Puji serta syukur marilah kita panjatkan kepada kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan begitu banyak nikmat yang mana makhluk-Nya pun tidak akan menyadari begitu
banyak nikmat yang telah didapatkan dari Allah SWT. Selain itu, penulis juga merasa sangat
bersyukur karena telah mendapatkan hidayah-Nya baik iman maupun islam.
Dengan nikmat dan hidayah-Nya pula kami dapat menyelesaikan penulisan makalah
yang “Aliran Mu’tazilah” yang merupakan tugas mata pelajaran Akidah Akhlak. Penulis
sampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada Guru mata pelajaran Akidah Akhlak, Ibu Ida
Farida. dan semua pihak yang turut membantu proses penyusunan makalah ini.
Demikian semoga makalah ini memberikan manfaat umumnya pada para pembaca dan
khususnya bagi penyusun sendiri. Aamiin.
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ........................................................................ 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasca meninggalnya Rasulululloh SAW banyak diantara kaum Muslimin dan Muslimat
kembali menjadi kafir alias memeluk Agamanya semula, ini menjadi keprihatinan sendiri bagi
sahabat Nabi, termasuk sahabat Nabi, seperti Abu Bakr as-Sidhiq, Umar ibn al-Khattab dan lain-
lain, sampai generasi pasca sahabat Rasul, tentunya segala daya upaya dilakukan untuk memberi
keyakinan kepada orang-orang yang kembali pada agama semula, tidak mudah, tapi itu harus
dilakukan sebagai wujud meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW. Berbagai macam cara
dilakukan untuk memberi keyakinan kepada mereka, seperti halaqoh,- halaqoh, diskusi dan lain-
lain, maka tidak heran apabila terjadi berbagai macam firqoh – firqoh atau sekte – sekte yang
bermunculan, ada yang cenderung ilmiah, ada yang cenderung ta’asup/assobiyah (fanatisme yang
berlebihan), seperti kelompok yang mendukung Ali yang disebut syiah, menurut mereka adalah
yang berhak untuk menduduki jabatan sebagai Khalifah/ Amir al-Mu’minin dengan alasan
nasabnya langung nyambung dengan Nabi Muhammad SAW, begitu juaga dengan kelompok yang
lain seperti kelompok diskusi, selalu mengedepankan kelompok kajian dengan berdiskusi,
sehingga bisa dikelompokan rasionalis yang mengedepankan pola pikir ilmiah. Kemudian ada
kelompok / aliran tengah (midleway) ini diwakili oleh Abu Hasan al-Basri. Semua pengikut
firqoh/sekte merasa bahwa kelompok atau aliran mereka yang paling benar, sesuai dengan
keyakinan dan penafsiran serta penalaran (ra’yi) mereka. Tentu itu juga tidak salah karena yang
namanya penafsiran tentu tergantung latar belakang seorang penafsir, kalau seorang penafsir yang
sudah kedoktrin Syi’ah maka baginya syiah adalah yang paling benar, kalau sudah kedoktrin
kelompok yang lain pula maka sang penafsir juga kelomoknya yang paling benar, yang menjadi
tidak menarik adalah ta’asup pada kelompok yang berlebihan sampai – sampai mengalahkan Allah
Diantara berbagai macam kelompok atau aliran ini penulis mencoba mengurai salah satu
diantara aliran yang ada, yaitu kelompok rasionalis (Mu’tazilah) yang mengedepankan akal pikiran
manusia untuk kita kaji kita dalami, sebagai suatu sejarah perjalanan Islam yang dimiliki oleh
kaum Muslimin seluruh Dunia, ciri utama dari aliran ini dibandingkan dengan aliran yang lain
adalah, pandangan-pandangan theologisnya lebih banyak ditunjang dengan dalil-dalil ‘aqliyah
(akal) dan bersifat filosofis yang dipengaruhi filosofis Yunani, sehingga disebut aliran rasionalis,
tentunya kami memakai referensi kitab – kitab yang penulis miliki, seperti kitab Maqoolat al-
Islamiyin Wakhtilaafu al-Musolin karangan Abu Hasan Ismail al-Asy’ari. Karena keterbatasan
penulis baik secara ilmu maupun secara pengalaman dan cara penulisan harapan dari penulis adalah
mohon saran – saran kritik yang membangun baik teknik penulisan, maupun yang lainnya.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mu’tazilah
Gurunya Hasan Basri, juga kaum Syi’ah dan Khawaij. Sejarah telah mencatat bagi kita (Kaum
Muslimin) dokumentasi berupa dua buku yang ditulis pada permulaan abad ke dua hijriyah dan
juga mencatat orang-orang yang menentang pendapat Keagamaan yang dipegang mayoritas
Muslimin pada saat itu. Kedua buku tersebut adalah ar’Rad’ala al–Qodariyah yang disusun oleh:
Umar bin Ubaid (80-144 H) seorang tokoh (syaikh) dan Zahid muktazilah dan buku Asnaf al-
Murjiah yang disusun oleh Washil bin ‘Atho (80-181 H) seorang budak bani Dhiyyah, sering juga
dikatakan seorang budak bani Makzum yang dikenal dengan Ghazal, seorang penggagas dan
Pada permulaan abad kedua Hijriyah, kejelekan madzhab Khawarij telah dapat dirasakan.
Mereka memproklamirkan bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar menjadi kafir dan akan
menjadi penghuni Neraka secara abadi. Sedangkan mayoritas Umat Islam kala itu mengatakan:
mereka masih seorang Mukmin yang fasik dikarenakan melakukan dosa besar. Abu Khudaifah
Washil bin ‘Atha ketika itu, mengikuti pengajian yang diadakan oleh Hasan al-Basri dan berguru
kepadanya. Suatu hari pelaku masalah dosa besar ini menjadi tema pembahasan dan Hasan al –
Basri apa yang dipegang oleh Umat. Akan tetapi Washil bin ‘Atho mempunyai pendapat lain, dia
berkata: “Komentar dan pendapatku mengenai pelaku dosa besar ini adalah bahwa Dia bukan
Mukmin dan bukan pula seorang Kafir, ia berada dalam suatu tempat diantara dua tempat (al-
Manzilah baena manjilatain).” Pendapatnya ini membuat Hasan al- Basri marah dan mengusirnya
dari majelis pengajianNya dan Washil bin “Atha mengasingkan diri dan memilih mesjid tempat
untuk pengasingannya. Lalu bergabunglah dengannya Umar bin Ubaid dan jamaahnya. Oleh
Aliran mu’tazilah lahir pada masa pemerintahan Bani Umayah, yakni pada masa pemerintahan
Abdul Malik bin Marwan dan anaknya Hisyam. Mu’tazilah berasal dari kata kerja yakni ‘azala
artinya berpisah. Maka Mu’tazilah itu berarti memisahkan diri. Meraka adalah pengikut dari Abul
Husail Washil bin Atha yang memisahkan diri dari gurunya yang bernama Hasan Basri. Ada
sebagian pendapat bahwa aliran Mu’tazilah muncul sejak zaman sahabat, mereka adalah golongan
pengikut Ali yang memisahkan diri dari politik terutama disaat turunnya Hasan bin Ali dari kursi
kholifah. Kelompok ini kemudian memusatkan diri kepada persoalan-persoalan teologi. Maka dari
itu ada sebagian pendapat yang beranggapan bahwa golongan mutallimin pertama adalah
Mu’tazilah sebab mereka inilah yang mula-mula mengadakan diskusi dalam agama secara filsafati.
Masalah pertama yang menjadikan mereka berpisah dari Hasan ialah masalah “murtakibil
kabirah” yakni memperbincangkan kedudukan orang yang melakukan dosa besar. Persoalan ini
muncul pada saat seorang bernama Wasil bin Atha berada dimajelis kuliah gurunya bernama Hasan.
Di dalam kesempatan ini Washil berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah fasik,
yakni suatu posisi yang berada diantara dua keadaan maksudnya orang itu tidak mukmin juga tidak
kafir.
Dalam kaitan ini dijelaskan pula bahwa pada suatu waktu datang menanyakan suatu soal yang
memerlukan jawaban dari sang guru. Pertanyaan itu ialah bila seorang beriman meninggal dunia
sedangkan ia pernah melakukan satu dosa besar/kabirah, maka dimana ia ditempatkan oleh Allah
diakhirat nanti? Apakah didalam surga karena ia seorang yang beriman atau dineraka karena ia
Sang murid mendengar soal ini bangkit semangatnya untuk menjawab. Secara spontan ia
mengatakan manusia yang demikian bukan ditempatkan di surga atau neraka, tetapi ia ditempatkan
diantara kedua tempat ini. Yakni disuatu tempat ditengah-tengah antara surga dan neraka.
Pendapatnya ini berlainan secara drastis dengan pendapat gurunya. Karena pendapat ini ia pun
mengasingkan diri dan mengadakan tempat sendiri untuk mengajar pengikut-pengikutnya. Oleh
karena pengasingan ini dan berpisah dari golongan sang guru serta mengadakan jamaah sendiri,
maka ia pun dinamakan “mu’tazili” dan alirannya dinamakan mu’tazilah. Dalam kesempatan itulah
Washil kemudian memisahkan diri dari gurunya, oleh sebab itu Hasan Basri kemudian berkata
“I’tazala ‘annawashil, artinya Washil telah memisahkan diri dari kita. Menurut kaum Mu’tazilah
sumber pengatahuan yang paling utama adalah akal, sedangkan wahyu berfungsi mendukung
kebenaran akal. Menurut mereka apabila terjadi pertentangan antara ketetapan akal dan ketentuan
telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia islam. Pada mulanya aliran ini
1. Di Basrah, yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid.
Banyak kholifah yang menganut faham Mu’tazilah ini atau setidak-tidaknya menyokongnya,
diantaranya ialah :
C. Pencetus Mu’tazilah
Seperti yang disebutkan di atas bahwa yang menjadi pencetus aliran Mu’tazilah adalah Washil
bin ‘Atha. Dia adalah salah seorang sastrawan terkemuka dari kalangan Mutakallim. Dia selalu
menukar huruf ra dengan huruf ghin. Di dalam al- Kamil, Abu al-Abbas al-Mubarrad berkata:
“Washil bin ‘ Atha mempunyai satu keanehan, yakni ia tidak fasih melafalkan huruf ra, oleh karena
itu ia selalu berusaha meniadakan dalam setiap kata pembicaraanya dari huruf tersebut dan dia tidak
menguasainya. Hal ini karena rendahnya susunan kata-katanya”. Dalam hal ini seorang penyair
kemampuannya menghindari dari keseringan menggunakan huruf ra’ dalam pembicaraan sehingga
Washil bin ‘Atha sebenarnya bukanlah sesorang sastrawan, namun ia menjuluki dirinya sebagai
sastrawan, hanyalah semata-mata bermaksud mempunyai prestise dimata para wanita shalehah;
sehingga ia dapat mengawininya. Ia banyak meninggalkan karya tulis berupa buku, diantaranya
alKitab fi al-Tauhid wa al- Adli, Ma Jara baena wa baena ‘Amr bin ‘Ubaid, al-Sabil ila ma’rifat al-
Washil bin ‘Atha lahir di Madinah pada tahun 80H. Dan meninggal Dunia pada tahun 181 H.
Selain Washil bin ‘Atha ada juga ‘Amr bin Ubaid. yang dimaksud “Amir bin ‘Ubaid adalah Abu
‘Usman ‘Amr bin ‘Ubaid bin Bab budak Bani ‘Aqil seorang theolog dan Zahid. Kakeknya dari
Sabi Kabil, salah satu didaerah di Shind. ‘Amr bin ‘Ubaid adalah merupakan tokoh Mu’tazilah
pada zamannya. Diantara kedua matanya terdapat tanda-tanda bekas sujud. Hasan al-Bisri pernah
dimintai komentarnya, seraya berkata : Aku ditanya tentang seorang tokoh yang seolah-olah dididik
oleh Malaikat, seolah-olah dibina oleh Nabi, jika terjadi sesuatu hal (masalah) ia langsung bertindak
menyelesaikannya, jika memerintahkan sesuatu maka dialah yang paling komitmen terhadapnya,
dan jika melarang sesuatu dialah yang gigih menghindarinya, berdiri dikarenakan oleh sesuatu
masalah maka langsung duduk, jika duduk karena sutu masalah maka langsung berdiri.
Amr bin ‘Ubaid lahir pada tahun 80 H. Dan wafat di Marran di makamkan di Mekkah pada
tahun 144 H.
Sepeninggal dua tokoh ini, baru Mu’tazilah menjadi sekte ( Madzhab) yang memiliki dasar
ajarannya yang tersusun secara hirarki, ditambah lagi Tuhan berkehendak untuk memberikan
kepada golongan ini pada setiap zamannya sekelompok manusia yang terpelajar yang menguasai
ilnu pengetahuan. Lewat merekalah paham-paham madzhab ini diajarkan dan tersebar secara
juga membuat jaringan relasi dengan pihak Penguasa, yang dimanfaatkan untuk membeakarab
dipanggilrikan kekuatan politik sehingga akhirnya rakyat menerima apa yang mereka jadikan
Wasil Bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan dasar ajaran mu'tazilah. Ada tiga
ajaran pokok yang dicetuskan oleh Wasil bin Atha, yaitu paham al-manzilah bain al-
manzilatain, paham kadariyah (yang diambilnya dari ma'bad dan gailan, dua tokoh aliran
Kadariyah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi
doktrin ajaran Mu'tazilah, yaitu al manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat
Tuhan.
sekolah Mu'tazilah pertama dikota Bashrah (Iraq). Melalui sekolah ini, pemikiran Mu'tazilah
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof islam. Ia banyak mngetahui falsafah yunani
dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Mu'tazilah yang bercorak filsafat.
Tuhan Maha Mengetahui" dengan pengetahuannya dan pengetahuannya itu adalah Zat-Nya
bukan sifatnya, Tuhan Maha Kuasa dengan kekuasaannya dan kekasaannya itu juga Zat-Nya
bukan sifatnya dan begitu seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu Huzail untuk
menghindari adanya yang kadim selain Tuhan, karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti
sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifatnya itu kadim ini akan membawa kepada
kemusyrikan.
3. Al-Jubba'i
Al-Jubba'I adalah guru Abu Hasan al- Asy'ari pendiri aliran Asy'ariah. Pendapatnya yang
masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya
akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat
4. An-Nazzam
Tuhan itu Maha adil, maka ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini pendapatnya
lebih jauh dari gurunya, Al-Allaf. Kalau Al-Allaf mengatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat
zalim kepada hambanya, maka An-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang
mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat
bahwa perbuatan zalim hanya dilakukan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan
5. Al-Jahiz
Dalam tulisan-tulisan Al- Jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau
kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum Mu'tazilah disebut sunnah Allah. Ia
menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh
Pendapatnya tentang kepercayan pada hukum alam dan pendapatnya ini sama dengan pendapat
Al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun sesuatu
yang datang pada benda-benda itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu
dilemparkan ke dalam air maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil
berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi perbuatan dosa besar,akan mendapan
siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu
Al- Mudrar dianggap sebagai pemimpin Mu'tazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya
yang mudah mudah mengkafirkan orang lain.Menurut Syahristani, ia menuduh semua orang
kafir yang mempercayai kekadiman Al-qur'an. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat
Para pengikut Mu’tazilah ini bersepakat bahwa Allah SWT. Itu Maha Esa, tanpa
sesuatupun yang menyerupai-Nya, yang Maha Mendengar, dan Maha Melihat, dan
Diapun tanpa jisim, tanpa bayang-bayang, tanpa bekas, tanpa bentuk, tanpa daging ,
tanpa darah, tanpa karakter, tanpa aksiden, tanpa warna, tanpa rasa, tanpa bau, tanpa
dimensi panjang, tanpa lebar,tanpa dalam, tanpa tanpa unsur tergabung ataupun
terpisah, tanpa gerak, tanpa panas,tanpa dingin, tanpa diam, tanpa terbagi,tanpa
bagian,tanpa anggota, tanpa arah kiri, atau kanan, tanpa depan , belakang, tanpa atas
atau bawah, tanpa ruang atau waktu, tanpa terdekat atau terjahui, tanpa sifat-sifat
makhluk, tanpa permulaan, tanpa kesudahan, tanpa jarak atau hitungan, tanpa
dilahirkan atau melahirkan, tanpa terhalang atau terindra, tanpa tersamakan tanpa
terkena terpengaruh musibah, tanpa berfikir atau terduga, yang Maha terdahulu yang
senantiasa ada, yang Maha Tahu, Yang kuasa, Yang Maha Hidup, yang tidak terlihat,
Yang tidak terdengar, Yang tidak Terbayangkan, yang tidak terpadankan, dan
tertirukan, dan Dia adalah sesuatu yang tidak seperti segenap sesuatu, Yang tahu tetapi
tidak selayaknya orang tahu,Yang kuasa, tidak layaknya orang kuasa, yang hidup tapi
tidak selayaknya hidup, yang kekal dan dahulu sendiri, dan tidak ada tuhan selain Nya,
dan tidak ada sekutu Nya, dan tidak ada pemimpin Nya ataupun pembantuNya, tidak
ada teladan Nya, ataupun tiruan Nya, dalam penciptaan selain Nya, tidak membutuhkan
kebahagiaan dan kelezatan dan tiada kepedihan dan kesaktian menimpa diri Nya, tiada
kesudahan dan kehabisan , tiada lenyap dan tiada sifat lemah dan kurang, dan Dia pun
Ada beberapa ayat al-qur’an yang membantah kesamaan Tuhan dengan makhluk.
Namun demikian, ada juga ayat-ayat yang berkaitan dengan wajah, tangan Tuhan dan
penilaian tentang wajah mereka tanpa berusaha lebih jauh untuk menerangkan apa yang
tentang tahuhid dan lain – lainnya. Sehingga banyak pula pengikut aliran yang lain
seperti halnya aliran Khawarij, Murj’iah, dan Syi’ah yang mengikuti maupun
menyetujui anggapan – anggapan para pengikut Aliran Mu’tazilah ini diikuti ataupun
disetujui mereka.
2. Keadilan Tuhan
Prinsip ini didifinisikan semua perbuatan Allah baik, tidak mungkin Allah
sedangkan orang yang melakukan keburukan berhak mendapat siksa dan ini pasti
Sebagai realisasi dari janji-Nya itu Mu’tazilah berpendapat, tidak ada pengampunan
bagi orang yang berbuat dosa besar tanpa tobat, sebagaimana tidak mungkin orang
yang berbuat baik dihalang-halangi menerima pahala. Dalam hal ini mu’tazilah
berpendapat bahwa Tuhan tidak disebut adil jika ia tidak member pahala kepada orang
yang berbuat baik atau tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Mu’tazilah
mengingkari adanya syafaat dihari kiamat, syafaat bertentangan dengan prinsip janji
dan ancaman.
Didefinisikan bahwa Allah berjanji memberikan Ganjaran / pahala kepada orang yang
taat pada Allah, dan Allah mengancam / menyikasa orang-orang yang durhaka
Ajaran keempat yang disebut posisi tengah menurut Mu’tazilah maksudnya tempat
diantara surge dan neraka.ajaran ini dinilai sangat penting. Dengan ajaran ini, Washil
rela memisahkan diri dari gurungya. Menurut Washil, pelaku dosa besar juga orang
musyrik tidak mukmin dan tidak kafir pula tatapi fasiq. Kefasikan ini berada diantara
Prinsip jalan tengah yang dipegag Mu,tazialah diambil dari Al-qur’an dan Hadits. Ayat
al-qur’an yang dimaksud surat al-isra’ ayat 110, dalil-dalil hadistnya ialah yang artinya
Bahwa pelaku dosa besar ( Muslim ) menduduki dua posisi dan menduduki dua hukum
diantara dua hukum, yaitu Fasiq dia tidak dihukumi kafir, karena kenyataannya masih
beriman pada Allah. Dia tidak dilarang melakukan perkawinan, pewarisan, kubur
secara Muslim, namun tidak bisa dihkumi sebagai Muslim dan Mu’min yang “ baik “
( buruk ).
Ajaran yang terakhir ini secara prinsip tidak berbeda dari pendapat golongan lainnya.
Perbadaanya hanya pada pelaksanaannya, apakah seruan berbuat baik dan larangan
berbuat buruk itu dalakukan dengan lunak atau dengan kekerasan. Mu’tazilah
berpendapat bahwa amar ma’ruf nahyi munkar sebaiknya dilakukan dengan lemah
lembut, walaupun sewaktu-waktu jika diperlukan bias dengan kekerasan. Bagi kaum
Mu’tazialh, orang-orang yang menyalahi pendirian mereka dipandang sesat dan harus
diluruskan.
Pandangan rasional Mu’tazilah dapat dilihat juga dalam uraian mengenai kedudukan
akal dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal yang diperdebatkan oleh aliran-aliran
kalam yaitu :
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkataan Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab (I’tazala) yang artinya “meninggalkan“ atau
“menjauhkan diri“. Mu’tazilah adalah salah satu madzhab Theologi dalam Islam. Kelahiran
Mu’tazilah, oleh lawan-lawannya, biasanya dikaitkannya dengan keluarnya Washil ibn Atha dari
halaqoh GuruNya, Hasan Basri, karena perbedaan tentang status orang Islam yang melakukan dosa
besar.
Diantara Doktrin aliran Mu’tazilah yang dimunculkan oleh mereka adalah mengenai kalam
Mu’tazilah, yang dirumuskan dalam 5 (lima) prinsip pokok yang disebut “al – Ushul al –
Khamsah“ yaitu:
1. Tauhid
2. Keadilan Tuhan
5. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar (perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat)
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/35340136/Aliran_Mu_tazilah.docx
Muhammad Idris. 02 Oktober 2018. Lebih Memahami Tentang Aliran Mu’tadzilah. Diperoleh 13
Oktober 2019
https://www.kompasiana.com/muhammad10511/5bb2f273677ffb3d9b7977a7/lebih-memahami-
tentang-aliran-mu-tazilah