Puji serta syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan izin-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu guna memenuhi
tugas kelompok untuk mata kuliah Tauhid/Ilmu Kalam berjudul Sejarah muncul dan
berkembangnya aliran ahlussunnah wal jama’ah (aswaja) . Kami Mengucapkan
Terima kasih Kepada Bapak Dr. Budimansyah, M. Kom.I . Selaku Dosen Pengampu
Mata Kuliah Tauhid/Ilmu Kalam atas bimbingannya sehingga kami dapat
menyelesaikan Makalah ini. Dan kepada pihak-pihak yang telah memberikan ide
maupun materi dalam menyelesaikan makalah ini. Kami sangat berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat sertapengetahuan bagi semua pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................1
A. Latar Belakang ..............................................................................................................1
B. Rumusan masalah .........................................................................................................3
C. Tujuan penulisan ...........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................4
A. Apa dan Siapa Ahlu Sunnah itu ................................................................................4
B. Tahapan-tahapan perkembangan faham Ahlu Sunnah wal Jamaah ...................11
C. Pemikiran dan Doktin-doktrin Ahlu Sunnah wal Jamaah ....................................18
D. Dasar-Dasar Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah ....................................................20
BAB III PENUTUP ..............................................................................................................26
A. Kesimpulan ...............................................................................................................26
B. Saran .........................................................................................................................26
Daftar Pustaka .................................................................................................................27
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada waktu yang ditentukan Nabi dan para umat Islam dapat menaklukan
kota Makkah, yang dikuasai oleh kaum Quraisy dengan cara menaklukan secara
damai, ketika waktu yang ditentukan Allah untuk kewafatan Nabi SAW, umat Islam
sangat merasa kehilangan hal ini dikarenakan manusia yang mereka cintai
meninggal dunia, setelah wafatnya Nabi SAW, masyarakat Islam bimbang ketika
menentukan siapa yang berhak menjadi pengganti Nabi menjadi kepala negara,
1
setelah melakukan musyawarah para shohabat Nabi menentukan bahwa Abu Bakar
yang berhak menjadi kepala negara, pada saat itu banyak sekali umat Islam yang
menjadi murtad atau keluar dari Islam, hal itu membuat Abu Bakar memerangi
mereka yang murtad. Bahkan ada pula seorang yang mengaku sebagai Nabi
bernama Musailamah. Namun, karena kuatnya umat Islam pada masa itu, akhirnya
berhasil ditumpas.
Setelah kematian Abu Bakar, Shahabat Nabi mengangkat Umar Ibn khattab
menjadi kepala negara di tangan Umar Ibn Khattab, umat muslim berhasil merebut
Baitul Maqdis atau Masjid Al Aqhsa. Umat Islam menjadi lebih makmur ketika
masa pemerintahan khalifah Usman Ibn Affan yang mendirikan berbagai sistem
pertanian dan juga keuangan yang baik, tetapi hal tersebut menjadi bumerang ketika
banyak sanak saudara Usman Ibn Affan menjadi pemuka, kecemburan itu menjadi
puncaknya ketika ada terjadi pembunuhan yang menimpa khalifah Usman. Ali ibn
Abi Thalib pun diangkat menjadi khalifah. Khalifah Ali dituntut mencari siapa
pembunuh Usman ibn Affan, karena pergolakan politik yang hebat dan fitnah yang
terjadi pada masa Ali ibn Abi Thalib, terjadilah kekacauan karena Muawiyah Ibn
Abi Sufyan juga mengangakat dirinya menjadi khalifah, dan Ali pun menyerahkan
kepemimpinan kepada Muawiyah, para pendukung setia Khalifah Ali pun membuat
kelompok yang dinamakan syi’ah sedangkan kelompok yang tidak puas dengan Ali
maupun Muawiyah mendirikan sekte sendiri yang dinamakan Khawarij.
Pergolakan politik dan fitnah itu pun melebar menjadi persoalan aqidah dengan
muculnya berbagai aliran atau sekte-sekte pemikiran dalam Islam.
2
B. Rumusan masalah
1. Apa dan Siapa Ahlu Sunnah wal Jamaah ?
2. Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan Ahlu Sunnah wal Jamaah ?
3. Apa saja ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah?
4. Apakah dasar-dasar pemikiran Ahlu Sunnah wal Jamaah?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui Apa dan Siapakah Ahlusunnah Wal Jamaah
2. Untuk mengetahui Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan Ahlu Sunnah
wal Jamaah
3. Untuk mengetahui . Apa saja ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah
4. Untuk mengetahui Apakah dasar-dasar pemikiran Ahlu Sunnah wal Jamaah
3
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologis, ada tiga kata untuk mengetahui ta’rif Ahl al-Sunnah wa al-
Jama’ah. Pertama, Kata Ahl, dapat berarti pemeluk aliran1 atau pengikut
madhhab.2 Untuk arti tersebut, kata Ahl berfungsi sebagai badal nisbah, karena
dikaitkan dengan kata al-Sunnah yang berarti orang-orang yang berfaham Sunni(al-
Sunniyah).3 Kedua, kata al-Sunnah di samping memiliki arti al-Hadith (ucapan,
cerita), ia juga bersinonim dengan kata al-Sirah (sejarah) dan al-Tariqah (jalan,
cerita, metode), al-Tabi’ah (kebiasaan), dan al-shari’ah (syariat).
Dari situ, maka al-Sunnah bisa diartikan sebagai jalan nabi dan para
shohabat (generasi salaf al- salih). Ketiga, kata al-Jama’ah berarti sekumpulan
orang yang memiliki tujuan.4 Kata ini biasanya diidentikkan dengan penerimaan
terhadap Ijma’ al-Shahabah (consensus sahabat nabi) yang diakui sebagai salah
satu sumber hukum, sehingga bila kata ini dikaitkan dengan dengan madhab-
madhab dalam Islam, maka ia mengacu kepada arti kelompok Sunni. Hal itu karena
kata al-Jamaah belum dikenal dikalangan orang-orang Khawarij ataupun Rafidah
(Shi’ah). Akan halnya untuk kaum Mu’tazilah, karena mereka tidak menerima
Ijma’ sebagai suatu sumber hukum.5
1
Al-Fairuzabadi, Al-Qamus al-Muklit (Beirut :Muassasah al-Risalah, 1987), 1245
2
Ibrahim Anis, Al-Mu’jam al-Wasit, Vol.I (t.t.: Mujma’ al-Lughah, t.th), 31.
3
Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, Vol.IV (Beirut: Dar al-Kitab al ‘Arabi, 1953), 96.
4
Ibrahim Anis, Op.Cit., 135.
5
Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah wa Al- Jama’ah
(Surabaya : Khalista, 2010), 32.
4
Al Qur’an tidak memberikan pengertian secara langsung (harfiyah) untuk
kata al-Sunnah dan al-Jamaah, seperti halnya yang menjadi pengertian popular
tentang dua kata tersebut. Dalam Al-Qur’an memang terdapat kata al-Sunnah di
banyak tempat, akan tetapi penyebutannya menunjukkan pengertian ketetapan
Allah bagi pola hidup manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Demikian
halnya dengan kata al-Jama’ah, tidak dijumpai dalam al-Qur’an sekalipun memang
bayak kata derivasinya, seperti jami’an, yajma’un, jami’un, dan lain-lain dengan
pengertian yang beragam.6
6
Ibid.
7
Darul Fatwa, Aqidah Ahlusunnah wal jamaah. (Bekasi : Syamamah Press, 2003). Hlm. 25
8
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology An Extended Survey. (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1992). Hlm. 59
5
ditempuh oleh al Asy’ari dan al Maturidi dalam pokok-pokok aqidah adalah sama
dan satu. Al Hafizh Murtadla az-Zabidi (W 1205 H) dalam al Ithaf juz II hlm. 6,
mengatakan: “Pasal Kedua: "Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang
dimaksud adalah al Asy’ariyyah dan al Maturidiyyah”. Mereka adalah ratusan juta
ummat Islam (golongan mayoritas). Mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i,
para pengikut madzhab Maliki, para pengikut madzhab Hanafi dan orang-orang
utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al Hanabilah). Sedangkan Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam telah memberitahukan bahwa mayoritas umatnya
tidak akan sesat. Alangkah beruntungnya orang yang senantiasa mengikuti
mereka. Kelompok ini disebut Ahlus Sunnah wal Jama'ah karena pendapat mereka
berpijak pada pendapat-pendapat para sahabat yang mereka terima dari
Rasulullah. Kelompok ini disebut juga kelompok ahli hadits dan ahli fiqih karena
merekalah pendukung-pendukung dari aliran ini. Istilah Ahlus Sunnah wal
Jama'ah mulai dikenal pada saat pemerintahan bani Abbasiah dimana kelompok
Mu'tazilah berkembang pesat, sehingga nama Ahlus Sunnah dirasa harus dipakai
untuk setiap manusia yang berpegang pada Al-Quran dan Sunnah. Dan nama
Mu'tazilah dipakai untuk siapa yang berpegang pada lmu kalam (theologische
dialektik), logika dan rasio.9
9
Dr. Fuad. MF, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, hal :105
10
KH. Muhyiddin Abdushshomad, Fiqih Tradisionalis, hal 14
6
Jadi dari berbagai pendapat dan sumber ini dapat diambil benang merah
bahwa yang dimaksud Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah Umat Islam yang
mengamalkan Sunnah-sunnah Rasul dan merupakan kelompok mayoritas dalam
umat Islam, serta mereka merupakan kelompok moderat yang tidak hanya terpaku
pada rasio seperti halnya Kaum Mu’tazilah, dan juga tidak terlalu Fatality seperti
Jabariyah, namun menempatkan wahyu sebagai sumber utama dan landasan
berpikir serta menjadikan ra’yi atau akal pikiran untuk menguatkan wahyu.
Murid-Murid Al-Asy’ari :
1. Al-Imam ibn Mujahid (w. 370 H/980 M)
2. Al-Imam Abu Zaid al-Mawarzi (301-371 H/913-982 M)
3. Al-Imam Ibn al-Dhabbi (276-371 H/890-982 M)
4. Al-Hafizh Abu Bakar al-Ismaili (277-371 H/890-982 M)
5. Al-Imam Abu al-Hasan al-Bahilli
6. Ai-Imam Bundar al-Syrazi al-Sufhi (w. 353H/964 M)
7. Al-Imam Ali bin Mahdi al-Thabari
11
Alumni Madrasah Aliyah Hidayatul Mubtadien, Aliran-aliran Teologi Islam, hal. 229
12
Hanafi Ahmad: "Teologi Islam (Ilmu Kalam)", hal 65-77,2001, Penerbit Bulan Bintang
8
2. Ahlusunnah Golongan Maturidiyah
13
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia, 1998,) hlm. 189.
9
Aliran Maturidiyah terbagi lagi menjadi dua, yaitu :
a. Aliran Samarkand
b. Aliran Bukhara
Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-yusr Muhammad Al-
Bazdawi. “Abu-l-Yusf al-Pzdawi (c.1030-1100) belonged to a family of
scholars, his great-grandfather having been a pupil of Al-Maturidi. He
probably spent most of his life in Bukhara, but was qadi of Samarqand
for a period round about 1088. In his book, Usul ad-din, ‘the principles
of religion’, he discusses 96 points of doctrine, giving the Hanafite-
10
Maturidite position on each, and then divergent views and refustations
of these. The views are those of Mu’tazilities and other theologians of
the ‘classical’ period prior to al-Ash’ari, together with those of Al-
Ash’ari himself, the Ash’arites, the Karramites and the ‘philosophers’.
In the case of these three groups no individual names are mentioned. It
is oteworthy that the ‘philosophers’ are mentioned and argured
against, but al-Ghazali would doubtless have found the arguments
unsatisfactory. A pupil of his, Najm-Ad-Din Abu Hafs an-Nasafi (1068-
1142) , composed a short creed, Al-‘Aqaid, which has been the subject
of many commentaries and supercommentaries.14 Dia merupakan
pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam
pemikirannya. Buyut Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi.
Dari orang tuanya, Al-Bazdawi dapat menerima ajaran aturidi. Dengan
demikian yang di maksud golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut
Al-Bazdawi di dalam aliran Al-maturidiyah, yang mempunyai pendapat
lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al-asy’ary. Namun walaupun
sebagai aliranMmaturidiyah. Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham
dengan Maturidi. Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagian
umat Islam yang bermazhab Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran
Maturidiya sampai sekarang masih hidup dan berkembang dikalangan
umat Islam.
14
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology An Extended Survey(Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1992). Hlm. 105
11
ﻗﺎﻟﻮا،إن ﺑﻨﻲ إﺳﺮاﺋﯿﻞ ﺗﻔﺘﺮق ﻋﻠﻰ ﺛﻨﺘﯿﻦ وﺳﺒﻌﯿﻦ ﻣﻠﺔ وﺳﺘﻔﺘﺮق أﻣﺘﻲ ﻋﻠﻰ ﺛﻼث وﺳﺒﻌﯿﻦ ﻣﻠﺔ ﻛﻠﮭﻢ ﻓﻲ اﻟﻨﺎر إﻻ ﻣﻠﺔ واﺣﺪة
ﻣﻦ ھﻲ ﯾﺎرﺳﻮل ﷲ:ﻗﺎل ﻣﺎ اﻧﺎ ﻋﻠﯿﮫ
وأﺻﺤﺎﺑﻲ
1. Proto Sunnisme15 :
15
Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah wa Al- Jama’ah
(Surabaya : Khalista, 2010), 44.
16
Muhammad Qasim Zaman, Religion and Politics under the Early ‘Abbasids : The Emergence of the Proto-
Sunni Elite (Leiden :Brill Academic Publisher, incorporated, t.t).
17
Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 1 (Chicago: chicago University Press, 1971), 267-
268
12
imam madhab, yakni Abu Hanifah, Malik bin Annas,
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, dan Ahmad bin Muhammad
bin Hambal. Mereka menghasilkan banyak sekali karya. Selain
pada spesialisasi mereka, masin-masing juga menulis ‘Ilm
Kalam´ untuk memberikan sanggahan argumentative terhadap
pendapat-pendapat yang dinilai memiliki kecenderungan
mengabaikan sunnah Nabi dan para sahabat dalam
menginterpretasikan ayat-ayat Al- Qur’an mengenai persoalan-
persoalan pokok agama (al-Usul al-Din). Golongan yang
mengikuti pola inila yang kemudian dikenal dengan sebutan
Ahlu Sunnah.
Secara metodologis, keberadaan Ahlu Sunnah wal
Jama’ah dalam pengertian Proto Sunnisme dipertegas oleh
Ahmad bin Hambal yang memiliki kredibilitas sebagai Ahlul
Hadith lawan dari Ahlul Kalam. Ia dianggap mempresentasikan
sebuah gerakan pemikiran baru yang disinyalir merupakan
gabungan dari berbagai kelompok besar maupun kecil pada abad
ke-2 sampai abad ke-4 Hijriyah. Paradigma Ahlu Sunnah wal
Jama’ah era ini adalah taqdim al-Nass ‘ala al-‘Aql
(mendahulukan nass dari pada akal). Mereka lebih berpegang
kepada yang ma’thur (tekstual) daripada yang ma’qul´(rasional)
; mendahulukan riwayah (eksistensi, keberadaan teks) daripada
dirayah (substansi, kandungan teks); mengutamakan dalil nass
(Al-naql) daripada nalar (al-‘aql), dan ememahami nass secara
zahir (eksplisit) saja. Demikian, Ahlu Sunnah wal Jamaah
sebelum abad ke-5 Hijriyah masih tertuju atau identic pada Ahlul
Hadits.18
Sepanjang abad ke-4 sampai ke-5 Hijriyah, Ahlu
Sunnah wal Jamaah adalah suatu komuitas Muslim yang secara
ekstrem anti Syiah dan menjadi kelompok oposisi terhadap Bani
‘Abbasiyah pendukung faham Qadiriyah-Mu’tazilah dan Bani
18
Achmad Muhibbin Zuhri, Op.Cit. hlm. 46.
13
Buwaih yang berfaham Syi’ah. Pada era itu, kelompok Sunni
ahlul Hadits ini mengadakan perlawanan bersenjata anti Syi’ah,
Mu’tazilah, dan Mutakallimun (para teolog), termasuk Al
Ash’ari dan Asy’ariyah.
Sekilas, bila kita amati, terjadi keganjilan pada
peristiwa ini yaitu terjadinya pergolakan Antara pendukung
Imam Ahmad bin Hambal dengan para pendukung Asy’ariyah.
Padahal, dalam perkembangan selanjutnya kedua kelompok ini
diidentifikasikan sebagai bagian dari Ahlu Sunnah wal
Jamaah.Ironinya, pada masa itu, kedua belah pihak itu sampai
saling mengkafirkan.19 Hal ini terjadi karena kehadiran Al
Asy’ari diwarnai dengan upaya rasionalisasi
terhadap teologi Sunni yang sebelumnya diwakili oleh ahli ahlul
Hadits. Kritiknya terhadap kalangan Hanabilah sebagai “bodoh”
–karena mereka agak fanatik dan tidak mau menggunakan ta’wil
(interpretasi), membuat mereka marah, dan terjadilah
ketegangan.
Di pihak pemikiran teologi Asy’ariyah memang
memiliki banyak pendukung. Teologi Asy’ariyah mengalamai
penyempurnaan oleh Al-Maturidi, Al-Baqilani, dan Al-Juwayni
atau Imam Haramain. Akan tetapi, kelompok ini tidak cukup kuat
untuk bertahan ketika harus menghadapi arus besar Hanabilah
yang pada waktu itu didukung oleh kekuatan penguasa khalifah
Al-Qa’im selama paruh pertama abad ke-5 Hijriyah. Teologi
Asy’ari dan Al-Maturidi baru mengalami perkembangannya
pada masa Al-Ghazali pada akhir abad ke-5 Hijriyah, karena
mendapat dukungan tidak langsung dari wazir Nizamul Muluk.
19
Ibid. hlm. 47
14
2. Konsolidasi Sunnisme
20
Masdar Farid Mas’udi, “ NU&Teologi Asy’ari, Kajian Melalui al-Ibanah an Ushul al-Diniyah”, dalam
Pesantren, No.4, Vol. III (Jakarta: P3M, 1996), 87.
21
Abu Hasan Ali Al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Usul al-Dinniyah (Kairo: Dar al-Anshar, 1977), 8-9.
15
Pernyataan al Asy’ari tersebut menunjukkan posisi
pandangan teologisnya untuk memoderasi pandangan orthodox
Ahlul Hadits dan pandangan rasionalis Mu’tazilah. Di satu sisi
Al-Asy’ari ingin tetap mempertahankan pijakan kakinya pada
Ahlu Sunnah wal Jamaah dalam kerangka Ahlul Haditsm
sementara itu di sisi lain ia ingin melangkah ke kalam rasionalis
Mu’tazilah.
3. Pelembagaan Sunnisme
22
Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah wa Al- Jama’ah
(Surabaya : Khalista, 2010), 49.
23
George Makdisi, “The Sunni Revival”, dalam Islamic Civilization 950-1150 (Papers on Islamic History III),
ed. D.H. Richards (Oxford: Cassirer – The Near East Center University of Pennsylvania, 1973), 164.
16
berbagai bidang itu, tidak bisa dinafikan dari peran dkungan
penguasa.
Pada masa kekhalifahan Al-Qadir, telah terjadi
pelembagaan Ahlu Sunnah wal Jama’ah di bidang Fiqh, yakni
melalui pengakuan terhadapterhadap empat madhab (Hanafi,
Maliki, Hanbali, dan Syafi’i). Kemungkinan besar pengakuan
Al-Qadir terhadap empat madhab itu disebabkan saat itu
madhab-madhab lainnya tidak lagi actual dikarenakan tidak
adanya dukungan luas di kalangan umat Islam.
Al-Qadir pernah meminta kepada empat orang ulama
mewakili empat madhab untuk menyusun pokok-pokok
pemikiran hukum madhabnya masing-masing. Karya al-Mawrdi
yang mewakili madhab Syafi’I pada saat itu memperoleh
penghargaan sebagai karya terbaik, hingga megantarkannya
untuk menduduki jabatan Qadi al- Quddat(hakim agung) dalam
pemerintahan Al-Qadir.24
Dengan demikian, karena kekhalifahan Al-Qadir
hanya mengakui empat madhab di bidang fiqh, sementara ia
sendiri menyatakan Ahlu Sunnah wal Jamaah sebagai faham
resmi negaranya, maka terjadilah pelembagaan Ahlu Sunnah wal
Jama’ah di bidang fiqh. Pelembagaan dalam artian Ahlu Sunnah
wal Jamaah di bidang fiqh adalah mengikuti empat madhab,
sehingga dapat dimaklumi jika pada perkembangan selanjutnya
sampai saat ini, terjadi penisbatan Ahlu Sunnah wal Jamaah di
bidang fiqh terhadap empat madhab.
24
Qamaruddin Khan, Almawardi’s Theory of The State (Lahore: Ba’zam-I Iqbal, t.t.), 1.
17
C. Pemikiran dan Doktin-doktrin Ahlu Sunnah wal Jamaah
25
Rosihon Ahmad. Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia, 2012). hal 147-150
18
Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi
tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi
manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau
bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia
untuk melihat-Nya.
f. Keadilan
Bila kita cermati, pemikiran Asy’ariah ini memang moderat (tawassut) jika
dibandingkan Mu’tazilah yang lebih mengutamakan rasio dan para ahlul Hadits
(golongan Ahmad bin Hanbal) yang mengutamakan tekstual. Pemikiran-
pemikiran dari Asy’ariyah ini mendapat tanggapan dari beberapa ulama.26
26
Darul fatwa. Firqoh Annajiyah. (Bekasi: Syahamah Press, 2003.) Hlm. 6
19
Ahlussunnah wal Jama'ah. Beliau hanya lebih memperkuat ajaran salaf itu dengan
argumen-argumen yang kuat. Bukankah penduduk kota Madinah banyak
dinisbatkan kepada Imam Malik, dan pengikutnya disebut al Maliki. Ini bukan
berarti Imam Malik membawa ajaran baru yang sama sekali tidak ada pada para
ulama sebelumnya, melainkan karena Imam Malik menjelaskan ajaran-ajaran lama
dengan penjelasan yang lebih rinci dan sistematis, demikian juga yang dilakukan
oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari".
“Ahli nazhar dalam ilmu aqidah ini pertama kali berpegang dengan ayat-ayat
al-Qur‟an, kemudian dengan hadits-hadits Rasul dan terakhir dengan dalil-dalil
rasional dan argumentasi analogis”.
Berikut adalah dasar-dasar yang digunakan Ahlussunnah wal jamaah :27
1. Al-Qur’an
Al-Qur‟an merupakan sumber hukum fiqh utama dan paling agung, yang
27
Ibid hlm 220
20
merupakan hujjah paling agung antara manusia dan Allah SWT, al-Qur‟an juga
merupakan tali yang kuat dan tidak akan putus. Allah SWT berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan
janganlah kamu bercerai-berai”. (QS. Ali Imran:103)
Al-Qur‟an adalah pokok dari semua dalil argumentasi. Sebagaimana
dalam al-Qur‟an: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikan ia kepada Allah (al-Qur‟an) dan Rasul-Nya (al-Hadits).” (QS. An-Nisa‟:
59)
Adapun para ulama terkemuka dalam bidang tafsir al-Qur‟an yang mengikuti
madzhab al-Asy‟ari dan al-Maturidi diantaranya adalah:
21
Al-Imam al-Hafizh Abu al-Fida‟ Ismail bin Katsir al-Dimasyqi (700-
774 H/ 1301-1373 M) pengarang Tafsir al-Qur‟an al-Adzim.
Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, pengarang Tafsir al-Jalalain.
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib al-
Syirbini (w. 977 H/ 1570 H) pengarang al-Siraj al-Munir.
Al-Imam Abu al-Su‟ud Muhammad bin Muhammad bin Musthafa al-
Imadi pengarang Irsyad al-Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab al-
Karim.
Al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin Umar al-Jamal al-Ujaili al-
Syafi‟i(w.1204 H/ 1790 M) pengarang al-Futuhat al-Ilahiyah bi
Taudlihi Tafsir al-Jalalain bi al-Daqaiq al-Khafiyah.
Al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki (1175-1241 H/
1761-1825 M) pengarang Hasyiah ala Tafsir al-Jalalain.
2. Al-Hadits
Hadits adalah dalil kedua dalam penetapan aqidah-aqidah dalam Islam. Hadits
yang dapat dijadikan dasar adalah hadits yang perawinya disepakati dapat
dipercaya oleh para ulama. Hadits Nabi berfungsi untuk menjelaskan hukum-
hukum al-Qur‟an yang bersifat global dan general. Karena syari‟at islam
diturunkan secara bertahap untuk menunjukkan kasih sayang Allah SWT kepada
hamba-Nya. Bentuk kasih sayang tersebut adalah menjelaskan al- Qur‟an yang
masih global tersebut. Allah berfirman:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Adapun ulama madzhab al-Asy‟ari yang menulis komentar (syarh) terhadap kitab
hadits yang terkemuka adalah:
22
Al-Hafidh Abu Sulaiman al-Khaththabi al-Busti al-Syafi‟I, pengarang
ma‟alim al-Sunan [Syarh Sunan Abi Dawud]
Al-Hafidh Abul al-Walid Sulaiman bin Khalaf al-Baji al-
Maliki, pengarang kitab al-Muntaqa fi Syarh al-Muwattha‟.
Al-Hafidh al-Nawawi al-Syafi‟i, pengarang Syarh Shohih
Muslim.
Al-Hafidh Taqiyyuddin as-Subki, pengarang Imta‟ al-Asma‟
bima lil ar- Rasul minal Abna‟ wa al-Ahwal wa al-Hafadhah
wa al-Mata‟.
Al-Hafidh Tajuddin as-Subki, pengarang Jam‟ul Jawami‟
Al-Hafidh al-„Iroqi, pengarang Takhrij Ahaditsil Ihya‟.
Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqollani al-Syafi‟i, pengarang Fath
al-Bari Syarh Shohih Bukhori.
Al-Hafidh Syaikh Islam Abu Yahya Zakaria bin Muhammad al-
Anshari al-Syafi‟i, pengarang kitab Syarh Shohih Muslim.
Al-Imam Izzuddin ibn Abdissalam, pengarang Qowaidul
Ahkam fi Masholihil Anam
Al-Imam Mulla Ali bin Sulthan Muhammad al-Qari al-Harawi
al-Hanafi, Pengarang kitab Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat
al-Mashobih.
3. Ijma’ Ulama
Ijma’ ulama yang mengikuti ajaran Ahlul Haqq dapat dijadikan argumentasi
dalam menetapkan aqidah. Dalam hal ini seperti dasar yang melandasi penetapan bahwa
sifat-sifat Allah itu qadim (tidak ada permulaanya) adalah ijma’ ulama yang qoth’i.
Dalam konteks ini Imam al-Subki menulis dalam kitabnya Syarh ‘Aqidah Ibn al-Hajib:
23
“Ketahuilah, sesungguhnya hukum Jauhar dan „aradh adalah baru. Oleh karena
itu, semua unsur-unsur alam adalah baru. Hal ini telah menjadi ijma’ kaum muslimin,
bahkan ijma’ seluruh penganut agama (di luar Islam). Barang siapa yang menyalahi
kesepakatan ini, maka dia dinyatakan kafir, karena telah menyalahi ijma’ yang qoth’i.
4. Qiyas
Qiyas adalah menyamakan masalah baru dengan masalah yang sudah jelas
ketetapan hukumnya dalam agama yang didasarkan pada illat yang menyatukan dua
masalah dalam hukum tersebut. Qiyas yang bisa dibuat hujjah adalah qiyas yang
berlandaskan pada nash, ijma‟. Allah berfirman:
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang- orang
yang mempunyai wawasan.” (QS. Al-Hasyr: 2)
25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur’an
Al-Hadist
Ijma’
Qiyas.
B. Saran
Dalam memahami tentang teologi islam kita memang harus benar-benar
bersikap netral agar tidak menimbulkan suatu pemikiran yang negatif terhadap
aliran yang tidak sefaham dengan kita. Aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah dalam
doktrinnya memberikan alternatif jalan tengah untuk menghindari perpecahan
agama dan kehancuran dalam hal akidah. Kita harus bisa memilah-milah mana yang
baik dan yang tidak baik
26
Daftar Pustaka
Dahlan, A. R., & Qarib, A. (1996). Aliran Politik dan 'Aqidah dalam Islam. Jakarta:
Logos Publishing House.
Hodgson, M. G. (1971). The Venture of Islam (Vol. 1). (A. B. Khoiri, Trans.)
Chicago: Chicago University Press.
27
Zaman, M. Q. (n.d.). Religion and Politics under The Early 'Abbasids: The
Emergence of the Proto-Sunni Elite. Leiden: Brill Academic Publisher,
Incorporated.
Zuhri, A. M. (2010). Pemikiran KH. M. Hasyim Asy'ari Tentang Ahlu Sunnah wal
Jamaah. Surabaya: Khalista.
28