Anda di halaman 1dari 20

BIDANG STUDI DOSEN PENGAMPU

S. PERADABAN ISLAM MASITAH M.Pd

TUGAS MAKALAH

“Ekonomi dan Sumber  Keuangan Negara; Masa Khulafa Al-Rosyidin,


Fsaqifah Bani Sa’idah.
Sistem politik, Pemerintahan dan Bentuk negara”

Disusun Oleh kelompok 4:

Adinda Febiola (12120521270)

Nurul Mailani (12120523662)

Zulia Sahara Putri (12120521315)

PRODI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

PEKANBARU

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan kami
kesempatan dan kesehatan sehingga saya bisa menyelesaikan makalah tentang ekonomi dan
sumber keuangan negara, masa khulafa al rosyidun: fsaqifah bani sa’idah. Sistem politik,
pemerintahan dan bentuk negara. Tidak lupa pula shalawat serta salam selalu saya hadiahkan
kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw.

Dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati kami menyampaikan terima
kasih kepada dosen pengampu Ibu Masita M.pd. Selaku dosen mata kuliah Sejarah peradaban
islam yang telah memberikan waktu dan kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini.

Demikian pengantar yang telah kami sampaikan, kami mohon maaf apabila terdapat
banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari makalah ini bukanlah
karya sempurna karena masih memiliki banyak kekurangan baik dalam isi, maupun
sistematika dan teknik penulisannya. Oleh sebab itu, kami selaku penulis mengaharapkan
saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 11 maret 2022

Kelompok 4

ii
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................5
C. Tujuan Masalah............................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................6
A. Khulafa Al Rosyidin......................................................................................................6
B. Tsaqifah Bani Saidah....................................................................................................7
C. Sistem Panggantian Kepala Negara............................................................................8
D. Sistem Politik, Pemerintahan dan Bentuk Negara.....................................................8
BAB III PENUTUP................................................................................................................19
A. Kesimpulan..................................................................................................................19
B. Saran.............................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nabi Muhammad SAW wafat pada tanggal 12 Rabiulawal tahun 11 H atau tanggal 8
Juni 632 M. Sesaat setelah beliau wafat, situasi di kalangan umat Islam sempat kacau. Hal ini
disebabkan Nabi Muhammad SAW tidak menunjuk calon penggantinya secara pasti. Dua
kelompok yang merasa paling berhak untuk dicalonkan sebagai pengganti Nabi Muhammad
SAW adalah Kaum Muhajirin dan kaum Anshar.

Wafatnya Rsulullah SAW. dalam usia yang ke 63 tahun telah berimplikasi pada satu
kerisis figure kepemimpinan umat Islam pada saat itu. Beliau tidak berwasiat apa-apa dan
siapa yang akan menggantikannya sebagai khalifah. Sebab persoalan yang besar ini
diserahkan kepada musyawarah umat Islam. Masa setelah Rasulullah SAW. wafat kita kenal
dengan nama masa Khulafaur Rasyidin.

Masa Khulafaur Rasyidin yang lamanya tidak lebih dari tiga puluh tahun, dimulai
sejak tahun 11-41 H./632-661 M. Pada Masa ini peradaban Islam mencapai puncaknya,
maksudnya adalah peradaban manusia yang berakar pada akidah yang berusaha untuk
melahirkan manusia-manusia yang bahagia. Pada masa ini juga terjadi penaklukan-
penaklukan Islam di Persia, Syam, Mesir, dan lain-lain. Diakhir pemerintahan mereka
munculah fitnah dan perpecahan yang mengakibatkan terbentuk beberapa kelompok dan
sekte.

Maka dari situ kami pemakalah mencoba mengupas sedikit tentang “Peradaban Islam
Pada Masa Khulafaur Rasyidin” dengan sub judul: Tsaqifah bani sa’idah, sistem politik,
pemerintahan dan bentuk negara, sistem penggantian kepala negara, khalifah, amirul
mukminin, dan imam. masa Abu Bakar As-sidiq,  Umar bin Khattab, masa Ustman dan Ali
bin Abi Tholib, dan apabila ada kekurangan dari makalah kami ini,kepada saudara/I,sekalian
mohon krtikan dan saranya terutama pada dosen pembimbing.

4
B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Khulafa Al Rosyidun


2. Apa itu Fsaqifah Bani Sa’idah
3. Seperti apa sistem politik, pemerintahan dan bentuk negara Pada masa itu

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui khulafa al rosyidun


2. Untuk mengetahui fsaqifah bani sa’idah
3. Untuk mengetahui sistem politik, pemerintahan dan bentu negaranya

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Khulafa Al Rosyidin

Secara bahasa, Khulafaur Rasyidin berasal dari kata Khulafa dan Ar-Rasyidin. Kata
Khulafa’ merupakan jamak dari kata Khalifah yang berarti pengganti.Sedangkan Ar-Rasyidin
artinya mendapat petunjuk. Artinya yaitu orang yang ditunjuk sebagai pengganti, pemimpin
atau pemimpin yang selalu mendapat petunjuk dari Allah SWT. Para Khulafaur Rasyidin
merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu:
1. Abu Bakar Ash-Shiddiq.
2. Umar bin Khattab.
3. Usman bin Affan.
4. Ali bin Abi Thalib.

Rasulullah SAW Wafat tanpa meninggalkan wasiat kepada seseorang untuk


meneruskan kepemimpinananya (kekhalifahan). Sekelompok orang berpendapat bahwa Abu
Bakar lebih berhak atas kekhalifahan karena Rasulullah meridhoinya dalam soal-soal agama,
salah satunya dengan, memintanya, mengimami sholat berjamaah selama beliau sakit.Oleh
karena itu, mereka menghendaki agar Abu Bakar memimpin urusan keduniaan, yakni
kekhalifahan.

Kelompok lain berpendapat bahwa orang yang paling berhak atas kekhalifahan ialan
dari Ahlul bait Rasulullah SAW yaitu Abdullah bin Abbas atau Ali bin Abi Thalib. Selain itu,
masih ada sekelompok lain yang berpendapat bahwa yang palin berhak atas ke khalifahan
ialah salah seorang dari kaum Quraisy yang termasuk didalam kaum Muhajirin gelombang
pertama. Kelompok lainnya berpendapat, bahwa yang paling berhak atas kekhalifahan ialah
kaum Anshor.

Masalah suksesi mengakibatkan suasana politik umat islam menjadi sangat tegang.
Padahal semasa hidupnya, nabi bersusah payah dan berhasil membina persaudaraan sejati
yang kokoh diantara sesame pengikutnya yaitu antara kaum Muhajirin dan
Anshor.Dilambatkannya pemakaman jenazah beliau betapa gawatnya krisis suksesi itu. Ada 3
golongan yang bersaing keras dalam perebutan kepemimpinan ini; Anshor, Muhajirin, dan
keluarga Hasyim.

6
B. Tsaqifah Bani Saidah

Tsaqifah bani Saidah telah mengantarkan umat Islam untuk mengenal arti khilafah.
Nabi Muhammad yang tidak menunjuk siapa yang menggantikan sepeningal dirinya dalam
memimpin umat yang baru dibentuknya. Wafatnya beliau sangat mengejutkan.

Masalah suksesi mengakibatkan suasana politik umat Islam menjadi sangat tegang.
Padahal semasa hidupnya nabi telah bersusah payah dan berhasil membina persaudaraan
sejati yang kokoh diantara sesama pengikutnya. Ada tiga golongan yang bersaing keras
dalam perebutan kepe-mimpinan yaitu kaum Anshor, Muhajirin, dan keluarga Hasyim.

Dalam pertemuan di Balai Sidang Bani Saidah di Madinah, kaum Anshar


mencalonkan Sa’ad bin Ubadah, pemuka Khazraj, sedangkan Muhajirin mendesak Abu
Bakar sebagai calon mereka karena ia dipandang yang paling layak untuk menggantikan nabi.
Di pihak lain terdapat sekelompok orang yang menghendaki Ali ibn Abi Thalib, karena nabi
telah menunjuk secara terang-terangan sebagai penggantinya, karena nabi adalah menantu
dan kerabat nabi.

Keadaan semakin tegang, namun berkat tindakan tegas dari tiga orang, yaitu Abu
Bakar, Umar ibn Khatab dan Abu Ubaidah ibn Jarrah. Dengan semacam Cup, terhadap
kelompok memaksa Abu Bakar sendiri sebagai Deputi Nabi. Tanpa intervensi, persatuan
umat mereka terima dan dengan semangat ukhuwah Islamiyah, maka terpilihlah Abu Bakar.
Dia adalah orang Quraisy yang merupakan pilihan ideal, karena sejak semula dia selalu
mendampingi nabi, dialah sahabat yang paling memahami risalah Muhammad. Peristiwa ini
disebut peristiwa Tsaqifah bani Saidah. Sebagai pemimpin umat Islam setelah nabi, Abu
Bakar bergelar Khalifah Rasulillah. Meskipun dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa
kedudukan nabi sebetulnya tidak akan pernah tergantikan, karena tidak ada seorangpun
menerima ajaran Tuhan setelah Muhammad.

Dalam sejarah Islam, empat orang pengganti nabi yang pertama adalah para
pemimpin yang adil dan benar. Mereka menyelamatkan dan mengembangkan dasar-dasar
tradisi Rasulullah demi kemajuan Islam dan umatnya. Karena itu gelar al-Khulafah al-
Rasydin (yang mendapat bimbingan dijalan lurus) diberikan kepada mereka.

7
C. Sistem Panggantian Kepala Negara

Sistem pergantian dan pengangkatan khalifah sebagai kepala negara merupakan pola
pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang paling penting. Ke empat Khulafah al- Rasyidin
dipilih melalui cara yang hampir sama. Pola pemilihan tersebut dapat di katagorikan sebagai
pemilihan langsung yang terdiri atas dua tahap.Tahap pertama pemilihan figur khalifah,
sedangkan tahap kedua, pengukuhan keabsahan khalifah terpilih melalui bai’at (janji
kesetiaan).

Abu bakar diangkat menjadi khalifah atas dasar pemufakatan pemuka-pemuka ashar
dan muhajirin dalam rapat saqifah di madina.Umar menjadi khaifah kedua atas pencalonan
Abu Bakar yang segera juga mendapat persetujuan umat. Penentuan Usman bin Affan
sebagai khalifah ketiga di rundingkam dalam rapat, setelah Ustman terbunuh, Ali lah yang
merupakan calon terkuat untuk menjadi khalifah keempat.

Mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada Ali radiallahu ta’ala anhum ajma”in
dinamakan periode Khulafaur rasyidah.Para khalifahnya disebut al khulafah al-rasyidun
(khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk). Ciri masa ini adalah para khalifah betul-betul
menurut teladan Nabi.mereka di pilih melalui proses musyawarah yang dalam istilah
sekarang di sebut demokratis. Setelah periode ini,pemerintahan islam berbentuk kerajaan
kekuasan diwariskan secara turun menurun. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M) Ali
radhallahu anhu terbunuh oleh salah seorang anggota khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.

D. Sistem Politik, Pemerintahan dan Bentuk Negara

Pada masa Khulafaur-Rasyidin, Islam sudah me-rupakan tatanan yang sempuma,


keseluruhan yang bulat, yang mendasarkan diri pada himpunan postulat-postulat jelas yang
pasti. Baik semua ajaran utamanya maupun aturan-aturan tindakanya yang terinci, dan
peraturan-peraturan yang diletakkan diberbagai sektor kehidupan manusia. Pada hakekatnya
Islam merupakan renungan, pengembangan dan pencerminan prinsip-prinsip pertamanya.

Berbagai tahap kehidupan secara pasti Islam dan kegiatannya mengalir dari postulat-
postulat dari dasar secara pasti. Oleh karena itu, aspek manapun dari ideologi yang ingin
dikaji pertama kali yang harus dilakukan adalah melihat akarnya serta prinsip-prinsip
dasarnya. Hanya dengan tindakan ini Islam dapat dipahami secara pasti dan memuaskan.
Tetapi persoalan politik telah mengotori ajaran Islam yang suci dan dan transendental. Islam
telah kehilangan makna aslinya, terlebih lagi dalam sejarah Islam dari kurun waktu yang lalu

8
hanya dipenuhi dengan pergolakan politik, sehingga nilai-nilai dan peradaban Islam pun ikut
mengalami nasib yang me-nyedihkan akibat persoalan politik yang tiada henti.

Persoalan politik sama tuanya dengan usia manusia. Sejak lahir ke dunia dan terlibat
dalam segala urusan mondial, manusia telah bergumul dengan persoalan politik dalam rangka
memenuhi ambisi dan obsesi biologis maupun spiritualnya. Perbenturan obsesi dan ambisi itu
merupakan cikal bakal rekadaya manusia merumuskan langkah-langkah strategi dalam proses
perjuangan menegakkan eksistensi kehidupannya. Arus kompetisi, sejak tingkat paling
elementer sampai berskala global, juga bermuara dari realitas ini. Atas dasar itu pula, secara
simbolik manusia sering disebut sebagai makhluk yang sutra berpolitik (zon politicos atau
homo politikus). Politik ibarat sebuah produk yang lahir begitu saja seiring dengan arus
kompetisi kehidupan manusia. Politik juga bisa disebut sebagai cara yang memang harus
lahir sebagai manusia merengkuh harapan.

Pemikiran politik Islam pada umumnya merupakan produk perdebatan besar yang
terfokus pada masalah religi politik tentang imamah dan kekhalifahan. Di Madinah pa-gan
yang terpilih Nabi Muhammad setelah hijrah dari Mekkah ke Madinah terutama setelah tahun
pertama, terdapat sedikit kontroversi mengenai siapa yang pantas mengendalikan kekuatan
politik. Dalam teori maupun praktek, Nabi menempati suatu poosisi yang unik sebagai
pemimpin dan sumber spiritual undang-undang ketuhanan, namun juga sekaligus pemimpin
pemerintahan Islam yang pertama. Kerangka kerja konstitusional pemerintahan terungkap
dalam sebuah dokumen terkenal yang disebut dengan “Konstitusi Madinah” atau Piagam
Madinah.

Dalam dokumen tersebut terdapat langkah penting perdana bagi terwujudnya sebuah
badan peme-rintahan Islam atau Ummah. Menurut piagam itu, konsep suku tentang pertalian
darah digantikan dengan ikatan iman yang bersifat ideologi. Piagam ini juga menyuguhkan
landasan bagi prinsip paling menghormati dan menghargai antara orang-orang Islam dan
orang-orang yang mengikuti, bergabung dan berjuang bersama mereka. Mereka yang
dimaksudkan dalam pembukaan dipiagam itu adalah masyarakat Yahudi Madinah.

Menurut konstitusi tersebut, orang-orang Islam dan semua warga yang tinggal di
Madinah tergabung dalam satu masyarakat (pasal I) yang secara fisik dan politik berbeda
dengan kelompok-kelompok lain (pasal I dan 39). Tidak ada kekhawatiran mengenai siapa
yang harus memegang tampuk pimpinan dalam konfederasi semacam itu. Pasal 23, 36 dan 42

9
secara tegas menyebutkan Allah dan Nabi Muhammad SAW. sebagai hakim terakhir serta
sumber segenap kekuatan (wewenang) dan kekuasaan.

Sejak hijrah ke Madinah tahun 622 M, sampai saat wafatnya pada tanggal 6 Juni 632
M, Muhammad berperan sebagai pemimpin yang tidak dapat dibantah bagi negara Is-lam
yang baru lahir saat itu. Sebagai Nabi, beliau telah meletakkan prinsip-prinsip agama Islam,
memimpin shalat serta menyampaikan berbagai khutbah. Sebagai negarawan, beliau
mengutus duta ke luar negeri, membentuk angkatan perang dan membagikan rampasan
perang. Wafatnya Nabi yang tidak disangka-sangka menjadi sebab larutnya masyarakat
dalam ketidakpastian tentang krisis peng-gantinya. Nabi memang tidak menyampaikan wasiat
tentang siapa yang berhak menggantikannya sebagai pemimpin negara Islam. Inilah yang
menjadi picu lahirnya perdebatan sengit dan berkepanjangan mengenai syarat-syarat Imam
atau pemimpin ummat Islam.

Abu Bakar sahabat Nabi yang paling karib dan pendukung dakwahnya yang paling
awal meski bukan keluarga Nabi (bukan berasal dari keluarga Nabi), tampil sebagai calon
kuat setelah sebelumnya muncul protes dari para penentangnya yang melibatkan para
pemimpin terkemuka Madinah. Untuk menangkal manuver-menuver warga Madinah dalam
berbagai kekuatan/kekuasaan, Abu Bakar menghendaki agar prioritas kepemimpinan setelah
Nabi dipegang oleh suku Quraisy. Takala tokoh-tokoh utama Quraisy memberikan
dukungannya kepada Abu Bakar, penduduk Madinah pun mengikuti jejak mereka dengan
suka cita. Masa 30 tahun berikutnya dikenal sebagai era Khulafaur Rasyidin (The Right
Guided Successors ) yang terdiri dari para sahabat Rasulullah: Abu Bakar, Umar, Usman dan
Ali. Masa-masa itu merupakan cerminan kejayaan Islam yang diraih dengan berbagai
perangkat dan tetap selalu berada di bawah prinsip konsultasi dan akomodasi.

Masalah perebutan kekuasaan telah mulai menguncup tajam selama masa


pemerintahan khalifah ke-3, Usman. Ia dipilih oleh sekelompok dewan pemilih yang terdiri
enam sahabat Nabi terkemuka yang dibentuk khalifah sebelumnya Umar. Kericuhan itu
bermuara pada sekelompok pejabat pemerintahan yang didasarkan pada favoritisme dan
nepotisme. Cara ini melahirkan rasa tidak puas dan keresahan pada sebagian anggota
masyarakat yang kemudian berkembang menjadi pertikaian masal dan memuncak pada
kemathian Usman.

Ali, kemenakan Nabi dan rival Usman dalam perebutan kursi kekhalifahan kemudian
dinobatkan sebagai khalifah dan mampu meraup kesetiaan dari sebagian besar ummat. Meski

10
begitu, ia juga diharapkan dengan oposisi kuat yang terdiri dari unsur masyarakat, terutama
dari anak keturunan Umayyah yang pernah mengambil keuntungan pada masa Usman, lebih
dari itu, istri Nabi sendiri, Aisyah diiringi dengan sebagian sahabat karib Nabi, menyuarakan
sikap anti Ali, maka periode ini tidak terhindar dari kekerasan dan perang sipil yang berakhir
dengan terbunuhnya Ali dan kehadiran Dinasti Umayyah yang memerintah sejak tahun 661 –
749 M.

Selama masa pergolakan inil lahir ragam fraksi politik yang membentuk spektrum
pemikiran politik Islam. Seusai perang Siffin (657 M) antara Ali dan pemimpin Umayyah,
Muawiyah, sekelompok pasukan Ali keluar dari barisan dan memberontak kepadanya.
Kelompok muslim yang puritan ini kemudian dikenal dengan khawarij atau Kharijites (para
pembangkang dan pemberontak). Mereka memprotes perjanjian damai antara Ali dan
Muawiyah. Mereka percaya bahwa dengan menerima prinsip kompromi sebenarnya Ali telah
kehilangan sebagai status resminya sebagai pemimpin ummat yang adil. Bahkan mereka
bersikap lebih keras dengan mengkafirkan Ali karena tindakannya dianggap sebagai dosa
besar sehingga pelakunya mesti bertaubat nasuha.

Kaum khawarij lalu menyimpulkan bahwa Islam akan terjaga baik bila tiga orang
yang bertanggung jawab atas terjadinya, perang itu dienyahkan yaitu Ali, Muawiyah dan
Amir bin Ash (penasehat Muawiyah) dan penyaji kerangka pemikiran perjanjian itu. Masa
sesudah itu menjadi saksi bahwa Ali saja yang terbunuh, sedangkan dua sasaran yang lain
terhindar dari maut. Muawiyah bahkan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah dengan
basis pemerintahan di Syria. Peristiwa ini menandai akhir peristiwa politik yang didasarkan
pada pemilihan dan merupakan awal kehidupan sistem warisan dalam pemerintahan Islam.

Untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, Bani Umayyah harus menghadapi oposisi


tangguh yang muncul dari sebagian ummat Islam dan sahabat Nabi, di Madinah dan Mekkah
yang tidak saja mengecam cara Muawiyah merebut kekuasaan tetapi juga mencaci sistem
dinasti yang dianggap sebagai pemutar balikkan cara pemerintahan Islam yang ideal.
Sebenarnya pemerintahan yang turun temurun yang tidak dikenal bangsa Arab pada
umumnya dan tidak ada jalan untuk menerimanya kecuali jika sang penguasa menggunakan
cara yang tiranik. Diantara penentang keras rezim Umayyah itu adalah golongan Syiah.

Mereka menentang Bani Umayyah karena tidak saja prilaku politik yang diterapkan
pada kaum Syiah dan bukan Syiah, namun lebih dari itu tangan tersebut merupakan ungkapan
kepercayaan yang mendalam bahwa kursi kepemimpinan setelah Nabi hanya berhak

11
diserahkan pada Ali, kemenakan dan menantunya, bukan Abu Bakar. Menurut kepercayaan
Syiah, hanya anggota ahl al-Bait (keluarga Nabi) yang memenuhi syarat untuk menjadi
khalifah atau Imam. Sejarah tidak pernah mencatat bahwa Ali tidak pernah menggugat
kekhalifahan Abu Bakar, dan tidak menentang Umar atau Usman. Ia menjadi khalifah setelah
Usman terbunuh karena didukung oleh sekelompok sahabat utama Nabi.

Proses pemilihan itu kemudian dikuduskan dalam masyarakat melalui sumpah setia
atau bai’ah. Meskipun demikian Syiah, sebagai suatu ideologi mulai berkembang seusai
pembantaian tentara Umayyah terhadap putranya, Husain di Karbala. Kisah tradisional
menuturkan bahwa Husain dihubungi para pendukung Ali di Kufah yang meminta
kedatangannya di Irak untuk memimpin pemberontakan terhadap rezim Umayyah. Ketika is
bergerak menuju Kufah yang diiringi sejumlah pasukan yang terdiri dari para kerabat
(sahabat) dan pendukungnya, bala tentara Umayyah mencegat mereka di Karbala dan
membantai Husain dan seluruh pengiringnya. Tragedi itu membarakan dendam kaum Syiah
yang menganggap Husain sebagai martir luar biasa disamping memperkokoh kepercayaan
ideologis mereka terhadap peran Ali dan anak turunnya serta arti kepemimpinan (Imamah).

Di samping khawarij dan Syiah, ada segolongan ummat Islam yang membentuk
mayoritas ummat yang dikenal sebagai penganut Ahli Sunnah Wal Jamaah (Sunni). Sekitar
abad ke-11, pandangan mereka tentang kekhalifahan ditampilkan oleh para ahli hukumnya
yang memainkan perandalam pemerintahan. Teori Sunni tentang pemerintahan (dikemukakan
oleh para fukaha kebanyakan) merupakan deskripsi sejarah negara Islam sejak masa
Khulafaur Rasyidin dan masa-masa sesudahnya serta bukan merupakan evaluasi kritis
terhadap apa yang disebut dengan negara Islam.

Istilah negara atau Daulah tidak disinggung dalam al-Qur’an dan Sunnah, tetapi
unsur-unsur esensial yang menjadi dasar negara dapat ditemukan dalam al-Qur’an. Seperti,
al-Qur’an menjelaskan seperangkat atau sangsi yang dapat diterjemahkan dengan adanya tata
tertib sosio-politik atau seluruh perlengkapan bagi tegaknya sebuah negara.Termasuk
didalamnya adalah keadilan, persaudaraan, pertahanan, kepatuhan dan kehakiman.

Dalam al-Qur’an bisa juga ditemukan hukum-hukum yang bersifat umum atau hukum
yang secara langsung menyinggung masalah pembagian harta rampasan perang atau upaya
untuk menciptakan perdamaian. Subyek-subyek aneka ragam hukum maupun petunjuk-
petunjuknya itu tidak lain adalah ummat Islam yang diisyarat al-Qur’an sebagai suatu
masyarakat yang berbeda dengan masyarakat lain yang berbeda karena kebajikan yang

12
mereka miliki. Ummat Islam adalah suatu masyarakat politik yang sanggup mencukupi diri
sendiri.

Lebih dari itu berbagai tugas keagamaan penting yang ditentukan dalam al-Qur’an
dan as-Sunnah seperti mengumpulkan zakat, menghukum tindakan kriminal, distribusi
manfaat di kalangan yang berhak menerimanya dan organisasi jihad tidak dapat terlaksana
dengan sempurna tanpa intervensi penguasa politik yang resmi dalam bentuk negara.Ibnu
Tarmiyah, mengatakan bahwa negara dan agama, saling berkaitan antara satift dengan
lainnya. Tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya. Tanpa
disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi organisasi yang tiraknik. Dalam al-Siyasah al-
Syar’iyyah, ia menganggap penegakan negara sebagai tugas yang suci yang dituntut oleh
agama dan merupakan salah satu perangkat untuk mendekatkan manusia kepada Allah.

Mendirikan sebuah negara berarti menyediakan fungsi yang besar untuk menegakkan
keadilan, dengan melaksanakan perintah dan menghindar dari kejahatan dan
memasyarakatkan tauhid dan mempersiapakan kedatangan sebuah masyarakat yang yang
dipersembahkan demi pengabdian kepada Allah. Dr. Wahid Ra’fat mendefenisikan bahwa
negara adalah sekumpulan besar masyarakat yang tinggal pada suatu wilayah tertentu di
belahan bumi ini, yang tunduk pada suatu pemerintahan yang teratur yang bertanggung jawab
memelihara eksistensi masyarakatnya, mengurus segala kepentingannya dan kemaslahatan
umum. Sedangkan Dr.Abdul Hamid al-Mutawalli mendefenisikan bahwa negara adalah suatu
institusi abstrak yang terwujudkan dalam sebuah konstitusi untuk suatu masyarakat yang
menghuni wilayah tertentu dan memiliki kekuasaan umum.

Dalam sejumlah defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa negara adalah


sekumpulan manusia yang secara tetap mendiami suatu wilayah tertentu dan memiliki
institusi abstraknya sendiri serta sistem yang dipatuhi dari para pemegang yang ditaati serta
memiliki kemerdekaan politik. Unsur yang harus ada bagi wujud dan berdirinya bagi sebuah
negara adalah adanya bangsa yang mendiami wilayah tertentu dan adanya institusi abstrak
yang diterima baik oleh bangsa tersebut dan direalisasikan oleh pemegang kekuasaan, serta
adanya sistem yang ditaati dan mengatur jenjang-jenjang kekuasaan serta kebebasan politik
yang menjadi identitas bangsa tersebut sehingga tidak mengekor kepada bangsa lain.

Islam dengan jelas baik dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasulullah
menyatakan hal-hal yang berkaitan dengan kepada negara dan rakyat serta hak-hak dan
kewajibannya, begitu pula dengan berbagai peraturannya. Pada masa Rasulullah dan para

13
Khulafaur Rasyidin telah terbentuk sebuah negara Islam. Menurut Dr. R. Gibb, sejak zaman
Rasulullah dan para sahabat Islam bukan semata-mata berkaitan dengan akidah keagamaan
individual, tetapi sudah mewajibkan pembentukan suatu masyarakat yang mandiri yang
memiliki pemerintahan sendiri serta memiliki konktitusi dan sistem pemerintahan secara
khusus.

Rasulullah datang membawa agama baru yang berbeda sama sekali dengan tradisi
bangsa Arab. Sesungguhnya negara pertama bagi bangsa Arab dan kaum muslimin adalah di
Madinah. Nabi memproklamirkan kejadian raksasa ini kepada segenap ummat manusia. Hal
ini dibuktikan dengan adanya langkah pertama yang diambil Rasulullah sesudah hijrah
sebagaimana yang diserukan oleh Ibnu Ishak yaitu beliau Rasulullah telah menetapkan
Piagam Perjanjian antara Muhajirin dan Anshar serta mengajak bangsa Yahudi membuat
persetujuan dengan mereka, mengakui hak keagamaan Yahudi dan pemilikan harta serta
menetapkan syarat bagi mereka dan memberi jaminan kepada mereka.

Bentuk negara Islam pada periode Rasulullah bersifat Theokratis. Theokratis adalah
suatu bentuk pemerintahan yang berada dalam cengkraman kekuasaan Tuhan, yakni
mengakui Tuhan sebagai penguasa mutlak dalam tata pergaulan masyarakat serta menerima
wahyu-Nya yang telah ditafsirkan oleh para wakil-Nya sebagai dasar bangunan negara atau
masyarakat.

Bila dikaitkan dengan tempat kekuasaan dan peranan syariah dalam negara Islam,
defenisi Khalid seperti menyuarakan gambaran yang sebenarnya tentang negara Is-lam. Ibnu
Taimiyah mengungkapkan bahwa dalam pemer-intahan teokrasi, Nabi adalah sebagai
mediator atau utusan Allah yang menyampaikan kepada masyarakat perintah-perintah, janji-
janji, peringatan-peringatan, Ridha dan murka-Nya. Jadi segala prilaku atau barang yang
dihalalkan adalah apa yang pun yang memang ditentukan halal oleh Allah dan Nabi. Sedang
apa saja yang dilarang keduanya jelas merupakan prilaku atau barang haram. Tak seorang
pun diijinkan melanggar ajaran Nabi Muhammad SAW. Itu pula ajaran yang harus dijalankan
pada penguasa.

Dengan demikian pada periode Rasulullah memang sistem pemerintahannya bersifat


theokrasi karena Rasulullah langsung ditunjuk oleh Allah untuk menjalankan tugasnya baik
sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin negara dan Nabi dalam menjalankan tugasnya
beliau bertanggung jawab kepada Allah.

14
Sedangkan pada periode Khulafaur Rasyidin, para sahabat tetap menjalankan
tugasnya, baik sebagai pemimpin negara maupun pemimpin agama. Namun, dalam
pemilihannya para sahabat tidak ditunjuk oleh Allah, tetapi mereka dipilih oleh rakyat. Dalam
melaksanakan tugasnya mereka tetap bertanggung jawab kepada Allah sekaligus bertanggung
jawab kepada rakyat. Sistem pemerintahan Islam merupakan suatu sistem tersendiri yang
tidak ada bandingannya sama sekali. Ia merupakan suatu dalam Islam yang bersifat komplit
dan merupakan sistem yang bertujuan memelihara dan melindungi agama serta mengatur
segala kepentingan ummat berdasarkan ketentuan Allah dan Rasul-Nya untuk mencapai
kebaikan dunia dan akhirat sekaligus bagi kaum muslimin, bangsa Arab dan seluruh ummat
manusia.

Islam menegakkan sistemnya atas musyawarah dan keadilan, menjamin kemerdekaan


dan segala bentuk hak bagi setiap warganya dan bukan warganya yang tinggal di negara
Islam juga memelihara serta melindungi masyarakat dan.umat dari perbuatan zhalim,
kekejaman dan permusuhan serta memberikan jaminan hidup terhormat dan mulia
bagi.semua orang. Setiap negara mempunyai sistem pemerintahan yang.mempunyai tujuan
dan dasar-dasar. Tujuan pertama adalah.adanya imamah yaitu untuk melaksanakan ketentuan
agama sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya dan mem-perhatikan serta mengurus
persoalan-persoalan duniawi, misalnya menghimpun dana dari sumber yang sah dan
menyalurkannya kepada yang berhak, mencegah timbulnya kezaliman, semuanya itu
dilakukan oleh manusia karena perintah agama. Oleh sebab itu, tujuan dari sistem
pemerintahan Islam sangat luas. Yusuf Musa, mengemukakan beberapa hal:

1. Memberikan penjelasan kegamaan yang benar danmenghilangkan keragu-raguan


terhadap hakekat Islam kepada seluruh manusia, mengajak manusia kepada dengan
penuh kasih sayang, melidungi seseorang dari golongan anti agama serta membela
syariah terhadap seseorang yang ingin melanggar hukum.
2. Mengupayakan segala cara untuk menjaga persatuan ummat dan saling tolong
menolong sesama mereka dan memperbanyak sarana kehidupan yang baik bagi setiap
warga sehingga seluruh ummat dapat menjadi laksanabangunan yang kokoh.
3. Melindungi tanah air dari setiap agresi dan seluruh warga negara dari kezaliman,
kedurhakaan dan tirani, mem-perlakukan mereka seluruhnya sama dalam memikul
kewajiban dan memperoleh hak, tanpa adanya perbedaan antara amir dan rakyat, kuat
dan lemah, kawan dan lawan.

15
Rasul dan sahabatnya telah melaksanakan kewajiban ini. Bila tujuan yang paling
utama dari pemerintahan Islam adalah menjelaskan dan memelihara kemurnian agama, maka
hal ini berarti, imam harus berlaku keras pada setiap orang yang dengan terang-terangan ingin
melepaskan diri dari agama atau tidak mau mengakui suatu kewajiban yang Al- lah tetapkan
di dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Rasulullah dalam Sunnahnya. Oleh karena itu pada
awal masau pemerintahan Abu Bakar, Beliau memerangi orang-orang yang murtad dari
agamanya setelah wafatnya Rasulullah.

Waktu itu banyak golongan bangsa Arab murtad dari Islam. Ada yang tidak mau
menunaikan zakat, tetapi menerima kewajiban shalat. Akan tetapi Abu Bakar dengan ketat
menghadapi mereka dan dengan sikap keras tidak mau menerima kehendak mereka. Beliau
bahkan berpendapat bahwa memerangi mereka adalah suatu hak yang fundamen-tal. Karena
menerima sikap mereka yang tidak mau membayar zakat berarti melakukan suatu pemisahan
yang tidak sah antara zakat dengan shalat. Disamping sikap semacam ini dapat dipandang
suatu persetujuan terhadap kelemahan muslim sepeninggal Rasulullah SAW.

Pendirian Abu Bakar dalam hal ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap Islam
dan kaum muslim. Pasukannya yang dikirim untuk memerangi semua kelompok kaum
murtad memperoleh kemenangan dan Islam kembali jaya. Contoh lain adalah Umar. Ketika
beliau memegang jabatan khilafah mulai menjelaskan agama dan me-nempatkannya pada
kedudukan yang tinggi dalam ke-bijakan-kebijakannya. Ia tidak pernah lupa menasehati para
Gubernur dan para pegawainya mengenai kewajiban ini. Bahkan dalam satu khutbahnya
beliau mengisyaratkan kewajiban tersebut seperti ucapannya, “Wahai manusia, demi Allah,
aku tidak mengirimkan para pegawaiku kepada kalian untuk memukul diri kalian dan tidak
untuk merampas harta kalian. Akan tetapi aku kirim mereka kepada kalian untuk mengajar
agama kalian dan Sunnah Nabi kalian kepada kalian, dan seterusnya”, seperti tercantum pada
riwayat Thabary dan para sejarawan lainnya.

Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar sebagai peng- gantinya berpendapat tetap perlu
mengirimkan pasukan ini ke sasarannya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki oleh
Rasulullah SAW. Akan tetapi beberapa orang sahabat berpendapat tidak perlu melanjutkan
pengiriman pasukan ini. Namun pasukan ini tetap tinggal di Madinah, karena mereka melihat
pembelotan dan kemurtadan dari banyak suku Arab. Sedangkan di sisi lain Usamah adalah
seorang pemuda, padahal orang-orang yang berada dibawah komandannya, padahal orang-
orang yang berada dibawah komandannya adalah sahabat-sahabat senior.

16
Karena itu, sebagian kaum muslimin datang kepada Umar, agar ia berbicara kepada
Abu Bakar supaya mengganti Usamah dengan orang lain yang lebih tua umurnya. Akan
tetapi Abu Bakar masih kepada Umar, ketika mendengar kata-kata yang disampaikan Umar,
sampai Abu Bakar memegang jenggotnya seraya berkata kepadanya, “Wahai Ibnul Khathab,
celakalah ibumu! Rasulullah telah mengangkatnya, tetapi engkau menyuruh aku
memecatnya!” Selanjutnya pasukan itu terus berjalan dan meraih tujuan yang ditugaskan
kepada mereka.

Umar sangat kuat kemauannya untuk memberikan hak-hak kaum muslimin. Dia
berkata dalam salah satu khutbahnya,” Setiap orang mempunyai hak terhadap kekayaan,
“Baitul Mal”, yang aku akan memberinya atau menghalanginya. Setiap orang tidak lebih
berhak dari yang lainnya terhadap harta ini, kecuali budak. Dan hakku sama dengan orang-
orang lain diantara mereka. Demi Allah, sekiranya harta “Baitul Mal” sisa niscaya
penggembala ini (Umar) akan mendatangi orang yang tinggal di gunung Shan’a untuk
memberikan haknya.”

Tekadnya untuk menjalankan pemerintahan yang adil sangat kuat, sehingga tekad ini
membuat beliau tidak, sudi memberikan kepada salah seorang kerabatnya sesuatu yang bukan
haknya. Ibnu Sa’ad meriwayatkan, bahwa ipar Umar bin Khathab datang kepada Umar lalu
menyampaikan keluhannya agar dia diberi harta dari Baitul Mal. Akan tetapi Umar
menghardiknya seraya berkata, “Apakah engkau menginginkan aku menjumpai Allah sebagai
orang yang berkhianat?” namun orang ini kemudian diberi dari hartanya sendiri sebnyak 10
dirham.

Ibnul Jauzi dalam Sirah Umar bin Khathab, meriwayatkan bahwa beliau membagikan
pakaian kepada para wanita penduduk Madinah dan masih tersisa sepotong lain yang bagus.
Lalu beberapa orang yang hadir berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, berikanlah
kain ini kepada putri Rasulullah yang dibawah tanggungan anda.” Maksudnya Ummu
Kaltsum, putri Ali yang menjadi istri Umar. Tetapi ia menjawab, “Ummu Shalait lebih
berhak terhadap sepotong kain ini, karena ia termasuk orang yang membaiat Rasulullah dan
kehilangan keluarga pada perang Uhud.”

Umar berkeinginan agar para Gubernur ataupun para pegawainya tidak berbuat aniaya
kepada ummat yang lain. Untuk itu, ia melakukan pengawasan dari jauh dengan jalan
menanyakan hal ihwal setiap Gubernur kepada orang-orang yang berada dibawah
kekuasaannya. Dan bilamana beliau menemukan tindakan sebagian Gubernurnya yang tidak

17
disenanginya, maka saat itu juga Beliau menjatuhkan qishash kepada Gubernur yang
bersangkutan sebagai tuntut balas terhadap pelanggarannya. Tindakannya dalam hal ini sudah
populer. Tetapi pengawasan Umar terhadap para Gubernur dan pegawainya menyebabkan
banyak pengaduan yang disampaikan kepadanya. Beliau senantiasa mengecek kebenaran
setiap pengaduan kepadanya dan memutuskan perkaranya dengan adil. Dengan demikian
semua orang aman dalam mendapatkan hak-hak mereka.

Keadilan yang ditagakkan oleh sistem pemerintahan Islam dan dipandang sebagai
salah satu dasarnya yang kuat adalah keadilan yang tidak terpengaruh oleh hubungan
kerabat, kebesaran dan kekuasaan. Sebaliknya juga terpengaruh oleh rasa bend atau faktor
lainnya. Oleh sebab itu Allah menyuruh berbuat adil dan melarang berbuat zalim. Dalam
firman Allah dalam Qs.16:90

“Sesunguhnya Allah menyuruh berbuat adil dan baik serta memberikan kepada
kerabat haknya dan mencegah perbuatan keji, munkar dan zalim. Demikian Dia menasehati
kamu, mudah-mudahan kamu menjadi ingat”.
Dalam Qs. 4:58 :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menunaikan amanat kepada yang
berhak. Dan jika kamu menghukum diantara manusia, hukumlah dia dengan adil.”

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara bahasa, Khulafaur Rasyidin berasal dari kata Khulafa dan Ar- Rasyidin.Kata
Khulafa’ merupakan jamak dari kata Khalifah yang berarti pengganti.Sedangkan Ar-Rasyidin
artinya mendapat petunjuk.Arti bebasnya adalah orang yang ditunjuk sebagai pengganti,
pemimpin atau pemimpin yang selalu mendapat petunjuk dari Allah SWT. Para Khulafaur
Rasyidin merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu :
1. Abu Bakar Ash-Shiddiq.
2. Umar bin Khattab.
3. Usman bin Affan.
4. Ali bin Abi Thalib.

Tidak adanya pesan khusus Nabi Muhammad tentang calon penggantian


kepemimpinan negara mendorong umat islam. Pada waktu itu secepatnya mencari
penggantinya. Tsaqifah bani Sa’idah yang menghasilkan kesimpulan sementara, bahwa kaum
Asyariyah yang paling besar jasa nya terhadap islam dengan demikian, maka pengganti
kedudukan Nabi sebagai kepala negara pantas di pilih dari golonggan mereka. Setelah
berunding, akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai pengganti Nabi. Banyak sekali kebijakan
yang dilakukan oleh Abu Bakar yang membuahkan hasil yang luar biasa. Salah satunya
dalam bidang politik ialah mengirim pasukan di bawah pimpinan Usamah bin Zaid, untuk
memerangi kaum Romawi sebagai realisasi dari rencana Rasulullah, ketika beliau masih
hidup. Pada bidang militer Abu Bakar As-Shidiq taklukan Romawi dan Persia.

B. Saran

Demikianlah makalah ini penulis susun untuk memenuhi salah satu tugas kuliah Prodi
Ekonomi Islam pada mata kuliah Kubudayaan dan peradaban Islam. Apabila dalam penulisan
makalah ini terdapat kekurangan, kami penulis meminta kepada pembaca umumnya dan
khususnya kepada bapak dosen mata kuliah Kubudayaan dan peradaban Islam ini untuk
memberikan saran dan kritik yang membangun untuk makalah ini.Mudah-mudahan Allah
Swt senantiasa memberkahi kita semua. Amin ya Rabbal ‘Ala

19
DAFTAR PUSTAKA

https://www.slideshare.net/ulyaizza/sistem-pemerintahan-pada-masa-rasulullah-saw-dan-
khulafaur-rasyidin

Abu A’la Maududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 1998)

https://iainpspblog.blogspot.com/2019/03/makalah-peradaban-islam-pada-masa.html?m=1

20

Anda mungkin juga menyukai