Di Susun Oleh:
2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Subanallahu wata`ala yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, tak lupa kami panjatkan puja dan puji syukur atas selaga kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan innayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada Ustadz Denis Arifandi, Lc., M.Si
selaku dosen pengampu mata kuliah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memberi
inspirasi terhadap pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER.............................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 2
A. Pengertian Mu’tazilah............................................................................................ 2
B. Sejarah Mu’tazilah................................................................................................. 3
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 16
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aliran mu’tazilah merupakan aliran fikiran islam yang terbesar dan tertua.
Aliran ini melahirkan pemikiran teologi. Ada 2 faktor yang menyebabkan munculnya
teologi tersebut. Sejarah munculnya aliran mu’tazilah dimulai dari persoalan teologis
yang cukup hangat yang sedang diperbincangkan oleh para ulama pada pengujung
abad ke 1 hijriyah ialah tentang status orang mukmin yang melakukan dosa besar,
apakah ia tetap mukmin ataukah menjadi kafir? Persoalan tersebut muncul ketika ada
seseorang yang bertanya kepada Hasan al Bashri dalam forum kajian majlis ta’lim
pada saat itu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu aliran Mu’tazilah?
2. Bagaimana awal munjulnya aliran Mu’tazilah?
3. Siapa tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah?
4. Bagaimana ajaran-ajaran pokok aliran Mu’tazilah?
C. Tujuan
1. Memahami aliran Mu’tazilah dan sejarah munculnya aliran Mu’tazilah.
2. Mengetahui tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah.
3. Memahami ajaran-ajaran pokok aliran Mu’tazilah.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mu’tazilah
Mu’tazilah berasal dari bahasa arab yaitu I’tazala yang aslinya adalah kata
a’zala yang berarti memisahkan. Menurut ahmad warson kata azala dan azzala
mempunya arti yang sama dengan kata asalnya, meskipun ia menambah satu arti
yaitu mengusir. Pemambahan huruf hamzah dan ta pada kata I’tazala adalah
untuk menunjukan hubungan sebab akibat yang dalam ilmu sharaf disebut
dengan muthawa’ah yang berarti terpisah, tersingkir atau terusir. Maka bentuk
pelaku mu’tazilah itu berarti orang yang terpisah, tersingkir atau terusir.1
Aliran mu’tazilah merupakan aliran fikiran islam yang terbesar dan tertua.
Aliran ini melahirkan pemikiran teologi. Ada 2 faktor yang menyebabkan
munculnya teologi tersebut. yang pertama fakor internal yang muncul karena
konflik politik yang terjadi antara umat islam setelah wafatnya nabi muhamad
yang telah memecah menjad 2 kubu (suni da syi’ah). Kemudian yang kedua
faktor eksternal, yaitu petarungan dan perdebatan teologi antar umat islam
diantaranya permasalahan tentang teologi itu sendiri mengenai sifat-sifat tuhan.2
1
Adenan, A. (2020). Buku Ajar Filsafat Kalam Jurusan Aqidah Dan Filsafat Islam Semester VI A Dan
B.. hal,31-32
2
Dr. Nasihun Amin, M.Ag, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam,hal.9
2
pengajian Hasan al Bashri yang diikuti oleh temannnya yang bernama Amr bin
Ubaid.3
B. Sejarah Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran
Mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah,
tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin
Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang
penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin
Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa
Washil bin Atha’ (80-131) dan temannya, umar bin ‘ubaid sekitar tahun 700 M.
Washil termasuk orang-orang yang aktif mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan
al-Hasan al-Basri di msjid Basrah. Suatu hari, salah seorang dari pengikut kuliah
(kajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang kedudukan orang yang berbuat dosa
besar (murtakib al-kabair).
3
Al-yahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, (Cairo Mesir : musthafa al Baby al-Halaby, 1961), hal.4.
4
Al-Baghdadi, al-Farq bayn al-Firaq, (Cairo : Maktabah Ali Sabih), hal.20.
3
Mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah
menyatakan mukmin. Imam Al-hasan mengatakan bahwa orang islam yang telah
berIman kepada Allah dan Rasul-Nya,tetapi ia mengerjakan dosa besar, maka
orang itu tetap muslim tetapi muslim yang durhaka. Di akhirat nanti, kalau ia
wafat sebelum taubat dari dosanya maka ia dimasukan kedalam neraka untuk
sementara dan menerima perbatan dosanya, tetapi setelah menjalankan
hukumannya maka ia dikeluarkan dan dimasukkan kedalam surga sebagai
seorang Mu’min dan Muslim. Washil bin Atha tidak setuju dengan kedua
pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir,
tetapi berada diantara posisi keduanya (al manzilah baina al-manzilataini).
Setelah itu dia berdiri dan meninggalkan al-hasan karena tidak setuju dengan
sang guru dan membentuk pengajian baru. Atas peristiwa ini al-Hasan berkata,
“i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita). 36
Pendapat lain yang mengatakan bahwa kaum Mu’tazilah itu adalah kaum
yang mengasingkan diri dari keduniaan. Mereka memakai pakaian yang
jelek-jelek, memakai kain yang kasa-kasar, tidak mewah dan dalam hidupnya
sampai kederajat kaum minta-miinta (Darawisy). Keterangan ini sebenarnya
sangat lemah karena dalam kenyetaannya kemudian, banyak Kaum Mu.tazilah
yang gagah-gagah, mempunyai rumah mewah dan memiliki kendaraan mewah,
sesuai kedudukan mereka disamping Khalifah-khalifah. Pengarang buku
“Fajarul Islam” Ahmad amin, tidak begitu menerima semuanya itu. Persoalan
kaum Mu’tazilah bukan sekedar menyisihkan diri dari majelis guru, juga bukan
menyisihkan diri dari masyarakat atau sekedar tidak suka memakai pakaian
mewah, tetapi lebih mendalam dari itu, mereka menyisihkan diri bahwa mereka
4
telah menjauhka diri dari pendapat umum. Pendapat ini dikuatkan oleh
pengarang kitab “ Al-farqu bainal Firaq”, yang menyatakan bahwa Syeikh Hasan
Bashri mengatakan bhwa ketika kedua orang itu menyisihkan diri bahwa mereka
telah menjauhkan diri dari pendapat umum.37
Pendapat ini memang dekat terhadap kebenaran, karena dari dulu sampai
sekarang fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah banyak yang ganjil-ganjil, banyak yang
diluar paham Nabi dan Sahabat beliau. Jadi mereka itu benar-benar Mu’tazilah,
tergelincir dalam arti kata sebenarnya. Pada awal perkembangannya, aliran ini
tidak mendapat simpati dari umat Islam, khususnya dikalangan masyarakat
awam, karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat
rasional dan filosofis. Alasan lain adalah kaum muktazilah dinilai tidak teguh
berpegang pada sunah Rasulullah dan para sahabat. Kelompok ini baru
memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan Intelektual, yaitu pada
masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, penguasa Abbasiyah (198-218H/813-
833M). kedudukan Mu’tazilah semakin kuat setelah al-Ma’mun menyatakan
sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini disebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil
dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan Ilmu pengetahuan dan filsafat.
5
Peristiwa ini sangat menggoncang umat Islam dan baru berakhir setelah
al-Mutawakkil (memerintah 232- 247H/847-861M).
6
puncak kebesarannya di capai pada masa khalifah Alma’mun karena Khalifah
ini pernah menjaid muridnya.
7
Beliau diangkat menjadi kepala hakim oleh Ibnu Abad. Diantara
karyanya yang besar adalah ulasan tentang pokok-pokok ajaran mu’tazillah.
Al-qadhi Abdul jabar termasuk tokoh yang hidup pada masa kemunduran
aliran mu’tazilah, namun ia mampu berprestasi baik dalam bidang ilmu
maupun dalam jabatan kenegaraan.
5
Awwaliyah, N. Pemikiran Aliran Mu’tazilah. hal 5-6
8
2. at-Tauhid (keesaan Tuhan)
Sebagai pokok dan ajaran pertama dalam Islam. Namun, karena
Mutazilah telah menafsirkan dan mempertahankan sedemikian jauh. Maka
prinsip ini dipertalikan kepadanya. Mungkin mereka maksudkan untuk
menghadapi golongan Rafidlah yang ekstrim dan menggambarkan Tuhan
dalam bentuk jisim, bisa diindera, dan golongan-golongan agama yang
dualism serta trinitas. Kelanjutan dari prinsip ini mereka nyatakan :
a. Tidak menyukai sifat-sifat Tuhan sebagai suatu yang qadim yang
lain dari pada zatNya.
b. Al Quran adalah makhluk, Kalamullah juga makhluk, yang
dijadikan Tuhan saat dibutuhkan. Kalamullah tidak pada zat Tuhan,
tetapi di luarNya.
c. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala di akherat. d.
Mengingkari arah bagi Tuhan, dan menakwilkan ayat-ayat yang
mengesankan adanya persamaan Tuhan dengan manusia.
9
dan menghukum kepada orang yang berbuat buruk, karena itulah yang
dijanjikan oleh Tuhan, sebagaimana tertera dalam QS. Al Zalzalah ayat 7-8 :
Ȁ Ȁ
ࠀᬀȀ Ȁ� ᬀȀࠀ Ȁ � ࠀᬀذȀ ȃȀ Ȁ Ȁ ̝ ̣Ȁ ȍȀ ̫Ȁ Ȁ ȑ ̣Ȁ ȍȀ Ȁ̫ ,ࠀᬀȀ Ȁ� Ȁ ࠀᬀذȀ ȃȀ Ȁ Ȁ ̝ ̣Ȁ ȍȀ ̫Ȁ Ȁ ȑ ̣Ȁ Ȁ ̫Ȁ
5. Al-Amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil Munkar (memerintahkan kebaikan dan
melarang keburukan)
Prinsip ini lebih banyak berkaitan dengan amalan lahir dan bidang fiqh
daripada lapangan aqidah serta ketauhidan. Seperti yang terdapat dalam Qs.
Ali Imran ayat 104 dan surat Lukman ayat 17. Pada prinsip ini wajib
dilakukan orang Muslim, tetapi sejarah mencatat bahwa betapa gigihnya
orang-orang Mutazilah memperjuangkan prinsip ini. Bahkan tidak
segan-segan menggunakan kekerasan dalam melaksanakan prinsip tersebut
meskipun terhadap umat Islam sendiri, seperti yang terjadi pada ahli hadist
dalam masalah kemakhlukan al-Quran yang terkenal dengan istilah al-mihnab.
12 Dalam pelaksanaan ajaran ini diperlukam syarat-syarat, antara lainnya:
b. Pengetahuan atau dugaan yang kuat bahwa perbuatan yang tidak baik
tersebut telah benar-benar ada atau telah gterjadi. Contohnya, telah
tersedia alat-alat minum (minuman keras), alat-alat judi dan lainya.
Pengetahuan atau dugaan yang kuat bahwa pencegahan tersebut tidak
bakal menimbulkan kerugian yang besar. Misalnya, jika dilakukan
pencegahan minuman keras maka akan menimbulkan hura-hura atau
pembunuhan dikalangan kaum muslimin, maka pencegahan tersebut
tidak wajib dilakukan.
10
d. Pengetahuan atau sangkaan yang kuat, bahwa tindakanya tidak bakal
menimbulkan kerugian pada harta atau dirinya.
1. Washil ibn Atha dan Amr ibn Ubaid memisahkan diri dari majelis
taklim yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri di masjid Bashrah.
Washil ibn Atha memisahkan diri secara fisik (I’tazala ) dari
pengajian Hasan al Bashri. Orang yang memisahkan diri dinamakan
Mu’tazilah.
2. Pendapat mereka menjauhi pendapat lain yang berkembang waktu itu.
Pendapat Washil ibn Atha bahwa pelaku dosa besar tidak lagi
mukmin dan juga tidak kafir (al-manzilatu bayn al-manzilatain) telah
menjauhi atau memisahkan dengan pendapat golongan-golongan
lainnya. Jumhur ulama mengatakan tetap mukmin, Khawarij
mengatakan kafir, dan Hasan al-Bashri berpendapat tetap mukmin
namun fasik.
3. Dinamakan Mu,tazilah karena pelaku dosa besar berada antara
mukmin dan kafir, sama halnya memisahkan diri atau menjauhkan
diri dari orang mukmin yang sempurna.
1. Orang yang berdosa besar tidak mukmin dn tidak kafir tetapi ia fasiq
6
Hatta, M. 2013. Aliran Mu’tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam. Ilmu Ushuluddin, Vol
12. No 1. hal 91-92.
11
6. Tuhannya berhajat terhadap mereka tetapi karena hikmah lain. Dan Tuhan
tidak menghendaki kecuali hal yang bermanfaat bagi manusia, maka
Tuhan wajib mewujudkan yang baik bahkan yang terbaik untuk
kemaslahatan manusia dan ini disebut paham as-Sholah wa ashlah.
2. Epistemologi
12
Adalah ilmu yang membahasa ilmu pengetahuan yang sistematis dan suatu
ilmu yang bersifat kritis dan lebih banyak pempertanyakan dan melakukan
penalaran dari suatu hasil kegiatan manusia. Kemudian epistimologi gunakan
para pemuka aliran qalam dalam menyelesaikan persoalan, terutama pada saat
menafsirkan Al-quran. Mengitamakan kritik terhadap aspek yang menyangkut
sisi kelemahan aliran yang bersangkutan kepada persoalan dan berkaitan juga
dengan aspek metedologi.
Epistemologi berfungsi sebagai pembantu alat untuk para pemuka aliran
tentang penyelesaian penafsiran dalam menafsirkan Al-quran dan mu’tazilah.
Yang dimaksudepistimologipada pembahasan ini adalah cara yang digunakan
oleh para pemuka aliran kalam dalam menyelsaikan persoalan kalam, terutama
ketika mereka menafsirkan al-Alquran. Kritikan terhadap aspek ini
umpamanya dikemukakan oleh Taufiq adnan adnan amal dan syamsul rizal
panggabean. Mereka menyangkut sisi kelemahan aliran kalam dam aspek
metodologi. Demi membela sudut pandang tertentu, penafsiran-penafsiran
teologis umumnya tekah mendekati al-Alquran secara atomistik dan parsial
serta terlepas dari konteks kesejarahan dan kesusastraannya. Pemaksaan
gagasan asing kedalam Alquran juga merupakan gejala yang mewabah.
Contoh penafsiran semacam ini, terlihat jelas dalam pandangan
golonganAsy’ariyahmengenai keabsahan Alquran. Sebagaimana telah
diketahui, pandangan mereka tentang ini merupakan tanggapan atas
pandangan golongan mu’tazilah.
3. Aksiologi
Aksiologi adalah merupakan cabang ilmu filsafat yang membahas tentang
masalah-masalah moral. Aksiologi yang berasal dari bahasa yunani yang
berarti tentang teori. Aksiologi sendiri adalah ilmu yang membahas tentang
pengetahuan melalui rumah, maka dalah mempelajari aksiologi kita dapat
mengetahui bahwa sesuatu itu adalah rumah, dan kita bisa lebih mengenali
rumah tersebut cocok untuk kita atau tidak. Kemudian aksiologi berfungsi di
dalam Mu’tazilah merupakan suatu fungsi yang di berikan Allah untuk
berkewajiban untuk memeluhara kepntingan hambanya.
13
Mu’tazilah menakwilkan semua sifat-sifat Tuhan yang disebutkan dalam
Al-quran sesuai dengan logika filsafat. Menurut Mu`tazilah, semua
pengetahuan manusia bersumber dari akal manusia, mensyukuri nikmat
hukumnya wajib menurut akal sebelum wahyu diturunkan. Kebaikan dan
keburukan adalah sifat yang melekat pada yang baik dan yang buruk.
Mu`tazilah yang menyifati Tuhan yang maha “Esa”, “qadim”, dan berbeda
dari makhluk, sifat-sifat ini adalah sifat salaby (negatif) karena tidak
menambahkan sesuatu kepada zat Tuhan. Dikatakan salaby, karena “Esa”,
artinya tidak ada sekutu, “qadim” tidak ada permulaannya dan berbeda dari
makhluk, artinya tidak ada yang menyamainya.
Mu`tazilah berpendapat dalam aspek aksiologi bahwa Allah tidak
menciptakan terkecuali sesuatu yang baik. Allah berkewajiban untuk
memelihara kepentingan hamba-Nya. Adapun yang lebih baik apakah wajib
bagi Allah menciptakannya, dalam hal ini mereka berbeda pendapat maka
karena itulah mereka dinamakan adil
14
BAB II
KESIMPULAN
Mu’tazilah berasal dari bahasa arab yaitu I’tazala yang aslinya adalah kata
a’zala yang berarti memisahkan. Aliran mu’tazilah merupakan aliran fikiran islam
yang terbesar dan tertua. Aliran ini melahirkan pemikiran teologi. Ada 2 faktor yang
menyebabkan munculnya teologi tersebut. yang pertama fakor internal yang muncul
karena konflik politik yang terjadi antara umat islam setelah wafatnya nabi muhamad
yang telah memecah menjad 2 kubu (suni da syi’ah). Kemudian yang kedua faktor
eksternal, yaitu petarungan dan perdebatan teologi antar umat islam diantaranya
permasalahan tentang teologi itu sendiri mengenai sifat-sifat tuhan
15
DAFTAR PUSTAKA
Adenan, A. 2020. Buku Ajar Filsafat Kalam Jurusan Aqidah Dan Filsafat Islam
Semester VI A Dan B.
Hatta, M. 2013. Aliran Mu’tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam. Ilmu
Ushuluddin, Vol 12. No 1.
16