Anda di halaman 1dari 25

ALIRAN DAN ORGANISASI DALAM ISLAM

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama Islam

Dosen Pengampu : Bapak Muhammad Latif Fauzi, M.PD.I

Disusun Oleh :

Kelompok 11

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai
dengan waktu yang ditentukan. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan
kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW, beserta keluarga dan
sahabatnya.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam yang
membahas mengenai aliran dan organisasi dalam islam. Kami menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baik dari segi
penyusunan bahasa ataupun teknik penulisannya. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun, khususnya dari dosen
pengampu mata kuliah ini guna menjadi acuan bagi kami untuk lebih baik lagi
dalam menyusun makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca pada khususnya bagi mahasiswa dan masyarakat pada
umumnya.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………. i

KATA PENGANTAR ………………………………………..………………… ii

DAFTAR ISI ………………………………………..………………………….. iii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………. 1

 Latar Belakang ………….………………………………..…….……….. 1

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………….. 2

 Awal kemunculan aliran dalam islam …...…..………….……….……… 2


 Aliran dan paham dalam islam periode alam …………………………… 7
 Organisasi dan kelompok islam yang di larang ...…………………...…. 18

BAB III PENUTUP …………………………………………………………….. 20

 Kesimpulan …………………………………………………………….. 20

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….. 22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Meninggalnya Rasulullah Saw sebagai figur sentral bagi umat Islam berdampak
pada munculnya Persoalan Politik Praktis, yakni siapa yang berhak menjadi
pengganti beliau sebagai pelanjut pemerintahan atau kepemimpinan. Baik sebagai
pemimpin agama maupun pemimpin negara. Pemimpin agama Islam (sebagai
Nabi) dan pemimpin negara (kepala negara Madinah). Sebagai Nabi semua umat
sepakat, bahwa formal kenabian tidak bisa wariskan, dan sedangkan yang bisa dan
harus dilaksanakan adalah menentukan siapa pengganti memimpin dan
membimbing umat sebagai amiril mukminin (pemimpin umat Islam). Maka mulai
saat itu terjadilah dua kelompok umat Islam, yang satu sedang merawat jenazah
Rasulullah (5-7 orang dari keluarga nabi), yang satunya adalah kelompok para
tokoh sahabat (Muhajirin dan Anshar), menyelenggarakan Musyawarah Besar
Luar biasa untuk menentukan siapa yang paling berhak untuk menjadi pengganti
Rasullullah SAW. Ada beberapa persoalan yang dihadapi oleh umat Islam
semenjak meninggal nya sang Rasul tgl 12 Rabiul awal 632 M. Yang pertama dan
monumental adalah persoalan politik, selanjutnya persoalan aqidah (teologi),
kemudian baru persoalan syariat atau fiqih dan persoalan akhlak atau tasawuf.
Dan akumulasi dari keempat persoalan inilah aliran pemikiran dalam Islam
muncul.

1
BAB II

PEMBAHASAN

AWAL KEMUNUNCULAN ALIRAN DALAM ISLAM

A. Lahirnya Aliran Politik Dalam Islam

Munculnya pemikiran politik Islam diawali pada masa Rasulullah sejak


mendirikan komunitas Islam di sekitaran Madinah pada tahun 622 M. pada masa
tersebut terbilang sebagai awal kebangkita umat Muslim mampu berinteraksi
dengan suku-suku di luar Islam. System pemikiran ini berlangsung hingga
Rasalullah wafat dan dilanjutkan pada generasi sahabat-sahabatnya (khulafa’
rosyidun) hingga puncaknya dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Pasca wafatnya
Rasulullah, terjadi saling merebutkan kekuasaan antara satu kelompok dengan
yang lain. Menurut Phillip K Hitti, pasca wafatnya Nabi Muhammad saw yaitu (1)
Kelompok Muhajirin dan Ansar (disebut kelompok sahabah) dengan argumentasi
masing masing, (2) Kelompok legitimis (Ashab an nash wa ta’yin) yang meyakini
bahwa Nabi Muhammad saw menunjuk Ali Ibn Abi talib sebagai penggantinya,
dan (3) Kelompok aristokrat Qurays yang dimotori oleh Bani Umayyah. Akhirnya
kelompok pertamalah yang berhasil menduduki kekhalifahan, yaitu dengan
terpilihnya Abu bakar as Shiddiq (Hitti 2005). Abu Bakar as Siddiq berhasil
menjadi khalifah pertama yang berkuasa selama dua tahun (11-13H/632-634M).
Keterpilihan Abu Bakar melewati proses musyawarah yang alot, antara kelompok
Muhajirin dan Ansar. Majelis Tsaqifah Bani Sa’adah menjadi saksi atas
perdebatan para sahabat senior tentang sistem politik yang akan dijalankan.
Perdebatan ini dipicu oleh dua hal. Pertama, tidak adanya kejelasan sistem politik
dari Rasulullah sebagai pemegang otoritas keagamaan. Kedua, persaingan
kelompok sosial antara Muhajirin dan Ansar yang merasa memiliki hak yang
sama atas kepemimpinan umat Islam. Akhir drama politik di Tsaqifah Bani
Sa’adah adalah disetujuinya Abu Bakar sebagai khalifah oleh mayoritas umat
islam pada saat itu. Alasan pemilihan Abu Bakar adalah aspek senioritas,
loyalitas, dan kapabilitas. Abu Bakar termasuk kelompok as Sabiqun al Awwalun,
loyal kepada Rasulullah dalam mendampingi dakwahnya, dan memiliki
kemampuan intelektual yang tinggi dalam masalah keislaman. Setelah abu Bakar
Wafat yang menggantikan khalifah adalah Umar Ibn Khattab, Umar memerintah
selama 10 tahun (13-23H/634-644M). Penunjukan Umar sebagai khalifah adalah
adalah hasil dari keputusan muswarah para sahabat senior di Madinah dan ini
tidak bisa dinggap sebagai otoritarianisme Abu Bakar.

2
1. Persoalan politik

Terbunuhnya Utsman bin affan yang berasal dari suku Qurays yang
dilukiskan sebagai orang yang dermawan. Kedermawanannya terbukti ketika ia
ia pernah memberikan 940 ekor unta,60 ekor kuda dan 10.000 dinar untuk
perang tabuk.Ia juga sangat berjasa dalam pengkodifikasian Al qur’an mejadi
mushaf sebagaimana yang dibaca oleh jutaan umat islam di dunia. Utsman
diangkat menjadi khalifah melalui musyawarah yang dilakukan oleh Utsman
bin Affan, Ali bin Abi thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan
Saad bin abi waqash. Dan yang terpilih menjadi khalifah untuk menggantikan
umar adalah Utsman. Setelah Utsman wafat kekhalifahan berpindah ke tangan
Ali bin abi Thalib, namun pengangkatan ali menjadi khalifah tidak dalam
kondisi yang menguntungkan karena ia diangkat dalam kondisi yang tidak
stabil. Tak heran jika rongrongan terhadap kekalifahannya berdatangan mulai
dari Thalhah, Zubair dan Muawiah. Tantangan keras muncul dari Muawiyah
yang menuduh Ali terlibat dalam terbunuhnya Utsman. Perseteruan tersebut
akhirnya melahirkan perang shiffin Kekisruhan politik akibat terbunuhnya
Utsman pada tahun 35 H berlanjut di masa Ali. Kekisruhan ini mencapai
klimaks dengan meletusnya perang jamal(35 H/656M). Antara pasukan ali
dengan pasukan Aisyah yang dibantu oleh Zubair dan Thalhah yang disusul
dengan perang shiffin (36 H/657 M) antara pihak Ali dan Muawiyah.

B. Persoalan Aqidah (Teologi).

Dalam arbitrase ini diangkat dua orang sebagai arbitrer yaitu Amr bin ash (dari
pihak Muawiyah) dan Abu Musa Al asy’ari (dari pihak Ali).diantara keduanya
ada kemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka itu,Ali dan Muawiyah.Abu
Musa mengumumkan tentang penjatuhan kedua orang yg saling bertentangan
tersebut. Namun Amr bin ash hanya menyetujui penjatuhan Ali dan menolak
penjatuhan Muawiyah. Muncul dua aliran lagi dalam teologi islam yaitu
Qadariyah yang berpandangan bahwa manusia mempunyai kebebasan dan
kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatanya, dan Jabariyah
yang beranggapan bahwa Tuhan telah mentakdirkan manusia sejak
awal,manusia tidak memiliki kehendak dan Qudrah. Muncul lagi aliran
mu’tazilah yang beranggapan bahwa pelaku dosa besar tidak mukmin juga tidak
kafir namun berada di posisi tengah-tengah (al manzilah bayna al manzilatayn)
yakni posisi antara mukmin dan kafir. Teologi baru dimotori oleh Abu Hasan al
asy’ari,pada mulanya ia pengikut mu’tazilah namun kemudian meninggalkan

3
aliran tersebut kemudian membentuk aliran asyari’ah(935H).Teologi baru lagi
juga didirikan oleh Abu mansyur Al Maturidi (944H) yang selanjutnya terkenal
dengn aliran Maturidiyah. Perkembangan selanjutnya saat ini yang tersisa
hanya aliran Maturidiyah dan asyari’ah saja,yang terkenal dengan ahlu sunah
wal jama’ah.Aliran Maturidiyah banyak dianut umat islam yang bermahzab
Hanafi sedangkan aliran asyari’ah banyak di anut oleh islam sunni lainnya. Para
ulama’ yang tekstual tetapi tidak politis cenderung berpendapat, bahwa
orangorang yang beriman tetapi tidak berpegang pada hukum Allah, tidak bisa
di sebut Kafir,mereka mukmin yang fasiq. Mereka berdosa besar. Nasib mereka
di akhirat kelak fii masyiatillah (terserah Allah) tidak di surga dan tidak di
neraka. Senada dengan itu, orang-orang yang fatalistis (jabariyah), juga muncul,
mereka berpendapat, bahwa kondisi apapun di dunia ini adalah berdasarkan
kehendak mutlak Allah SWT, termasuk nasib manusia. Manusia hanyalah
wayang dan Allah adalah dalangnya. Sebagai mana firman Allah SWT :

َ‫َواللّٰهُ َخلَقَ ُك ْم َو َما ت َ ْع َملُ ْون‬

“Dan Allah lah yang telah menciptakan kalian dan perbuatan kalian”. (QS. As
Shofat 96) Sedangkan kaum qadariyah yang cenderung rasional justru
berpendapat sebaliknya. Bahwa kondisi apapun yang di alami oleh manusia
adalah semata-mata karena ulah perbuatan manusia itu sendiri. Manusia, bebas
dan mampu membuat nasibnya sendiri. Sebagai mana firman Allah SWT :

‫اِنَّ اللّٰهَ ََل يُغَ ِّي ُر َما ِّبقَ ْو ٍم َحتّٰى يُ َغ ِّي ُر ْوا َما ِّبا َ ْنفُس ِِّّه ْم‬

“Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum, sampai mereka mau
merubah nasibnya sendiri.” (QS. Ar Ro’d 11) Mereka adalah kelompok minor
elite dalam Islam yang terkenal dengan sebutan kaum muktazilah. Persoalan
teologi yang terus berkembang sehingga melahirkan banyak aliran pemikiran
yang muncul, baik di zaman klasik, seperti jabariyah, qadariyah, murji’ah.
Maupun zaman pertengahan, seperti; Muktazilah, Asy’ariah, maturidiah, ahli
Sunnah wal jama’ah. Demikian juga di era modern dan kontemporer.

4
C. Persoalan Fiqih (pemahaman syariat Islam)

Setelah muncul dan berkembangnya persoalan politik dan aqidah dalam


realitas kehidupan umat Islam. Ada munculnya persoalan baru yang terkait
dengan fiqh atau pemahaman dalam syari’at Islam. Baik syariat dhohir (hukum
Islam), maupun syariat batin (akhlak islami) atau tasawuf. Para ulama’ fiqh
(hukum Islam), baik di kalangan Sunni, maupun Syiah secara garis besar terbelah
menjadi tiga kelompok pemahaman, yakni; para ahlul hadits (tekstualis), ahlur
ro’yi (rasionalis), dan ahlus sunnah (tekstualis-rasionalis). Demikian juga para
ulama’ tasawuf (kerohanian dan kebatinan dalam Islam), juga terbedakan dalam
tiga karakter, yakni; sunni, falsafi dan baathini. Para ulama’ yang konsen terhadap
ajaran formal dan aturan-aturan hukum Allah, secara garis besar memiliki tiga
sikap mental yang berbeda. Ada yang memahami teks aturan agama (syariat)
dalam Al Qur’an dan as Sunnah sangat formal dan tektual. Mereka adalah ahlul
hadits, sehingga memunculkan madzhab – madzhab salaf yang tampak lebih
formal seperti madzhab Maliki. Para ulama’ yang cenderung rasional, seperti
ulama’ Kufah dan Basrah memahami agama lebih kontekstual dan esensial.
Seperti imam madzhab Abu Hanifah. Demikian juga para ulama’ Sunni yang
cenderung konvergensif, akomodadir Mereka melahirkan madzhab fiqih yang
modern dan moderat, seperti Imam Syafi’i. Sedangkan dalam bidang kerohanian
(tasawuf) sebagai bagian dari pemahaman keagamaan. Juga terdapat tiga
kelompok pemahaman yang berkembang dalam Kehidupan masyarakat Islam.
Pertama, kelompok yang cenderung mengikuti pola kesufian Rasulullah Saw.
Mereka berusaha menjauhi materialisme dan hedonisme tetapi secara aktif mereka
mendakwahkan ajaran Islam, khususnya ajaran akhlak dan kerohaniannya.
Mereka adalah para sufi Sunni, yang gerakannya sukses pertama kali (gerakan
i’tizal dan Zuhud atas prakarsa Hasan Basri. Yang selanjutnya diperkokoh oleh
Abu Qasim Junaidi Al Baghdadi, juga oleh para tokoh Sufi sunni yang lain.
Kedua, kelompok yang cenderung mengikuti pola kesufian para filosof dan ahli
hikmah. Mereka lebih cenderung pada aktivitas berfilsaf dan berteori. Hikmah -
hikmah kerohaniannya memenuhi glosarium dunia Islam. Mereka adalah para sufi
falsafi, dengan tokoh legendarisnya yang bernama Ibnu Arobi. Sedangkan yang ke
tiga, adalah para sufi baathini. Mereka, para sufi baathini adalah orang-orang yang
keasikan kebatinannya melampaui batas-batas etika dan estetika apapun, termasuk
di dalamnya batasan syariat Islam. Kebatinan transkultural ini yang selanjutnya
disebut sebagai aliran tasawuf mabuk dan dianggap sesat oleh para aktivis syariat
slam.

5
D. Persoalan Hegemoni Barat.

Penyebab dan akar Sejarah timbulnya berbagai aliran keagamaan dan politik
dan sosial dalam Islam, adalah adanya dominasi dan hegemoni barat atas wilayah
sosial politik umat Islam. Setelah sekitar dua abad bangsa barat menjajah umat
Islam, umat Islam mulai bangkit dan tersadarkan akan pentingnya kebangkitan
umat Islam. Mulai dari Turki dan Mesir yang berhubungan dan berhadapan
langsung dengan bangsa barat. Turki berhadapan dengan Italia dan Mesir
berhubungan dengan Prancis (Ekspedisi Napoleon Bonaparte). Para ulama’
terbelalak melihat peradaban yang jauh lebih tinggi daripada peradaban umat.
Padahal mereka sangat yakin pada Sabda nabi : “Al Islam ya’lu wala Yu’laa
‘alaih” (Islam adalah adalah peradaban tertinggi, tidak ada yang
mengunggulinya). Tatkala umat Islam masih tertidur lelap di dalam selimut
penjajahan barat, khususnya; Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda. Para ulama’
Islam Mesir khususnya Sayyid Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha, berjuang keras, menggelorakan kebangkitan umat Islam. Demikian
juga para Sultan dan Khalifah Dinasti Usmaniyah di Turki, menggelorakan
semangat kebangkitan melawan kolonialisme barat. Maka terjadilah kebangkitan
umat Islam di hampir seluruh penjuru dunia, atas prakarsa para sultan dan ulma’
pemimpin umat. Termasuk kesultanan-kesultanan di wilayah Nusantara (kawasan
Asia tenggara). Mulai kesultanan Aceh (samudra pasai) sampai dengan kesultanan
Ternate dan Tidore. Kesultanan di Pulau Jawa sampai di kepulauan Sulu dan
Mindanao. Semuanya bangkit melawan hegemoni dan penjajahan bangsa barat
(Belanda, Inggris, Portugis dan Spanyol). Maka akhirnya muncul organisasi dan
Jam’iyyah pergerakan dengan berbagai macam warna warni keislamannya. Dalam
skala internasional, muncul Pan Islam, Ikhwanul muslimin, Wahabi dll.
Sedangkan di Indonesia, muncul Serikat Dagang Islam, Budi Utomo, Al
Khoiriyah, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama’ dll. Semua organisasi dan
Jam’iyyah pergerakan tersebut tujuan utamanya adalah merebut kembali
kemerdekaan dari tangan kolonialisme bangsa barat.

6
ALIRAN DAN PAHAM DALAM ISLAM PERIODE ALAM

1. Aliran Khawarij

Khawarij adalah salah satu sekte yang memberi banyak pengaruh terhadap
gerakan ekstremisme dalam tubuh Islam. Keberadaan mereka sempat mengubah
potret ajaran Islam yang rahmatan lil alamin menjadi wajah yang intoleran dan
penuh kebencian terhadap sesama Muslim. Tulisan ini secara berseri akan
mengupas secara mendalam sejarah kaum Khawarij mulai dari embrionya di masa
Rasulullah, gerakan politik beserta tokohnya, aksi-aksi terorismenya dan paham
keagamaannya. Aliran Khawarij muncul pada tahun (35-40 H / 665-660 M).

Pengetahuan tentang sejarah kaum Khawarij adalah hal penting untuk membaca
beberapa kasus di masa modern yang mempunyai kemiripan dengan pola-pola
gerakan Khawarij di masa lalu. Dengan demikian, pembaca akan mendapatkan
gambaran utuh tentang apa dan bagaimana nalar ekstremisme berkembang di
tubuh minoritas umat Islam.

Para sejarawan berbeda pendapat tentang siapa sebenarnya yang layak disebut
sebagai Khawarij. Terjadi perpecahan di internal kaum Muslimin pasca-
pembunuhan Khalifah Utsman di mana secara umum umat terbagi menjadi dua,
yaitu kubu Ali Bin Abi Thalib, sang khalifah keempat pengganti Utsman dan
kubu oposisi yang terdiri dari kelompok Ummul Mukminin Aisyah dan kelompok
Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Kelompok Ummul Mukminin Aisyah sempat bentrok dengan pemerintahan


Khalifah Ali dalam perang Jamal yang berakhir dengan kemenangan pihak Ali.
Selanjutnya kubu Mu’awiyah menjadi penantang berikutnya di perang saudara
yang dikenal dengan nama perang Shiffin. Pada akhir perang ini kemudian
terjadilah arbitrase (tahkim) antara kedua kubu yang bertikai. Hasil akhir arbitrase
ini memenangkan pihak Mu’awiyah sehingga diangkatlah Mu’awiyah sebagai
khalifah selanjutnya (As-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ’, halaman 15). Ali bin Abi
Thalib sendiri tampak enggan mempertahankan statusnya lagi sebagai khalifah
pasca-arbitrase ini. Hal inilah yang membuat banyak orang dari kubu Ali bin Abi
Thalib kecewa sehingga memisahkan diri dari kelompok Ali dan mulai
memeranginya.

7
Sebagian besar pengaji sejarah Islam mendefinisikan Khawarij sebagai kelompok
yang keluar dari barisan pendukung khalifah Ali Bin Abi Thalib setelah terjadinya
arbitrase (tahkim) tersebut (Ali as-Shallabi, Fikr al-Khawâraij was-Syî’ah Fî
Mîzân Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, halaman 16; Abdul Hamid Ali Nasir,
Khilâfah Ali bin Abî Thâlib, halaman 297). Kelompok Khawarij tak segan
menganggap Mu’awiyah sebagai orang kafir dengan alasan telah menentang
Khalifah yang sah, tetapi juga mengafirkan Ali dengan alasan mau menerima hasil
arbitrase. Dengan demikian, semua golongan yang ada dianggap kafir kecuali diri
mereka sendiri.

Definisi mayoritas sejarawan seperti di atas adalah definisi Khawarij secara


sempit. Dengan definisi tersebut, Khawarij bisa dibilang sudah musnah dan tak
ada di masa berikutnya selepas matinya seluruh pihak penentang Ali tersebut.
Sebagian ahli lainnya mendefinisikan Khawarij secara lebih luas hingga
mencakup siapa pun yang keluar dari kubu penguasa yang sah, misalnya as-
Syahrastani yang mendefinisikan Khawarij sebagai berikut:

َّ ‫ َّواا َّكمنَّاحررججَّي َّيسم‬، ‫كلَّمنَّخرجَّعلىَّاإلمم َّاحق َّاحي َّافقت َّاحمامع َّعله َّسماىَّخمجيهم‬
‫احصقمب َّعلىَّاألئا َّاحراشدسنَّيجَّكمنَّبعدهمَّعلىَّاحتمبعهنَّحهمَّبإحممنَّجاألئا َّي َّكلَّزممن‬

"Setiap orang yang keluar menentang pemimpin yang sah yang telah diputuskan
oleh masyarakat disebut sebagai Khawarij, baik penentangan itu terjadi di masa
sahabat terhadap para Khulafaur Rasyidin atau terjadi setelah mereka terhadap
para tabiin yang baik dan para pemimpin di setiap zaman". (as-Syahrastani, al-
Milal wan-Nihal, juz I, halaman 114).

Dengan definisi seperti ini, maka Khawarij bisa dikatakan tetap ada hingga saat
ini. Seluruh kelompok pemberontak dan separatis di suatu negara masuk dalam
kategori Khawarij sebab mereka menentang pemimpin yang sah. Dalam kedua
definisi di atas, tampak bahwa sebenarnya khawarij adalah sebuah gerakan politik
bukan gerakan agama sebab sorotan utamanya adalah masalah kepemimpinan
politik, namun kemudian gerakan ini memakai isu-isu agama sebagai propaganda
utama untuk melawan pemerintah. Dari penentangannya terhadap pemerintah
inilah mereka mendapat nama Khawarij yang secara harfiah berarti “orang-orang
yang keluar”. Ibnul Jauzi mencatat bahwa para Khawarij tak henti-hentinya selalu
keluar untuk menentang pemerintah (Ibnul Jauzi, Talbîs Iblîs, halaman 86).

8
Dalam perkembangannya, Khawarij dikenal dengan berbagai nama atau julukan
yang berbeda. Di antaranya adalah: al-Haruriyah—mereka disebut demikian
sebab markas mereka yang pertama berada di daerah Harura’. Di Harura’ inilah
generasi pertama dari Khawarij tinggal dan menyusun kekuatannya. Mereka juga
dikenal dengan nama as-Syurâh yang secara harfiyah berarti “para pembeli” sebab
di antara jargon mereka adalah “kami membeli surga dengan diri kami”. Selain itu
juga ada julukan al-Muhakkimah sebab mereka mempunyai slogan “tak ada
hukum kecuali milik Allah”. Selain julukan yang netral dan bahkan sepintas
terkesan positif ini, mereka juga dikenal dengan julukan al-Mariqah yang berarti
kelompok yang menjauh dari agama sebab keberadaan mereka selalu diidentikkan
dengan orang-orang yang oleh Nabi Muhammad disebut menjauh dari agama
seperti melesatnya anak panah dari busurnya (Abul Hasan al-Asy’ari, Maqâlat al-
Islâmiyyîn, halaman 127-128).

Seluruh julukan itu mereka terima kecuali julukan terakhir sebab meskipun
seluruh Muslim lain menganggap mereka menyimpang dari agama, tetapi menurut
mereka sendiri justru sebaliknya orang-orang lainlah yang telah menyimpang dan
keluar dari agama.

2. Aliran Murji’ah

Aliran Murji'ah adalah golongan yang terdapat dalam Islam yang muncul dari
golongan yang tak sepaham dengan Khawarij. Ini tercermin dari ajarannya yang
bertolak belakang dengan Khawarij. Pengertian Murji'ah sendiri berasal dari kata
arja'a yaitu menunda ataupun menangguhkan atau juga penangguhan keputusan
atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak. Jadi, mereka tak
mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak
menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT,
sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kelompok ini tetap
diakui sebagai Muslim dan punya harapan dan kesempatan untuk bertobat.
Secara garis besar, ajaran-ajaran pokok Murji'ah adalah:
1. Pengakuan iman cukup hanya dalam hati. Jadi pengikut golongan
ini tak dituntut membuktikan keimanan dalam perbuatan sehari-
hari. Ini merupakan sesuatu yang janggal dan sulit diterima
kalangan Murji'ah itu sendiri, karena iman dan amal perbuatan
dalam Islam merupakan satu kesatuan yang harus selaras dan
berkesinambungan.

9
2. Selama meyakini 2 kalimah syahadat, seorang Muslim yang
berdosa besar tak dihukum kafir. Hukuman terhadap perbuatan
manusia ditangguhkan, artinya hanya Allah yang berhak
menjatuhkannya di akhirat.

Tokoh utama golongan ini ialah Hasan Bin Bilal Muzni, Abu Sallat Samman dan
Dirar Bin Umar. Dalam perkembangan selanjutnya, golongan ini terbagi menjadi
kelompok moderat dipelopori Hasan Bin Muhammad Bin Ali Bin Abi Thalib,
Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa para ahli hadits sementara kelompok
ekstrem dipelopori Jahm Bin Shafwan.

Murji'ah pada awalnya muncul disebabkan persoalan-persoalan politik terutama


masalah Khilafah yaitu siapa yang paling berhak mengganti posisi Utsman Bin
Affan sebagai Khalifah setelah beliau terbunuh. Persoalan Khilafah ini telah
menyebabkan timbulnya pertentangan dan perpecahan dalam Islam. Golongan
yang bertentangan itu diantaranya Khawarij yang pada mulanya merupakan
pendukung Ali Bin Abi Thalib, tetapi kemudian jadi memusuhi Ali Bin Abi
Thalib dikarenakan menurut kaum Khawarij bahwa Ali Bin Abi Thalib telah
melakukan kesalahan yang teramat fatal. Sikap permusuhan ini membuat para
pendukung fanatik Ali Bin Abi Thalib bertambah keras dan kuat untuk
membelanya, golongan ini dikenal dengan nama Syiah, kedua kelompok ini saling
kafir mengkafirkan satu sama lain. Dengan demikian persoalan Khilafah akhirnya
beralih pada persoalan teologi, karena sudah menyangkut persoalan dosa besar
dan kafir. Menurut Murji'ah, orang Islam yang melakukan dosa besar tetap diakui
keimanannya dan tidak dikatakan kafir karena menurut mereka yang menentukan
mu'min atau kafirnya seseorang adalah keyakinan dan keimanannya bukanlah
perbuatannya.
Adapun kaum Murji'ah terbagi menjadi dua golongan yaitu;
1. Murji'ah Moderat berpendapat bahwasanya orang yang melakukan
dosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal di neraka melainkan akan
dihukum di neraka sesuai dengan besarnya dosa yang telah
dilakukan. dan ada kemungkinan bahwa Allah akan mengampuni
seluruh dosanya tersebut.perihal Iman Murji'ah Moderat
berpendapat iman adalah pengetahuan dan pengakuan akan segala
yang datang dari Allah,bahkan iman tidak memiliki sifat bertambah
ataupun berkurang dan tidak ada perbedaan di antara manusia
dalam hal keimanan.
2. Murji'ah Ekstrem berpendapat setiap muslim yang beriman kepada
Allah dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan dia tidak
dikatakan kafir, karena iman dan kafir tempatnya didalam hati

10
bukan pada bagian lain dari tubuh manusia, sekalipun seseorang itu
menyembah berhala bagi Allah orang itu tetap seorang yang
sempurna keimanannya.
Seiring berjalan waktu Golongan Murji'ah Moderat sendiri telah hilang dalam
sejarah. Ajaran-ajaran mereka tentang iman, kafir dan dosa besar sebahagian telah
menyatu kedalam Golongan Ahlussunnah Wal Jama'ah. begitupula dengan
Murji'ah Ekstrem sendiri namun dalam kenyataanya masih ada penganut Islam
yang menjalankan ajaran-ajaran ekstrem walaupun tidak menamakan diri sebagai
golongan Murji'ah. (By : PIO)
● Al Mazahib Al Islamiyah - Abu Zahrah, Muhammad Ahmad (Kairo;
Maktabahul Adab,tt)
● Maqalat Al Islamiyyin Wa Ikhtilaf Al Mushallin (Konstantinopel;
Madrasah Al Ilahiyat, 1930)
● Al Faruq Baynul Firaq - Al Baghdadi (Kairo; Muktabahus
Subeih,t.p.,tt.)
● Kitab Al Milal Wal Nihal - Al Sahrastani, Muhammad Bin Abd Al
Karim (Kairo, 1951)

3. Aliran Mu’tazilah

Sekte Mu’tazilah adalah sebuah sekte yang mulai berkembang di awal abad kedua
Hijriah. Sekte ini diajarkan oleh Washil bin Atha’, seorang murid al-Hasan al-
Bashri yang memilih untuk menyimpang dari ajaran guru-gurunya. Di kemudian
hari, sekte yang ia dirikan dijuluki dengan sekte Mu’tazilah yang diambilkan dari
lafadz i’tazal (menyendiri/menyimpang) karena telah menyimpang dari paham
mayoritas umat Islam. Munculnya aliran ini pada abad ke 2 H, yaitu bermulanya
kelahiran tinakan Wasil bin Atha (700-750 M).

Pada mulanya, Mu’tazilah yang diajarkan Washil bin Atha’ hanya menyimpang
dengan penetapan empat kaidah saja, yaitu:

Pertama, menafikan semua sifat dzat Allah yang telah termaktub dalam Al-
Qur’an dan Hadits seperti ilm, qudrah, iradah, dan sesamanya. Misalnya, mereka
menganggap ilmu Allah tidak mungkin Qadim (dahulu) karena seandainya ilmu
Allah dahulu niscaya akan ada dua hal yang dahulu yaitu Allah dan ilmu Allah.
Hal ini mustahil karena tidak mungkin ada yang menyamai Allah dalam sifat
Qadim (dahulu).

Al-Qadhi Abdul Jabbar menambahkan, “Seandainya Allah memiliki ilmu niscaya


Allah dapat diukur sejauh mana ilmunya sebagaimana manusia yang dapat diukur
tingkat keilmuannya. Dan seandainya Dia memiliki ilmu maka ilmu tersebut akan

11
sirna karena tidak ada yang abadi kecuali Dzat Allah. Seandainya Allah memiliki
ilmu niscaya Dia akan membutuhkan anggota tubuh sebagai tempat menyimpan
ilmu sebagaimana manusia yang membutuhkan otak dan hati sebagai tempat
menyimpan ilmu. Seandainya Allah membutuhkan ilmu-Nya yang ia ciptakan
untuk mengetahui niscaya Ia adalah Dzat yang membutuhkan kepada ciptaan-Nya
dan ini semua tidak mungkin secara akal.” Walhasil, mayoritas sekte Muktazilah
meyakini Allah mengetahui dengan dzatnya yang abadi tanpa melalui perantara
ilmu (al-Qadhi Abdul Jabbar, al-Mukhtashar fi Ushul ad-Din, Kairo: Maktabah
al-Wahbah Kairo, 1996, h. 212).

Pendapat ini disanggah oleh Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa ilmu Allah adalah
bersifat Qadim (dahulu) karena seandainya ilmu Allah tidak bersifat Qadim
niscaya Allah awalnya tidak mengetahui kemudian menciptakan pengetahuan
sebagaimana manusia yang terlahir bodoh tidak mengetahui apa-apa kemudian ia
belajar dan memiliki ilmu. Hal ini tentu tidak mungkin karena pendapat
Mu’tazilah ini menetapkan sifat Naqish (kurang) kepada Allah.

Kedua, menetapkan bahwa kehendak Allah hanya seputar perkara yang baik
menurut akal manusia. Mereka meyakini bahwa Allah tidak boleh menghendaki
keburukan kepada makhluk-Nya karena hal tersebut bertentangan dengan sifat
Maha Penyayang dan Maha Pengasih yang dimiliki Allah. Selain itu, Allah juga
harus mengutus nabi dan rasul sebagai pengingat manusia atas perintah dan
larangan Allah serta balasan yang mereka dapatkan di hari kiamat. Sedangkan
seluruh keburukan yang dilakukan ataupun menimpa manusia adalah akibat dari
perbuatan mereka tanpa sedikit pun ada campur tangan dari Allah.

Al-Qadhi Abdul Jabbar menambahkan, “Allah hanya menghendaki perkara yang


baik karena Dia telah melarang seluruh perkara maksiat. Bagaimana mungkin
Allah marah dan menghukum orang-orang yang bermaksiat di hari kiamat
sedangkan Dia sendirilah yang menghendaki perbuatan maksiat tersebut terwujud
selama di dunia? Bagaimana mungkin Allah mengutus para nabi dan rasul agar
menyeru manusia meninggalkan maksiat sedangkan maksiat tersebut Allah
sengaja wujudkan sendiri?” (al-Qadhi Abdul Jabbar, al-Mukhtashar fi Ushul ad-
Din, 1996: 233).

12
Pendapat ini disanggah oleh Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa seluruh takdir yang
baik dan buruk adalah dari Allah serta perbuatan makhluk tidak lepas dari izin
kehendak-Nya. Seandainya ada perbuatan maksiat yang tidak dikehendaki Allah
terjadi niscaya Allah memiliki sifat lemah karena tidak mampu menggagalkan
maksiat yang tidak Dia kehendaki wujud. Oleh karena itu di sini perlu dibedakan
antara ridha dan kehendak-Nya. Ahlussunnah wal Jama’ah mencontohkan, ada hal
yang diridhai dan dikehendaki Allah terjadi seperti imannya sahabat Abu Bakar
dan ada hal yang tidak diridhai Allah tetapi dikehendaki Allah untuk terjadi
seperti kafirnya Abu Jahal.

Ketiga, menetapkan bahwa orang yang fasiq dan durhaka kepada Allah tidak
termasuk golongan orang yang beriman dan juga bukan termasuk golongan orang
kafir. Mereka berpendapat bahwa orang fasik dan ahli maksiat tidak dapat disebut
sebagai orang beriman. Karena hanya orang yang baik dan menjauhi maksiat yang
pantas disebut orang beriman. Di sisi lain, orang yang fasik dan ahli maksiat juga
bukan dari golongan orang kafir karena mereka telah membaca syahadat dan
masih beriman kepada Allah. Akan tetapi, nantinya orang yang fasik dan ahli
maksiat yang tidak mau bertaubat akan dihukum kekal di neraka dengan siksa
yang lebih ringan daripada yang didapatkan oleh orang-orang kafir. Sekte
Muktazilah menyebut kaidah ini dengan al-manzilah baina manzilatain. Mereka
mengambil dalil pendapat ini dari redaksi ayat:

ْٰۤ ُ ُ ْۤ
ٰ ‫مجََّّۚ ُه ْمَّيِ ْه َه‬
‫مَّخ ِلد ُْجن‬ ْ َ‫جحىِٕكَ َّا‬
ِ ‫صقٰ بُ َّاحن‬ ‫َط ْهـَٔت ٗ َّيَم‬ َ ‫َّجا َ َحم‬، َ ‫و ِهئ‬
ِ ‫ط ْ َّ ِب ٖ َّخ‬ َ َّ‫ب‬ َ ‫َب ٰلىَّ َم ْنَّ َك‬
َ ‫م‬

“Bukan demikian! Barang siapa berbuat keburukan, dan dosanya telah


menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di
dalamnya” (QS Al-Baqarah ayat 81).

Padahal, menurut mayoritas ulama ahli tafsir redaksi perbuatan dosa (sayyi’ah)
yang dimaksud ayat ini adalah dosa kekafiran bukan sekadar perbuatan dosa besar
(Syekh Muhammad Thahir Ibnu Asyur, At-Tahrir wa at-Tanwir, Tunisia: Dar
Sahnun, 1997, vol. I, h. 581).

Keempat, menetapkan bahwa salah satu dari dua kelompok sahabat Nabi yang
bertikai di perang jamal sebagai orang fasik yang akan kekal di neraka selama
mereka tidak mau bertaubat dan menyesali perbuatannya. Mereka berpendapat
bahwa tidak ada dua kebenaran yang wujud dalam satu pertikaian. Pasti ada satu
kelompok yang salah dan berdosa dan ada satu kelompok yang benar. Selain itu,

13
mereka juga meyakini salah satu di antara dua golongan yang bertikai di antara
pengikut Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyyah sebagai orang yang tidak pantas
sebagai pemimpin umat Islam. Oleh karena itu, mereka tidak mendukung salah
satu dari keduanya sebagai pemimpin umat Islam. (Lihat kitab al-Milal wa an-
Nihal karya Abu Fattah Muhammad Abdul Karim asy-Syahrasytani, Kairo:
Muassasah al-Halabi, 1968, vol. I, h. 49).

Tentu hal ini tidak sesuai dengan pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah yang
meyakini para sahabat sebagai orang-orang yang mulia karena dari pengajaran
para sahabatlah guru-guru kita terdahulu mempelajari agama Islam. Menuduh
para sahabat seperti sahabat Ali bin Abi Thalib dan sahabat Mu’awiyah sebagai
orang fasik berakibat fatal sebagaimana dalam Hadits disebutkan

‫قملَّجوالَّاحل َّالَّفمبااَّيصقمب َّحعنَّاحل َّمنَّوبَّيصقمب‬

Rasulullah bersabda, “Jangan kalian mencaci para sahabatku, Allah melaknat


orang yang mencaci para sahabatku” (HR ath-Thabrani).

4. Aliran Asy’ariah

Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al
Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar
Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir
bin Abi Musa Al Asy’ari. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya
sehingga dengan de- mikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.Abu Hasan
Al Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan me- ninggal dunia
di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al Marwazi,
seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu
kalam dari Al Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.Al Asy’ari yang
semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab
yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan te- lah
mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar
dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan
anta- ra dirinya dengan Al Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah
(kemaslahatan).Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela
keyakinan-keya- kinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini,
karya-karyanya me- nunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al Ibanah, ia

14
menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.Abul Hasan
menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah,
Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah
Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli
hadis.Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan
sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu.
Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al Asy’ari adalah bahwa mereka begitu
mempertahankan hu- bungan Tuhan-manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak
Tuhan dikompromikan.Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul
Muluk pada Dinasti Bani Saljuk dan seolah menjadi akidah resmi negara.Paham
Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasahAn
Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah
Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia.

Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al Mahdi bin Tumirat dan
Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al Ayyubi. Pandangan
Asy’ariyah juga didukung fuqaha mazhab Asy Syafi’i dan mazhab Al Malikiyah
periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah
Asy’ariyah ini adalah akidah yang paling pop- uler dan tersebar di seluruh
dunia.Diantara tokoh aliran Asy’ariyah adalah, Abu Hasan Al Asy’ary, Imam
Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M), Imam Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210),
Abu Ishaq Al Isfirayini (w 418/1027), Abu Bakar Al Baqilani (328-402 H/950-
1013 M), dan Abu Ishaq Asy Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M.Didukung oleh
para petinggi negeri itu seperti Al Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud
Zanki serta sultan Shalahuddin Al Ayyubi. Pandangan Asy’ariyah juga didukung
fuqaha mazhab Asy Syafi’i dan mazhab Al Malikiyah periode akhir-akhir.
Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy’ariyah ini adalah akidah
yang paling pop- uler dan tersebar di seluruh dunia.Diantara tokoh aliran
Asy’ariyah adalah, Abu Hasan Al Asy’ary, Imam Ghazali (450-505 H/ 1058-
1111M), Imam Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210), Abu Ishaq Al Isfirayini (w
418/1027), Abu Bakar Al Baqilani (328-402 H/950-1013 M), dan Abu Ishaq Asy
Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M.

15
5. Aliran Syi’ah

Syiah adalah kenyataan sejarah umat Islam yang terus bergulir. Lebih dari 1000
tahun Syiah mengalami perjalanan sejarah tidak serta merta hadir dipanggung
perdebatan dan konflik sosial seperti saat ini. Sepanjang sejarah itu, konflik Syiah
selalu ada dalam dimensi - dimensi waktu yang berbeda dengan segala pernik
persoalan. Kapan Syiah itu muncul juga mengalami pertentangan. Ada yang
menilai bahwa Syiah sebenarnya adalah kelompok sempalan Islam buatan orang
Yahudi, Abdullah bin Saba Abdullah bin Sabasang Yahudi dituduh sengaja
membentuk kelompok baru dalam Islam untuk memecah belah dan
menghancurkan umat Islam.

Kelompok yang sependapat Syiah adalah rekayasa dari Abdullah bin Saba' yaitu
dari kelompok Sunni Sirajuddin Abas dalam bukunya l'itiqad Ahulssunnah Wal-
Jamaah menguraikan bahwa Abdullah bin Sabaadalah pendeta Yahudi dari
Yaman yang sengaja masuk Islam. Sesudah masuk Islam lantas ia datang ke
Madinah pada akhir masa kekuasan Khalifah Utsman bin Affanyaitu sekitar tahun
30 H. Akan tetapi hijrahnya Abdullah bin Sabatidak mendapat sambutan dari
kaum muslimin, sehingga ia dendam dan berupaya menghancurkan Islam dari
dalam dengan cara mengagung- agungkan Sayyidina Ali Sirajuddin Abbas,1992).

Pendapat yang menyatakan bahwa paham Syiah adalah buatan Yahudi mendapat
pertentangan dari pemikir Islam yang lain. Quraish Syihab dengan jelas
menyebutkan bahwa pendapat yang menyatakan Syiah adalah buatan (rekayasa)
Yahudi adalah tidak logis. Menurut Syihab Yahudi tidak mungkin dapat
mempengaruhi sahabat-sahabat Nabi saw Syihab menilai bahwa tokoh Abdullah
bin Saba sama sekali tidak. pernah ada, ia adalah tokoh fiktif yang sengaja
diciptakan oleh kelompok yang anti Syiah (Syihab 2007).

Dilihat dari data sejarah jika yang dimaksud dengan Syiah adalah kelompok yang
mendasarkan paham keagamaan pada Ali bin Abu Tholib dan keturunannya (ahlul
ba'it) maka cikal bakal kemunculan kelompok Syiah sudah ada sejak awal
kepemimpinan Islam pasca kerasulan Muhammad. Kemunculan kelompok Syiah
dipicu oleh perbedaan pandangan dikalangan para sahabat nabi dengan ahlul bait
(keluarga nabi) tentang siapa yang menggantikan kedudukan nabi setelah
meninggalnya.

Setelah terpilihnya Abu Bakar sebagai kholifah, muncul fakta ada sebagian dari
umat Islam yang berpendapat bahwa sebenarnya Ali bin Abi Thalib-lah yang
berhak memegang tampuk pimpinan Islam pada waktu ituKepercayaan ini
berpangkal pada pandangan tentang kedudukan Ali dalam hubungannya dengan
Nabi para sahabat dan kaum muslimin umumnya Ali adalah orang terdekat nabi

16
sebagai menantu dari anaknya Fatimah. Dalam perjuangan Islam Ali juga tidak
diragukan lagi pengorbanannya. Kuatnya keyakinan kelompok pendukung ali
peristiwa Ghodir Khumm setelah menjalankan haji terakhir nabi memerintahkan
pada Ali sebagai penggantinya dihadapan umat muslimdan menjadikan Ali
sebagai pelindung mereka (Tabbathaba'i1989).

Akan tetapi yang terjadi tidak seperti yang diinginkan oleh kelompok Syiah.
Menurut kalangan Syiah, ketika nabi wafat pada saat jasadnya terbaring belum
dikuburkan ada kelompok di luar ahlul bait berkumpul untuk memilih kholifah
bagi kaum muslimin dengan alasan menjaga kesejahteraan umat dan memecahkan
problem sosial saat itu. Mereka melakukan itu tanpa berunding dengan ahlul-bait
yang sedang sibuk dengan acara pemakaman. Sehingga Ali dan sahabat-
sahabatnya dihadapkan kepada suatu keadaan yang sudah tidak mungkin diubah
lagi ketika Abu Bakar didaulat menjadi khalifah pertama. (Thabathab'i, 1989: 39).

Ali bin Abi Thalib pada waktu itu cukup bersabar untuk menunggu saat yang
tepat sampai pada pergantian kholifah yang ketiga, Usman. Pada kepemimpinan
tiga kholifah tersebut kelompok Ali (ahlul bait). (Thabathab'i, 1989: 44).

Kepemimpinan Usman yang dinilai lemah membuat banyak kesulitan yang harus
dihadapi Ali ketika memimpin pemerintahan Islam. Semasa pemerintahan Ali
pemberontakan demi pemberontakan terus terjadi akibat dari intrik yang
dilancarkan oleh kelompok Mua’wiyah. Sampai pada akhirnya Ali harus mati
terbutuh di tangan kelompok Khawarij. Keinginan yang kuat dari kelompok
Muawiyah untuk menguasai pemerintahan Islam tidak pernah surut. Muawiyah
terus menjalankan aksi- aksinya untuk menyingkirkan kekuasaan dari Ahlul Bait.
Sampai pada akhirnya, Imam Hasan putra Ali menyerahkan kekuasaanya pada
Muawiyah karena Hasan tidak menginginkan adanya pertumpahan darah lagi.

Saat yang paling sukar bagi kelompok Syiah adalah dua puluh tahun masa
kekuasaan Muawiyah. Kaum Syiah pada waktu itu tidak memiliki perlindungan,
dan kebanyakan dari kaum Syiah dikejar-kejar oleh pemerintah. Keluarga Imam
Hasan dan Husain mati dibunuh dengan kejam, dibantai dengan seluruh pembantu
dan anak-anaknya. Penderitaan kelompok ahlul ba’it semasa pemerintahan
Muawiyah inilah yang menguatkan perjuangan kelompok Syiah menjadi sebuah
paham/aliran untuk terus bertahan menentang penguasa yang berbuat tidak adil
dan aniaya. (Shihab, 2007: 63-69; Thabathabai, 1989: 45-61).

17
ORGANISASI DAN KELOMPOK DALAM ISLAM YANG DILARANG

Apasih organisasi terlarang itu?

"Organisasi terlarang" adalah organisasi yang sudah dicabut status badan


hukumnya oleh pemerintah Indonesia. Pelarangan disebabkan oleh beberapa
alasan; mulai dari dianggap mengancam kedaulatan negara, keterlibatan dalam
kudeta, keterlibatan dalam aksi terorisme, dan lain-lain.

Partai Komunis Indonesia

PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik


Indonesia. Keputusan ini diperkuat dengan Ketetapan MPRS Nomor
XXV(25)/1966 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. Keputusan
pembubaran PKI dilakukan dengan memperhatikan hasil pemeriksaan serta
putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh PKI yang dituduh
terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September.

Jamaah islamiyah

Jamaah Islamiyah (JI) sudah sejak lama dituding menjadi pihak yang bertanggung
jawab atas berbagai tindakan terorisme. Salah satu peristiwa yang diduga
melibatkan kelompok tersebut adalah serangan mematikan berupa ledakan bom di
dua lokasi di Bali pada tahun 2002 lalu. Sebanyak 202 tewas dari serangan
tersebut.[1]

Pemerintah Indonesia menyatakan JI sebagai organisasi terlarang dan dibubarkan


pada tahun 2007 berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.[2]

Gerakan Fajar Nusantara

Pemerintah Indonesia secara resmi melarang organisasi dan aktivitas Gerakan


Fajar Nusantara (Gafatar) setelah Jaksa Agung, Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri meneken Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 93 Tahun 2016,
dan Nomor: 223-865 Tahun 2016. Pengurus Gafatar dilarang melakukan
penyebaran, penafsiran, dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran
islam.[3]

Hizbut Tahrir Indonesia

Kementerian Hukum dan HAM mencabut status badan hukum organisasi Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) pada Rabu, 19 Juli 2017 melalui Surat Keputusan Menteri
Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08. HTI dinilai menyebarkan paham
khilafah yang tak sesuai dengan Pancasila.[4][5]

18
Jamaah Ansharut Daulah

Pada 31 Juli 2018, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan
membekukan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) pimpinan Zainal Anshori
alias Abu Fahry alias Qomaruddin bin M. Ali. Hakim juga menyatakan JAD
sebagai organisasi terlarang.[6]

Front Pembela Islam

Pada 30 Desember 2020, pemerintah Indonesia mengeluarkan keputusan bersama


menteri yang melarang Front Pembela Islam (FPI).[7] Pemerintah menetapkan
Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi terlarang melalui Surat Keputusan
Bersama(SKB) 6 pejabat tinggi negara. Dalam surat itu, pemerintah melarang
seluruh kegiatan dan pengunaan simbol FPI di wilayah Indonesia. Pemerintah
mengatakan FPI telah mengancam ideologi nasional Indonesia, melakukan
penggerebekan dan kekejaman ilegal termasuk terorisme, dan izin organisasinya
telah kedaluwarsa.[8]

Aliansi Nasional Anti Syiah (Annas)

Sejak didirikan 20 April 2014, Organisasi Annas terbentuk atas dasar kebencian
kepada madzhab Syiah yang menurut mereka adalah aliran yang berbahaya.[butuh
rujukan] Keberadaan dan visi misi demikian, dianggap oleh negara bertentangan
dengan UUD 45 yang menyebutkan bahwa hak beribadah warga negara
dilindungi oleh negara.[butuh rujukan]Informasi pembubaran Annas sendiri
bersumber dari TR Kapolri yang ditandatangani oleh Waka Kabanintelkam Irjen
Pol Suntana.[9]

19
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kemunculan aliran dalam Islam dapat dijelaskan sebagai hasil dari perbedaan
interpretasi terhadap ajaran dan praktek agama. Faktor-faktor seperti persoalan
politik, persoalan Aqidah, persoalan Fiqih, dan persoalan Hegemoni Barat ini
membentuk keragaman dalam komunitas Muslim dan menghasilkan berbagai
aliran dan paham yang masih ada hingga saat ini. Contohnya seperti aliran
Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah, Syi’ah.

Ada berbagai alasan mengapa beberapa organisasi dan kelompok Islam dapat
dilarang oleh pemerintah di berbagai negara. Beberapa alasan umumnya meliputi:
Terorisme dan Kekerasan, Radikalisasi, Kegiatan Ilegal, Penentangan terhadap
pemerintah dll.

Larangan terhadap kelompok-kelompok Islam atau organisasi tertentu dapat


bervariasi dari satu negara ke negara lain, dan bisa dipengaruhi oleh situasi
politik, hukum, dan kebijakan yang berlaku di masing-masing negara. Seringkali,
alasan di balik larangan ini adalah upaya untuk melindungi keamanan dan
stabilitas negara serta mencegah aktivitas-aktivitas yang dianggap merugikan
masyarakat dan negara.

20
DAFTAR PUSTAKA

https://www.kompasiana.com/amp/yuil/551054d6813311d334bc657d/latar-
belakang-munculnya-aliran-dalam-islam

https://www.academia.edu/38772946/SEJARAH_MUNCULNYA_ALIRAN_DA
LAM_ISLAM

https://uinsgd.ac.id/fenomena-aliran-keagamaan-dalam-islam/

https://uinsgd.ac.id/fenomena-aliran-keagamaan-dalam-islam/

Aliran khawarij : https://islam.nu.or.id/hikmah/sejarah-kelompok-khawarij-1-


definisi-dan-julukan-julukan-mereka-ZelfF,

Aliran murji’ah : https://id.wikipedia.org/wiki/Murji%27ah

Aliran Mu’tazilah : https://islam.nu.or.id/ilmu-tauhid/aliran-mu-tazilah-


pemikiran-dan-sanggahannya-4biQc

Aliran Asy’ariah : https://an-nur.ac.id/aliran-asyariyah-pengertian-dan-doktrin-


ajaran/

Aliran syi’ah
https://jurnalharmoni.kemenag.go.id/index.php/harmoni/article/download/253/211

Arjanto, Dwi (2021). "Kronologi Awal Organisasi Jamaah Islamiyah". Tempo.


Diakses tanggal 2021-12-19.

Simbolon, Christian D. (2021). "Bisakah Jamaah Islamiyah berganti jubah?".


www.alinea.id. Diakses tanggal 2021-12-19.

Sutiawan, Iwan. "Gafatar Resmi Jadi Organisasi Terlarang | Politik".


www.gatra.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-19.

Hayati, Nilda (2017-06-06). "KONSEP KHILAFAH ISLᾹMIYYAH HIZBUT


TAHRIR INDONESIA: Kajian Living al-Qur'an Perspektif Komunikasi".
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman. 12 (1): 169–200.
doi:10.21274/epis.2017.12.1.169-200. ISSN 2502-3705.

developer, mediaindonesia com (2020-09-04). "HTI Masih Bermanuver


Kampanyekan Khilafah". Media Indonesia. Diakses tanggal 2021-12-19.

Azis, Nuraki (1 Agustus 2018). "Jamaah Ansharut Daulah resmi dilarang,


anggotanya 'mungkin pakai nama baru'". BBC News Indonesia. Diakses tanggal
2021-12-19.

21
indonesia-security-idUSKBN2940FM "Indonesia melarang kelompok Front
Pembela Islam garis keras" Periksa nilai |url= (bantuan). Diakses tanggal 30
Desember 2020.[pranala nonaktif permanen]

Berutu, Sachril Agustin. -7-poin-keputusan-pemerintah-terkait-pelarangan-fpi "Ini


7 Poin Keputusan Pemerintah Terkait Pelarangan FPI" Periksa nilai |url=
(bantuan). detikcom. Diakses tanggal 2020-12-30.

https://www.liputan6.com/news/read/4446539/tak-hanya-fpi-ini-6-ormas-lain-
yang-juga-dibubarkan-pemerintah

22

Anda mungkin juga menyukai