Disusun oleh:
ILMU AL-QUR’AN
AL DAN TAFSIR
2019
KATA PENGANTAR
Terakhir, saya mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam
penulisan makalah ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca,
khususnya diri saya sendiri. Terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
menambah khazanah keilmuan kita serta membuka diri kita terhadap
perbedaan antar aliran-aliran kalam,
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Secara bahasa kata Mu’tazilah berasal dari lafadh I’tazala yang memiliki
makna berpisah, memisahkan diri, menjauh atau menjauhkan diri.1 Penamaan
Mu’tazilah pada suatu golongan, tentu terkait dengan latar belakang yang
melatari munculnya golongan tersebut, yaitu karena memisahkan diri dari
golongan yang lain. Istilah Mu’tazilah secara teknis merujuk kepada dua
golongan yaitu:2
1
Elpianti Sahara Pakpahan , “Pemikiran Mu’tazilah,” AL-HADI II, no. 02 (2017): 413–
424, http://jurnal.c.ac.id/index.php/alhadi/article/download/149/131.
2
Ibid.
3
Ibid.
3
Terdapat banyak versi mengenai latar belakang penamaan Mu’tazilah.
Yang paling masyhur dan banyak dijadikan rujukan adalah, penamaan ini
berawal dari kisah seorang murid yaitu Washil bin Atha’ (w. 131 H) yang
mengikuti majelis ilmu sang guru yaitu Hasan Al-Basri 30-110 H) di masjid
kota Basrah.4 Ketika itu terdapat jamaah yang bertanya mengenai orang
mukmin yang melakukan dosa besar. Hasan Al-Basri memberikan pendapat
bahwa “seorang mukmin yang melakukan dosa besar tetap dianggap mukmin,
hanya saja dia durhaka (maksiat). Di akhirat, dia akan disiksa di dalam neraka
selama waktu tertentu untuk menebus dosa-dosanya, namun pada akhirnya
akan masuk surga.” Mendengar hal itu Washil bin Atha’ yang tidak sependapat
dengan gurunya menyatakan pendapatnya yaitu, “orang yang berbuat dosa
besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, melainkan berada pada posisi
diantara keduanya.” Setelah mengemukakan pendapatnya kemudian ia keluar
dari majelis tersebut dan mengadakan majelis sendiri di suatu sudut masjid
basrah itu dengan diikuti oleh salah satu temannya yaitu ‘Amr bin Ubaid.
Melihat hal itu Hasan Al-Bashri berkata, “Washil menjauhkan diri dari kita
(I’tazala ‘anna). Maka dari itu majelis Washil bin Atha’ tersebut dinamakan
Mu’tazilah, karena memisahkan diri dari majelis gurunya.5
Seiring berjalannya waktu, pengikut majelis Washil bin Atha’ ini semakin
banyak. Sehingga kelompok ini semakin berkembang dan mulai berpengaruh
di dunia Islam masa itu. Bahkan pada masa ini kelompok Mu’tazilah memiliki
dua pusat pergerakan, yaitu di Bashrah dan Baghdad.6 Pada permulaan abad ke
II H Pergerakan di Bashrah dipimpin langsung oleh Washil bin Atha’ dan Amr
bin ‘Ubaid. Diperkuat oleh murid-muridnya, yaitu Utsman at-Thawil, Hafsh
bin Salim, Hasan bin Zakwan, Khalik bin Sofwan, dan Ibrahim bin Yahya al-
Madani.. Selanjutnya pada permulaan Abad ke III pergerakan ini dipimpin oleh
Abu Hudzail al-‘Allaf, Ibrahim bin Sayar an-Nazham, Abu Basyar al-Marisi,
4
Abdul Rozak and Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Edisi Revi. (Bandung: Pustaka Setia,
2012). Hal 98
5
Ibid.
6
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) (Jakarta: Rajawali pers, 2010). Hal
165
4
Utsman al-Jahiz, Ibnu al-Mu’ammar, dan Abu Ali al-Juba’I. Sedangkan
pergerakan di Baghdad dipimpin oleh Basyar bin al-Mu’tamar, dibantu oleh
Abu Musa al-Murdan, Ahmad bin Abi Dawud, Ja’far bin Mubasysyar, dan
Ja’far bin Harb al-Hamdani.7
Selain itu kelompok ini juga mendapat dukungan dari para khalifah yang
berkuasa pada masanya, baik dari Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyah.
Diantaranya Khalifah Jazid bin Walid dari Bani Umayyah, serta Khalifah
Makmun bin Harun al-Rasyid, al-Mu’tashim bin Harun al-Rasyid, dan Al-
Watsiq bin al-Mu’tashim dari Bani Abbasiyah.8 Berkat dukungan para
penguasa tersebut ajara-ajaran Mu’tazilah ini mampu berpengaruh hingga dua
abad lamanya.
7
Ibid.
8
Ibid. Hal 166
9
Ibid.
10
Ibid. Hal 167
11
Ibid.
5
B. Ajaran Dasar Mu’tazilah
12
Amir Ghufron, IlmuKalam, ( Sukoharjo: EFUDE PRESS, 2013), hlm. 69-70.
13
Novan Ardy Wiyani, IlmuKalam, (Yogyakarta :Teras, 2013), hlm.120.
6
f. Allah itu bukan benda dan tidak berlaku tempat padaNya
g. Al-Qur’an baru diciptakan, Al-Qur’an adalah manifestasi kalam
Tuhan, al Qur’an terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang
satunya mendahului lainnya.
2. Keadilan (Al-Adlu)
Adil adalah hal yang menunjukkan kesempurnaan Allah. Manusia
memiliki kebebasan atas segala perbuatannya, maka dari itu manusia harus
mempertanggungjawabkan segala apa yang mereka perbuat. Jika yang
dilakukan manusia itu adalah perbuatan baik, maka Allah akan
memberikan balasan yang baik pula dan apabila yang mereka lakukan
salah maka Allah akan memberikan siksaan. Inilah yang dimaksud
keadilan Tuhan dalam Mu’tazilah. Mereka memiliki beberapa pendapat,
yaitu:
a. Allah menguasai kebaikan dan tidak menghendaki keburukan.
b. Manusia bebas berbuat dan kebebasan itu adalah qudrat (kekuasaan)
yang dijadikan Allah pada diri manusia.
c. Makhluk diciptakan Allah atas dasar hikmah kebijaksanaan.
d. Allah tidak melarang atas sesuatu, kecuali terhadap yang dilarang dan
tidak menyuruh kecuali yang diperintahkan.
e. Kaum Mu’tazilah tidak mengakui bahwa manusia memiliki sifat
qudrat dan iradat, tetapi kedua sifat itu hanya pinjaman belaka.
f. Manusia dapat dilarang dan dicegah untuk melakukan qudrat dan
iradat.
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan dengan:
1) Perbuatan manusia
Menurut Mu’tazilah manusia melakukan segala perbuatannya
dengan kehendaknya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan
Allah baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan
Alloh hanya menghendaki perbuatan yang baik bukan yang buruk.
Konsep ini memiliki arti bahwa keadilan Allah itu apapun yang
diterima manusia di akhirat kelak merupakan balasan dari
7
perbuatannya semasa di dunia. Yang berbuat baik sesuai dengan
perintah Allah akan mendapatkan balasan yang baik pula dan
begitupun sebalikya. Karena manusia berbuat atas kemauan dirinya
sendiri tanpa ada paksaan.
2) Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah Arabnya disebut ash-shalahwa al-ashlah.
Maksudnya adalah Allah memiliki kewajiban untuk berbuat baik
pada makhluknya. Allah tidak mungkin berbuat jahat dan aniaya
terhadap makhluknya, karena akan memberi kesan bahwa Alloh
tidak sempurna. Dan hal ini tidak layak bagi Allah.
3) Mengutus Rasul
Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Allah
karena alasan-alasan berikut ini:
a) Allah wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak
dapat terwujud kecuali dengan mengutus Rasul kepada mereka.
b) Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah
kepadaNya. Agar tujuan itu berhasil, tidak ada jalan lain
kecuali mengutus Rasul.14
3. Al-Wa’du wal Wa’di ( Janji dan Ancaman)
Kaum ini berpendapat bahwa janji dan ancaman itu akan terlaksana,
janji dengan pahala dan ancaman dengan siksa. Janji Allah untuk
mengampuni hambanya yang berbuat dosa tetapi mereka bertaubat.
Konsep ini sesuai dengan prinsip keadilan, bahwa siapapun yang berbuat
baik maka akan dibalas pula dengan kebaikan dan siapapun yang berbuat
jahat maka akan dibalas dengan siksaan. Pendirian ini juga memiliki arti
terhadap kaum Mu’tazilah, bahwa perbuatan dosa besar tidak berpengaruh
pada keimanan seseorang. Dalam hal ini Mu’tazilah memiliki beberapa
pendapat, yaitu:
a. Orang mukmin yang berdosa besar lalu wafat sebelum tobat ia tidak
akan mendapat ampunan Tuhan.
14
Ibid, hlm.84.
8
b. Di akhirat tidak ada syafaat sebab syafaat berlawanan dengan janji dan
ancaman.
c. Allah akan membalas kebaikan manusia yang telah berbuat baik dan
akan memberikan siksa kepada manusia yang melakukan kejahatan.
4. Al-Manzilah bain Al-Manzilatain ( tempat diantara dua tempat)
Kaum ini berpendpat bahwa seorang mukmin yang berbuat dosa
besar itu bukanlah seorang mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada
disuatu tempat diantara dua tempat yaitu fasiq. Dan apabila ia meninggal
dunia belum bertaubat maka akan masuk neraka selama-lamanya. Karena
di akhirat akan hanya ada dua golongan, yaitu golongan yang masuk surge
dan golongan yang masuk neraka. Dengan pendirian ini dimaksudkan
untuk menolak paham khawarij yang mengkafirkan orang yang melakukan
dosa besar disatu pihak, dan kaum Murji’ah yang menetapkan keimanan
seseorang sekalipun berdosa besar dipihak lain.15
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar (menyuruh kebaikan dan melarang keburukan)
Ajaran kelima di aliran Mu’tazilah adalah mengajak kebaikan dan
melarang kemungkaran. Ajaran ini menekankan manusia agar berbuat
kebaikan. Hal ini adalah konsekuensi logis terhadap keimanan seseorang,
dengan perbuatan baik dan mengajak orang lain berbuat baik dan
mencegah dari keburukan.
Ajaran kelima ini berkenaan dengan amalan lahir, sebab menurut
mereka “orang yang menyalahi pendirian mereka akan dianggap sesat dan
harus dibenarkan serta diluruskan”. Kewajiban ini harus dilakukan oleh
setiap muslim untuk menegakkan agama serta member petunjuk kepada
orang yang sesat.
Aliran Mu’tazilah berpusat di dua tempat di Basrah dan Baghdad.
Dalam perkembangannya aliran Mu’tazilah terbagi menjadi lebih dari dua
puluh aliran, diantaranya:
a. Aliran Huzail, pengikut Abu Huzail al-Allaf.
b. Aliran Nazzam, pengikut Ibrahim an-Nazzam.
15
Amir Ghufron, Op-Cit, hlm.71-72.
9
c. Aliran Jahiz, pengikut al-Jahiz.
d. Aliran Jubba’I, pengikut al-Jubba’i.
Semua aliran itu masih berprinsip kepada lima ajaran pokok di atas.
Hingga sekarang aliran Mu’tazilah secara fisik sudah tenggelam, tetapi namanya
masih dikenang beserta pemikiran-pemikirannya masih digunakan bagi mereka
yang mengedepankan rasio atau akal.16
16
Elpianti Sahara Pakpahan, PemikiranMu’tazilah, Al-Hadi: PemikiranMu’tazilah 2
No.02 (2017), hlm.55-56.
17
Novan Ardy Wiyani, Ilmu Klam (YOGYAKARTA: Teras, 2013).
18
Ibid.
10
c. Tentang sifat Allah. Wasil berpendapat Allah tidak memiliki sifat. Apa
yang diangga orang sebagai sifat Allah tidak lain zat Allah sendiri.19
2. Al-‘Allaf (752-840)
Nama lengkapnya Abdul Huzail bin al-Huzail al-‘Allaf. Ia berguru pada
Usman al-Za’farani murid Wasil. Hidupnya penuh perdebatan dengan
orang zindiq (orang yang pura-pura islam), skeptic, majuzi, Zoroaster, dan
menurut riwayat ada 3.000 oran yang masuk islam ditangannya. Al-‘Allaf
tinggal di Bashrah dan menjadi pimpinan kedua dari cabang Bashrah
setelah Wasil. Ia lahir di tahun 135 H dan wafat di tahun 235 H. 20 Adapun
paham yang dikembangkan Huzail antara lain :
a. Sesungguhnya Allah mengetahui dengan pengetahuan-Nya itu adalah
zat-Nya,berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan –Nya itu adalah
zat-Nya . Denganemikianberarti Abu Huzail menolak sifat-sifat
Tuhan.
b. Tentang kemampuan akal dan kewajiban sebelum datangnya wahyu.
Akalmampu dan wajib mengetahui Tuhan. Akal manusia
mampumengetahui dengan baik danburuk walaupun tidak ada
petunjuk dari wahyu.
c. Tentang kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatannya
untukmelakuaknyang baik dan yang buruk.21
3. An-Nazzham ( wafat 845 M)
Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani an-Nazzham,
tokoh Mu’tazilah yang terkemuk a, lancar berbicara, banyak meneladani
filsafat, dan banyak pula karyanya. Pada awalnya, ia berguru pada Abu
Huzail al-‘Allaf, kemudian mengadakan aliran sendiri dan pada usia 36
tahun ia meninggal dunia. Ia mempunyai otak yang luar biasa , dimana
beberapa pemikirannya telah mendahului masanya, antara lain tentang
19
Elpianti Sahara Pakpahan, “Pemikiran Mu’tazilah,” AL-HADI II, no. PEMIKIRAN,
MU’TAZILAH (2017): 423,
http://jurnal.pancabudi.ac.id/index.php/alhadi/articel/download/149/131.
20
Novan Ardy Wiyani, Ilmu Klam.
21
Pakpahan, “Pemikiran Mu’tazilah.”
11
metode keragan dan emprika yang menjadi dasar renaissance di Eropa.
Karena ia sangat bebas berfikir, ia berani menyerah Ahli Hadits dan tidak
banyak percaya kepada kesahihan hadist-hadist. Ia sangat menjunjug
tinggi Al-Qur’an dan sedikit percaya kepada hadist-hadist yang
diriwayatkan oleh para mufassirin.
4. Al-Jubai’ (wafat 915 M )
Lahir di Jubba propinsi Chuzestan Iran. Ia adalah guru imam al-asy’ari
tokoh utama aliran ahlusssunnah.
5. Basyr bin al-Mu’tamir ( wafat 840 M)
Ia adalah pendiri aliran Mu’tazilah di Baghdad. Dengan pandangan
kesusteraannya yang dikutip oleh al-Jahiz dalam bukunya al-Bayan wat
tabyin menimbulkan dugaan bahwa ia adalah orang yang pertama
mengadakan ilmu Balaghah.
6. Al-Khayyat (wafat 912 M)
Ia adalah al-Husein al-Khayyat, termasuk tokoh Mu’tazilah di Baghdad
dan mengarang buku al-intisar yang dimaksudkan untuk membela aliran
Mu’tazilah dari serangan Ibnu Ar-Rawandi. Ia hidup pada masa
kemunduran aliran Mu’tazilah.
7. Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1.024 M)
Hudiup pada masa kemunduran Mu’tazilah dan dianggka menjadi
kepala hakim (qadi al-qudhat) oleh Ibnu Abad.
8. Zamakhsyari (1075-1144)
Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu, paramasastra (lexocology),
dan kitab-kitab lainnya seperti al-Faiq, Asasul Balaghah, dan al-Mufassal.
Ia juga menafsirkan al-qur’an dalam sebuah kitab yang berjudul al-
Kassyaf, dimana kitab tafsir tersebut menunjukkan kekuatan pengarangnya
dalam segi bahasa, balaghah, ilmustilistika, dan kemukjiatan al-Qur’an
sehungga golongan mufassirin banyak menggunakan kitab tersebut sebgai
referensi.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Sebagai manusia yang masih dalam proses belajar, tentu banyak kesalahan
maupun kekurangan dalam penulisan makalah ini, Baik dari segi materi
maupun penulisan. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca sangat kami butuhkan sebagai acuan untuk menjadi lebih baik
dikemudian hari. Terima Kasih.
13
DAFTAR PUSTAKA
Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam, Edisi Revi. Bandung:
Pustaka Setia, 2012.
14