dan menjelaskan duduk persoalannya, sehingga mereka sadar
dan kemudian kembali ke masing – masing daerah. Namun lagi-lagi Abdullah bin
Saba’ membuat surat fitnah atas nama khalifah, Ali dan Aisyah yang di dalamnya

5
berisi tulisan bahwa khalifah akan mengundurkan diri dan Ali akan jadi Khalifah,
barangsiapa yang tidak setuju, maka dia akan dibunuh.

Maka mereka pun kembali ke Madinah dan mengepung kediaman khalifah, hal
ini dimanfaatkan sangat baik oleh Abdullah bin saba’ yang kemudian mengisukan
kedatangan pasukan pembela khalifah dari berbagai daerah, para pemberontak ini
pun khawatir hingga akhirnya mereka mendesak masuk ke rumah khalifah Utsman
dan kemudian membunuhnya pada saat dia sedang membaca al – Quran mushaf
Utsmaninya.

Beberapa riwayat menyebutkan bahwa yang membunuh Utsman adalah al –


Ghafiqi. Khalifah Utsman wafat pada bulam Dzulhijjah tahun 35 H atau 656 M,
usia kekuasaannya adalah 12 tahun. Salah satu kebijakan Utsman selama
memerintah adalah penyatuan bacaan al – Quran dalam satu mushaf setelah
khawatir terjadinya perbedaan cara baca dalam qiroah sab’ah, kemudian
menamainya dengan Rasm Utsmani dan membakar al – Quran yang lainnya untuk
memelihara persamaan bacaan di antara kaum muslimin yang pada saat itu sudah
sangat luas sekali kekuasaannya.

d. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (35 – 40 H atau 656 – 661 M)

Namanya Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib, sepupu Rasulullah,
keturunan Quraisy. Dia dibaiat menjadi khalifah bukan atas kemauan sendiri,
namun karena kemauan para sahabat lain karena kekhawatiran mereka mengenai
konflik yang sedang terjadi di kalangan umat islam. Ali bukanlah orang yang
pandai dalam hal politik, dia lebih dikenal sebagai sosok “pintu ilmu” dan juga
seorang pemberani dan tangkas sebagai prajurit dalam medan perang, banyak
orang yang terbunuh di tangannya, termasuk paman, kakek dan saudara
Mu’awiyah yang ketiganya meninggal akibat pedang Ali. Namun tanpa sadar hal
itu malah membuat Ali seolah – olah sedang menumbuhkan musuh – musuh di
sekelilingnya, seperti Mu’awiyah yang saat itu sangat membencinya. Ali
terbunuh oleh seorang Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam pada
saat akan melaksanakan shalat subuh. Peristiwa ini dipicu oleh adanya peristiwa
pemberontakan sampai perang jamal antara Ali dan Aisyah serta Mu’awiyah,
yang dikonspirasi oleh Mu’awiyah sebagai usaha balas dendamnya atas darah
keluarganya yang tewas di tangan Ali bin Abi Thalib. Peristiwa pembunuhan ini

6
terjadi pada bulan Ramadhan tahun 40 H atau 661 M. Dengan meninggalnya Ali
bin Abu Thalib berakhirlah periode khulafaur Rasyidin yang kenudian
dilanjutkan oleh periode Bani Umayyah.

2. Aspek Fiqh

Semakin luasnya wilayah islam, maka perkembangan ijtihad para sahabat pun
semakin besar, hal ini disebabkan munculnya masalah – masalah baru terkait dengan
budaya bangsa era itu sendiri, sebagaimana yang kita ketahui daerah

Makkah mempunyai keberbedaan budaya dengan daerah Mesir. Namun justru hal
inilah yang kemudian semakin memperkaya Tsarwah Fiqhiyyah umat islam pada zaman
tersebut. Fiqih atau penggalihan hukum islam pada periode Khulafa’ur Rasyidin ini
terasa sangat hidup dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul, meskipun lebih kecil
dibanding periode berikutnya, seiring dengan perkembangan fiqih itu sendiri. Selain
periwayatan hadits yang sangat ketat, pada periode ini ijtihad seringkali dilakukan secara
jama’i sehingga ruang ijtihad yang begitu luas itu jarang menimbulkan ikhtilaf. Pada
periode ini fatwa – fatwa dan masa’il fiqih belum ditulis seperti juga sunnah. Kendati
demikian, kita mulai dapat mengklasifikasikan kaidah – kaidah ushuliyah dan metode
ijtihad yang digunakan oleh fuqaha’ sahabat dalam melakukan ijtihad. Dalam banyak
hal, fatwa-fatwa dan masa’il fiqhiyah itu memang masih bercampur dengan dalil – dalil
dan kaidah – kaidah Istidlal.

3. Aspek Aqidah

Aspek akidah pada masa setelah wafatnya Rasul menjadi hal yang sangat
menggelisahkan umat islam. berawal dari berita wafatnya Nabi Muhammad yang
tersebar di kalangan para sahabat, membuat mereka merasa kehilangan yang sangat
besar karena secara historis Nabi Muhammad – lah yang mampu mengangkat mereka
dari keterpurukan dan kesesatan serta kekufuran menuju ketauhidan dan agama islam
yang rohmatan lil alamin itu. Bagi mereka Nabi adalah sesosok agung yang senantiasa
memberikan cahaya petunjuk dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat islam zaman
itu. Sehingga ketika mendengar Nabi yang begitu mereka cintai itu, yang telah
memimpin dan menjadi petunjuk bagi mereka selama 38 tahun (25 – 63 tahun), hati dan
iman mereka mulai gelisah.

7
B. SUMBER HUKUM ISLAM MADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN
1. Al-Qur’an

Al – Quran adalah sumber primer dalam penggalian atau pembentukan hukum


islam, apakah itu pada masa Nabi, Sahabat, Tabi’in hingga sekarang peran al –
Quran sebagai Sumber Hukum Islam Pertama atau primer yang wajib didahulukan
daripada sumber hukum lainnya. Al – Quran adalah kalam Allah yang
diimplementasikan dalam bentuk kalam insan yang diberikan kepada Nabi
Muhammad SAW bertahap – tahap sesuai dengan permasalahan yang terjadi di
sekitar Nabi pada masa itu, atau permasalahan yang ditanyakan kepada Nabi, atau
hal – hal lainnya yang belum diketahui manusia.

2. Hadist

Bila ada suatu masalah hukum yang tidak terdapat pada al – Quran, maka
selanjutnya para sahabat selalu mengembalikan permasalahan hukum tersebut
kepada al – Hadits selaku sumber hukum kedua (Sekunder). Hal ini juga berlaku
umum untuk seluruh masa perkembangan hukum islam. Pada masa Khulafa’ur
Rasyidin, proses Takhrijul Hadits Listinbatil Hukmi benar – benar diawasi dengan
sangat ketat, agar tidak ada satupun hadits yang diriwayatkan oleh perowi dalam
keadaan maudhu’ atau dibuat – buat. Bahkan sahabat Abu bakar dan Umar pun
mensyaratkan para perowi untuk menyebutkan para rijalul haditsnya ketika
meriwayatkan suatu hadits tertentu. Kelemahan dari penggunaan dalil hukum islam
ini belum dibukukannya hadits, sehingga tiap – tiap sahabat memiliki kuantitas
hafalan dan pengetahuan yang berbeda – beda antara satu dengan yang lain,
sehingga hasil ijtihad yang diambil pun kadang – kadang bertentangan dengan
pendapat sahabat yang lain. Namun, untuk mengatasi masalah ini, para sahabat
sering menggunakan metode ijma’ atau diskusi serta tanya jawab dengan sahabat
yang lainnya. Sehingga akan tercipta khazanah keilmuan yang mumpuni pada diri
masing – masing sahabat dengan adanya diskusi atau periwayatan hadits.

3. Ijtihad Sahabat

Jika dalam suatu permasalahan yang muncul itu tidak ditemukan hukumnya
dalam al – Quran maupun Hadits, maka para sahabat pun berijtihad dengan
menggunakan Ro’yu atau buah pemikiran mereka. Ijtihad adalah mencurahkan

8
segenap kesungguhan dalam penggalian hukum syar’i yang bersumber dari al –
Quran dan Hadits yang telah ditetapkan sebagai dalil hukum.

Para sahabat pada masa ini tidak berijtihad atau mengeluarkan pendapat terhadap
suatu perkara sehingga perkara itu muncul/ ada yang menanyakannya, jika hal itu
terjadi maka mereka berijtihad untuk menggali hukumnya, jika tidak maka mereka
tidak pernah membuat suatu institusi hukum semisal MUI, untuk membuat masalah
sekaligus menghukuminya. Hal inilah yang menyebabkan fatwa-fatwa hukum yang
dinukil dari para sahabat di periode tersebut sangat sedikit sekali. 2Dasar penggunaan
ketiga sumber hukum ini adalah hadits yang menceritakan tentang pengutusan
Mu’adz bin Jabal ke Syam oleh Nabi Huhammad SAW, sebelum mengutusnya Nabi
menanyainya : “bila engkau menemukan masalah di sana apa yang akan kau
lakukan?”, maka Mu’adz pun menjawab : “aku akan menghukuminya dengan Kitab
Allah, dan jika aku tidak menemukan hukumnya, maka aku akan kembali pada
sunnah RasulNya, dan jika aku tidak berhasil, maka aku akan berijtihad (untuk
menghukuminya) dengan pikiranku”. Kemudian rasul menepuk bahunya sebagai
tanda persetujuan beliau terhadap Mu’adz bin Jabal.

BAB III
2
Muhammad Hudhori. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. Jeddah: Al-Haromain. Hal. 114.

9
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
Sejarah hukum islam pada masa Khulafaur Rasyidin secara periodik terbagi
menjadi 4, yaitu periode Abu Bakar, Periode Umar bin Khattab, periode Utsman bin
Affan dan periode Ali bin Abu Thalib. Yang perlu digaris bawahi dalam pemahaman
mengenai tasyri’ pada masa ini adalah bahwa meskipun disebut periode Khulafa’ur
Rasyidin, namun dalam praktisnya para mujtahid hukum bukan hanya para Amirul
Mukminin yang 4 saja, akan tetapi seluruh kibarus sahabat yang hidup pada masa ini juga
sering berijtihad terhadap semua permasalahan yang dirasa aktual dan dibutuhkan di
antara umat islam. Dalam hal permasalahan hukum itu telah ada hukumnya dalam nash
al-Quran, maka digunakanlah hukum yang didapat dari nash tersebut. Dan bila hukum
permasalahan itu tidak ditemukan dalam al-Quran maka mereka mencari hukumnya di
dalam Hadits, namun karena hadits masih belum dibukukan, maka sering terjadi
perbedaan pendapat mengenai satu persoalan yang sama tetapi menghasilkan produk
hukum yang berbeda, tergantung kapasitas hadits yang dimiliki masing-masing sahabat.
Untuk menghadapai masalah ini, para sahabat seringkali berdiskusi untuk saling bertukar
wawasan tentang hadits yang mereka hafal. Dan bila mereka tidak dapat menemukan
hukumnya di dalam al-Quran dan Hadits maka mereka berijtiad dengan menggunakan
Ro’yu mereka sendir-sendiri, maka kemudian terciptalah metode Qiyas, penggalihan illat
hukum, ijma’, hingga akhirnya pada tahap penelusuran substansi syari’at dengan
menggunakan metode maslahah, yaitu mencari hal yang maslahat bagi manusia secara
umum. Beberapa contoh hasil ijtihad para sahabat dalam penentuan hukum islam
terhadap suatu persoalan. Contohnya pembukuan al-Quran dalam satu mushaf oleh Abu
bakar karena kekhawatirannya akan hilangnya al-Quran dengan hilangnya para syuhada’
yang hafal al-Quran. Contoh lain penulisan al-Quran dalam satu huruf atau qiro’ah untuk
menyeragamkan bacaan al-Quran secara menyeluruh bagi umat islam yang pada saat itu
semakin luas wilayahnya.

B. SARAN
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah “Hukum Islam Pada

10
Masa Khulafa’ur Rasyidin” di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentu
dapat di pertanggungjawabkan oleh penulis. Untuk saran bisa berisi kritik atau saran
terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan
makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka.

DAFTAR PUSTAKA

11
Khallaf, Abdul Wahab. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam. 1985. Yogyakarta: CV. Bayu
Grafika Offset.

Hudhori, Muhammad. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. Jeddah: Al-


Haromain.

12

Anda mungkin juga menyukai