Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

Sejarah dan Pemikiran Pemikiran Islam

“Pemikiran Mu’tazilah dan Kontribusinya”

Dosen Pengampu:

Dr. Muh. Idris Tunru, S. Ag., M. Ag

Disusun Oleh:

Dita Nabilla Hippy Pontoh (1923024)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MANADO

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wwabarakatuh

Dengan menyeebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji
dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan
anugerah dan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas
mata kuliah Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam yang berjudul “Pemikiran Mu’tazilah dan
Kontribusinya dalam Meningkatkan Kinerja” tepat pada waktunya. Sholawat serta salam saya
panjatkan kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam, kepada keluarganya, sahabat, tabi’in,
tabi’ut tabi’in yang dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari zaman kegelapan ke zaman
terang benderang seperti saat ini.

Dalam penulisan makalah ini saya menyadari bahwa terdapat kekurangan dan masih jauh
dari kesempurnaan baik dari cara penulisan maupun isinya. Untuk itu saya mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca agar saya dapat menyempurnakan makalah ini.

Akhir kata, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang turut
membantu dalam proses penulisan makalah ini sampai dengan selesai. Saya berharap semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis maupun pembaca. Aamiin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

I
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................................II
BAB I.............................................................................................................................................III
PENDAHULUAN.........................................................................................................................III
A. Latar Belakang....................................................................................................................III
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................IV
C. Tujuan Penulisan................................................................................................................IV
BAB II.............................................................................................................................................1
PEMBAHASAN..............................................................................................................................1
A. Sejarah Lahirnya dan Pengertian Aliran Mu’tazilah...........................................................1
B. Mazhab-Mazhab yang Timbul Sekitar “Khalqu Af’alil ‘Ibad”............................................7
C. Tokoh –Tokoh Mu’tazilah dan Pemikiranya......................................................................16
D. Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah (Ushul Al Khamsah).....................................................19
E. Peran Aliran Mu'tazilah Bagi Perkembangan Islam...........................................................22
BAB III..........................................................................................................................................26
PENUTUP.....................................................................................................................................26
A. Kesimpulan.........................................................................................................................26
B. Kritik dan Saran..................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................27

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Semasa Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, ummat Islam dalam
keadaan aman dan tentram. Tidak pernah ada khilafiah atau kesulitan yang tidak
dapat diatasi, karena jika terjadi perselisihan langsung diselesaikan oleh Rasulullah
Sholallahu ‘alaihi wasallam. Semua kegiatan ditujukan untuk meninggikan kalimat Allah.
Sampai suatu masa ketika Rasulullah wafat mulailah ummat Islam menemui kesulitan
kesulitan. Sebagaimana yang tertulis dalam sejarah bahwa banyak sekali terjadi khilafah
di kalangan ummat Islam seperti:
1. Khilafah sahabat sahabat di mana Rasulullah akan dimakamkan. Ada yang
mengatakan di Mekkah, ada yang mengatakan di Madinah dan ada yang
mengatakan di Baitul Maqdis.
2. Khilafah tentang pengangkatan pengganti Rasul yang akhirnya Abu Bakar
terpilih menjadi khalifah.
3. Khilafah terhadap sikap memerangi orang orang yang enggan membayar zakat.
4. Khilafah tentang penetapan Umar bin Khattab menjadi khalifah dan
permasalahan penggantian kepada khalifah Usman bin Affan yang akhirnya mati
terbunuh dan dilanjutkan dengan pengangkatan khalifah Ali Bin Abi Thalib. Sewaktu
pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah banyak dari kalangan sahabat yang
tidak mau turut bai’at terhadap Ali akibatnya timbullah perang Siffin (perang antara
tentra Ali bin Abi Thalib dengan tentara Mu’awiyah dari bani Umayyah yang
menuntut balas atas kematian Usman bin Afffan. Dan perang Jamal (antara tentra Ali
dengan tentra Aisyah, Thalhah dan Zubeir).1
Persoalan persoalan yang terjadi dalam lapangan politik akhirnya membawa
kepada timbulnya persoalan persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang

1
M. Thaib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, (Jakarta: Widjaya, 1986), h. 83-84.

III
kafir dan siapa yang mukmin, siapa yang berdosa besar dan siapa yang masuk surga
atau neraka.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Mu’tazilah?
2. Apa Mazhaab-Mazhab Mu’tazilah?
3. Siapa Saja Tokoh-Tokoh Mu’tazilah?
4. Apa Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Sejarah Lahirnya Mu’tazilah
2. Untuk Mengetahui

IV
V
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Lahirnya dan Pengertian Aliran Mu’tazilah


Sejarah munculnya aliran Mu‟tazilah muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke
2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik
Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang
penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’
Al-Makhzumi Al-Ghozzal yang lahir di Madinah tahun 700 M, kemunculan ini adalah
karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan
bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan alBashri berpendapat mukmin berdosa
besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan
perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan Mu’tazilah pun
dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan
sekian banyak sektenya. kemudian para petinggi mereka mendalami buku-buku filsafat
yang banyak tersebar di masa khalifah Al Ma’mun. Maka sejak saat itulah manhaj
mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam yang berorientasi pada akal dan
mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur‟an dan As Sunnah.2

Aliran ini cepat berkembang menjadi aliran yang membahas persoalan-persoalan


ilmu kalam lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada yang dibahas aliran-aliran
sebelumnya. Dalam pembahasan masalah banyak menggunakan akal, sehingga terkenal
dengan sebutan ”Aliran Rasional Islam”.

Disamping alasan-alasan klasik tersebut, ada teori maju yang dikemukakan oleh
Ahmad Amin.3 Nama Mutazilah sudah ada ebelum adanya peristiwa Wasil dengan Hasan

2
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, ( UI Press, 1986) jilid II hlm 36
3
Lihat Fajr al-Islam, hlm. 290 dst.

1
al-Basri.dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Kalua itu,
dipakai sebagai designatie terhadap golongan orang-orang yang tak mau turut ikut
campur dalam pertakaian-pertakaian politik yang terjadi di zaman Utsman ibn Affan dan
Ali bin Abi Thalib. Mereka menjauhi dari golongan yang sering bertikai. Al-Tabari
impamanya menyebut bahwa mereka sewaktu Qais Ibn Sa’ad sampai di Mesir sebagai
Gubernur dari Ali Ibn Abi Thalib, ia menjumpai pertakaian di sana, satu golongan turut
padanya dan satu golongan lagi menjauhkan diri ke Khartiba (I’tazalat ila Khartiba).
Dalam suratnya kepada Khalifah, Qais menamai mereka “mutazilin”. Jadi, kata mutazilah
dan I’tazalat sudah dipakai kira-kira 100 tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan al-
Basri , dalam arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertakaian politik yang
ada di zaman mereka.

Dengan demikian golongan Mutazilah pertama ini memiliki corak politik. 4 Dan
dalam pendapat Ahmad Amin, Mutazilah kedua yaitu golongan yang ditimbulkan Wasil,
juga memiliki corak politik, karena mereka sebagai kaum Khawarij dan Murjiah juga
membahas praktek-praktek politik yang dilakukan Utsman , Ali, Muawiyah, dan
sebagainya. Perbedaan antara keduanya ialah bahwa Mutazilah kedua menambahkan
persoalan-persoalanya teologi dan filsafat ke dalam ajaran-ajaran dan pemikiran mereka.

Dari sisi geografis, Mutazilah dibagi menjadi dua, yaitu Mutazilah Basrah dan
Mutazilah Bagdad.5 Perbedaan antara keduanya pada umumnya disebabkan karena situasi
geografis dan kultural. Kota Basrah lebih dahulu mendirikan daripada kota Bagdadad,
sehingga lebih dahulu mengenal berbagai budaya dan agama. Sementara itu, meskipun
Bagdad merupakan kota yang belakang didirikan, namun ia menjadi ibukota Abasiyyah.
Tokoh-tokoh Mutazilah Basrah antar lain, bin ‘Ata, Abu Huzail al-Allaf, al-Nazzham,
dan al-Jubba’i. sementara tokoh Mutazilah di Bagdad antar lain, Bisyr ibn al-Mu’tamir,
al-Khayyat, al-Qadhi Abd al-Jabbar dan a;-Zamakhsyari.

Pada dasarnya, Mutazilah membangun kerangka pemikiranya secara rasional


dengan bertujuan untuk mensucikan Tuhan dari segala hal yang bisa menodai keesaan
dan kebaikanNya. Untuk itu, jika ada sebuah teks al-Quran atau Sunnah yang dianggap
4
Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 42.
5
Dr. Nasihun Amin, M. Ag, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, hlm. 102.

2
bisa memberikan pengertian yang menodaai keesaan dan kebaikanNya, mereka
menakwilkan sehingga sesuai dengan apa yang ditunjukkan dalil-dalil akal.

Hisyam ibn Amr al-Fuwah, seorang pemimpin lain dari cabang Bagdad
mengatakan bahwa surge dan neraka belum mempunyai wujud sekarang karena masa
memasuki surge atau neraka belum tiba. Dengan demikian, adanya surge dan neraka
sekarang tidak ada faedahnya.

Al khayat dalam membahas soal sifat, mengatakan bahwa kehendak bukanlah


sifat yang melekat pada zat Tuhan dan Tuhan berkehendak bukan melalui DzatNya. Jika
dikatakan Tuhan berkehendak berarti itu ia mengetahui, berkuasa, dan tidak dipaksa
melakukan perbuatan-perbuatanNya. Dan kalau disebut Tuhan menghendaki perbuatan-
perbuatan itu seuai dengan pengetahuanNya. Dan jika selanjutnya disebut bahwa Tuhan
menghendaki perbuatan-perbuiatan hambaNya, maka yang dimaksud ialah Tuhan
memerintahkan supaya perbuatan-perbuatan itu dilakukan. Dan arti Tuhan mendengar
adalah Tuhan mengetahui apa yang didengar, demikian pula Tuhan mengetahui apa yang
dilihat. Inilah intopeksi al-Khayyat tentang peniadaan sifat Tuhan. Beberapa pemimpin-
pemimpin Mutazilah serta pendapat-pendapat mereka mengenai persoalan-persoalan
teologi. Seolah-olah dapat dirasakan, pemikiran-pemikiran yang mereka keluarkan
banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani.6

Menurut al-Khayyat, orang yang diakui menjadi pengikut atau penganut


Mutazilah, hanyalah orang yang mengakui danmenerima kelima dasar itu. Orang yang
menerima hanya sebagian dasardasar tersebut tidak dapat dipandang sebagai orang
Mu’tazilah. Al Ushul al Khamsah sebagai dijelaskan oleh pemuka-pemuka Mutazilah
sendiri, diberi urutan pentingnya kedudukan tiap dasar tersebut. Golongan lain
menamakan Mutazilah dengan golongan Mu’attilah karena menafikan sifat-sifat Tuhan,
tetapi mereka sendiri menamakan dirinya dengan ahli keadilan dan keesaan (ahlu al adl
wa al tauhid).

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. 7 Mu’tazilah ecara
6
Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 53.
7
Luwis Ma’luf, Al Munjid fi Al-Lughah, (Beirut: Darul Kitab Al Arabi, tt)., h. 207.

3
etimologis bermakna orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu
kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri. Dikisahkan,
bahwa Wahil bin ‘Atha’ Al Ghazzal Al Farisi berbeda pendapat dengan gurunya yang
bernama Al-Hasan Al-Bashri. Salah seorang imam di kalangan tabi’in. Asy-Syihristani
berkata: Suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya
berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang
mengkafirkan pelaku dosa besar. Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang
dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan
kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar, dan dosa tersebut tidak
berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah
rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana
ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini.
Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya
sebagai prinsip dalam beragama.

Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum


beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berpendapat:
“Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan
ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.
Tidak boleh tidak orang seperti dia harus diletakkan dalam satu tempat yang terletak di
antara dua tempat” Washil dengan pendapatnya itu lalu memisahkan diri dan mengambil
tempat lain yang jauh dari sudut masjid dia selama ini duduk bersama Al Hasan Al
Bashri. Kemudia ia mulai member penjelasan tentang pendapatnya kepada teman-teman
yang duduk melingkar sebagai pengikutnya. Sedangkan Al Hasan Al Bashri berkata
kepada orang-orang yang berada di sekitarnya, bahwa Washil telah mengucilkan atau
memisahkan diri dari kita (I’tazaala Washil). Sejak saat itu para musuh Wasshil
menyebut dia bersama para pengikutnya dengan Mu’tazilah.8 Pertanyaan itu pun akhirnya
dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah:
“Sesungguhnya pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya.

8
Lihat, kitab : Al Firaaq Wa Al Firaq, hal. 97-98, kar. Al Baghdadi.

4
Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq
yakni keimanannya menjadi tidak sempurna.9

Versi lain dikemukakan oleh Al Baghdadi ia mengatakan bahwa Washil dan


temannya Amr bin Ubaid diusir oleh Hasan Al Basri dari majlisnya karena ada
pertikaian tentang masalah qadla dan orang yang berbuat dosa besar, lalu keduanya
menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan
golongan Mu’tazilah.

Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin
Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin
Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa
majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat
sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan
Mu’tazilah. Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan
Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al
Bashri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang
berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir
dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain).10

Mu’tazilah adalah satu macam lagi diantara gerakan-gerakan yang timbul pada
masa Daulah Umawiyah. Gerakan ini mempunyai watak yang berbeda dari gerakan-
gerakan dalam bidang fikiran dan gerakan-gerakan revolusioner pada masa Daulah
Umawiyah lainnya seperti Syi’ah dan Khawarij. Di mana gerakan-gerakan yang
dilakukan oleh kaum Syi’ah untuk merebut kekuasaa pada masa pemerintahan Bani
Umawiyah itu adalah merupakan gerakan Syi’ah yang paling kuat, paling berani dan
paling kompak, sehingga akhirnya dapat merobohkan Daulah Umayiah tersebut.
Akan tetapi, walaupun Daulah Umawiyah itu roboh karena perjuangan kaum
Syi’ah untuk mendirikan Daulah ‘Alawiyah, namun hasil perjuangan tersebut jatuh ke

9
Ibid, hlm. 47
10
Abdul Rozak,Anwar ,Rosihoa. Ilmu Kalam, cet.iv, (Bandung : CV. PustakaSetia 2009), Hlm.78

5
tangan Bani Abbas, dan tidak dapat dinikmati oleh kaum ‘Alawiyin, dan kaum Khawarij
yang bergerak dan berjuang di medan siasat dan tipudaya di mana dalam pertempuran
Shiffin, Ali hamper saja mendapatkan kemenangan. Akan tetapi Mu’awiyah setelah
merasa dirinya akan mengalami kekalahan di medan laga, ia lantas mengalihkan
perjuangan ke medan lain.

Sedangkan Mu’tazilah adalah gerakan kegamaan semata-mata, tidak pernah


membentuk pasukan, dan tidak pernah menghunus pedang. Riwayat-riwayat yang
menyebutkan tentang ikut serta beberapa orang pemimpin kaum Mu’tazilah, seperti
‘Amru ibnu ‘Ubaid dalam serangan yang dilancarkan oleh Yazid ibnu Walid, dan yang
menyebabkan gugurnya Al Walid ibnu Yazid, tidaklah menyebabkan Mu’tazilah ini
menjadi suatu golongan yang mempunyai dasar-dasar kemiliteran, sebab pemberontakan
terhadap Al Walid itu bukanlah pemberontakan kaum Mu’tazilah, melainkan adalah
suatu pemberontakan yang berakar panjang yang berhubungan dengan kepribadian dan
moral Khalifah. Maka ikut sertanya beberapa orang Mu’tazilah dalam pemberontakan itu
hanyalah secara perseorangan, disebabkan prinsip-prinsip yang umum, yang
menyebabkan rakyat berontakkepada penguasa yang zalim, atau penguasa yang suka
menurutkan hawa nafsunya.

Walaupun gerakan Mu’tazilah ini merupakan gerakan keagamaan, dan walaupun


gerakan ini tidak pernah menghunus pedang, namun pada saat ia mempunyai kekuatan ia
tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan tekanan-tekanan terhadap pihak-pihak
yang menantangnya, seperti mengenai masalah “Khalqul Qur’an11. Pada waktu Khalifah
Ma’mun menganjurkan kepada para ulama untuk mengikuti pendapat kaum Mu’tazilah
bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk. Falsafah Ma’mun menghendaki supaya orang-
orang yang mengatakan al Qur’an itu bukan makhluk hendaklah dipandang sebagai orang
fasik dan menentang agama12.

11
Lihat “At Tarikh al Islami wal Hadharah al Islamiyah”, III : 129-134.
12
Lihatlah surat Ma’mun kepada wakilnya di Baghdad-Ishak ibnu Ibrahim – dalam buku : “Jamharatu Rasailil ‘Arab,
karangan Ustadz Shafwat.

6
Pemakaian kekerasan itu dipandang sebagai salah satu dari sikap Mu’tazilah yang
tercela. Dan adanya tekanan-tekanan itu menjadi sebab yang terpenting bagi lenyapnya
mazhab ini kemudian hari.

Itulah corak dari gerakan Mu’tazilah, suatu gerakan fikiran yang telah banyak
membahas prinsip-prinsip keagamaan, dan juga telah membahas beberapa
peristiwapolitik dengan pembahasan yang bersifat pemikiran. Senjatanya adalah falsafah
dan akal.

Tatkala khalifah Ma’mun menganut beberapa prinsip-prinsip Mu’tazilah itu, ia


lalu mempertahankan kepercayaannya dengan menggunakan kekuatan dan tekanan-
tekanan. Walaupun tindakan Ma’mun telah dianggap suatu aib dari kaum Mu’tazilah,
namun mereka itu dapat dibela, karena tindakan tersebut adalah tindakan penguasa,
bukan tindakan Mu’tazilah. Adapun tindakan kaum Mu’tazilah sendiri, mereka tetap
berada dalam gerakan fikiran dan falsafah, tanpa memanggul senjata, ataupun
menimbulkan kekacauan-kekacauan yang bersifat militer.

B. Mazhab-Mazhab yang Timbul Sekitar “Khalqu Af’alil ‘Ibad”.


Berbicara tentang Mu’tazilah, berarti mengharuskan untuk menyebutkan walaupun hanya
secara ringkas mengenai golongan-golongan lain yang ada hubungannya dengan masalah-
masalah yang pernah menjadi perbincangan Mu’tazilah. Misalnya golongan Jabariyah, Murijah
dan Ahlus Sunnah.

Mazhab Mu’tazilah sangat erat hubungannyaa dengan mazhab Khawarij. Atau katakanlah
nahwa manhaj Khawarij itu telah membangkitkan suatu masalah yang tidak hanya menyebabkan
berdirinya mazhab Mu’tazilah saja, bahkan juga berdirinya mazhab Jabariyah. Masalah tersebut
ialah masalah “orang yang melakukan dosa besar” telah kita sebutkan, bahwa kaum Azariqah
yang merupakan golongan Khawarij yang terbesar dan terpenting, menganut pendapat bahwa
orang yang melakukan dosa besar itu adalah kafir, yaitu kafir terhadap agama, yang berarti :
keluarg dari agama Islam, dan kekal dalam neraka. Pendapat ini telah membangkitkan
pembahasan ahli-ahli pikir sekitar hakekat iman, apakah menunaikan keajiban-keajiban dan

7
menjauhi dosa besar itu adalah bagian dari iman, atau tidak. Dan bagaimanakah kedudukan
orang yang beriman dengan Allah dan Rasul, tetapi ia melalaikan penunaian kewajiban-
kewajibannya atau melakukan dosa-dosa besar? Hal ini termasuk dalam lingkungan masalah
yang terkenal dalam istilah kaum Muta’allimin dengan sebuatan “khalqu a’alil ‘ibad”.

Dalam pembahasan ini muncul lah 3 macam pendapat yang membentuk mazhab-mazhab
Murjiah, Jabariayah, dan Mu’tazilah.

a. Pendapat golongan Mur’jiah

Iman adalah pengakuan tentang ke Maha Esa an Allah, dan kerasulan Muhammad, yaitu
pengakuan dengan hati. Barangsiapa mengakui hal itu sesuai kepercayaan, maka dia adalah
mu’min, apakah ia menunaikan kewajiban-kewajibannya atau tidak, dan apakah ia menjauhi
dosa-dosa besar atau ia melakukannya. Salah seorang penyair mereka berkata:

“aku tidak berpendapat bahwa sesuatu dosa dapat mengantarkan seseorang kepada syirik,
selama ia tetap bertauhid kepada Tuhan”.

Adapun mengenai orang yang lalai dalam menunaikan kewajiban atau ia melakukan dosa
besar maka sebagian dari ulam Mur’jiah berpendapat: tiadalah mungkin menentukan hukum bagi
orang itu di dunia ini; haruslah ditangguhkan (diserahkan saja) kepada Tuhan untuk menentukan
di hari kiamat.13 Timbulnya istilah “Murjiah”, yaitu berasal dari kata “ irja’ “ yang berarti,
“menangguhkan”.

Kaum Yunusiah yaitu pengikut-pengikut Yunus ibnu ‘Aun an Numairi berpendepat


bahwa “iman” itu adalah mengenai Allah, dan menundukan diri kepadanya, serta meninggalkan
rasa takaabbur terhadapnya, dan mencintainya dengan sepenuh hati. Apabilah sifat-sifat itu telah
terkumpul pada diri seseorang, maka ia adalah mu’min. adapaun sifat-sifat lainnya, seperti “taat”
Kaum Yunusiah yaitu pengikut-pengikut Yunus ibnu ‘Aun an Numairi berpendepat bahwa
“iman” itu adalah mengenai Allah, dan menundukan diri kepadanya, serta meninggalkan rasa
takaabbur terhadapnya, dan mencintainya dengan sepenuh hati. Apabilah sifat-sifat itu telah
terkumpul pada diri seseorang, maka ia adalah mu’min. adapaun sifat-sifat lainnya, seperti “taat”
misalnya, bukannya termasuk iman, dan orang yang meninggalkan ketaatan tidak akan disiksa

13
Al Milalu wan Nihal, I : 125.

8
karenanya, asal saja imannya itu benar-benar murni dan keyakinannya itu betul-betul benar. 14
Dari mazhab inilah timbul istilah “Murjiah”, yang diambil dari kata “Arjaa”, yang berarti :
“memberikan harapan untuk mendapatkan kemaafan”. Dan berdasarkan pada itu pulalah mereka
berkata bahwa perbuatan maksiat itu tidaklah merusakkan iman, sebagaimana ketaatan tiada pula
bermanfaat jika disertai oleh kekafiran”. Juga diriwayatkan, bahwa 'Ubaid al Muktaib pernah
berkata bahwa Apabila seseorang hamba meninggal dalam kepercayaan tauhid Nya, maka semua
dosa dan kejahatan kejahatan yang telah dilakukannya tidak akan memberikanmu mudharat
terhadapnya15.

Ghassan al-Kufi salah seorang dari pemimpin-pemimpin Murji'ah berkata: "iman adalah
mengenai Allah dan rasulnya, serta mengakui apa-apa yang telah diturunkan Allah, dan yang
dibawa oleh rasul-nya. Karenanya, iman itu tidak dapat bertambah atau berkurang"16.

Pendapat ini bertentangan dengan pendapat ahli ahli hadis dan Sunah, Sebab mereka ini
berpendapat bahwa iman itu dapat bertambah dan berkurang lantaran bertambah atau
berkurangnya ketaatan titik Tuhan berfirman:

‫اِ ْي َمانُا‬.‫ت َعلَ ْي ِه ْم آيَاتُهُ زَ ا َد ْتهُ ْم‬


ْ َ‫َوِإ َذاتُلِي‬

"Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatnya, Maka ayat-ayat itu menambah iman
mereka " (al-Anfal 2).

Apa apa yang dapat bertambah tentu dapat pula berkurang. Dan Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam pernah ditanya:"Dapatkah iman itu bertambah dan berkurang?" Beliau
menjawab: "Ya, iman itu dapat bertambah, sehingga menyebabkan orang yang beriman itu
dimasukkan ke dalam surga, dan ia juga dapat berkurang, sehingga menyebabkan orang
dimasukkan ke dalam neraka".

Abu Hanifah menyetujui pendapat Ghassan al-Kufi itu, dan beliau mempunyai cara-cara
untuk mentakwilkan dalil-dalil tersebut.17

b. Pendapat golongan Jabariyah


14
AL Milalu Wan Nihal, I : 125.
15
Al Milal wan Nihal, I : 125, dan lihat pula buku al Fashl oleh Ibnu Hazm dan al Farqu bainal Firaq oleh Al Baghdadi
dan Maqalatul Islamiyin oleh As Asy'ari, dan A literary History of the Arabs, oleh Nicholson halaman 221.
16
Lihat buku-buku yang tersebut tadi.
17
Lihat: Al Firaqul Islamiyah, Al Bisybisyi 16.

9
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia baik yang terpuji ataupun yang tercela pada
hakekatnya bukanlah hasil pekerjaannya sendiri, melainkan hanyalah termasuk ciptaan Tuhan,
yang dilaksanakanNya melalui tangan manusia. Dengan demikian Maka manusia itu tiadalah
mempunyai perbuatan dan tidak pula mempunyai kodrat untuk berbuat titik sebab itu, orang
mukmin tidak akan menjadi kafir lantaran dosa-dosa besar yang dilakukannya, sebab Ia
melakukannya semata-mata karena terpaksa. Dia adalah laksana sehelai bulu yang terkatung-
katung di udara, bergerak kesana-sini menurut hembusan angin.

Salah satu dari ucapan Jaham Ibnu Shafwan pemimpin Jabariyah yang kadang-kadang
golongan ini disebut menurut namanya, yaitu: "Jahmiyyah" adalah sebagai berikut: "manusia
tidak mempunyai kodrat untuk berbuat sesuatu, dan ia tidak mempunyai “kesanggupan." Dia
hanya terpaksa dalam semua perbuatannya. Dia tidak mempunyai kodrat dan ikhtiar, melainkan
Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan pada dirinya, seperti ciptaan ciptaan Tuhan
pada benda-benda mati. Memang perbuatan-perbuatan itu dinisbahkan kepada orang tersebut,
tetapi itu hanyalah nisbah majazi, secara kiasan, Sama halnya kalau kita menisbahkan sesuatu
perbuatan kepada benda-benda mati, misalnya dikatakan: "pohon itu berbuah”, atau" air mengalir
"," batu bergerak "." Matahari terbit dan tenggelam "," Langit Mendung dan menurunkan hujan
","bumi bergoncang dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain sebagainya. Pahala dan
Siksa pun adalah paksaan, sebagaimana halnya dengan perbuatan-perbuatan ". Jaham berkata: "
apabila paksaan itu telah tetap maka taklif adalah paksaan juga ". Berkata: "apabila paksaan itu
telah tetap maka taklif adalah paksaan juga".18

Jahanam dan kawan-kawannya memperkuat pendapat mereka tentang "paksaan" itu dengan
mengemukakan ayat-ayat yang mereka pandang dapat memperkuatnya, misalnya ialah firman
Allah:

‫ن َأحْ بَبْتَ َولَ ِك َّن اهلَّلا يَ ْه ِدى َم ْن يَشآء‬rْ ‫ِإنَّاكَ اَل تَ ْه ِدى َم‬

"Bahwasanya engkau (Hai Muhammad) tidaklah berkuasa untuk memberi petunjuk kepada
orang yang kau cintai, akan tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang
dikehendakinya " (QS. al Qashas : 56).

Dan firman Tuhan:


18
Lihat : Al Firaqul Islamiyah, Al Bisybisyi 16.

10
‫ًأل‬
ِ ْ‫َولَوْ َشآ َء َريُّكَ آَل َم ْنفِى ْا ر‬
‫ض ُكلُّهُ ْم َج ِم ْيعًا‬

"Dan Andaikata Tuhanmu menghendaki, niscaya berimanlah orang-orang yang ada di bumi ini
semuanya" (QS. Yunus : 99).

Dan firman Tuhan:

َ ‫خَ تَ َم هَّللا ُ عَلىقُلُوْ بِ ِه ْم َوعَلى َس ْم ِع ِه ْم َوعَلى َأب‬


ٌ‫ْصا ِر ِه ِم ِغ َشا َوة‬

"Allah telah mencapai hati dan pendengaran mereka titik, dan penglihatan mereka ditutup (QS.
Al Baqarah : 7).

Dan firmanNya lagi:

ْ ‫والي ْنفعك ْمنصحىا ْناردتا ْنانصحلكم ان كا ن ا هلل يوريد‬.


‫ان يغويكن‬

"Nasehat ku takkan bermanfaat lagi bagimu, jika aku mau memberimu nasehat, kalau sekiranya
Allah ingin menyesatkan kamu " (QS. Hud : 34).

c. Pendapat Sebagian Terbesar Kaum muslimin

Bahagian terbesar kaum Muslimin menolak mazhab Jabariyah ini, karena dapat menyebabkan
orang menjadi malas dan lalai dan menghapuskan tanggung jawab, dengan mengemukakan ayat-
ayat yang terang Maksudnya yang dengan ayat-ayat tersebut al-Qur’anul Karim menolak
pendapat-pendapat yang dangkal dan Naif itu. Ayat-ayat tersebut sebagai berikut:

ْ‫ب الَّ ِذي َْن مِن‬ َّ )‫َمٓا اَ ْش) َر ْك َنا َوٓاَل ٰا َب ۤاُؤ َنا َواَل َحرَّ مْ َنا مِنْ َش)يْ ۗ ٍء َك) ٰ)ذل َِك َك‬ ‫س)يقُ ْو ُل الَّ ِذيْن اَ ْش)ر ُك ْوا لَ) ْ)و َش) ۤاء هّٰللا‬
َ ‫)ذ‬ ُ َ َ َ َ َ
‫الظنَّ َواِنْ اَ ْن ُت ْم ِااَّل‬َّ ‫ُ)))و َن ِااَّل‬ ۗ ‫ُ)))وهُ لَ َن‬
ْ ‫)))ا اِنْ َت َّت ِبع‬ ْ ‫عِ ْن)))دَ ُك ْم مِّنْ عِ ْل ٍم َف ُت ْخ ِرج‬ ْ ُ‫َق ْبل ِِه ْم َح ٰ ّتى َذاق‬
‫)))وا َبْأ َس))) َن ۗا قُ))) ْل َه))) ْل‬
‫َت ْخ ُرص ُْو َن‬

Artinya" orang-orang yang musyrik itu akan berkata: " Andaikata Tuhan menghendaki, misaya
Kami tidak akan musyrik,dan tidak pula bapak bapak kami, dan kami tidak akan mengharamkan
apa-apa". Begitu pula orang-orang yang sebelum mereka berbuat dusta, sehingga mereka
merasakan siksaan kami. Katakanlah:" Adakah kamu mempunyai keterangan yang bisa kamu
tunjukkan kepada kami? Kamu hanya menuruti sangkan sangkan saja, dan kamu hanya

11
berdusta". Katakanlah: "maka hanya Allah-lah yang mempunyai alasan yang kuat". (QS. Al
An'am : 148 - 149).

Dan firman Tuhan:

ْ‫َو َقا َل الَّ ِذي َْن اَ ْش َر ُك ْوا لَ ْو َش ۤا َء هّٰللا ُ َما َع َب ْد َنا مِنْ ُد ْونِهٖ مِنْ َشيْ ٍء َّنحْ نُ َوٓاَل ٰا َب ۤاُؤ َنا َواَل َحرَّ مْ َنا مِنْ ُد ْونِ))هٖ مِن‬
ُ‫َشيْ ٍء ۗ َك ٰذل َِك َف َع َل الَّ ِذي َْن مِنْ َق ْبل ِِه ْم ۚ َف َه ْل َع َلى الرُّ س ُِل ِااَّل ْال َب ٰل ُغ ْالم ُِبيْن‬

“Dan orang musyrik berkata, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah
sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak (pula) kami
mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya.” Demikianlah yang diperbuat oleh orang sebelum
mereka. Bukankah kewajiban para rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan jelas.”
(QS. Al anhl : 53)

Dan firman Tuhan:

ْ‫)ه ۖاِن‬ٓ ٗ )‫َوا َِذا قِ ْي) َل لَ ُه ْم اَ ْنفِقُ) ْ)وا ِممَّا َر َز َق ُك ُم هّٰللا ُ ۙ َق))ا َل الَّ ِذي َْن َك َف) ر ُْوا لِلَّ ِذي َْن ٰا َم ُن) ْٓ)وا اَ ُن ْط ِع ُم َمنْ لَّ ْو َي َش) ۤا ُء هّٰللا ُ اَ ْط َع َم‬

ٍ ‫ض ٰل ٍل م ُِّبي‬
‫ْن‬ َ ْ‫اَ ْن ُت ْم ِااَّل فِي‬

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Infakkanlah sebagian rezeki yang diberikan Allah
kepadamu,” orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman, “Apakah
pantas kami memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki Dia akan
memberinya makan? Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Yasin : 47)

Dan FirmanNya lagi:

‫ ان هم اال هم يخر صؤن‬،‫ مالهم بذلك من علم‬،‫ لؤشاءالرحمن ماععب ْد ناهم‬:‫وقالؤا‬،

“Dan mereka berkata: "jikalau yang Maha Pengasih menghendaki, niscaya kami tak akan
menyembah mereka itu". Ingatlah, bahwa mereka itu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal
itu mereka hanya berdusta". (QS. Az-zukhruf 20).

Kiranya Imam Ja'far ash-Shadiq telah mengungkapkan dengan kalimat yang paling indah tentang
pendapat bagian terbesar kaum Muslimin dalam masalah ini, ketika beliau berkata mengenai
"iradah", sebagai berikut: "bahwasannya Allah menghendaki sesuatu untuk kita dan Ia juga
menghendaki sesuatu dari kita. Maka apa apa yang dikehendakiNya untuk kita, Ia sembunyikan

12
dari kita, dan apa apa yang dikehendakiNya untuk kita, Ia Perlihatkan kepada kita. Lalu
Mengapa kita menyibukkan diri kita dengan apa-apa yang dikehendakiNya untuk kita dan
meninggalkan apa-apa yang dikehendaki Tuhan dari kita? Mengapa kita menyibukkan diri
dengan soal-soal bathiniyah dan melalaikan soal-soal zhahiriyah? "

Demikian pula ketika beliau berkata tentang "qadar”: ialah suatu hal yang terletak antara dua hal
lainnya. Ia bukanlah paksaan, dan bukan pula penyerahan sepenuh-penuhnya".

d. Pendapat Golongan Mu'tazilah

"Manusia adalah berwenang untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri.
Sebab itu ia berhak untuk mendapatkan pahala atas kebaikan kebaikan yang dilakukannya dan
sebaliknya ia juga berhak untuk disiksa atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya".

Untuk menguatkan pendapat-pendapatnya itu Mu'tazilah berdalih kepada ayat-ayat Al-Qur’an


antara lain ialah:

ۙ
‫ت َر ِه ْي َن ٌة‬ ٍ ۢ ‫ُك ُّل َن ْف‬
ْ ‫س ِب َما َك َس َب‬

“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya” (QS. Al Mudatsir : 38)

ْ‫اط ِب ِه ْم س َُرا ِدقُ َه ۗا َواِن‬ ّ ٰ ‫َوقُ ِل ْال َح ُّق مِنْ رَّ ِّب ُك ۗ ْم َف َمنْ َش ۤا َء َف ْليُْؤ مِنْ َّو َمنْ َش ۤا َء َف ْل َي ْكفُ ۚرْ ِا َّنٓا اَعْ َت ْد َنا ل‬
َ ‫ِلظلِ ِمي َْن َنارً ۙا اَ َح‬
‫ت مُرْ َت َف ًقا‬ْ ‫ابُ َو َس ۤا َء‬ ۗ ‫س ال َّش َر‬
َ ‫يَّسْ َت ِغي ُْث ْوا ي َُغ ُاث ْوا ِب َم ۤا ٍء َك ْال ُمه ِْل َي ْش ِوى ْالوُ ج ُْو ۗ َه ِبْئ‬

“Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa


menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia
kafir.” Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya
mengepung mereka. Jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi air seperti
besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. (Itulah) minuman yang paling buruk dan
tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al Kahfi : 29)

‫ َوِإمَّا َكفُورً ا‬ ‫ِإ َّنا َهدَ ْي ٰ َن ُه ٱلس َِّبي َل ِإمَّا َشا ِكرً ا‬

“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula
yang kufur.” (QS, Ad Dahr : 3)

13
‫اِنَّ ٰهذِهٖ َت ْذك َِرةٌ ۚ َف َمنْ َش ۤا َء ا َّت َخ َذ ا ِٰلى َربِّهٖ َس ِب ْياًل‬

“Sungguh, ini adalah peringatan. Barangsiapa menghendaki, niscaya dia mengambil jalan (yang
lurus) kepada Tuhannya.” (QS. Al Muzzammil : 19)

َ ‫صالِحً ا َفلِ َن ْفسِ هٖ َۙو َمنْ اَ َس ۤا َء َف َعلَ ْي َها َۗو َما َرب‬
‫ُّك ِب َظاَّل ٍم لِّ ْل َع ِب ْي ِد‬ َ ‫َمنْ َع ِم َل‬

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa
berbuat jahat maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya sendiri. Dan Tuhanmu sama sekali
tidak menzalimi hamba-hamba(-Nya).”(QS. Fushshilat : 46)

َ ‫ثُ َّم ي ُۡج ٰزٮهُ ۡال َجزَٓا َء ااۡل َ ۡو ٰفىۙ َواَ َّن َس ۡعيَهٗ َس ۡوفَ ي ُٰرى َواَ ۡن لَّ ۡي‬
ِ ‫س لِاۡل ِ ۡن َس‬
ۙ‫ان اِاَّل َما َس ٰعى‬

"dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya
usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya
dengan balasan yang paling sempurna." (QS. An Najm : 39-41)

‫ان هّٰللا ُ َعلِ ْيمًا َح ِك ْيمًا‬


َ ‫َو َمنْ ي َّْكسِ بْ ا ِْثمًا َف ِا َّن َما َي ْكسِ ب ُٗه َع ٰلى َن ْفسِ هٖ ۗ َو َك‬

“Dan barangsiapa berbuat dosa, maka sesungguhnya dia mengerjakannya untuk (kesulitan)
dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijak-sana.” (QS. An Nisa’ : 111).

Bila manusia itu bebas bertindak menurut kehendaknya sendiri, dan karenanya dia
bertanggung jawab penuh atas segala perbuatannya itu diberi pahala atas perbuatannya yang baik
dan disiksa karena perbuatannya yang jelas maka bagaimanakah kedudukan orang yang berbuat
dosa besar menurut kaum Mu'tazilah? Telah saya uraikan di atas mengenai pendapat Mu’tazilah
tentang orang berbuat dosa besar.

Suatu hal yang dapat kita tangkap ialah bahwa Washil tidak mau menunggu jawaban dari
Hasan ketika kepadanya diajukan pertanyaan tentang “orang yang berbuat dosa besar” tersebut,
lantaran Washil sudah tau jawaban apa yang hendak diberikan oleh gurunya itu. Hasan
sependapat dengan ahli-ahli hadits mengenai masalah qadha’ dan qadar, yaitu Allah sendirilah
yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, dan manusia sendiri hanyalah mempunyai
ikhtiar dan keinginan, dan inilah yang mereka sebut “Al Kasab” (usaha). Washil juga
mengetahui pendapat ahli hadits, bahwa perbuatan-pebuatan manusia itu bukanlah merupakan

14
bahagian dari iman. Dengan demikian Washil telah mengetahui bahwa pendapat Hasan akan
menundukkan orang yang bebruat dosa besar itu, hanya sebagai “orang mu’min yang durhaka”.
Itulah sebabnya Washil segera menjawab, dan memaklumkan pendapatnya sendiri.19

Demikianlah timbulnya Mu’tazilah; yang pada permulaannya adalah berhubungan


dengan penentangan terhadap pendapat golongan Khawarij mengenai masalah orang yang
berbuat dosa besar, sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Akan tetapi, Mu'tazilah juga
mempunyai pendapat pendapat lain selain dari pembicaraan mengenai masalah tersebut. Dan
tatkala Golongan ini berdiri sendiri sepenuhnya, mulailah pemuka-pemuka nya memaklumkan
dan menetapkan pendapat-pendapat mereka. Ini terjadi pada permulaan abad yang kedua
Hijriyah. Dalam menetapkan prinsip-prinsipnya, kaum Mu'tazilah ini berpegang kepada akal.
Sebab itu mereka sangat mengutamakan rasio dan menempatkan pada tingkat yang sangat tinggi.
Pada masa-masa selanjutnya mereka bersandar kepada filsafat terutama setelah timbul
kebangkitan dan kemajuan dalam bidang ilmiah dalam Alam Islami dan sesudah diterjemahkan
filsafat dari berbagai bangsa ke dalam bahasa Arab pada masa itu filsafat merupakan senjata
yang ampuh bagi musuh-musuh Islam untuk menyerangnya. Maka kaum mu'tazilah pun
memakai filsafat itu sebagai senjata mereka untuk mempertahankan Islam terhadap orang-orang
yang menyerang dan menantangnya.20

Mengenai sikap kaum Mu'tazilah dalam meniadakan sifat-sifat Tuhan, oleh As Syahristani
dikatakan sebagai berikut: "pada mulanya, masalah ini tiadalah begitu matang. Washil Ibnu
‘Atha’ dalam masalah ini berpegang kepada pendapat yang zhohir yaitu kesepakatan para ulama
atas kemustahilan adanya dua Tuhan yang bersifat qadim dan Azali. Washil berkata: "Barang
siapa yang menetapkan ada sesuatu makna dan ada sifat yang qadim bagi Tuhan, berarti ia telah
menetapkan ada dua Tuhan ". Dan setelah pengikut-pengikut Washil menelaah buku-buku
filsafat, akhirnya mereka berpendapat bahwa semua sifat-sifat Tuhan itu dikembalikan kepada
dua sifat yaitu: "KeadaanNya yang mengetahui dan KeadaanNya kuasa". Kemudian mereka
menetapkan bahwa kedua sifat tersebut adalah merupakan sifat-sifat dzatiyah, yang keduanya itu
adalah ungkapan bagi Dzat yang qadim, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Jabbai, atau
merupakan dua keadaan, menurut Abu Hasyim. Sedang Abu Hasan Al Bashri adalah cenderung

19
Sejarah dan Kebudayaan Islam, II, hal. 388
20
Sejarah dan Kebudayaan Islam, II, hal. 389-390

15
untuk mengembalikan kedua sifat itu kepada satu sifat saja yaitu: ‘Alimiyah” (KeadaanNya
mengetahui) dan ini adalah persis sama dengan pendapat ahli-ahli filsafat.21

C. Tokoh –Tokoh Mu’tazilah dan Pemikiranya


1. Wasil bin Atha
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran
Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain
al-manzilatain, paham Qadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua
tokoh aliran Qadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran
itu kemudian menjadi doktrin ajaran Mu’tazilah, yaitu al-manzilah bain al-
manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2. Abu Huzail al-‘Allaf
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan
sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah
dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme
dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran teologis ini pernah berjaya pada
masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi
madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan
dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedy mihnah telah mencoreng
madzhab rasionalisme dalam Islam ini.

Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani
dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bercorak filsafat. Ia
antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan
Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Dzat-Nya, bukan
Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Dzat-Nya
dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang
kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat
Tuhan, berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain
21
Al milal Wan nihal, I : 51

16
adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan
yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi
perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang
adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan
dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.22

3. Al-Jubba’I
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah.
Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak,
dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-
Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke
dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui
akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melalui ajaran-
ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).23
4. An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan.
Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini
berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa
Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan
bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai
kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya
dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari
keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran.
Menurutnya, mukjizat al-Quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb atau
gaya bahasa dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga member penjelasan tentang kalam
Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan
dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak
kadim.24
22
Ibid, hlm 80
23
Ignaz Goldziher, Op Cit hlm 150
24
Abdul Rozak,Anwar ,Rosihan, Op cit, hlm. 80

17
5. Al- Jahiz
Al- Jahiz : dalam tulisan-tulisan al-Jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham
naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum Mu’tazilah disebut
Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia
tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh
hukum alam.
6. Mu’ammar bin Abbad
Mu‟ammar bin Abbad : Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri Mu’tazilah aliran
Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama
dengan pendapat al-Jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-
benda materi. Adapun al-‘Arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-
benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke
dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau
kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
7. Bisyr al-Mu’tamir
Bisyr al-Mu’tamir : Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban
perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum *mukalaf. Seorang yang berdosa besar
kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa
ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
8. Abu Musa al-Mudrar
Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin Mu’tazilah yang
sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut
Syahristani, ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran.
Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata
kepala.
9. Hisyam bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan
surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang

18
dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang
karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.25

D. Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah (Ushul Al Khamsah)


Abu Hasan Al- Kayyath berkata dalam kitabnya Al- Intisar “Tidak ada seorang pun
yang berhak mengaku sebagai penganut Mu`tazilah sebelum ia mengakui Al- Ushul Al-
Khamsah ( lima landasan pokok ) yaitu Tauhid, Al – ‘Adl, Al- Wa`du Wal Wai`id, Al-
Manzilah Baina Manzilatain, dan Al Amr bi Al Ma’ruf wa Al Nahi an Al Munkar.
1. At-Tauhid (ke-Esaan)
At-tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran
Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini.
Namun bagi Mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan
dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaannya. Untuk memurnikan
keesaan Tuhan, Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat. Konsep ini
bermula dari founding father aliran ini, yakni Washil bin ‘Atho. Ia mengingkari
bahwa mengetahui, berkuasa, berkehendak, dan hidup adalah termasuk esensi Allah.
Menurutnya, jika sifat-sifat ini diakui sebagai kekal-azali, itu berarti terdapat
“pluralitas yang kekal” dan berarti bahwa kepercayaan kepada Allah adalah dusta
belaka. Namun gagasan Washil ini tidak mudah diterima. Pada umumnya Mu’tazilah
mereduksi sifat-sifat Allah menjadi dua, yakni ilmu dan kuasa, dan menamakan
keduanya sebagai sifat-sifat esensial. Selanjutnya mereka mereduksi lagi kedua sifat
dasar ini menjadi satu saja, yakni keesaan.26

Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa Tuhan dapat dilihat
dengan mata kepala. Juga, keyakinan tidak ada satupun yang dapat menyamai Tuhan,
begitupula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tegasnya
Mu’tazilah menolak antropomorfisme. Penolakan terhadap paham antropomorfistik
bukan semat-mata atas pertimbanagan akal, melainkan memiliki rujukan yang yang

25
Ibid. hlm 81
26
Sharif (ed). Aliran-aliran Filsafat Islam. (Bandung : Nuansa Cendekia2004), hlm. 21

19
sangat kuat di dalam Al Qur’an yang berbunyi (artinya) : “tidak ada satupun yang
menyamainya. (Q.S.Assyura : 9 ).27
2. Al – ‘Adl (keadilan Tuhan)
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil.
Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan,
karena Tuhan Maha sempurna dia pasti adil. Faham ini bertujuan ingin menempatkan
Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia. Tuhan dipandang adil
apabila bertindak hanya yang baik dan terbaik. Begitupula Tuhan itu adil bila tidak
melanggar janjinya.

Dengan demikian Tuhan terikat dengan janjinya. Merekalah golongan yang


mensucikan Allah daripada pendapat lawannya yang mengatakan: bahwa Allah telah
mentaqdirkan seseorang itu berbuat maksiat, lalu mereka di azab Allah, sedang
Mu’tazilah berpendapat, bahwa manusia adalah merdeka dalam segala perbuatan dan
bebas bertindak, sebab itu mereka di azab atas perbuatan dan tindakannya. Inilah
yang mereka maksud keadilan itu.28

Ajaran tentang keadilan berkaitan dengan beberapa hal, antara lain :


a. Perbuatan manusia. Manusia menurut Mu’tazilah melakukan dan menciptakan
perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan. Manusia
benar-benar bebas untuk menentukan pilihannya.Tuhan hanya menyuruh dan
menghendaki yang baik. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan
Tuhan, yaitu apapun yang akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan
perbuatannya di dunia.
b. Berbuat baik dan terbaik. Maksudnya adalah kewajiaban Tuhan untuk berbuat
baik, bahkan terbaik bagimanusia. Tuhan tidak mungkin jahat atau aniaya karena
itu akan menimbulkan persepsi bahwa Tuhan tidak maha sempurna. Bahkan
menurut Annazam, salah satu tokoh Mu’tazilah konsep ini berkaiatan dengan
kebijaksanaaan, kemurahan dan kepengasihan Tuhan.

27
Abdul Rozak,Anwar ,Rosihan, Op cit, hlm. 82
28
Thahir Taib, Abd.Mu‟in. Ilmu Kalam, (Jakarta : Penerbit Widjaya. 1986), hlm.103

20
c. Mengutus Rasul. Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiaban Tuhan
karena alasan berikut ini :
 Tuhan wajib berbuat baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat
terwujud kecuali dengan mengutus Rasul kepada mereka.
 Al qur‟an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk belas kasih
kepada manusia .Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan
rasul.
 Tujuan di ciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepadaNya dengan
jalan mengutus rasul.
3. Al-Wa’ad wa al-Wa’id (Janji dan ancaman)
Ajaran ini berisi tentang janji dan ancaman. Tuhan yang Maha Adil tidak akan
melanggar janjinya dan perbuatan Tuhan terikat dan di batasi oleh janjinya sendiri.
Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi
Tuhan selain menunaikan janjinya yaitu member pahala orang yang ta’at dan
menyiksa orang yang berbuat maksiat, ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong
manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
Kaum Mu’tazilah sepaakat mengatakan bahwa seorang Mu’min apabila telah
keluar dari dunia ini dalam keadaan taat dan taubat, ia berhak untuk mendapatkan
pahala dan ‘iwadl29. Juga berhak mendapatkan tafaddhul (karunia Tuhan) yaitu suatu
pengertian lain dibaalik pahala. Dan apabila seorang Mu’min keluar dari duni ini
tanpa bertaubat lebih dahulu dari sessuatu dosa besar yang telah diperbuatnya, maka
ia ditempatkan daalam neraka selama-lamanya; akan tetapi siksa yang diterimanya
lebih ringan dari pada siksa orang yang kafir. Inilah yang mereka sebut janji dan
ancaman.30
Memang hal ini tidak keluar dari ajaran Islam, namun menurut saya, pahala, dosa,
surge, dan neraka adalah hak mutlak Allah Subhahu wa Ta’ala.
4. Al-Manzilah bain Al-Manzilatain (tempat diantara kedua tempat)
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Ajaran
ini terkenal dengan status orang mu’min yang melakukan dosa besar, seperti dalam

29
‘Iwadl, artinya: “ganti” maksudnya juga pahala, (Pent.)
30
Lihat buku-buku tersebut di atas.

21
sejarah, Khawarij menganggap orang tersebut kafir bahkan musyrik, sedangkan
menurut pandangan Mu’tazilah orang Islam yang mengerjakan dosa besar yang
sampai matinya belum taubat, orang itu di hukumi tidak kafir dan tidak pula mu’min,
tetapi diantara keduanya. Mereka itu dinamakan orang fasiq, jadi mereka di
tempatkan di suatu tempat diantara keduanya.31
5. Al Amr bi Al Ma’ruf wa Al Nahi an Al Munkar (Menyuruh kebaikan dan melarang
keburukan)
Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini
merupakan konsekuensi logis dari keimananan seseorang. Pengakuan keimanan harus
dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik
dan mencegahnya dari kejahatan. Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain
mengenai ajaran kelima ini terletak pada tata pelaksanaanya. Menurut Mu’tazilah jika
memang diperlukan kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.
Kaum Mu’tazilah sepakat mengatakan bahwa akal manusia sanggup membedakan
yang baik dan yang buruk, sebab sifat-sifat dari yang baik dan yang buruk itu dapat
dikenal. Dan manusia berkewajiban memilih yang baik dan menjauhi yang buruk.
Untuk ini, tak pelu lah Tuhan mengutus Rasul-Nya. Apabila seseorang tidak mau
berusaha untuk mngetahui yang baik dan yang buruk itu ia akan mendapat siksaan
dari Tuhan. Begitu pula apabila ia tahu akan yang baik tetapi tidak diikutinya, atau ia
tahu mana yang buruk tetapi tidak dihindarinya.
Adapun mengutus Rasul, itu adalah merupakan pertolongan tambahan dari Tuhan,
“agar orang-orang yang binasa itu, binasanya adalah dengan alasan, dan orang yang
hidup itu, hidupnya adalah dengan alasan pula.32

E. Peran Aliran Mu'tazilah Bagi Perkembangan Islam


 Mu'tazilah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam, yang menggunakan pemikiran
rasional untuk menjelaskan masalah ketuhanan. Secara epistemologi pemikiran rasional
Mu'tazilah terpengaruh oleh pemikiran filsafat. Mu'tazilah menggunakan metode berfikir filsafat
untuk menjelaskan dan menetapkan  persolan Ketuhanan. Mu'tazilah berpandangan bahwa

31
Ibid hlm. 84
32
Yang tertulis antara tanda “ “ adalah ayat 42 dari Surat Al Anfal.

22
Tuhan telah memberikan kemerdekaan dan kebebasan bagi manusia dalam menentukan
kehendak dan perbuatannya, karena Tuhan tidak absolute dalam kehendak-Nya, dan Tuhan
mempunyai kewajiban berlaku adil, berkewajiban menempati janji, berkewajiban memberi rizki.
Pemikiran mu'tazilah merupakan pemikiran rasional, munculnya pemikiran rasional ini,
lahirnya pemikiran rasional ini, untuk menjelaskan Islam itu secara mendalam, luas dan benar
kepada umat Islam secara khusus dan umat manusia secara uumum. Dalam menjelaskan ajaran
Islam ini mu'tazilah menggunakan al-Qur'an dengan menggunakan pemikiran logis dan filosofi.
Dalam pemikirannya mu'tazilah menenpatkan Allah sebagai sumber awal, dan al-qur'a sebagai
sumber utama. Manusia memiliki kebebasan terhadap apa yang diinginkannya, tetapi manusia
harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap perbuatannya, sesuai dengan ketentuan yang telah
disampaiakan Allah melalui kitab sucinya.
Pemikiran rasional mu'tazilah ini, mempunyai  pengaruh terhadap perkembangan pemikiran
Islam di Indonesia terutama dalam gerakan Muhammadiyah dan organisasi modernisme Islam
lainnya, menekankan  rasional dalam usaha menghilangkan praktek-praktek keagamaan
tradisional, dan menegaskan Islam tidak sekedar mengizinkan, tetapi membutuhkan kemodernan.
Tentang wacana kemodrenan dipertegas dalam istilah teknologi dan pengetahuan.
Pengaruh pemikiran mu'tazilah tampak pada pemikiran tokoh intelektual seperti Nurcholis
Madjid yang dikenal dengan Pembahruan pemikiran Islamnya.   Sumbangan yang paling penting
dari Nurcholis Madjid adalah pengembangan wacana Islam Indonesia. Usaha beliau untuk
memisahkan modernisme  dari skriptualisme. Nurcholis Madjid memberikan penilaian yang
lebih realistis tentang  Muslim yang harus mendekati kemoderenan. Nurcholis Madjid
menerangkan bahwa kebutuhan terhadap pembaharuan pemikiran lebih mendesak ketimbang
kebutuhan untuk mempertahankan kesepakatan intelektual umat. Ia menghibau untuk mengakhiri
perdebatan antar aliran dan beralih untuk memperjuangkan sebuah metode penalaran.
Dalam hubungannya dengan perbuatan manusia, kehendak mutlak Tuhan jadi terbatas karena
kebebasan itu telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan kehendaknya.
Menurut mu'tazilah posisi manusia  dalam tatanan alam semesta memiliki pandangan tersendiri.
Manusia harus berhubngan dengan alam, dan tidak dapat menghindarkan diri dari ketentuan-
ketentuan yang berlaku berdasarkan hukum alamiah.

23
Golongan Mu'tazilah, memusatkan perhatiannya untuk penyiaran Islam melalui dialogis
filosofis dan membantah alasan-alasan orang yang memusuhi Islam melaui argumentasi logis.33
Orang Islam tidak akan bisa menghadapi lawan-lawannya, jika mereka tidak mengetahui
pendapat-pendapat lawannya. Akhirnya wilayah Islam menjadi arena perdebatan bermacam-
macam pendapat, hal ini mempengaruhi masing-masing pihak, diantaranya menggunakan
argumentasi  rasional dalam menjelaskan dan mempertahankan pendapat mereka. Sebagian umat
Islam mempelajari metoda-metoda filsafat Yunani untuk digunakan dalam menjelaskan dan
mempertahankan ajaran Islam, diantaranya adalah golongan mu'tazilah.  
Pada awalnya Mu'tazilah merupakan aliran teologi yang hanya  dianut oleh masyarakat biasa.
Tapi kemudian teologi yang bercorak  rasional dan liberal ini menarik perhatian kalangan
intelektual dan juga lingkungan pemerintah kerajaan Abbasiyah. Melihat hal demikian, khalifah
Al-Makmun (813-833 M) putera Harun al-Rasyid (766-809 M), pada tahun 827 M menjadikan
teologi Mu'tazilah sebagai mazhab resmi  Negara. Sejak itu resmilah aliran Mu'tazilah menjadi
satu-satunya aliran  teologi yang boleh dianut oleh umat Islam dalam wilayah kekuasaan Dinasti
Abbasiyah. Dengan mendapat pengakuan resmi dari pemerintah, maka otomatis aliran ini
mendapat dukungan sekaligus perlindungan dari penguasa waktu itu. Selanjutnya aliran ini pun
dengan leluasa dan berani menyebarkan paham-pahamnya secara terbuka kepada public
Penyebaran tersebut mereka lakukan mulai cara lemah lembut sampai pemaksaan dan
kekerasan. Puncak kekerasan dan pemaksaan itu berkenaan dengan paham "Al-Quran makhluk".
Masalah ini sampai menimbulkan peristiwa al-Mihnah yaitu pemeriksaan terhadap para ulama
ahli Hadits dan ahli fikih oleh Khalifah Al-Makmun pada Dinasti Abbasiyah. Mula-mula
Khalifah Al-Makmun mengirimkan surat kepada Ishaq ibn Ibrahim (gubernur Bagdad) agar
memerintahkan kepada para pejabat untuk mengakui paham bahwa Al-Qur'an makhluk. Ada tiga
langkah yang harus diambil, pertama memberhentikan pejabat-pejabat yang tidak mau mengakui
kemakhlukan Al-Quran. Kedua memerintahkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap para
ulama ahli  fikih dan ahli Hadits serta yang terkait dengan urusan fatwa tentang makhluk
tidaknya Al-Quran.
Aliran Mu'tazilah berpendirian bahwa Allah tidak memiliki sifat, yang ada hanyalah keesaan
Zat-Nya. Jadi keesaan Allah tidak terbagi dan tidak punya sifat. Esa dalam seluruh perbuatan-
Nya tanpa ada sekutu. Tidak ada yang azali kecuali zat-Nya, karena mustahil ada dua yang azali.

33
A. Hanafi 1983 : 18

24
Pendirian aliran Mu'tazilah meniadakan seluruh sifat Allah itu bukanlah bermakna menolaknya
secara mutlak, akan tetapi bertindak melakukan penafsiran yang diterima oleh akal, sejalan
dengan asas keesaan Allah. Harus dipahami bahwa Allah itu Maha Tahu dengan ilmu, yang ilmu
itu adalah Dia. Allah itu Maha Kuasa dengan qudrat, yang qudrat itu adalah Dia. Allah itu Maha
Hidup dengan hayat, yang hayat itu adalah Dia. Maka ilmu, qudrat dan hayat itu adalah diri zat-
Nya. Pada saat diungkapkan dengan Yang Maha Tahu, maka dipastikan ilmu bagi Allah, yang
ilmu itu adalah zat-Nya, dan meniadakan ketidak-tahuan pada zat-Nya. Pada saat diungkapkan
dengan Yang Maha Kuasa, maka dipastikan qudrat bagi Allah, yang qudrat adalah zat-Nya, dan
meniadakan tak kuasa pada zat-Nya, demikian seterusnya.
Pada dasarnya aliran Mu'tazilah menginginkan kemurnian aqidah Islam dan terhindar dari
unsur-unsur syirik, sehingga mereka berpendapat bahwa sifat-sifat Tuhan itu tidak ada, yang ada
hanya zat Tuhan. Dan segala apa yang disebut dengan sifat adalah zat Allah sendiri. Manusia
bebas melakukan apa saja dan akan diberi ganjaran sesuai dengan perbuatannya. Perbuatan
manusia tidak didikte oleh Tuhan. Tuhan hanya memberi aturan mana perbuatan baik dan
perbuatan buruk dan manusia bebas memilihnya. Dengan demikian ganjaran surga atau neraka
tergantung kepada perbuatan manusia itu sendiri. Akal memiliki peran yang sangat penting bagi
manusia. Dengan akalnya manusia seharusnya dapat mengetahui tentang Tuhan meskipun wahyu
belum ada. Wahyu hanya dibutuhkan untuk mengetahui cara memuja Allah dan menyembah-
Nya. Terdapat dugaan kuat, pendapat Mu'tazilah yang sangat mementingkan rasionalitas adalah
karena adanya persentuhan dengan filsafat Yunani. Hal ini dimungkinkan karena daerah Islam
sangat luas. Hanya saja hal ini perlu dibuktikan lagi.

25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Mu’tazilah berasal dari kata Bahasa Arab yaitu I’tazala yang artinya
“meninggalkan” atau “menjauhkan diri”. Mu’tazilah adalaha salah satu aliran teologi
dalam agama Islam. Kelahiran Mutazilah oleh lawan-lawanya, biasanya dikaitkan dengan
keluarnya Washil ibn Atha dari halaqoh gurunya yaitu Hasan Al Bashri karena perbedaan
status orang Islam dalam melakukan dosa besar. Diantara dokrin aliran Mutazilah yang
sering muncul oleh mereka mengenai lima prinsip pokok yang disebut al-ushul al-
khamsah yaitu : (1) Tauhid (2) Keadilan Tuhan (3) Al-wa’du wal wa’id (janji dan
ancaman) (4) Manzilah bainal manzilatain (tempat antara dua tempat) (5) Amar ma’ruf
dan nahi munkar (perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat).

Menurut saya, dari ungkapan pada ushulul khamsah sebagai pokok ajaran
Mu’tazilah tidaklah menyimpang atau keluar dari ajaran Islam. Hanya saja penulis
tidak sepaham mengenai pokok ajaran yang keempat, yaitu manzila bain al-
manzilatain satu tempat diantara dua tempat) yang diperuntukkan bagi mukmin yang
melakukan dosa besar. Menurut penulis di akhirat nanti hanya ada dua tempat yaitu surga
dan neraka maka mukmin yang berbuat dosa besar, ia ditempatkan di neraka dan
setelah ia ganjaran dari apa yang ia lakukan maka ia dimasukkan ke dalam surga dan
kekal selamanya. Namun menurut saya pun surge dan neraka adalah hak prerogatif Allah
Subhanahu wa ta’ala.

B. Kritik dan Saran


Penulis menyadari betul bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangandan
masih jauh dari kata sempurna. Sekiranya masih terdapat kesalahan dalam makalah ini
baik isi maupun penulisan yang masih terdapat banyak typo, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga

26
makalah ini bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan pembaca, terkhusus mengenai
aliran teologi mu’tazilah.

DAFTAR PUSTAKA
Munir, Ghazali. 2010. Ilmu Kalam, Aliran-Aliran, dan Pemikiran, Semarang: RaSAIL
Media Group.

Dr. Nasihun Amin, M. Ag, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam

Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI


Press, 1986.

Lihat al-Farq, hlm. 20-21.

Subhi, Ahmad Mahmud. 1969 Fi Ilmil Kalam, Kairo : Darul Kutbh al-Jam’iyah Lihat
Fajr al-Islam.

Asy’ary, Abu Hasan, Aliran Teologi Islam, buku I.

Al Qur’an Al Karim

Abdul Aziz Dahlan, Sejarah pemikiran dalam Islam, Bagian I, Beunebi Cipta, Jakarta,
1987.

Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), Bulan Bintang, Jakarta, 1993.

Ali Ya’kub Matondang, Pemikiran Kalam Mu’tazilah, Jabal Rahmat, Medan, 1996.

Muhammad Ahmad, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2000.

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, Pustaka


Rizki Putra, Semarang, 1999.

M. Thaib Thahir Abd Mu’in, Ilmu Kalam, Widya, Jakarta, 1986.

Rosihan Anwar, Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2003.

As Syahristani, Al Milalu wa Nihal

27
Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 2, PT. Al Husna Zikra, cet.
Ke-IV, 2000.

Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, cet. 1, Jakarta, Kalam Mulia,
2001.

28

Anda mungkin juga menyukai