Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur marilah kita panjatkan kepada kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan begitu banyak nikmat yang mana makhluk-Nya pun tidak akan menyadari begitu
banyak nikmat yang telah didapatkan dari Allah SWT. Selain itu, penulis juga merasa sangat
bersyukur karena telah mendapatkan hidayah-Nya baik iman maupun islam.

Dengan nikmat dan hidayah-Nya pula kami dapat menyelesaikan penulisan makalah
yang “Aliran Mu’tazilah” yang merupakan tugas mata pelajaran Akidah Akhlak. Penulis
sampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada Guru mata pelajaran Akidah Akhlak, Ibu Ida
Farida. dan semua pihak yang turut membantu proses penyusunan makalah ini.

Penyusun menyadari dalam makalah ini masih begitu banyak kekurangan-kekurangan


dan kesalahan-kesalahan baik dari isinya maupun struktur penulisannya, oleh karena itu
penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran positif untuk perbaikan dikemudian hari.

Demikian semoga makalah ini memberikan manfaat umumnya pada para pembaca dan
khususnya bagi penyusun sendiri. Aamiin.

Jakarta, 10 Oktober 2019

Penyusun

DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................. 2

C. Tujuan Pembahasan ........................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Mu’adzilah ....................................................... 3

B. Asal Usul Mu’adzilah ................................................. ....... 4

C. Pencetus Mu’adzilah .......................................................... 5

D. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tadzilah ..................................... 7

E. Prinsip-Prinsip Dasar Ajaran Mu’adzilah .......................... 9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pasca meninggalnya Rasulululloh SAW banyak diantara kaum Muslimin dan Muslimat

kembali menjadi kafir alias memeluk Agamanya semula, ini menjadi keprihatinan sendiri bagi

sahabat Nabi, termasuk sahabat Nabi, seperti Abu Bakr as-Sidhiq, Umar ibn al-Khattab dan lain-

lain, sampai generasi pasca sahabat Rasul, tentunya segala daya upaya dilakukan untuk memberi

keyakinan kepada orang-orang yang kembali pada agama semula, tidak mudah, tapi itu harus

dilakukan sebagai wujud meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW. Berbagai macam cara

dilakukan untuk memberi keyakinan kepada mereka, seperti halaqoh,- halaqoh, diskusi dan lain-

lain, maka tidak heran apabila terjadi berbagai macam firqoh – firqoh atau sekte – sekte yang

bermunculan, ada yang cenderung ilmiah, ada yang cenderung ta’asup/assobiyah (fanatisme yang

berlebihan), seperti kelompok yang mendukung Ali yang disebut syiah, menurut mereka adalah

yang berhak untuk menduduki jabatan sebagai Khalifah/ Amir al-Mu’minin dengan alasan

nasabnya langung nyambung dengan Nabi Muhammad SAW, begitu juaga dengan kelompok yang

lain seperti kelompok diskusi, selalu mengedepankan kelompok kajian dengan berdiskusi,

sehingga bisa dikelompokan rasionalis yang mengedepankan pola pikir ilmiah. Kemudian ada

kelompok / aliran tengah (midleway) ini diwakili oleh Abu Hasan al-Basri. Semua pengikut

firqoh/sekte merasa bahwa kelompok atau aliran mereka yang paling benar, sesuai dengan

keyakinan dan penafsiran serta penalaran (ra’yi) mereka. Tentu itu juga tidak salah karena yang

namanya penafsiran tentu tergantung latar belakang seorang penafsir, kalau seorang penafsir yang

sudah kedoktrin Syi’ah maka baginya syiah adalah yang paling benar, kalau sudah kedoktrin

kelompok yang lain pula maka sang penafsir juga kelomoknya yang paling benar, yang menjadi

tidak menarik adalah ta’asup pada kelompok yang berlebihan sampai – sampai mengalahkan Allah

dan rasulNya, ini yang kurang bagus bagi perkembangan Islam.

Diantara berbagai macam kelompok atau aliran ini penulis mencoba mengurai salah satu

diantara aliran yang ada, yaitu kelompok rasionalis (Mu’tazilah) yang mengedepankan akal pikiran

manusia untuk kita kaji kita dalami, sebagai suatu sejarah perjalanan Islam yang dimiliki oleh

kaum Muslimin seluruh Dunia, ciri utama dari aliran ini dibandingkan dengan aliran yang lain
adalah, pandangan-pandangan theologisnya lebih banyak ditunjang dengan dalil-dalil ‘aqliyah

(akal) dan bersifat filosofis yang dipengaruhi filosofis Yunani, sehingga disebut aliran rasionalis,

tentunya kami memakai referensi kitab – kitab yang penulis miliki, seperti kitab Maqoolat al-

Islamiyin Wakhtilaafu al-Musolin karangan Abu Hasan Ismail al-Asy’ari. Karena keterbatasan

penulis baik secara ilmu maupun secara pengalaman dan cara penulisan harapan dari penulis adalah

mohon saran – saran kritik yang membangun baik teknik penulisan, maupun yang lainnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Mu’tazilah?

2. Bagaimana Asal-Usul Aliran Mu’tazilah?

3. Siapa Pencetus Mu’tazilah?

4. Siapa Saja Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tadzilah?

5. Apa Prinsip-Prinsip Dasar ( Ajaran ) Mu’tazilah?

C. Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui Pengertian Mu’tazilah

2. Mengetahui Asal-usul Aliran Mu’tazilah

3. Mengetahui Pencetus Mu’tazilah

4. Mengetahui Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tadzilah

5. Mengetahui Prinsip-Prinsip Dasar (Ajaran) Mu’tazilah

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mu’tazilah

Pengertian Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab I’tazala yang berarti

meninggalkan/menjauhkan diri. Kelahiran dari Mu’tazilah bersama kawan-kawannya biasanya


dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha dalam pengajian/halaqoh yang diadakan bersama

Gurunya Hasan Basri, juga kaum Syi’ah dan Khawaij. Sejarah telah mencatat bagi kita (Kaum

Muslimin) dokumentasi berupa dua buku yang ditulis pada permulaan abad ke dua hijriyah dan

juga mencatat orang-orang yang menentang pendapat Keagamaan yang dipegang mayoritas

Muslimin pada saat itu. Kedua buku tersebut adalah ar’Rad’ala al–Qodariyah yang disusun oleh:

Umar bin Ubaid (80-144 H) seorang tokoh (syaikh) dan Zahid muktazilah dan buku Asnaf al-

Murjiah yang disusun oleh Washil bin ‘Atho (80-181 H) seorang budak bani Dhiyyah, sering juga

dikatakan seorang budak bani Makzum yang dikenal dengan Ghazal, seorang penggagas dan

pemuka dan pemuka madzhab Muktazilah.

Pada permulaan abad kedua Hijriyah, kejelekan madzhab Khawarij telah dapat dirasakan.

Mereka memproklamirkan bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar menjadi kafir dan akan

menjadi penghuni Neraka secara abadi. Sedangkan mayoritas Umat Islam kala itu mengatakan:

mereka masih seorang Mukmin yang fasik dikarenakan melakukan dosa besar. Abu Khudaifah

Washil bin ‘Atha ketika itu, mengikuti pengajian yang diadakan oleh Hasan al-Basri dan berguru

kepadanya. Suatu hari pelaku masalah dosa besar ini menjadi tema pembahasan dan Hasan al –

Basri apa yang dipegang oleh Umat. Akan tetapi Washil bin ‘Atho mempunyai pendapat lain, dia

berkata: “Komentar dan pendapatku mengenai pelaku dosa besar ini adalah bahwa Dia bukan

Mukmin dan bukan pula seorang Kafir, ia berada dalam suatu tempat diantara dua tempat (al-

Manzilah baena manjilatain).” Pendapatnya ini membuat Hasan al- Basri marah dan mengusirnya

dari majelis pengajianNya dan Washil bin “Atha mengasingkan diri dan memilih mesjid tempat

untuk pengasingannya. Lalu bergabunglah dengannya Umar bin Ubaid dan jamaahnya. Oleh

karena itu dia dan pengikutnya dijuluki al – Mu’tazilun atau Mu’tazilah.

B. Asal usul Aliran Mu’tazilah

Aliran mu’tazilah lahir pada masa pemerintahan Bani Umayah, yakni pada masa pemerintahan

Abdul Malik bin Marwan dan anaknya Hisyam. Mu’tazilah berasal dari kata kerja yakni ‘azala

artinya berpisah. Maka Mu’tazilah itu berarti memisahkan diri. Meraka adalah pengikut dari Abul

Husail Washil bin Atha yang memisahkan diri dari gurunya yang bernama Hasan Basri. Ada

sebagian pendapat bahwa aliran Mu’tazilah muncul sejak zaman sahabat, mereka adalah golongan
pengikut Ali yang memisahkan diri dari politik terutama disaat turunnya Hasan bin Ali dari kursi

kholifah. Kelompok ini kemudian memusatkan diri kepada persoalan-persoalan teologi. Maka dari

itu ada sebagian pendapat yang beranggapan bahwa golongan mutallimin pertama adalah

Mu’tazilah sebab mereka inilah yang mula-mula mengadakan diskusi dalam agama secara filsafati.

Masalah pertama yang menjadikan mereka berpisah dari Hasan ialah masalah “murtakibil

kabirah” yakni memperbincangkan kedudukan orang yang melakukan dosa besar. Persoalan ini

muncul pada saat seorang bernama Wasil bin Atha berada dimajelis kuliah gurunya bernama Hasan.

Di dalam kesempatan ini Washil berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah fasik,

yakni suatu posisi yang berada diantara dua keadaan maksudnya orang itu tidak mukmin juga tidak

kafir.

Dalam kaitan ini dijelaskan pula bahwa pada suatu waktu datang menanyakan suatu soal yang

memerlukan jawaban dari sang guru. Pertanyaan itu ialah bila seorang beriman meninggal dunia

sedangkan ia pernah melakukan satu dosa besar/kabirah, maka dimana ia ditempatkan oleh Allah

diakhirat nanti? Apakah didalam surga karena ia seorang yang beriman atau dineraka karena ia

melakukan satu dosa yang besar?

Sang murid mendengar soal ini bangkit semangatnya untuk menjawab. Secara spontan ia

mengatakan manusia yang demikian bukan ditempatkan di surga atau neraka, tetapi ia ditempatkan

diantara kedua tempat ini. Yakni disuatu tempat ditengah-tengah antara surga dan neraka.

Pendapatnya ini berlainan secara drastis dengan pendapat gurunya. Karena pendapat ini ia pun

mengasingkan diri dan mengadakan tempat sendiri untuk mengajar pengikut-pengikutnya. Oleh

karena pengasingan ini dan berpisah dari golongan sang guru serta mengadakan jamaah sendiri,

maka ia pun dinamakan “mu’tazili” dan alirannya dinamakan mu’tazilah. Dalam kesempatan itulah

Washil kemudian memisahkan diri dari gurunya, oleh sebab itu Hasan Basri kemudian berkata

“I’tazala ‘annawashil, artinya Washil telah memisahkan diri dari kita. Menurut kaum Mu’tazilah

sumber pengatahuan yang paling utama adalah akal, sedangkan wahyu berfungsi mendukung

kebenaran akal. Menurut mereka apabila terjadi pertentangan antara ketetapan akal dan ketentuan

wahyu maka yang ditamakan adalah ketetapan akal.


Menurut A.hanafi aliran Mu’tazilah adalah aliran aqidah islam yang terbesar dan tertua, serta

telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia islam. Pada mulanya aliran ini

mempunyai dua cabang yaitu:

1. Di Basrah, yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid.

2. Di Bagdad, yang dipimpin oleh Basyar bin Al-Mu’tamar.

Banyak kholifah yang menganut faham Mu’tazilah ini atau setidak-tidaknya menyokongnya,

diantaranya ialah :

1. Yazid bin Wahid Bani Umayah

2. Ma’mun bin Harun al Rasyid Bani Abbas

3. Al Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid

4. Al Watsiq bin Al Mu’tashim

C. Pencetus Mu’tazilah

Seperti yang disebutkan di atas bahwa yang menjadi pencetus aliran Mu’tazilah adalah Washil

bin ‘Atha. Dia adalah salah seorang sastrawan terkemuka dari kalangan Mutakallim. Dia selalu

menukar huruf ra dengan huruf ghin. Di dalam al- Kamil, Abu al-Abbas al-Mubarrad berkata:

“Washil bin ‘ Atha mempunyai satu keanehan, yakni ia tidak fasih melafalkan huruf ra, oleh karena

itu ia selalu berusaha meniadakan dalam setiap kata pembicaraanya dari huruf tersebut dan dia tidak

menguasainya. Hal ini karena rendahnya susunan kata-katanya”. Dalam hal ini seorang penyair

muktazilah. Abu Thuruq ad-Dlaby, memuji kemampuan memperpanjang khutbah-khutbahnya serta

kemampuannya menghindari dari keseringan menggunakan huruf ra’ dalam pembicaraan sehingga

nampak hampir tidak pernah sama sekali dalam kalimat- kalimatnya.

Washil bin ‘Atha sebenarnya bukanlah sesorang sastrawan, namun ia menjuluki dirinya sebagai

sastrawan, hanyalah semata-mata bermaksud mempunyai prestise dimata para wanita shalehah;

sehingga ia dapat mengawininya. Ia banyak meninggalkan karya tulis berupa buku, diantaranya

adalah: Ashnaf al-Murji’ah, al-Taubat, Al-Manziliah baena al-Manzilatain, Ma’ani l-Qur’an,

alKitab fi al-Tauhid wa al- Adli, Ma Jara baena wa baena ‘Amr bin ‘Ubaid, al-Sabil ila ma’rifat al-

Haq, al-Dakwah dan Kitab Thabaqat Ahl al-Ilm wa al-Jahl.

Washil bin ‘Atha lahir di Madinah pada tahun 80H. Dan meninggal Dunia pada tahun 181 H.
Selain Washil bin ‘Atha ada juga ‘Amr bin Ubaid. yang dimaksud “Amir bin ‘Ubaid adalah Abu

‘Usman ‘Amr bin ‘Ubaid bin Bab budak Bani ‘Aqil seorang theolog dan Zahid. Kakeknya dari

Sabi Kabil, salah satu didaerah di Shind. ‘Amr bin ‘Ubaid adalah merupakan tokoh Mu’tazilah

pada zamannya. Diantara kedua matanya terdapat tanda-tanda bekas sujud. Hasan al-Bisri pernah

dimintai komentarnya, seraya berkata : Aku ditanya tentang seorang tokoh yang seolah-olah dididik

oleh Malaikat, seolah-olah dibina oleh Nabi, jika terjadi sesuatu hal (masalah) ia langsung bertindak

menyelesaikannya, jika memerintahkan sesuatu maka dialah yang paling komitmen terhadapnya,

dan jika melarang sesuatu dialah yang gigih menghindarinya, berdiri dikarenakan oleh sesuatu

masalah maka langsung duduk, jika duduk karena sutu masalah maka langsung berdiri.

Amr bin ‘Ubaid lahir pada tahun 80 H. Dan wafat di Marran di makamkan di Mekkah pada

tahun 144 H.

Sepeninggal dua tokoh ini, baru Mu’tazilah menjadi sekte ( Madzhab) yang memiliki dasar

ajarannya yang tersusun secara hirarki, ditambah lagi Tuhan berkehendak untuk memberikan

kepada golongan ini pada setiap zamannya sekelompok manusia yang terpelajar yang menguasai

ilnu pengetahuan. Lewat merekalah paham-paham madzhab ini diajarkan dan tersebar secara

meluas, argumentasi-argumentasinya yang melampaui argumentasi pendapat lainnya dan mereka

juga membuat jaringan relasi dengan pihak Penguasa, yang dimanfaatkan untuk membeakarab

dipanggilrikan kekuatan politik sehingga akhirnya rakyat menerima apa yang mereka jadikan

sebagai pandangan keagamaan.

D. Tokoh-tokoh Aliran Mu’tadzilah

1. Wasil Bin Atha

Wasil Bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan dasar ajaran mu'tazilah. Ada tiga

ajaran pokok yang dicetuskan oleh Wasil bin Atha, yaitu paham al-manzilah bain al-

manzilatain, paham kadariyah (yang diambilnya dari ma'bad dan gailan, dua tokoh aliran

Kadariyah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi

doktrin ajaran Mu'tazilah, yaitu al manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat

Tuhan.

2. Abu Huzail al-Allaf


Abu Huzail al-'Allaf (wafat. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan

sekolah Mu'tazilah pertama dikota Bashrah (Iraq). Melalui sekolah ini, pemikiran Mu'tazilah

sempat menjadi madzhab resmi Negara.

Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof islam. Ia banyak mngetahui falsafah yunani

dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Mu'tazilah yang bercorak filsafat.

Diantaranya ia membuat uraian mengenai pengertian Nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa"

Tuhan Maha Mengetahui" dengan pengetahuannya dan pengetahuannya itu adalah Zat-Nya

bukan sifatnya, Tuhan Maha Kuasa dengan kekuasaannya dan kekasaannya itu juga Zat-Nya

bukan sifatnya dan begitu seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu Huzail untuk

menghindari adanya yang kadim selain Tuhan, karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti

sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifatnya itu kadim ini akan membawa kepada

kemusyrikan.

3. Al-Jubba'i

Al-Jubba'I adalah guru Abu Hasan al- Asy'ari pendiri aliran Asy'ariah. Pendapatnya yang

masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya

akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat

4. An-Nazzam

Pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena

Tuhan itu Maha adil, maka ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini pendapatnya

lebih jauh dari gurunya, Al-Allaf. Kalau Al-Allaf mengatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat

zalim kepada hambanya, maka An-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang

mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat

bahwa perbuatan zalim hanya dilakukan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan

Tuhan jauh dari keadaan yang demikian.

5. Al-Jahiz

Dalam tulisan-tulisan Al- Jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau

kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum Mu'tazilah disebut sunnah Allah. Ia
menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh

manusia itu sendiri, melainkan ada pengaruh hukum alam.

6. Mu'amar bin Abbad

Pendapatnya tentang kepercayan pada hukum alam dan pendapatnya ini sama dengan pendapat

Al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun sesuatu

yang datang pada benda-benda itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu

dilemparkan ke dalam air maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil

dari kreasi batu itu sendiri bukan ciptaan Tuhan.

7. Bisyr al- Mu'tamir

Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Seorang yang

berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi perbuatan dosa besar,akan mendapan

siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu

8. Abu Musa al-Mudrar

Al- Mudrar dianggap sebagai pemimpin Mu'tazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya

yang mudah mudah mengkafirkan orang lain.Menurut Syahristani, ia menuduh semua orang

kafir yang mempercayai kekadiman Al-qur'an. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat

Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.

E. Prinsip-Prinsip Dasar ( Ajaran ) Mu’tazilah

Prinsip dasar Mu’tazilah ada 5 pokok (al-Ushul al-Khamsah) yaitu:

1. Tahuhid ( keesaan Tuhan )

Para pengikut Mu’tazilah ini bersepakat bahwa Allah SWT. Itu Maha Esa, tanpa

sesuatupun yang menyerupai-Nya, yang Maha Mendengar, dan Maha Melihat, dan

Diapun tanpa jisim, tanpa bayang-bayang, tanpa bekas, tanpa bentuk, tanpa daging ,

tanpa darah, tanpa karakter, tanpa aksiden, tanpa warna, tanpa rasa, tanpa bau, tanpa

dimensi panjang, tanpa lebar,tanpa dalam, tanpa tanpa unsur tergabung ataupun

terpisah, tanpa gerak, tanpa panas,tanpa dingin, tanpa diam, tanpa terbagi,tanpa

bagian,tanpa anggota, tanpa arah kiri, atau kanan, tanpa depan , belakang, tanpa atas

atau bawah, tanpa ruang atau waktu, tanpa terdekat atau terjahui, tanpa sifat-sifat
makhluk, tanpa permulaan, tanpa kesudahan, tanpa jarak atau hitungan, tanpa

dilahirkan atau melahirkan, tanpa terhalang atau terindra, tanpa tersamakan tanpa

terkena terpengaruh musibah, tanpa berfikir atau terduga, yang Maha terdahulu yang

senantiasa ada, yang Maha Tahu, Yang kuasa, Yang Maha Hidup, yang tidak terlihat,

Yang tidak terdengar, Yang tidak Terbayangkan, yang tidak terpadankan, dan

tertirukan, dan Dia adalah sesuatu yang tidak seperti segenap sesuatu, Yang tahu tetapi

tidak selayaknya orang tahu,Yang kuasa, tidak layaknya orang kuasa, yang hidup tapi

tidak selayaknya hidup, yang kekal dan dahulu sendiri, dan tidak ada tuhan selain Nya,

dan tidak ada sekutu Nya, dan tidak ada pemimpin Nya ataupun pembantuNya, tidak

ada teladan Nya, ataupun tiruan Nya, dalam penciptaan selain Nya, tidak membutuhkan

kebahagiaan dan kelezatan dan tiada kepedihan dan kesaktian menimpa diri Nya, tiada

kesudahan dan kehabisan , tiada lenyap dan tiada sifat lemah dan kurang, dan Dia pun

terbatas dari kehendak beristri dan berputra.

Ada beberapa ayat al-qur’an yang membantah kesamaan Tuhan dengan makhluk.

Namun demikian, ada juga ayat-ayat yang berkaitan dengan wajah, tangan Tuhan dan

sebagainya. Pendapat tradisional cenderung menerima ayat-ayat tersebut itu untuk

penilaian tentang wajah mereka tanpa berusaha lebih jauh untuk menerangkan apa yang

diebut dengan wajah dan sebagainya.

Sungguh itulah anggapan – anggapan para pengikut Aliran (Madzhab) Mu’tazilah

tentang tahuhid dan lain – lainnya. Sehingga banyak pula pengikut aliran yang lain

seperti halnya aliran Khawarij, Murj’iah, dan Syi’ah yang mengikuti maupun

menyetujui anggapan – anggapan para pengikut Aliran Mu’tazilah ini diikuti ataupun

disetujui mereka.

2. Keadilan Tuhan

Prinsip ini didifinisikan semua perbuatan Allah baik, tidak mungkin Allah

meninggalkan kewajibanNya, Dikataka al-Khayat tokoh Mu’tazilah, seseorang tidak

berhak atas nama I’tizal kecuali perpegang 5 prinsip dasar.

3. Janji dan Ancaman (Al-Wa’du wal wa’id)


Mu’tazilah yakin bahwa Tuhan pasti akan memberikan pahala dan siksa kepada

manusia di akhirat. Orang yang melakukan kebaikan berhak mendapat pahala,

sedangkan orang yang melakukan keburukan berhak mendapat siksa dan ini pasti

terjadi. Tuhan tidak dapat berbuat lain kecuali melaksanakan janji-Nya.

Sebagai realisasi dari janji-Nya itu Mu’tazilah berpendapat, tidak ada pengampunan

bagi orang yang berbuat dosa besar tanpa tobat, sebagaimana tidak mungkin orang

yang berbuat baik dihalang-halangi menerima pahala. Dalam hal ini mu’tazilah

berpendapat bahwa Tuhan tidak disebut adil jika ia tidak member pahala kepada orang

yang berbuat baik atau tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Mu’tazilah

mengingkari adanya syafaat dihari kiamat, syafaat bertentangan dengan prinsip janji

dan ancaman.

Didefinisikan bahwa Allah berjanji memberikan Ganjaran / pahala kepada orang yang

taat pada Allah, dan Allah mengancam / menyikasa orang-orang yang durhaka

4. Posisi diantara dua posisi (Manzilah bainal Manzilatain)

Ajaran keempat yang disebut posisi tengah menurut Mu’tazilah maksudnya tempat

diantara surge dan neraka.ajaran ini dinilai sangat penting. Dengan ajaran ini, Washil

rela memisahkan diri dari gurungya. Menurut Washil, pelaku dosa besar juga orang

musyrik tidak mukmin dan tidak kafir pula tatapi fasiq. Kefasikan ini berada diantara

iman dan kafir.

Prinsip jalan tengah yang dipegag Mu,tazialah diambil dari Al-qur’an dan Hadits. Ayat

al-qur’an yang dimaksud surat al-isra’ ayat 110, dalil-dalil hadistnya ialah yang artinya

Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah.

Bahwa pelaku dosa besar ( Muslim ) menduduki dua posisi dan menduduki dua hukum

diantara dua hukum, yaitu Fasiq dia tidak dihukumi kafir, karena kenyataannya masih

beriman pada Allah. Dia tidak dilarang melakukan perkawinan, pewarisan, kubur

secara Muslim, namun tidak bisa dihkumi sebagai Muslim dan Mu’min yang “ baik “

karena telah melakukan dosa besar.

5. Perintah mengerjakan yang baik dan mencegah yang munkar


Bahwa yang diperintahkan adalah hal yang baik, dan mencegah sesuatu yang mungkar

( buruk ).

Ajaran yang terakhir ini secara prinsip tidak berbeda dari pendapat golongan lainnya.

Perbadaanya hanya pada pelaksanaannya, apakah seruan berbuat baik dan larangan

berbuat buruk itu dalakukan dengan lunak atau dengan kekerasan. Mu’tazilah

berpendapat bahwa amar ma’ruf nahyi munkar sebaiknya dilakukan dengan lemah

lembut, walaupun sewaktu-waktu jika diperlukan bias dengan kekerasan. Bagi kaum

Mu’tazialh, orang-orang yang menyalahi pendirian mereka dipandang sesat dan harus

diluruskan.

Pandangan rasional Mu’tazilah dapat dilihat juga dalam uraian mengenai kedudukan

akal dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal yang diperdebatkan oleh aliran-aliran

kalam yaitu :

1. Mengenai tentang mengetahui Tuhan.

2. Kewajiban mengetahui Tuhan.

3. Mengetahui baik dan jahat.

4. Kewajiban mengatahui baik dan jahat.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkataan Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab (I’tazala) yang artinya “meninggalkan“ atau

“menjauhkan diri“. Mu’tazilah adalah salah satu madzhab Theologi dalam Islam. Kelahiran

Mu’tazilah, oleh lawan-lawannya, biasanya dikaitkannya dengan keluarnya Washil ibn Atha dari

halaqoh GuruNya, Hasan Basri, karena perbedaan tentang status orang Islam yang melakukan dosa

besar.

Diantara Doktrin aliran Mu’tazilah yang dimunculkan oleh mereka adalah mengenai kalam

Mu’tazilah, yang dirumuskan dalam 5 (lima) prinsip pokok yang disebut “al – Ushul al –

Khamsah“ yaitu:

1. Tauhid

2. Keadilan Tuhan

3. Al-Wa’du wal wa’id (Janji dan Ancaman)

4. Manzilah bainal Manzilatain (Tempat diantara dua tempat)

5. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar (perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat)
DAFTAR PUSTAKA

Alwan Fillah. 2018. Aliran Mu’tadzilah. Diperoleh 13 Oktober 2019

https://www.academia.edu/35340136/Aliran_Mu_tazilah.docx

Muhammad Idris. 02 Oktober 2018. Lebih Memahami Tentang Aliran Mu’tadzilah. Diperoleh 13

Oktober 2019

https://www.kompasiana.com/muhammad10511/5bb2f273677ffb3d9b7977a7/lebih-memahami-

tentang-aliran-mu-tazilah

Anda mungkin juga menyukai