Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PEMIKIRAN KALAM MU’TAZILAH

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam

Dosen Pengampu : Dr. Nurisman, M.Ag.

Disusun oleh:

1. Robiatul Adawiyah (181111032


(181111032)
2. Chusnul Khotimah Setya Darna (181111033
(181111033)
3. Darsini (181111035)

ILMU AL-QUR’AN
AL DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan


rahmat serta hidayah-Nya, sehingga makalah mengenai pemikiran kalam
Mu’tazilah ini dapat terselesaikan dengan lancar. Sholawat serta salam tetap
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Sang suri tauladan
yang luhur, dimana atas jasa beliau kita dapat merasakan kehidupan yang terang
benderang ini.

Selanjutnya, tak lupa saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya


kepada seluruh pihak yang membantu dalam proses penulisan makalah ini, baik
dalam hal moril maupun materil. Semoga Allah membalas kebaikan kalian dengan
sebaik-baiknya balasan.

Terakhir, saya mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam
penulisan makalah ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca,
khususnya diri saya sendiri. Terima kasih.

Surakarta, 18 September 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................ 2

C. Tujuan Pembahasan ......................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3

A.Sejarah dan Perkembangan Mu’tazilah ............................................ 3

B.Ajaran Dasar Mu’tazilah ................................................................... 6

C.Tokoh-Tokoh Mu’tazilah ................................................................ 10

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 13


A. Kesimpulan ................................................................................... 13
B. Saran ............................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika Rasulullah Saw masih hidup, kehidupan beragama umat islam


sangat tertata dan terkondisikan. Umat merasa nyaman dan tenang dalam
menjalankan ajaran-ajaran agama. Pada masa tersebut sedikit sekali terjadi
persoalan atau perbedaan pendapat dalam urusan agama. Hal ini tentu
disebabkan karena semua itu dapat langsung ditanyakan kepada Rasulullah
Saw. Namun setelah Rasulullah Saw wafat, permasalahan mulai muncul. Mulai
dari urusan politik hingga urusan keagamaan khususnya akidah ketuhanan.
Muncul berbagai kelompok aliran yang mengemukakan pemikirannya masing-
masing.

Peristiwa terbesar yang melatarbelakangi terpecahnya umat Islam adalah


Tahkim, yaitu kesepakatan damai antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan
pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Peristiwa tersebut memunculkan
beberapa golongan, ada yang menentang dan ada yang mendukung.
Diantaranya Khawarij (kelompok yang keluar dari pasukan Ali), Syiah
(pendukung), dan Jumhur Masyarakat (patuh terhadap pemerintahan). Dari itu,
muncul kelompok-kelompok lain yang juga mengemukakan pemikiran mereka.
Diantaranya Murji’ah, Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, dll.

Diantara kelompok aliran yang muncul adalah Mu’tazilah. kelompok ini


lahir karena ketidaksetujuan mereka terhadap pemikiran kaum Murji’ah dan
Khawarij mengenai status mukmin yang berdosa besar. Selain itu kelompok ini
juga dijuluki Rasionaisme Islam, karena mengedapankan Rasio dalam setiap
pemikirannya. Kelompok ini juga memberi pengaruh besar dalam peradaban
Islam masa itu. Maka dari itu penting bagi kita untuk mengetahui lebih dalam
mengenai Aliran ini, mulai dari Sejarah, ajaran, hingga tokoh-tokohnya, untuk

1
menambah khazanah keilmuan kita serta membuka diri kita terhadap
perbedaan antar aliran-aliran kalam,

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah serta perkembangan kelompok Mu’tazilah?

2. Apa saja ajaran kelompok Mu’tazilah?

3. Siapa saja tokoh kelompok Mu’tazilah?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui sejarah serta perkembangan kelompok Mu’tazilah.

2. Mengetahui ajaran-ajaran kelompok Mu’tazilah.

3. Mengetahui tokoh-tokoh Mu’tazilah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Perkembangan Mu’tazilah

Secara bahasa kata Mu’tazilah berasal dari lafadh I’tazala yang memiliki
makna berpisah, memisahkan diri, menjauh atau menjauhkan diri.1 Penamaan
Mu’tazilah pada suatu golongan, tentu terkait dengan latar belakang yang
melatari munculnya golongan tersebut, yaitu karena memisahkan diri dari
golongan yang lain. Istilah Mu’tazilah secara teknis merujuk kepada dua
golongan yaitu:2

1. Golongan pertama : Golongan inilah yang pertama-tama disebut kaum


Mu’tazilah. Dinamakan mu’tazilah karena kelompok ini menjauhkan diri
dari masalah pertikaian khalifah yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan
lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah, Thalhah dan Abdullah bin
Zubair. Golongan ini muncul sebagai respon politik murni tanpa stigma
teologi.
2. Golongan kedua : Golongan ini muncul sebagai respon persoalan teologi
yang perkembang diantara kaum Khawarij dan Murji’ah yang merupakan
buntut panjang dari peristiwa tahkim. Golongan kedua ini memiliki
pendapat yang berbeda dengan kaum Khawarij dan Murji’ah dalam hal
status orang mukmin yang melakukan dosa besar.

Dengan begitu, golongan mu’tazilah berawal dari corak politik kemudian


muncul lembali dengan latar belakang persoalan teologi.3 Pembahasan kali ini
hanya golongan Mu’tazilah yang kedua, yaitu yang muncul karena persoalan
teologi. Karena kajian kita

1
Elpianti Sahara Pakpahan , “Pemikiran Mu’tazilah,” AL-HADI II, no. 02 (2017): 413–
424, http://jurnal.c.ac.id/index.php/alhadi/article/download/149/131.
2
Ibid.
3
Ibid.

3
Terdapat banyak versi mengenai latar belakang penamaan Mu’tazilah.
Yang paling masyhur dan banyak dijadikan rujukan adalah, penamaan ini
berawal dari kisah seorang murid yaitu Washil bin Atha’ (w. 131 H) yang
mengikuti majelis ilmu sang guru yaitu Hasan Al-Basri 30-110 H) di masjid
kota Basrah.4 Ketika itu terdapat jamaah yang bertanya mengenai orang
mukmin yang melakukan dosa besar. Hasan Al-Basri memberikan pendapat
bahwa “seorang mukmin yang melakukan dosa besar tetap dianggap mukmin,
hanya saja dia durhaka (maksiat). Di akhirat, dia akan disiksa di dalam neraka
selama waktu tertentu untuk menebus dosa-dosanya, namun pada akhirnya
akan masuk surga.” Mendengar hal itu Washil bin Atha’ yang tidak sependapat
dengan gurunya menyatakan pendapatnya yaitu, “orang yang berbuat dosa
besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, melainkan berada pada posisi
diantara keduanya.” Setelah mengemukakan pendapatnya kemudian ia keluar
dari majelis tersebut dan mengadakan majelis sendiri di suatu sudut masjid
basrah itu dengan diikuti oleh salah satu temannya yaitu ‘Amr bin Ubaid.
Melihat hal itu Hasan Al-Bashri berkata, “Washil menjauhkan diri dari kita
(I’tazala ‘anna). Maka dari itu majelis Washil bin Atha’ tersebut dinamakan
Mu’tazilah, karena memisahkan diri dari majelis gurunya.5

Seiring berjalannya waktu, pengikut majelis Washil bin Atha’ ini semakin
banyak. Sehingga kelompok ini semakin berkembang dan mulai berpengaruh
di dunia Islam masa itu. Bahkan pada masa ini kelompok Mu’tazilah memiliki
dua pusat pergerakan, yaitu di Bashrah dan Baghdad.6 Pada permulaan abad ke
II H Pergerakan di Bashrah dipimpin langsung oleh Washil bin Atha’ dan Amr
bin ‘Ubaid. Diperkuat oleh murid-muridnya, yaitu Utsman at-Thawil, Hafsh
bin Salim, Hasan bin Zakwan, Khalik bin Sofwan, dan Ibrahim bin Yahya al-
Madani.. Selanjutnya pada permulaan Abad ke III pergerakan ini dipimpin oleh
Abu Hudzail al-‘Allaf, Ibrahim bin Sayar an-Nazham, Abu Basyar al-Marisi,

4
Abdul Rozak and Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Edisi Revi. (Bandung: Pustaka Setia,
2012). Hal 98
5
Ibid.
6
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) (Jakarta: Rajawali pers, 2010). Hal
165

4
Utsman al-Jahiz, Ibnu al-Mu’ammar, dan Abu Ali al-Juba’I. Sedangkan
pergerakan di Baghdad dipimpin oleh Basyar bin al-Mu’tamar, dibantu oleh
Abu Musa al-Murdan, Ahmad bin Abi Dawud, Ja’far bin Mubasysyar, dan
Ja’far bin Harb al-Hamdani.7

Selain itu kelompok ini juga mendapat dukungan dari para khalifah yang
berkuasa pada masanya, baik dari Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyah.
Diantaranya Khalifah Jazid bin Walid dari Bani Umayyah, serta Khalifah
Makmun bin Harun al-Rasyid, al-Mu’tashim bin Harun al-Rasyid, dan Al-
Watsiq bin al-Mu’tashim dari Bani Abbasiyah.8 Berkat dukungan para
penguasa tersebut ajara-ajaran Mu’tazilah ini mampu berpengaruh hingga dua
abad lamanya.

Meski begitu, paham Mu’tazilah ini banyak terpengaruh oleh pemikiran


luar. Diantaranya oleh kaum Yahudi yang menyebabkan Mu’tazilah
berpendapat bahwa Alqur’an itu Hadits (baru) atau Khalqul Qur’an. Selain itu
paham ini juga terpengaruh oleh kaum orientalis yang membuat mereka
menekankan rasio pada setiap permasalahan, oleh sebab itu mereka dijuluki
Rasionalisme Islam.9 Mu’tazilah lebih mendahulukan akal pikiran daripada Al-
qur’an dan Hadits. Hal-hal yang sekiranya tidak dapat diterima oleh akal akan
dibuangnya jauh-jauh, meskipun hal tersebut sudah tertulis dalam Nash.
Seperti peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw dengan roh dan jasad,
serta kebangkitan manusia dari kubur menurut mereka bertentangan dengan
akal.10

Pemikiran tersebut tentu bertolak belakang dengan paham Ahlu Sunnah


yang lebih mengutamakan Alqur’an dan Hadits daripada rasio atau akal
pikiran. Maka dari itu paham Ahlu Sunnah menolak pemikiran dari Mu’tazilah
ini.11

7
Ibid.
8
Ibid. Hal 166
9
Ibid.
10
Ibid. Hal 167
11
Ibid.

5
B. Ajaran Dasar Mu’tazilah

Rumusan pokok ajaran Mu’tazilah bermula untuk menghadapi dan menolak


paham yang menggejala pada waktu itu. Karena situasi tersebut maka kaum
Mu’tazilah merumuskan “Al-Ushul Al-Khamsah”, sebagai berikut12:
1. At-Tauhid
Tauhid atau pengesaan Allah, merupakan inti sari dari ajaran
Mu’tazilah. Setiap mazhab memegang prinsip ini, tetapi menurut kaum
Mu’tazilah tauhid memiliki arti yang lebih spesifik. Alloh harus disucikan
dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaanNya. Tekanan
mereka pada ke-Esaan mutlak Alloh dihadapkan pada ajaran dualisme
Persia dan Trinitas Nasrani. Dimana penegasan mereka bahwa Alloh
bukan bapak dan bukan anak merupakan bantahan terhadap kaum Nasrani
yang memiliki keyakinan bahwa Isa Al- Masih merupakan anak Alloh dari
13
bapak sebelum segala masa. Ada beberapa ketauhidan dalam golongan
Mu’tazilah, antara lain adalah :
a. Allah tidak bersifat qadim, kalau Allah bersifat qadim maka Allah
berbilang-bilang. Sebab ada dua zat yang qadim yaitu Alloh dan sifat
Nya, sedangkan Alloh Maha Esa.
b. Mereka meniadakan sifat-sifat Allah sebab jika Allah bersifat dan
sifatnya itu bermacam-macam, makaAllah berbilang.
c. Allah bersifat Aliman, Qodiran, Hayyan, Sami’an, Basiran, dan
sebagainya adalah dengan zatNya, tetapi ini bukan keluar dari zat
Allah yang berdiri sendiri. Artinya, Mu’tazilah menolak konsep Tuhan
memiliki sifat-sifat, menggambarkan fisik Tuhan. Hal ini memiliki arti
bahwa Tuhan tidak dapat dicapai oleh penglihatan manusia, sedangkan
Allah dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah yang Maha
Halus dan Maha Mengetahui.
d. Allah tidak dapat diterka dan dilihat mata walaupun di akhirat nanti.
e. Menolak arti Mujassimah, Musyabihah, Dualisme dan Trinitas.

12
Amir Ghufron, IlmuKalam, ( Sukoharjo: EFUDE PRESS, 2013), hlm. 69-70.
13
Novan Ardy Wiyani, IlmuKalam, (Yogyakarta :Teras, 2013), hlm.120.

6
f. Allah itu bukan benda dan tidak berlaku tempat padaNya
g. Al-Qur’an baru diciptakan, Al-Qur’an adalah manifestasi kalam
Tuhan, al Qur’an terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang
satunya mendahului lainnya.
2. Keadilan (Al-Adlu)
Adil adalah hal yang menunjukkan kesempurnaan Allah. Manusia
memiliki kebebasan atas segala perbuatannya, maka dari itu manusia harus
mempertanggungjawabkan segala apa yang mereka perbuat. Jika yang
dilakukan manusia itu adalah perbuatan baik, maka Allah akan
memberikan balasan yang baik pula dan apabila yang mereka lakukan
salah maka Allah akan memberikan siksaan. Inilah yang dimaksud
keadilan Tuhan dalam Mu’tazilah. Mereka memiliki beberapa pendapat,
yaitu:
a. Allah menguasai kebaikan dan tidak menghendaki keburukan.
b. Manusia bebas berbuat dan kebebasan itu adalah qudrat (kekuasaan)
yang dijadikan Allah pada diri manusia.
c. Makhluk diciptakan Allah atas dasar hikmah kebijaksanaan.
d. Allah tidak melarang atas sesuatu, kecuali terhadap yang dilarang dan
tidak menyuruh kecuali yang diperintahkan.
e. Kaum Mu’tazilah tidak mengakui bahwa manusia memiliki sifat
qudrat dan iradat, tetapi kedua sifat itu hanya pinjaman belaka.
f. Manusia dapat dilarang dan dicegah untuk melakukan qudrat dan
iradat.
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan dengan:
1) Perbuatan manusia
Menurut Mu’tazilah manusia melakukan segala perbuatannya
dengan kehendaknya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan
Allah baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan
Alloh hanya menghendaki perbuatan yang baik bukan yang buruk.
Konsep ini memiliki arti bahwa keadilan Allah itu apapun yang
diterima manusia di akhirat kelak merupakan balasan dari

7
perbuatannya semasa di dunia. Yang berbuat baik sesuai dengan
perintah Allah akan mendapatkan balasan yang baik pula dan
begitupun sebalikya. Karena manusia berbuat atas kemauan dirinya
sendiri tanpa ada paksaan.
2) Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah Arabnya disebut ash-shalahwa al-ashlah.
Maksudnya adalah Allah memiliki kewajiban untuk berbuat baik
pada makhluknya. Allah tidak mungkin berbuat jahat dan aniaya
terhadap makhluknya, karena akan memberi kesan bahwa Alloh
tidak sempurna. Dan hal ini tidak layak bagi Allah.
3) Mengutus Rasul
Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Allah
karena alasan-alasan berikut ini:
a) Allah wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak
dapat terwujud kecuali dengan mengutus Rasul kepada mereka.
b) Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah
kepadaNya. Agar tujuan itu berhasil, tidak ada jalan lain
kecuali mengutus Rasul.14
3. Al-Wa’du wal Wa’di ( Janji dan Ancaman)
Kaum ini berpendapat bahwa janji dan ancaman itu akan terlaksana,
janji dengan pahala dan ancaman dengan siksa. Janji Allah untuk
mengampuni hambanya yang berbuat dosa tetapi mereka bertaubat.
Konsep ini sesuai dengan prinsip keadilan, bahwa siapapun yang berbuat
baik maka akan dibalas pula dengan kebaikan dan siapapun yang berbuat
jahat maka akan dibalas dengan siksaan. Pendirian ini juga memiliki arti
terhadap kaum Mu’tazilah, bahwa perbuatan dosa besar tidak berpengaruh
pada keimanan seseorang. Dalam hal ini Mu’tazilah memiliki beberapa
pendapat, yaitu:
a. Orang mukmin yang berdosa besar lalu wafat sebelum tobat ia tidak
akan mendapat ampunan Tuhan.

14
Ibid, hlm.84.

8
b. Di akhirat tidak ada syafaat sebab syafaat berlawanan dengan janji dan
ancaman.
c. Allah akan membalas kebaikan manusia yang telah berbuat baik dan
akan memberikan siksa kepada manusia yang melakukan kejahatan.
4. Al-Manzilah bain Al-Manzilatain ( tempat diantara dua tempat)
Kaum ini berpendpat bahwa seorang mukmin yang berbuat dosa
besar itu bukanlah seorang mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada
disuatu tempat diantara dua tempat yaitu fasiq. Dan apabila ia meninggal
dunia belum bertaubat maka akan masuk neraka selama-lamanya. Karena
di akhirat akan hanya ada dua golongan, yaitu golongan yang masuk surge
dan golongan yang masuk neraka. Dengan pendirian ini dimaksudkan
untuk menolak paham khawarij yang mengkafirkan orang yang melakukan
dosa besar disatu pihak, dan kaum Murji’ah yang menetapkan keimanan
seseorang sekalipun berdosa besar dipihak lain.15
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar (menyuruh kebaikan dan melarang keburukan)
Ajaran kelima di aliran Mu’tazilah adalah mengajak kebaikan dan
melarang kemungkaran. Ajaran ini menekankan manusia agar berbuat
kebaikan. Hal ini adalah konsekuensi logis terhadap keimanan seseorang,
dengan perbuatan baik dan mengajak orang lain berbuat baik dan
mencegah dari keburukan.
Ajaran kelima ini berkenaan dengan amalan lahir, sebab menurut
mereka “orang yang menyalahi pendirian mereka akan dianggap sesat dan
harus dibenarkan serta diluruskan”. Kewajiban ini harus dilakukan oleh
setiap muslim untuk menegakkan agama serta member petunjuk kepada
orang yang sesat.
Aliran Mu’tazilah berpusat di dua tempat di Basrah dan Baghdad.
Dalam perkembangannya aliran Mu’tazilah terbagi menjadi lebih dari dua
puluh aliran, diantaranya:
a. Aliran Huzail, pengikut Abu Huzail al-Allaf.
b. Aliran Nazzam, pengikut Ibrahim an-Nazzam.

15
Amir Ghufron, Op-Cit, hlm.71-72.

9
c. Aliran Jahiz, pengikut al-Jahiz.
d. Aliran Jubba’I, pengikut al-Jubba’i.

Semua aliran itu masih berprinsip kepada lima ajaran pokok di atas.
Hingga sekarang aliran Mu’tazilah secara fisik sudah tenggelam, tetapi namanya
masih dikenang beserta pemikiran-pemikirannya masih digunakan bagi mereka
yang mengedepankan rasio atau akal.16

C. Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah

Kaum Mu’tazilah terbagi menjadi beberapa aliran, dimana aliran-aliran


tersebut masing-masing mempunya pikiran dan ajaran-ajarannya sendiri. Hal
ini terjadi karena adanya perbedaan latar belakang situasi geografis maupun
kulturalnya. Dari segi geografis, aliran Mu’tazilah terbagi menjadi duan yaitu
aliran Mu’tazilah Bashrah dan aliran Mu’tazilah Baghdad. Aliran Bashrah
lebih banyak menekankan segi-segi teori dan keilmuan, sedang aliran Baghdad
lebih menekankan segi pelaksanaan ajaran Mu’tazilah dan banyak terpengaruh
oleh kekuasaan khalifah-khalifah. Adapun Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah
beserta hasil pemikirannya antara lain :17
1. Washil bin Atha’ (699-748)
Washil bin Atha’ terkenal sebagai pendiri aliran Mu’tazilah dan menjadi
pimpinan yag pertama. Ia juga terkenal sebagai orang yang meletakkan
lima prinsip aliran Mu’tazilah.18 Washil bin Atha’ lahir di Madinah pada
tahun 70 H. Adapun pemikiran-pemikiran beliau antara lain :
a. Mukmin yang berbuat dosa besar dihukumi tidak mukmin dan tidak
pulakafir, ta[i fasik dan keberadaan orang tersebut diantara mukmin
dan kafir.
b. Mengenai perbuatan Manusia. Manusia memiliki kebebasan,
kemampuan dan kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu perbuatan.

16
Elpianti Sahara Pakpahan, PemikiranMu’tazilah, Al-Hadi: PemikiranMu’tazilah 2
No.02 (2017), hlm.55-56.
17
Novan Ardy Wiyani, Ilmu Klam (YOGYAKARTA: Teras, 2013).
18
Ibid.

10
c. Tentang sifat Allah. Wasil berpendapat Allah tidak memiliki sifat. Apa
yang diangga orang sebagai sifat Allah tidak lain zat Allah sendiri.19
2. Al-‘Allaf (752-840)
Nama lengkapnya Abdul Huzail bin al-Huzail al-‘Allaf. Ia berguru pada
Usman al-Za’farani murid Wasil. Hidupnya penuh perdebatan dengan
orang zindiq (orang yang pura-pura islam), skeptic, majuzi, Zoroaster, dan
menurut riwayat ada 3.000 oran yang masuk islam ditangannya. Al-‘Allaf
tinggal di Bashrah dan menjadi pimpinan kedua dari cabang Bashrah
setelah Wasil. Ia lahir di tahun 135 H dan wafat di tahun 235 H. 20 Adapun
paham yang dikembangkan Huzail antara lain :
a. Sesungguhnya Allah mengetahui dengan pengetahuan-Nya itu adalah
zat-Nya,berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan –Nya itu adalah
zat-Nya . Denganemikianberarti Abu Huzail menolak sifat-sifat
Tuhan.
b. Tentang kemampuan akal dan kewajiban sebelum datangnya wahyu.
Akalmampu dan wajib mengetahui Tuhan. Akal manusia
mampumengetahui dengan baik danburuk walaupun tidak ada
petunjuk dari wahyu.
c. Tentang kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatannya
untukmelakuaknyang baik dan yang buruk.21
3. An-Nazzham ( wafat 845 M)
Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani an-Nazzham,
tokoh Mu’tazilah yang terkemuk a, lancar berbicara, banyak meneladani
filsafat, dan banyak pula karyanya. Pada awalnya, ia berguru pada Abu
Huzail al-‘Allaf, kemudian mengadakan aliran sendiri dan pada usia 36
tahun ia meninggal dunia. Ia mempunyai otak yang luar biasa , dimana
beberapa pemikirannya telah mendahului masanya, antara lain tentang

19
Elpianti Sahara Pakpahan, “Pemikiran Mu’tazilah,” AL-HADI II, no. PEMIKIRAN,
MU’TAZILAH (2017): 423,
http://jurnal.pancabudi.ac.id/index.php/alhadi/articel/download/149/131.
20
Novan Ardy Wiyani, Ilmu Klam.
21
Pakpahan, “Pemikiran Mu’tazilah.”

11
metode keragan dan emprika yang menjadi dasar renaissance di Eropa.
Karena ia sangat bebas berfikir, ia berani menyerah Ahli Hadits dan tidak
banyak percaya kepada kesahihan hadist-hadist. Ia sangat menjunjug
tinggi Al-Qur’an dan sedikit percaya kepada hadist-hadist yang
diriwayatkan oleh para mufassirin.
4. Al-Jubai’ (wafat 915 M )
Lahir di Jubba propinsi Chuzestan Iran. Ia adalah guru imam al-asy’ari
tokoh utama aliran ahlusssunnah.
5. Basyr bin al-Mu’tamir ( wafat 840 M)
Ia adalah pendiri aliran Mu’tazilah di Baghdad. Dengan pandangan
kesusteraannya yang dikutip oleh al-Jahiz dalam bukunya al-Bayan wat
tabyin menimbulkan dugaan bahwa ia adalah orang yang pertama
mengadakan ilmu Balaghah.
6. Al-Khayyat (wafat 912 M)
Ia adalah al-Husein al-Khayyat, termasuk tokoh Mu’tazilah di Baghdad
dan mengarang buku al-intisar yang dimaksudkan untuk membela aliran
Mu’tazilah dari serangan Ibnu Ar-Rawandi. Ia hidup pada masa
kemunduran aliran Mu’tazilah.
7. Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1.024 M)
Hudiup pada masa kemunduran Mu’tazilah dan dianggka menjadi
kepala hakim (qadi al-qudhat) oleh Ibnu Abad.
8. Zamakhsyari (1075-1144)
Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu, paramasastra (lexocology),
dan kitab-kitab lainnya seperti al-Faiq, Asasul Balaghah, dan al-Mufassal.
Ia juga menafsirkan al-qur’an dalam sebuah kitab yang berjudul al-
Kassyaf, dimana kitab tafsir tersebut menunjukkan kekuatan pengarangnya
dalam segi bahasa, balaghah, ilmustilistika, dan kemukjiatan al-Qur’an
sehungga golongan mufassirin banyak menggunakan kitab tersebut sebgai
referensi.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Aliran Mu’tazilah


muncul sebagai respon atas pemikiran aliran sebelumnya yaitu Khawarij dan
Murji’ah mengenani status orang mukmin yang melakukakan dosa besar.
Aliran Mu’tazilah ini dijuluki Rasionalisme Islam, karena menomorsatukan
rasio atau akal dalam setiap pemikirannya. Hal ini menjadi kontroversi
dikalangan ulama’, khususnya golongan Ahli Sunnah. Golongan ini menolak
pemikiran Mu’tazilah. Meski begitu banyak juga tokoh yang mendukung aliran
ini. Sekarang ini aliran Mu’tazilah sudah mati secara fisik, namun
pemikirannya masih terus berkembang dikalangan masyarakat yang
meyakininya.

B. Saran

Sebagai manusia yang masih dalam proses belajar, tentu banyak kesalahan
maupun kekurangan dalam penulisan makalah ini, Baik dari segi materi
maupun penulisan. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca sangat kami butuhkan sebagai acuan untuk menjadi lebih baik
dikemudian hari. Terima Kasih.

13
DAFTAR PUSTAKA

Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam, Edisi Revi. Bandung:
Pustaka Setia, 2012.

A. Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Jakarta: Rajawali pers,


2010.
Ghufron, Amir, Ilmu Kalam, Sukoharjo: EFUDE PRESS, 2013.

Ardy Wiyani, Novan, Ilmu Kalam, Yogyakarta :Teras, 2013.

Rahman, Taufik, Tauhid-Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2013.

S. Pakpahan, Elpianti, Pemikiran Mu’tazilah, AL-HADI II, no. 02 (2017):


413–424, http://jurnal.c.ac.id/index.php/alhadi/article/download/149/131.

14

Anda mungkin juga menyukai