Anda di halaman 1dari 30

SEJARAH MUNCUL DAN BERKEMBANGNYA ALIRAN

AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH (ASWAJA)

Dosen Pengampu: Dr. Budimansyah, M. Kom.I

Disusun Oleh Kelompok 8 :

1. Nadia Salsa Bila Rahmadani (2351030074)


2. Fariel Raka Juang (2351030162)
3. Khaidar Haq (2351030182)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN

TAHUN AKADEMIK 2024/1445 H


KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan izin-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu guna memenuhi
tugas kelompok untuk mata kuliah Tauhid/Ilmu Kalam berjudul Sejarah muncul dan
berkembangnya aliran ahlussunnah wal jama’ah (aswaja) . Kami Mengucapkan
Terima kasih Kepada Bapak Dr. Budimansyah, M. Kom.I . Selaku Dosen Pengampu
Mata Kuliah Tauhid/Ilmu Kalam atas bimbingannya sehingga kami dapat
menyelesaikan Makalah ini. Dan kepada pihak-pihak yang telah memberikan ide
maupun materi dalam menyelesaikan makalah ini. Kami sangat berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat sertapengetahuan bagi semua pembaca.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah


ini, baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman kami. Maka dari itu kami mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, 14 Maret 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................1
A. Latar Belakang ..............................................................................................................1
B. Rumusan masalah .........................................................................................................3
C. Tujuan penulisan ...........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................4
A. Apa dan Siapa Ahlu Sunnah itu ................................................................................4
B. Tahapan-tahapan perkembangan faham Ahlu Sunnah wal Jamaah ...................11
C. Pemikiran dan Doktin-doktrin Ahlu Sunnah wal Jamaah ....................................18
D. Dasar-Dasar Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah ....................................................20
BAB III PENUTUP ..............................................................................................................26
A. Kesimpulan ...............................................................................................................26
B. Saran .........................................................................................................................26
Daftar Pustaka .................................................................................................................27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Pada


perkembangannya agama ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan,
dari wilayah yang tandus dengan kejahilan yang dilakukan oleh para orang kafir
Quraisy, agama Islam datang dengan kesejukan oase tauhid, meskipun pada
awalnya dakwah yang dibawa Nabi Muhammad SAW, mengalami hal yang
menyakitkan mulai dari dakwah yang ditentang oleh kedua pamannya yaitu Abu
Jahal dan Abu Lahab. Tetapi demi memantapkan Dakwah tauhid, Nabi SAW tidak
putus asa, beliau melakukan dakwahnya secara sembunyi-sembunyi dahulu dengan
sasaran dakwah keluarga Nabi SAW, pada perkembangan berikutnya dakwah Nabi
SAW dilakukan dengan terbuka kepada masyarakat Makkah pada umunya, tetapi
kenyataan yang didapatkan Nabi SAW adalah penolakan dari masyarakat Makkah,
lalu Nabi pun hijrah ke berbagai daerah, dan singkatnya hijrah Nabi ini diterima di
kota Yastrib, disana Nabi diterima dengan baik, dan masyarakat Yastrib yang
membantu Nabi SAW, dikenal dengan kaum Ansor, sedangkan umat Nabi SAW,
yang dibawa dari Makkah diberi nama kaum Muhajirin, pada perkembangan
selanjutnya kota Yastrib diberi nama kota Madinah. Di kota Madinah Nabi SAW
membentuk sistem pemerintahan, pendidikan serta dakwah yang dilakukan terus
menerus di kota sekitar Madinah, sehingga membuat kaum kafir Quraisy menjadi
benci dan marah sehingga terjadilah penyerangan-penyerangan yang dilakukan
kaum Quraisy, tetapi Allah tetap menolong Nabi SAW dan umatnya.

Pada waktu yang ditentukan Nabi dan para umat Islam dapat menaklukan
kota Makkah, yang dikuasai oleh kaum Quraisy dengan cara menaklukan secara
damai, ketika waktu yang ditentukan Allah untuk kewafatan Nabi SAW, umat Islam
sangat merasa kehilangan hal ini dikarenakan manusia yang mereka cintai
meninggal dunia, setelah wafatnya Nabi SAW, masyarakat Islam bimbang ketika
menentukan siapa yang berhak menjadi pengganti Nabi menjadi kepala negara,

1
setelah melakukan musyawarah para shohabat Nabi menentukan bahwa Abu Bakar
yang berhak menjadi kepala negara, pada saat itu banyak sekali umat Islam yang
menjadi murtad atau keluar dari Islam, hal itu membuat Abu Bakar memerangi
mereka yang murtad. Bahkan ada pula seorang yang mengaku sebagai Nabi
bernama Musailamah. Namun, karena kuatnya umat Islam pada masa itu, akhirnya
berhasil ditumpas.

Setelah kematian Abu Bakar, Shahabat Nabi mengangkat Umar Ibn khattab
menjadi kepala negara di tangan Umar Ibn Khattab, umat muslim berhasil merebut
Baitul Maqdis atau Masjid Al Aqhsa. Umat Islam menjadi lebih makmur ketika
masa pemerintahan khalifah Usman Ibn Affan yang mendirikan berbagai sistem
pertanian dan juga keuangan yang baik, tetapi hal tersebut menjadi bumerang ketika
banyak sanak saudara Usman Ibn Affan menjadi pemuka, kecemburan itu menjadi
puncaknya ketika ada terjadi pembunuhan yang menimpa khalifah Usman. Ali ibn
Abi Thalib pun diangkat menjadi khalifah. Khalifah Ali dituntut mencari siapa
pembunuh Usman ibn Affan, karena pergolakan politik yang hebat dan fitnah yang
terjadi pada masa Ali ibn Abi Thalib, terjadilah kekacauan karena Muawiyah Ibn
Abi Sufyan juga mengangakat dirinya menjadi khalifah, dan Ali pun menyerahkan
kepemimpinan kepada Muawiyah, para pendukung setia Khalifah Ali pun membuat
kelompok yang dinamakan syi’ah sedangkan kelompok yang tidak puas dengan Ali
maupun Muawiyah mendirikan sekte sendiri yang dinamakan Khawarij.
Pergolakan politik dan fitnah itu pun melebar menjadi persoalan aqidah dengan
muculnya berbagai aliran atau sekte-sekte pemikiran dalam Islam.

Lalu, dalam perkembangan selanjutnya mulailah bermunculan sekte – sekte


seperti Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, dan Mu’tazilah. Mereka sama – sama
memiliki dasar dan pedoman yang sama dalam pendirian sektenya, yaitu berupa Al-
Qur’an dan Hadits. Lalu, di era kemunduran Mu’tazilah mulailah timbul gagasan
untuk mengambil jalan moderat oleh seorang mantan Mu’tazilah bernama Abu
Hasan Al Asy’ari yang memantapkan ajarannya yang masyhur dengan nama Ahlu
Sunnah wal Jamaah. Dalam perkembangan saat ini pun banyak sekte yang mengaku
sebagai aliran Islam yang sebenarnya atau banyak yang mengaku sebagai pengikut.

2
B. Rumusan masalah
1. Apa dan Siapa Ahlu Sunnah wal Jamaah ?
2. Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan Ahlu Sunnah wal Jamaah ?
3. Apa saja ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah?
4. Apakah dasar-dasar pemikiran Ahlu Sunnah wal Jamaah?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui Apa dan Siapakah Ahlusunnah Wal Jamaah
2. Untuk mengetahui Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan Ahlu Sunnah
wal Jamaah
3. Untuk mengetahui . Apa saja ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah
4. Untuk mengetahui Apakah dasar-dasar pemikiran Ahlu Sunnah wal Jamaah

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Apa dan Siapa Ahlu Sunnah itu

Secara etimologis, ada tiga kata untuk mengetahui ta’rif Ahl al-Sunnah wa al-
Jama’ah. Pertama, Kata Ahl, dapat berarti pemeluk aliran1 atau pengikut
madhhab.2 Untuk arti tersebut, kata Ahl berfungsi sebagai badal nisbah, karena
dikaitkan dengan kata al-Sunnah yang berarti orang-orang yang berfaham Sunni(al-
Sunniyah).3 Kedua, kata al-Sunnah di samping memiliki arti al-Hadith (ucapan,
cerita), ia juga bersinonim dengan kata al-Sirah (sejarah) dan al-Tariqah (jalan,
cerita, metode), al-Tabi’ah (kebiasaan), dan al-shari’ah (syariat).

Dari situ, maka al-Sunnah bisa diartikan sebagai jalan nabi dan para
shohabat (generasi salaf al- salih). Ketiga, kata al-Jama’ah berarti sekumpulan
orang yang memiliki tujuan.4 Kata ini biasanya diidentikkan dengan penerimaan
terhadap Ijma’ al-Shahabah (consensus sahabat nabi) yang diakui sebagai salah
satu sumber hukum, sehingga bila kata ini dikaitkan dengan dengan madhab-
madhab dalam Islam, maka ia mengacu kepada arti kelompok Sunni. Hal itu karena
kata al-Jamaah belum dikenal dikalangan orang-orang Khawarij ataupun Rafidah
(Shi’ah). Akan halnya untuk kaum Mu’tazilah, karena mereka tidak menerima
Ijma’ sebagai suatu sumber hukum.5

1
Al-Fairuzabadi, Al-Qamus al-Muklit (Beirut :Muassasah al-Risalah, 1987), 1245
2
Ibrahim Anis, Al-Mu’jam al-Wasit, Vol.I (t.t.: Mujma’ al-Lughah, t.th), 31.
3
Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, Vol.IV (Beirut: Dar al-Kitab al ‘Arabi, 1953), 96.
4
Ibrahim Anis, Op.Cit., 135.
5
Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah wa Al- Jama’ah
(Surabaya : Khalista, 2010), 32.

4
Al Qur’an tidak memberikan pengertian secara langsung (harfiyah) untuk
kata al-Sunnah dan al-Jamaah, seperti halnya yang menjadi pengertian popular
tentang dua kata tersebut. Dalam Al-Qur’an memang terdapat kata al-Sunnah di
banyak tempat, akan tetapi penyebutannya menunjukkan pengertian ketetapan
Allah bagi pola hidup manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Demikian
halnya dengan kata al-Jama’ah, tidak dijumpai dalam al-Qur’an sekalipun memang
bayak kata derivasinya, seperti jami’an, yajma’un, jami’un, dan lain-lain dengan
pengertian yang beragam.6

Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah7 golongan mayoritas umat Muhammad.


The nearest equivalent is the phrase Ahl As-Sunna wa-l-Jama’a, ‘the people of
Sunna and the community.8 Yaitu orang-orang yang menjalankan Sunnah dan
berkelompok. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka
dalam dasar-dasar aqidah. Merekalah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam: "…maka barang siapa yang menginginkan tempat
lapang di surga hendaklah berpegang teguh pada al Jama’ah; yakni berpegang teguh
pada aqidah al Jama’ah”. (Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim, dan at-Tirmidzi
mengatakan hadits hasan shahih). Setelah tahun 260 H menyebarlah bid’ah
Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya. Maka dua Imam yang agung Abu al Hasan
al Asy’ari (W 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (W 333 H) –semoga Allah
meridlai keduanya- menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini
para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan
dalil-dalil naqli (nash-nash al Qur’an dan al hadits) dan ‘aqli (argumen rasional)
disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah (sesuatu yang
dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah
dan lainnya, sehingga Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada keduanya.
Mereka (Ahlussunnah) akhirnya dikenal dengan nama al Asy’ariyyun (para
pengikut al Asy’ari) dan al Maturidiyyun (para pengikut al Maturidi). Jalan yang

6
Ibid.
7
Darul Fatwa, Aqidah Ahlusunnah wal jamaah. (Bekasi : Syamamah Press, 2003). Hlm. 25
8
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology An Extended Survey. (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1992). Hlm. 59

5
ditempuh oleh al Asy’ari dan al Maturidi dalam pokok-pokok aqidah adalah sama
dan satu. Al Hafizh Murtadla az-Zabidi (W 1205 H) dalam al Ithaf juz II hlm. 6,
mengatakan: “Pasal Kedua: "Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang
dimaksud adalah al Asy’ariyyah dan al Maturidiyyah”. Mereka adalah ratusan juta
ummat Islam (golongan mayoritas). Mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i,
para pengikut madzhab Maliki, para pengikut madzhab Hanafi dan orang-orang
utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al Hanabilah). Sedangkan Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam telah memberitahukan bahwa mayoritas umatnya
tidak akan sesat. Alangkah beruntungnya orang yang senantiasa mengikuti
mereka. Kelompok ini disebut Ahlus Sunnah wal Jama'ah karena pendapat mereka
berpijak pada pendapat-pendapat para sahabat yang mereka terima dari
Rasulullah. Kelompok ini disebut juga kelompok ahli hadits dan ahli fiqih karena
merekalah pendukung-pendukung dari aliran ini. Istilah Ahlus Sunnah wal
Jama'ah mulai dikenal pada saat pemerintahan bani Abbasiah dimana kelompok
Mu'tazilah berkembang pesat, sehingga nama Ahlus Sunnah dirasa harus dipakai
untuk setiap manusia yang berpegang pada Al-Quran dan Sunnah. Dan nama
Mu'tazilah dipakai untuk siapa yang berpegang pada lmu kalam (theologische
dialektik), logika dan rasio.9

Ibnu Hajar al-Haitamiy menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Ahlus


Sunnah wal Jama'ah adalah orang-orang yang mengikuti rumusan yang digagas
oleh Imam Asy'ariy dan Imam Maturidi.10 Pendapat-pendapat mereka :

- Hukum Islam di dasarkan atas Al-Quran dan al-Hadits


- Mengakui Ijmak dan Qiyas sebagai salah satu sumber hukum Islam
- Menetapkan adanya sifat-sifat Allah
- Al-Quran adalah Qodim bukan hadits
- Orang Islam yang berdosa besar tidaklah kafir

9
Dr. Fuad. MF, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, hal :105
10
KH. Muhyiddin Abdushshomad, Fiqih Tradisionalis, hal 14

6
Jadi dari berbagai pendapat dan sumber ini dapat diambil benang merah
bahwa yang dimaksud Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah Umat Islam yang
mengamalkan Sunnah-sunnah Rasul dan merupakan kelompok mayoritas dalam
umat Islam, serta mereka merupakan kelompok moderat yang tidak hanya terpaku
pada rasio seperti halnya Kaum Mu’tazilah, dan juga tidak terlalu Fatality seperti
Jabariyah, namun menempatkan wahyu sebagai sumber utama dan landasan
berpikir serta menjadikan ra’yi atau akal pikiran untuk menguatkan wahyu.

Dari berbagai sumber Ahlu Sunnah berjamaah dikelompokkan menjadi dua


golongan yaitu Ahlu Sunnah wal Jamaah golongan Asy’ariyyah dan Ahlu Sunnah
golongan Maturidiyah. Berikut ini adalah kedua golongan dalam faham Ahlu
Sunnah wal Jamaah.

1. Ahlusunnah Golongan Asy’ariyah

Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan


kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali
bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin
Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang
sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada
namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab
Asy’ariyah. Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874
M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936
M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab
Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-
Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah. Setelah ayahnya
meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah
seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah
dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai
metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah
kelompok Muktazilah. Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah
akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh
sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa
7
dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah.
Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara
dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah
(kemaslahatan). Para ahli sepakat bahwa Al-Asy’ari keluar dari
Mu’tazilah tepat pada bulan Ramadhan tahun 280 H. / 912 atau 300 H.
/ 915 saat usianya menginjak 40 tahun.11 Aliran ini diikutinya terus
ampai berusia 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk
mengarang buku-buku kemuktazilahan. namun pada tahun 912 dia
mengumumkan keluar dari paham Mu'tazilah, dan mendirikan teologi
baru yang kemudian dikenal sebagai Asy'ariah.Ketika mencapai usia
40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian pergi
ke Masjid Basrah. Di depan banyak orang ia menyatakan bahwa ia mula-
mula mengatakan bahwa Quran adalah makhluk; Allah Swt tidak dapat
dilihat mata kepala; perbuatan buruk adalah manusia sendiri yang
memperbuatnya (semua pendapat aliran Muktazilah). Kemudian ia
mengatakan: "saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut;
saya harus menolak paham-paham orang Muktazilah dan menunjukkan
keburukan- keburukan dan kelemahan-kelemahanya".12

Murid-Murid Al-Asy’ari :
1. Al-Imam ibn Mujahid (w. 370 H/980 M)
2. Al-Imam Abu Zaid al-Mawarzi (301-371 H/913-982 M)
3. Al-Imam Ibn al-Dhabbi (276-371 H/890-982 M)
4. Al-Hafizh Abu Bakar al-Ismaili (277-371 H/890-982 M)
5. Al-Imam Abu al-Hasan al-Bahilli
6. Ai-Imam Bundar al-Syrazi al-Sufhi (w. 353H/964 M)
7. Al-Imam Ali bin Mahdi al-Thabari

11
Alumni Madrasah Aliyah Hidayatul Mubtadien, Aliran-aliran Teologi Islam, hal. 229
12
Hanafi Ahmad: "Teologi Islam (Ilmu Kalam)", hal 65-77,2001, Penerbit Bulan Bintang

8
2. Ahlusunnah Golongan Maturidiyah

Aliran Maturidiyah lahir di Samarkand pada pertengahan abad


IX M. Pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad Ibnu Muhammad
ibn Mahmud Al-Maturidi.13 Maturidiyah semasa hidupnya dengan
Asy’ary, hanya dia hidup di Samarkand sedangkan Asy’ary hidup di
Basrah. Asy’ary adalah pengikut Syafii dan Maturidy pengikut
Mazhab Hanafy. Karena itu kebanyakan pengikut Asy’ary adalah
orang-orang Syafiiyyah, sedangpengikut pengikut Maturidy adalah
orang-orang Hanafiah. Maturidiyah muncul sebagai reaksi terhadap
pemikiran Mu’tazilah. Reaksi ini timbul karena adanya perbedaan
pendapat antara aliran Mu’tazilah dan aliran Maturidiyah
diantaranya, yaitu :
Maturidiyah berpendapat bahwa kewajiban megenai Allah
mungkin dapat diketahui oleh akal. Dalam hal ini, Maturidiyah tidak
menggunakan tern wajib seperti yang digunakan oleh Mu’tazilah.
Sementara Asy’ariyyah berpendapat kewajiban mengetahui ‘tidak
mungkin’ melalui akal. berdasarkan prinsip pendiri aliran
Maturidiyah mengenai penafsiran Al-Qur’an yaitu kewajiban
melakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran
Al-Qur’an. Dalam menfsirkan Al-Qur’an al-Maturidi
membawa ayat-ayat yang mutasyabih (samar maknanya) pada
makna yang muhkam (terang dan jelas pengertiannya). Ia
menta’wilkan yang muhtasyabih berdasarkan pengertian yang
ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang mikmin tidak
mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka bersikap
menyerah adalah lebih selamat.

13
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia, 1998,) hlm. 189.

9
Aliran Maturidiyah terbagi lagi menjadi dua, yaitu :

a. Aliran Samarkand

Yang menjadi golongan ini dalah pengikut Al-Maturidi


sendiri, golongan ini cenderung ke arah paham Mu’tazilah,
sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat Tuhan, Maturidi dan Asy’ary
terdapat kesamaan pandangan, menurut Maturidi, Tuhan mempunyai
sifat-sifat, tuhan mengetahui bukan dengan zatnya, melainkan dengan
pengetahuannya.

Begitu juga tuhan berkuasa dengan zatnya. Mengetahui


perbuatan-perbuatan manusia maturidi sependapat dengan golongan
Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya mewujudkan perbuatan-
perbutannya. Apabila ditinjau dari sini, Maturidi berpaham Qadariyah.
Maturidi menolak paham-paham Mu’tazilah, antara lain Maturidiyah
tidak sepaham mengenai pendapat mu’tazilah yang mengatakan
bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Aliran Maturidi juga sepaham dengan
Mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa janji dan ancaman
Tuhan, kelak pasti terjadi. Demikian pula masalah antropomorphisme.
Dimana maturidi berpendapat bahwa tangan wajah tuhan, dan
sebagainya seperti pengambaran al-qur’an. Mesti diberi arti kiasan
(majazi). Dalam hal ini. Maturidi bertolak belakang dengan pendapat
Asy’ary yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menggambarkan
Tuhan mempunyai bentuk jasmani tak dapat diberi interpretasi
(ditakwilkan).

b. Aliran Bukhara
Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-yusr Muhammad Al-
Bazdawi. “Abu-l-Yusf al-Pzdawi (c.1030-1100) belonged to a family of
scholars, his great-grandfather having been a pupil of Al-Maturidi. He
probably spent most of his life in Bukhara, but was qadi of Samarqand
for a period round about 1088. In his book, Usul ad-din, ‘the principles
of religion’, he discusses 96 points of doctrine, giving the Hanafite-

10
Maturidite position on each, and then divergent views and refustations
of these. The views are those of Mu’tazilities and other theologians of
the ‘classical’ period prior to al-Ash’ari, together with those of Al-
Ash’ari himself, the Ash’arites, the Karramites and the ‘philosophers’.
In the case of these three groups no individual names are mentioned. It
is oteworthy that the ‘philosophers’ are mentioned and argured
against, but al-Ghazali would doubtless have found the arguments
unsatisfactory. A pupil of his, Najm-Ad-Din Abu Hafs an-Nasafi (1068-
1142) , composed a short creed, Al-‘Aqaid, which has been the subject
of many commentaries and supercommentaries.14 Dia merupakan
pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam
pemikirannya. Buyut Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi.
Dari orang tuanya, Al-Bazdawi dapat menerima ajaran aturidi. Dengan
demikian yang di maksud golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut
Al-Bazdawi di dalam aliran Al-maturidiyah, yang mempunyai pendapat
lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al-asy’ary. Namun walaupun
sebagai aliranMmaturidiyah. Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham
dengan Maturidi. Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagian
umat Islam yang bermazhab Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran
Maturidiya sampai sekarang masih hidup dan berkembang dikalangan
umat Islam.

B. Tahapan-tahapan perkembangan faham Ahlu Sunnah wal


Jamaah
Pada masa Rasulullah SAW masih hidup, istilah Aswaja sudah
pernah ada tetapi tidak menunjuk pada kelompok tertentu atau aliran
tertentu. Yang dimaksud dengan Ahlussunah wal Jama’ah adalah orang-
orang Islam secara keseluruhan. Ada sebuah hadits yang mungkin perlu
dikutipkan telebih dahulu:

14
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology An Extended Survey(Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1992). Hlm. 105

11
‫ ﻗﺎﻟﻮا‬،‫إن ﺑﻨﻲ إﺳﺮاﺋﯿﻞ ﺗﻔﺘﺮق ﻋﻠﻰ ﺛﻨﺘﯿﻦ وﺳﺒﻌﯿﻦ ﻣﻠﺔ وﺳﺘﻔﺘﺮق أﻣﺘﻲ ﻋﻠﻰ ﺛﻼث وﺳﺒﻌﯿﻦ ﻣﻠﺔ ﻛﻠﮭﻢ ﻓﻲ اﻟﻨﺎر إﻻ ﻣﻠﺔ واﺣﺪة‬
‫ﻣﻦ ھﻲ ﯾﺎرﺳﻮل ﷲ‬:‫ﻗﺎل ﻣﺎ اﻧﺎ ﻋﻠﯿﮫ‬
‫وأﺻﺤﺎﺑﻲ‬

Artinya : Rasulullah SAW bersabda: “ Sesungguhnya bani Israil akan


terpecah menjadi 70 golongan dan ummatku terpecah menjadi 73 golongan dan
semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Para Shohabat bertanya : Siapa
yang satu golongan itu? Rasulullah SAW. menjawab : yaitu golongan dimana Aku
dan Shahabatku berada. Mengenai tahapan-tahapan aliran Ahlu Sunnah wal
Jamaah, bila kita tinjau dari periodisasinya, maka dapat dibagi menjadi tiga
periode, yaitu periode Proto Sunnisme, Konsolidasi Sunnisme, dan Pelembagaan
Sunnisme.

1. Proto Sunnisme15 :

Ditengah-tengah polarisasi dan pertentangan


antarkelompok itu, terdapat sejumlah sahabat nabi yang
mencoba menghindarkan diri dan kemudian melakukan gerakan-
gerakan kultural dan menekuni bidang keilmuan dan keagamaan.
Mereka Antara lain adalah Umar bin Abbas, Ibnu Mas’ud, Dan
Lain-lain. Kegiatan serupa juga dikembangkan oleh generasi
tabi’in yang dipelopori oleh Hasan Al- Basri (w. 110/728 H)
bersama para tabi’in lainnya. Arus baru inilah yang oleh para
peneliti disebut Proto Sunnism16 atau yang oleh Marshall G.S.
Hodgson disebut Jama’I e Sunni.17
Dari kegiatan mereka inilah kemudian lahir
sekelompok muhaddithun (para ahli hadits), fuqaha, dan
mufassirun. Termasuk di dalam kelompok ini adalah empat

15
Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah wa Al- Jama’ah
(Surabaya : Khalista, 2010), 44.
16
Muhammad Qasim Zaman, Religion and Politics under the Early ‘Abbasids : The Emergence of the Proto-
Sunni Elite (Leiden :Brill Academic Publisher, incorporated, t.t).
17
Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 1 (Chicago: chicago University Press, 1971), 267-
268

12
imam madhab, yakni Abu Hanifah, Malik bin Annas,
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, dan Ahmad bin Muhammad
bin Hambal. Mereka menghasilkan banyak sekali karya. Selain
pada spesialisasi mereka, masin-masing juga menulis ‘Ilm
Kalam´ untuk memberikan sanggahan argumentative terhadap
pendapat-pendapat yang dinilai memiliki kecenderungan
mengabaikan sunnah Nabi dan para sahabat dalam
menginterpretasikan ayat-ayat Al- Qur’an mengenai persoalan-
persoalan pokok agama (al-Usul al-Din). Golongan yang
mengikuti pola inila yang kemudian dikenal dengan sebutan
Ahlu Sunnah.
Secara metodologis, keberadaan Ahlu Sunnah wal
Jama’ah dalam pengertian Proto Sunnisme dipertegas oleh
Ahmad bin Hambal yang memiliki kredibilitas sebagai Ahlul
Hadith lawan dari Ahlul Kalam. Ia dianggap mempresentasikan
sebuah gerakan pemikiran baru yang disinyalir merupakan
gabungan dari berbagai kelompok besar maupun kecil pada abad
ke-2 sampai abad ke-4 Hijriyah. Paradigma Ahlu Sunnah wal
Jama’ah era ini adalah taqdim al-Nass ‘ala al-‘Aql
(mendahulukan nass dari pada akal). Mereka lebih berpegang
kepada yang ma’thur (tekstual) daripada yang ma’qul´(rasional)
; mendahulukan riwayah (eksistensi, keberadaan teks) daripada
dirayah (substansi, kandungan teks); mengutamakan dalil nass
(Al-naql) daripada nalar (al-‘aql), dan ememahami nass secara
zahir (eksplisit) saja. Demikian, Ahlu Sunnah wal Jamaah
sebelum abad ke-5 Hijriyah masih tertuju atau identic pada Ahlul
Hadits.18
Sepanjang abad ke-4 sampai ke-5 Hijriyah, Ahlu
Sunnah wal Jamaah adalah suatu komuitas Muslim yang secara
ekstrem anti Syiah dan menjadi kelompok oposisi terhadap Bani
‘Abbasiyah pendukung faham Qadiriyah-Mu’tazilah dan Bani

18
Achmad Muhibbin Zuhri, Op.Cit. hlm. 46.

13
Buwaih yang berfaham Syi’ah. Pada era itu, kelompok Sunni
ahlul Hadits ini mengadakan perlawanan bersenjata anti Syi’ah,
Mu’tazilah, dan Mutakallimun (para teolog), termasuk Al
Ash’ari dan Asy’ariyah.
Sekilas, bila kita amati, terjadi keganjilan pada
peristiwa ini yaitu terjadinya pergolakan Antara pendukung
Imam Ahmad bin Hambal dengan para pendukung Asy’ariyah.
Padahal, dalam perkembangan selanjutnya kedua kelompok ini
diidentifikasikan sebagai bagian dari Ahlu Sunnah wal
Jamaah.Ironinya, pada masa itu, kedua belah pihak itu sampai
saling mengkafirkan.19 Hal ini terjadi karena kehadiran Al
Asy’ari diwarnai dengan upaya rasionalisasi
terhadap teologi Sunni yang sebelumnya diwakili oleh ahli ahlul
Hadits. Kritiknya terhadap kalangan Hanabilah sebagai “bodoh”
–karena mereka agak fanatik dan tidak mau menggunakan ta’wil
(interpretasi), membuat mereka marah, dan terjadilah
ketegangan.
Di pihak pemikiran teologi Asy’ariyah memang
memiliki banyak pendukung. Teologi Asy’ariyah mengalamai
penyempurnaan oleh Al-Maturidi, Al-Baqilani, dan Al-Juwayni
atau Imam Haramain. Akan tetapi, kelompok ini tidak cukup kuat
untuk bertahan ketika harus menghadapi arus besar Hanabilah
yang pada waktu itu didukung oleh kekuatan penguasa khalifah
Al-Qa’im selama paruh pertama abad ke-5 Hijriyah. Teologi
Asy’ari dan Al-Maturidi baru mengalami perkembangannya
pada masa Al-Ghazali pada akhir abad ke-5 Hijriyah, karena
mendapat dukungan tidak langsung dari wazir Nizamul Muluk.

19
Ibid. hlm. 47

14
2. Konsolidasi Sunnisme

Dalam wilayah teologi, Ahlu Sunnah wal Jamaah telah


menemukan bentuknya yang lebuh sempurna oleh hadirnya Abu
Hasan Al-Asy’ari. Ahlusunah wal Jamaah pasca Asy’ari ini telah
mengalamai rasionalisasi dari pola pemahaman para Ahlul
Hadits. Mengapa bisa dikatakan sempurna karena saat itu Aliran
ini mampu menjawab persoalah teologis yang sedang
berkembang. Masdar Farid Mas’udi menyebit masa ini sebagai
“masa konsolidasi doktrin Sunisme”.20 Corak moderat di dalam
menyikapi persoalan-persoalan teologi, kemudian dijadikan
acuan pemikiran Ahlu Sunnah wal Jamaah berikutnya. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa Ahlu Sunah wal Jamaah
sebagai symbol sosial keagamaan baru dapat terkonsolidasi pada
masa Al- Asy’ari.
Meskipun teologi Asy’ariyah dibangun dari
rasionalisasi pola tekstual kaum Ahlul Hadits, namun ia tetap
menyatakan posisinya
sebagai pelanjut tradisi Ahlu Sunnah wal Jamaah Ahmad bin
Hambal. Secara tegas, Al-Asy;ari menulis dalam kiabnya al-
Ibanah ‘an Usul al- Diniyyah:

Ajaran dan keyakinan Agama yang kami anut adalah


sebagai berikut : berpegang teguh pada Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi Muhammad, serta ajaran para shabat, tabi’in,
dan apra ahli hadits. Semua hal itu kami pegangi dan kami
jadikan sandaran, termasuk ajaran-ajaran yang
disampaikan Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal. Semoga Allah meberkatina…21

20
Masdar Farid Mas’udi, “ NU&Teologi Asy’ari, Kajian Melalui al-Ibanah an Ushul al-Diniyah”, dalam
Pesantren, No.4, Vol. III (Jakarta: P3M, 1996), 87.

21
Abu Hasan Ali Al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Usul al-Dinniyah (Kairo: Dar al-Anshar, 1977), 8-9.

15
Pernyataan al Asy’ari tersebut menunjukkan posisi
pandangan teologisnya untuk memoderasi pandangan orthodox
Ahlul Hadits dan pandangan rasionalis Mu’tazilah. Di satu sisi
Al-Asy’ari ingin tetap mempertahankan pijakan kakinya pada
Ahlu Sunnah wal Jamaah dalam kerangka Ahlul Haditsm
sementara itu di sisi lain ia ingin melangkah ke kalam rasionalis
Mu’tazilah.

3. Pelembagaan Sunnisme

Perkembangan Ahlu Sunah wal Jamaah berikutnya


ditandai dengan mulai terjalinnya hhubungan simbiosis
mutualisme antar tokoh faham Aswaja dengan para penguasa.
Jika pada masa Asy’ari mereka selalu beroposisi terhadap
penguasa, maka tidak demikian dengan keberadaan Ahlu
Sunnah wal Jamaah di era berikutnya. Ahlu Sunnah wal Jamaah
mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Terutama pada masa
pemerintahan Al-Qadir (w.422 H/1031 M) dari Dinasti
‘Abbasiyah sebagai faham resmi negara.22 Penegasan ini
tertuang dalam Maklumat atau Deklarasi Al-Qadir (al-Qadir
creed23).
Fenomena ini sangat penting dalam perkembangan
Ahlu Sunnah wal Jamaah, karena diskursus Ahlu Sunnah
wal Jama’ah

menjadi lebih komprehensif. Jika sebelumnya Ahlu Sunnah wal


Jamaah selalu identik dengan teologi, aqidah, atau Kalam, maka
berikutnya berkembang di wilayah fiqh, tasawuf, dan bidang
sosial-politik. Pelembangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam

22
Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah wa Al- Jama’ah
(Surabaya : Khalista, 2010), 49.
23
George Makdisi, “The Sunni Revival”, dalam Islamic Civilization 950-1150 (Papers on Islamic History III),
ed. D.H. Richards (Oxford: Cassirer – The Near East Center University of Pennsylvania, 1973), 164.

16
berbagai bidang itu, tidak bisa dinafikan dari peran dkungan
penguasa.
Pada masa kekhalifahan Al-Qadir, telah terjadi
pelembagaan Ahlu Sunnah wal Jama’ah di bidang Fiqh, yakni
melalui pengakuan terhadapterhadap empat madhab (Hanafi,
Maliki, Hanbali, dan Syafi’i). Kemungkinan besar pengakuan
Al-Qadir terhadap empat madhab itu disebabkan saat itu
madhab-madhab lainnya tidak lagi actual dikarenakan tidak
adanya dukungan luas di kalangan umat Islam.
Al-Qadir pernah meminta kepada empat orang ulama
mewakili empat madhab untuk menyusun pokok-pokok
pemikiran hukum madhabnya masing-masing. Karya al-Mawrdi
yang mewakili madhab Syafi’I pada saat itu memperoleh
penghargaan sebagai karya terbaik, hingga megantarkannya
untuk menduduki jabatan Qadi al- Quddat(hakim agung) dalam
pemerintahan Al-Qadir.24
Dengan demikian, karena kekhalifahan Al-Qadir
hanya mengakui empat madhab di bidang fiqh, sementara ia
sendiri menyatakan Ahlu Sunnah wal Jamaah sebagai faham
resmi negaranya, maka terjadilah pelembagaan Ahlu Sunnah wal
Jama’ah di bidang fiqh. Pelembagaan dalam artian Ahlu Sunnah
wal Jamaah di bidang fiqh adalah mengikuti empat madhab,
sehingga dapat dimaklumi jika pada perkembangan selanjutnya
sampai saat ini, terjadi penisbatan Ahlu Sunnah wal Jamaah di
bidang fiqh terhadap empat madhab.

24
Qamaruddin Khan, Almawardi’s Theory of The State (Lahore: Ba’zam-I Iqbal, t.t.), 1.

17
C. Pemikiran dan Doktin-doktrin Ahlu Sunnah wal Jamaah

Dalam pemikiran Ahlu Sunnah wal Jamaah sebenarnya lebih didominasi


oleh pemikiran Asy’ariay dikarenakan pemikiran al- Maturidiyah sebagian besar
menyempurnakan pemikiran Asy’ariyah. Namun, walaupun demikian, ada
perbedaan di Antara keduanya. Berikut adalah pemikiran Asy’ariyah dan Al-
Maturidiyah :
1. Pemikiran atau Doktrin Aliran Asy’ariyah25:

a. Tuhan dan sifat-sifatnya

Al-Asy’ari mengakui sifat-sifat Tuhan yang sesuai dengan Zat


Tuhan sendiri, dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat
makhluk. Tuhan mendengar, tidak seperti kita mendengar dan
seterusnya.
b. Kebebasan dalam berkehendak (free will)

Al-Asy’ari menyatakan bahwa manusia tidak berkuasa


menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh
(kasb) sesuatu perbuatan.
c. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk

Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah


mengutamakan akal. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan
buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah
mendasarkan pada akal.
d. Qodimnya Al-quran

Al-Asy’ari mengatakan bahwa al quran terdiri atas kata-kata,


huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah
dan karenanyatidak qadim.
e. Melihat Allah

25
Rosihon Ahmad. Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia, 2012). hal 147-150

18
Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi
tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi
manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau
bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia
untuk melihat-Nya.
f. Keadilan

Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena


Ia adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian, jelaslah
bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia
yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa
Allah adalah pemilik mutlak.
g. Kedudukan orang yang berdosa

Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa


adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin
hilang karena dosa selain kufr.

Bila kita cermati, pemikiran Asy’ariah ini memang moderat (tawassut) jika
dibandingkan Mu’tazilah yang lebih mengutamakan rasio dan para ahlul Hadits
(golongan Ahmad bin Hanbal) yang mengutamakan tekstual. Pemikiran-
pemikiran dari Asy’ariyah ini mendapat tanggapan dari beberapa ulama.26

As-Subki dalam Thabaqatnya berkata: "Ketahuilah bahwa Abu al- Hasan


al-Asy'ari tidak membawa ajaran baru atau madzhab baru, beliau hanya
menegaskan kembali madzhab salaf, menghidupkan ajaran-ajaran sahabat
Rasulullah. Penisbatan nama kepadanya karena beliau konsisten dalam berpegang
teguh ajaran salaf, hujjah (argumentasi) yang beliau pakai sebagai landasan
kebenaran aqidahnya juga tidak keluar dari apa yang menjadi hujjah para
pendahulunya, karenanya para pengikutnya kemudian disebut Asy'ariyyah. Abu
al-Hasan al-Asy'ari bukanlah ulama yang pertama kali berbicara tentang
Ahlussunnah wal Jama'ah, ulama-ulama sebelumya juga banyak berbicara tentang

26
Darul fatwa. Firqoh Annajiyah. (Bekasi: Syahamah Press, 2003.) Hlm. 6

19
Ahlussunnah wal Jama'ah. Beliau hanya lebih memperkuat ajaran salaf itu dengan
argumen-argumen yang kuat. Bukankah penduduk kota Madinah banyak
dinisbatkan kepada Imam Malik, dan pengikutnya disebut al Maliki. Ini bukan
berarti Imam Malik membawa ajaran baru yang sama sekali tidak ada pada para
ulama sebelumnya, melainkan karena Imam Malik menjelaskan ajaran-ajaran lama
dengan penjelasan yang lebih rinci dan sistematis, demikian juga yang dilakukan
oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari".

Habib Abdullah ibn Alawi al-Haddad menegaskan bahwa "kelompok yang


benar adalah kelompok Asy'ariyah yang dinisbatkan kepada Imam Asy'ari.
Aqidahnya juga aqidah para sahabat dan tabi'in, aqidah ahlul haqq dalam setiap
masa dan tempat, aqidahnya juga menjadi aqidah kaum sufi sejati. Hal ini
sebagaimana diceritakan oleh Imam Abul Qasim al-Qusyayri. Dan Alhamdulillah
aqidahnya juga menjadi aqidah kami dan saudara-saudara kami dari kalangan
habaib yang dikenal dengan keluarga Abu Alawi, juga aqidah para pendahulu kita.

D. Dasar-Dasar Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah

Prinsip keyakinan yang berhubungan dengan tauhid, syari‟at dan lain-lain


menurut Ahlussunnah wal Jamaah harus dilandasi dengan dalil dan argumentasi
yang bersumber dari al-Qur‟an, al-Hadits, Ijma‟ ulama, dan Qiyas. Sebagaimana
yang dikatakan Imam Ghozali dalam ar-Risalah al-Ladduniyah :

“Ahli nazhar dalam ilmu aqidah ini pertama kali berpegang dengan ayat-ayat
al-Qur‟an, kemudian dengan hadits-hadits Rasul dan terakhir dengan dalil-dalil
rasional dan argumentasi analogis”.
Berikut adalah dasar-dasar yang digunakan Ahlussunnah wal jamaah :27

1. Al-Qur’an
Al-Qur‟an merupakan sumber hukum fiqh utama dan paling agung, yang

27
Ibid hlm 220

20
merupakan hujjah paling agung antara manusia dan Allah SWT, al-Qur‟an juga
merupakan tali yang kuat dan tidak akan putus. Allah SWT berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan
janganlah kamu bercerai-berai”. (QS. Ali Imran:103)
Al-Qur‟an adalah pokok dari semua dalil argumentasi. Sebagaimana
dalam al-Qur‟an: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikan ia kepada Allah (al-Qur‟an) dan Rasul-Nya (al-Hadits).” (QS. An-Nisa‟:
59)
Adapun para ulama terkemuka dalam bidang tafsir al-Qur‟an yang mengikuti
madzhab al-Asy‟ari dan al-Maturidi diantaranya adalah:

 Al-Imam Abu Laits Nashr bin Muhammad al-Samarqandi (w. 393


H/ 1002 M), pengarang tafsir Bahrul Ulum
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi (w. 468 H/ 1076
M) pengarang tafsir al-Basith, al-Wasith, al-Wajiz dan
asbabunnuzul
 Al-Imam al-Hafidh Muhyissunnah Abu Muhammad al-Husain bin
Mas‟udal-Baghawi (433-516 H/ 1041-1122 M) pengarang tafsir
Ma‟alimuttanzil
 Al-Hafidh Ibnu al-Jauzi al-Hanbali, pengarang Zadul Masir fi
Ilmittafsir.
 Al-Imam Abu Muhammad Abdul Haq bin Ghalib bin Abdurrahman
bin Athiyah al-Gharnathi al-Andalusi (481-542 H/ 1088-1148 M)
pengarang al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz.
 Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Maliki al-
Qurthubi (w. 671 H/ 1273 M) pengarang tafsir al-Jami‟ li Ahkamil
Qur‟an.
 Al-Imam Nashiruddin Abu Sa‟ad Abdullah bin Umar al-Syairazi al-
Baidlawi al-Syafi‟I (w. 685 H/ 1286 M) pengarang tafsir
Anwaruttanzil wa Asrarutta‟wil.
 Al-Imam Hafizhuddin Abu al-Barakat Abdullah bin Ahmad bin
Mahmud al-Nasafi al-Hanafi (w. 710 H/ 1310 H) pengarang
Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta‟wil.
 Al-Imam Alauddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Khazin al-
Baghdadi (678-741 H/ 1279-1340 M) pengarang Lubab al-Ta‟wil fi
Ma‟ani al-Tanzil
 Al-Imam Abu Hayyan Muhammad bin Hayyan al-Andalusi (654-
745 H/ 1256-1344 M) pengarang al-Bahr al-Muhith.

21
 Al-Imam al-Hafizh Abu al-Fida‟ Ismail bin Katsir al-Dimasyqi (700-
774 H/ 1301-1373 M) pengarang Tafsir al-Qur‟an al-Adzim.
 Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, pengarang Tafsir al-Jalalain.
 Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib al-
Syirbini (w. 977 H/ 1570 H) pengarang al-Siraj al-Munir.
 Al-Imam Abu al-Su‟ud Muhammad bin Muhammad bin Musthafa al-
Imadi pengarang Irsyad al-Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab al-
Karim.
 Al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin Umar al-Jamal al-Ujaili al-
Syafi‟i(w.1204 H/ 1790 M) pengarang al-Futuhat al-Ilahiyah bi
Taudlihi Tafsir al-Jalalain bi al-Daqaiq al-Khafiyah.
 Al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki (1175-1241 H/
1761-1825 M) pengarang Hasyiah ala Tafsir al-Jalalain.

2. Al-Hadits

Hadits adalah dalil kedua dalam penetapan aqidah-aqidah dalam Islam. Hadits
yang dapat dijadikan dasar adalah hadits yang perawinya disepakati dapat
dipercaya oleh para ulama. Hadits Nabi berfungsi untuk menjelaskan hukum-
hukum al-Qur‟an yang bersifat global dan general. Karena syari‟at islam
diturunkan secara bertahap untuk menunjukkan kasih sayang Allah SWT kepada
hamba-Nya. Bentuk kasih sayang tersebut adalah menjelaskan al- Qur‟an yang
masih global tersebut. Allah berfirman:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Al-Hafidh al-Khatib al-Baghdadi mengatakan dalam kitabnya al-Faqih wa al-


Mutafaqqih:

“Sifat Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan pendapat seorang shahabat


atau tabi‟in. sifat Allah hanya dapat ditetapkan berdasarkan hadits- hadits Nabi
yang marfu‟, yang perawinya disepakati dapat dipercaya. Jadi hadits dha‟if dan
hadits yang perawinya diperselisihkan tidak dapat dijadikan hujjah dalam masalah
ini, sehingga apabila ada sanad yang diperselisihkan, lalu ada hadits yang
menguatkannya maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah.”

Adapun ulama madzhab al-Asy‟ari yang menulis komentar (syarh) terhadap kitab
hadits yang terkemuka adalah:

22
 Al-Hafidh Abu Sulaiman al-Khaththabi al-Busti al-Syafi‟I, pengarang
ma‟alim al-Sunan [Syarh Sunan Abi Dawud]
 Al-Hafidh Abul al-Walid Sulaiman bin Khalaf al-Baji al-
Maliki, pengarang kitab al-Muntaqa fi Syarh al-Muwattha‟.
 Al-Hafidh al-Nawawi al-Syafi‟i, pengarang Syarh Shohih
Muslim.
 Al-Hafidh Taqiyyuddin as-Subki, pengarang Imta‟ al-Asma‟
bima lil ar- Rasul minal Abna‟ wa al-Ahwal wa al-Hafadhah
wa al-Mata‟.
 Al-Hafidh Tajuddin as-Subki, pengarang Jam‟ul Jawami‟
 Al-Hafidh al-„Iroqi, pengarang Takhrij Ahaditsil Ihya‟.
 Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqollani al-Syafi‟i, pengarang Fath
al-Bari Syarh Shohih Bukhori.
 Al-Hafidh Syaikh Islam Abu Yahya Zakaria bin Muhammad al-
Anshari al-Syafi‟i, pengarang kitab Syarh Shohih Muslim.
 Al-Imam Izzuddin ibn Abdissalam, pengarang Qowaidul
Ahkam fi Masholihil Anam
 Al-Imam Mulla Ali bin Sulthan Muhammad al-Qari al-Harawi
al-Hanafi, Pengarang kitab Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat
al-Mashobih.

3. Ijma’ Ulama

Ijma’ adalah konsensus para mujtahid sepeninggal Rasulullah dari masa ke


masa atas satu hukum. Dalil kehujjahan ijma‟ ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad :

“Dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan


mengumpulkan umatku dalam kesesatan. Pertolongan Allah selalu bersama jama‟ah.
Dan barangsiapa yang mengucilkan diri dari jama‟ah, maka ia mengucilkan dirinya ke
neraka.” (HR. Tirmidzi)

Ijma’ ulama yang mengikuti ajaran Ahlul Haqq dapat dijadikan argumentasi
dalam menetapkan aqidah. Dalam hal ini seperti dasar yang melandasi penetapan bahwa
sifat-sifat Allah itu qadim (tidak ada permulaanya) adalah ijma’ ulama yang qoth’i.
Dalam konteks ini Imam al-Subki menulis dalam kitabnya Syarh ‘Aqidah Ibn al-Hajib:

23
“Ketahuilah, sesungguhnya hukum Jauhar dan „aradh adalah baru. Oleh karena
itu, semua unsur-unsur alam adalah baru. Hal ini telah menjadi ijma’ kaum muslimin,
bahkan ijma’ seluruh penganut agama (di luar Islam). Barang siapa yang menyalahi
kesepakatan ini, maka dia dinyatakan kafir, karena telah menyalahi ijma’ yang qoth’i.

4. Qiyas

Qiyas adalah menyamakan masalah baru dengan masalah yang sudah jelas
ketetapan hukumnya dalam agama yang didasarkan pada illat yang menyatukan dua
masalah dalam hukum tersebut. Qiyas yang bisa dibuat hujjah adalah qiyas yang
berlandaskan pada nash, ijma‟. Allah berfirman:

“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang- orang
yang mempunyai wawasan.” (QS. Al-Hasyr: 2)

25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Ahlu


Sunnah wal Jamaah adalah mayoritas umat Islam yang berfahamkan teologi
Asy’ariyyah dan Maturidiyyah dalam ranah Teologi, serta bermadhabkan empat
imam madhab yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali dalam bidang fiqh.
Menurut mayoritas ulama baik salaf maupun kholaf, Ahlu Sunnah wal Jamaah
merupakan golongan yang moderat jika dibandingkan pendahulunya. Sehingga
ajarannya banyak diterima masyarakat hingga saat ini.

Ajaran-ajaran pokok Ahlu Sunnah diantaranya:

 Menetapkan adanya sifat-sifat Allah


 Al-Quran adalah Qodim bukan hadis
 Orang Islam yang berdosa besar tidaklah kafir
 Kewajiban mengetahui Tuhan melalui wahyu
 Allah dapat dilihat di akhirat nanti

Dasar-dasar dari ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah diantaranya :

 Al-Qur’an
 Al-Hadist
 Ijma’
 Qiyas.
B. Saran
Dalam memahami tentang teologi islam kita memang harus benar-benar
bersikap netral agar tidak menimbulkan suatu pemikiran yang negatif terhadap
aliran yang tidak sefaham dengan kita. Aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah dalam
doktrinnya memberikan alternatif jalan tengah untuk menghindari perpecahan
agama dan kehancuran dalam hal akidah. Kita harus bisa memilah-milah mana yang
baik dan yang tidak baik

26
Daftar Pustaka

Ahmad, M. (1998). Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.

Anwar, R. (2012). Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.

Asy'ari, A. H. (1977). al-Ibanah 'an Usul al-Diniyyah. Kairo: Dar al Ansar.

Dahlan, A. R., & Qarib, A. (1996). Aliran Politik dan 'Aqidah dalam Islam. Jakarta:
Logos Publishing House.

Fatwa, D. (2003). Firqoh Annajiyah. Bekasi: Syahamah Press. Gharabah, M.


(1973). Abu Hasan al-Ash'ari. Kairo: Majma' Buhuth al-Islamiyyah.

Hodgson, M. G. (1971). The Venture of Islam (Vol. 1). (A. B. Khoiri, Trans.)
Chicago: Chicago University Press.

Khan, Q. (n.d.). Almawardi's Theory of The State. Lahore: Ba'zam-l Iqbal.


M.A, A. H. (1996). Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: PT. Bulan
Bintang.

Maimoen, M. N. (n.d.). Ahlu Sunnah wal Jamaah Aqidah, Syari'at, Amaliyah.

Mas'udi, M. F. (1996). NU & Teologi Asy'ari (Vol. III). Jakarta: P3M.

Mughni, S. A. (1992). Hanbali Movement from al-Barbahari to Abu Ja'far al


Hashimi. California: University of California.

Nasution, H. (2011). Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.


Jakarta: UI-Press.

Watt, W. M. (1985). Islamic Philosophy and Theology An Extended Survey.


Edinburgh:Edinburgh University Press.

27
Zaman, M. Q. (n.d.). Religion and Politics under The Early 'Abbasids: The
Emergence of the Proto-Sunni Elite. Leiden: Brill Academic Publisher,
Incorporated.

Zuhri, A. M. (2010). Pemikiran KH. M. Hasyim Asy'ari Tentang Ahlu Sunnah wal
Jamaah. Surabaya: Khalista.

28

Anda mungkin juga menyukai