NAMA KELOMPOK:
1. Novita sari
2. Salsabrina Nanda Saski Utomo (22510100312)
3. Halimatul Aspiah (2251010239)
i
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk
memenuhi tugas kelompok untuk mata akhlak dan ilmu kalam, dengan judul “Sekte khalaf :
ahlussunah wa al-asy’ari; sejarah dan pemikiran”.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak jufri amirallah . selaku dosen pembimbing
mata kuliah akhlak dan ilmu kalam. Beliau yang telah memberikan tugas kepada kami sehingga
kami dapat menulis makalah berjudul “Sekte khalaf : ahlussunah wa al-asy’ari; sejarah dan
pemikiran” dan dapat mempelajari materi tersebut.
Terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi teman-
teman yang membaca makalah ini.
Kelompok 10
ii
DAFTAR ISI
COVER .............................................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 12
B. Saran .................................................................................................................... 12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada waktu yang ditentukan Nabi dan para umat Islam dapat menaklukan kota
Makkah, yang dikuasai oleh kaum Quraisy dengan cara menaklukan secara damai,
ketika waktu yang ditentukan Allah untuk kewafatan Nabi SAW, umat Islam sangat
merasa kehilangan hal ini dikarenakan manusia yang mereka cintai meninggal dunia,
setelah wafatnya Nabi SAW, masyarakat Islam bimbang ketika menentukan siapa yang
berhak menjadi pengganti Nabi menjadi kepala negara, setelah melakukan musyawarah
para shohabat Nabi menentukan bahwa Abu Bakar yang berhak menjadi kepala negara,
pada saat itu banyak sekali umat Islam yang menjadi murtad atau keluar dari Islam, hal
1
itu membuat Abu Bakar memerangi mereka yang murtad. Bahkan ada pula seorang
yang mengaku sebagai Nabi bernama Musailamah. Namun, karena kuatnya umat Islam
pada masa itu, akhirnya berhasil
A. RUMUSAN MASALAH
1. Apa dan Siapa Ahlu Sunnah wal Jamaah ?
2. Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan Ahlu Sunnah wal Jamaah ?
3. Apa saja ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah ?
4. Apakah dasar-dasar pemikiran Ahlu Sunnah wal Jamaah ?
B. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk Mengetahui apa dan siapa Ahli Sunnah Wal Jama’ah
2. Untuk mengetahui tahapan-tahapan perkembangan Ahlu Sunnah wal Jamaah
3. Untuk mengetahui ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah
4. Untuk mengetahui dasar-dasar pemikiran Ahlu Sunnah wal Jamaah
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Ibrahim Anis, Al-Mu’jam al-Wasit, Vol.I (t.t.: Mujma’ al-Lughah, t.th), 31.
2
Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, Vol.IV (Beirut: Dar al-Kitab al ‘Arabi, 1953), 96.
3
Ibid, hal 100
4
Ibrahim Anis, Op.Cit., 135.
5
Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah wa Al Jama’ah (Surabaya :
Khalista, 2010), 32.
3
Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah 6 golongan mayoritas umat Muhammad. The
nearest equivalent is the phrase Ahl As-Sunna wa-l-Jama’a, ‘the people of Sunna and
the community. Yaitu orang-orang yang menjalankan Sunnah dan berkelompok.
Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam dasar-dasar
aqidah. Merekalah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam:
"…maka barang siapa yang menginginkan tempat lapang di surga hendaklah berpegang
teguh pada alJama’ah; yakni berpegang teguh pada aqidah al Jama’ah”. (Hadits ini
dishahihkan oleh al Hakim, dan at-Tirmidzi mengatakan hadits hasan shahih). Setelah
tahun 260 H menyebarlah bid’ah Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya. Maka dua
Imam yang agung Abu al Hasan al Asy’ari (W 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi
(W 333 H) –semoga Allah meridlai keduanya- menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal
Jama’ah yang diyakini para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan
mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al Qur’an dan al hadits) dan ‘aqli (argumen
rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah (sesuatu yang
dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah dan
lainnya, sehingga Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada keduanya. Mereka
(Ahlussunnah) akhirnya dikenal dengan nama al Asy’ariyyun (para pengikut al Asy’ari)
dan al Maturidiyyun (para pengikut al Maturidi). Jalan yang ditempuh oleh al Asy’ari
dan al Maturidi dalam pokok-pokok aqidah adalah sama dan satu. Al Hafizh Murtadla
az-Zabidi (W 1205 H) dalam al Ithaf juz II hlm. 6, mengatakan: “Pasal Kedua: "Jika
dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asy’ariyyah dan
al Maturidiyyah”. Mereka adalah ratusan juta ummat Islam (golongan mayoritas).
Mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, para pengikut madzhab Maliki, para
pengikut madzhab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al
Hanabilah). Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah memberitahukan
bahwa mayoritas umatnya tidak akan sesat. Alangkah beruntungnya orang yang
senantiasa mengikuti mereka. Kelompok ini disebut Ahlus Sunnah wal Jama'ah karena
pendapat mereka berpijak pada pendapat-pendapat para sahabat yang mereka terima
dari Rasulullah. Kelompok ini disebut juga kelompok ahli hadits dan ahli fiqih karena
merekalah pendukung-pendukung dari aliran ini. Istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah
mulai dikenal pada saat pemerintahan bani Abbasiah dimana kelompok Mu'tazilah
berkembang pesat, sehingga nama Ahlus Sunnah dirasa harus dipakai untuk setiap
6
Darul Fatwa, Aqidah Ahlusunnah wal jamaah. (Bekasi : Syamamah Press, 2003). Hlm. 25
4
manusia yang berpegang pada Al-Quran dan Sunnah. Dan nama Mu'tazilah dipakai
untuk siapa yang berpegang pada lmu kalam (theologische dialektik), logika dan rasio.
Dari berbagai sumber Ahlu Sunnah berjamaah dikelompokkan menjadi dua golongan
yaitu Ahlu Sunnah wal Jamaah golongan Asy’ariyyah dan Ahlu Sunnah golongan
Maturidiyah. Berikut ini adalah kedua golongan dalam faham Ahlu Sunnah wal Jamaah
:
5
Asy’ari keluar dari Mu’tazilah tepat pada bulan Ramadhan tahun 280 H. / 912
atau 300 H. / 915 saat usianya 7 menginjak 40 tahun.12 Aliran ini diikutinya
terus ampai berusia 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk
mengarang buku-buku kemuktazilahan. namun pada tahun 912 dia
mengumumkan keluar dari paham Mu'tazilah, dan mendirikan teologi baru
yang kemudian dikenal sebagai Asy'ariah.Ketika mencapai usia 40 tahun ia
bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian pergi ke Masjid Basrah.
Di depan banyak orang ia menyatakan bahwa ia mula-mula mengatakan bahwa
Quran adalah makhluk; Allah Swt tidak dapat dilihat mata kepala; perbuatan
buruk adalah manusia sendiri yang memperbuatnya (semua pendapat aliran
Muktazilah). Kemudian ia mengatakan: "saya tidak lagi memegangi pendapat-
pendapat tersebut; saya harus menolak paham-paham orang Muktazilah dan
menunjukkan keburukan keburukan dan kelemahan-kelemahanya"
Murid-Murid Al-Asy’ari :
7
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia, 1998,) hlm. 189
8
Ahmad Hanafi, Theology Islam, Bulan Bintang : Jakarta, 1996, hlm. 70.
6
adanya perbedaan pendapat antara aliran Mu’tazilah dan aliran Maturidiyah
diantaranya, yaitu :9 Maturidiyah berpendapat bahwa kewajiban megenai Allah
mungkin dapat diketahui oleh akal. Dalam hal ini, Maturidiyah tidak
menggunakan tern wajib seperti yang digunakan oleh Mu’tazilah. Sementara
Asy’ariyyah berpendapat kewajiban mengetahui ‘tidak mungkin’ melalui akal.
9
Suryan A.Jamrah, Studi Ilmu Kalam, Program Pascasarjana UIN Suska Riau dan LSFK2P, Pekanbaru : 2007, hlm.
144.
7
”Siapa yang satu golongan itu? Rasulullah SAW. menjawab : yaitu golongan dimana
Aku dan Shahabatku berada. Mengenai tahapan-tahapan aliran Ahlu Sunnah wal
Jamaah, bila kita tinjau dari periodisasinya, maka dapat dibagi menjadi tiga periode,
yaitu periode Proto Sunnisme, Konsolidasi Sunnisme, dan Pelembagaan Sunnisme.”
10
Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah wa Al Jama’ah (Surabaya :
Khalista, 2010), 44.
8
2) Kebebasan dalam berkehendak (free will) Al-Asy’ari menyatakan bahwa
manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk
memperoleh (kasb) sesuatu perbuatan.
3) Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk Al-Asy’ari mengutamakan wahyu,
sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik
dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkan
pada akal.
4) Qodimnya Al-quran Al-Asy’ari mengatakan bahwa al quran terdiri atas kata-
kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan
karenanyatidak qadim.
5) Melihat Allah Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi
tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah
sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan
kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
6) Keadilan Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Ia adalah
Penguasa Mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan
keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari
visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
7) Kedudukan orang yang berdosa Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang
berbuat dosa adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang
karena dosa selain kufr.
“Ahli nazhar dalam ilmu aqidah ini pertama kali berpegang dengan ayat-ayat
al-Qur‟an, kemudian dengan hadits-hadits Rasul dan terakhir dengan dalil-dalil
rasional dan argumentasi analogis”. Berikut adalah dasar-dasar yang digunakan
Ahlussunnah wal jamaah. Al-Qur’an Al-Qur‟an merupakan sumber hukum fiqh utama
dan paling agung, yang merupakan hujjah paling agung antara manusia dan Allah SWT,
al-Qur‟an juga merupakan tali yang kuat dan tidak akan putus. Allah SWT berfirman:
9
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu
bercerai-berai”. (QS. Ali Imran:103)
1. Al-Qur‟an adalah pokok dari semua dalil argumentasi. Sebagaimana dalam al-
Qur‟an: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikan ia kepada Allah (al-Qur‟an) dan Rasul-Nya (al-Hadits).” (QS. An-
Nisa‟: 59) Adapun para ulama terkemuka dalam bidang tafsir al-Qur‟an yang
mengikuti madzhab al-Asy‟ari dan al-Maturidi diantaranya adalah:
• Al-Imam Abu Laits Nashr bin Muhammad al-Samarqandi (w. 393 H/
1002 M), pengarang tafsir Bahrul Ulum
• Al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi (w. 468 H/ 1076 M)
pengarang tafsir al-Basith, al-Wasith, al-Wajiz dan asbabunnuzul
• Al-Imam al-Hafidh Muhyissunnah Abu Muhammad al-Husain bin
Mas‟ud al-Baghawi (433-516 H/ 1041-1122 M) pengarang tafsir
Ma‟alimuttanzil
• Al-Hafidh Ibnu al-Jauzi al-Hanbali, pengarang Zadul Masir fi
Ilmittafsir.
2. Al-Hadits Hadits adalah dalil kedua dalam penetapan aqidah-aqidah dalam
Islam. Hadits yang dapat dijadikan dasar adalah hadits yang perawinya
disepakati dapat dipercaya oleh para ulama. Hadits Nabi berfungsi untuk
menjelaskan hukum-hukum al-Qur‟an yang bersifat global dan general. Karena
syari‟at islam diturunkan secara bertahap untuk menunjukkan kasih sayang
Allah SWT kepada hamba-Nya. Bentuk kasih sayang tersebut adalah
menjelaskan al Qur‟an yang masih global tersebut. Allah berfirman: “Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah amat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 7) Al-Hafidh al-Khatib al-
Baghdadi mengatakan dalam kitabnya al-Faqih wa al-Mutafaqqih: “Sifat Allah
tidak dapat ditetapkan berdasarkan pendapat seorang shahabat atau tabi‟in. sifat
Allah hanya dapat ditetapkan berdasarkan hadits hadits Nabi yang marfu‟,
yang perawinya disepakati dapat dipercaya. Jadi hadits dha‟if dan hadits yang
perawinya diperselisihkan tidak dapat dijadikan hujjah dalam masalah ini,
sehingga apabila ada sanad yang diperselisihkan, lalu ada hadits yang
menguatkannya maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah.”
10
3. Ijma’ Ulama Ijma’ adalah konsensus para mujtahid sepeninggal Rasulullah dari
masa ke masa atas satu hukum. Dalil kehujjahan ijma‟ ini berdasarkan sabda
Nabi Muhammad : “Dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengumpulkan umatku dalam kesesatan. Pertolongan Allah
selalu bersama jama‟ah. Dan barangsiapa yang mengucilkan diri dari jama‟ah,
maka ia mengucilkan dirinya ke neraka.” (HR. Tirmidzi) Ijma’ ulama yang
mengikuti ajaran Ahlul Haqq dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan
aqidah. Dalam hal ini seperti dasar yang melandasi penetapan bahwa sifat-sifat
Allah itu qadim (tidak ada permulaanya) adalah ijma’ ulama yang qoth’i. Dalam
konteks ini Imam al-Subki menulis dalam kitabnya Syarh ‘Aqidah Ibn al-Hajib:
“Ketahuilah, sesungguhnya hukum Jauhar dan „aradh adalah baru. Oleh karena
itu, semua unsur-unsur alam adalah baru. Hal ini telah menjadi ijma’ kaum
muslimin, bahkan ijma’ seluruh penganut agama (di luar Islam). Barang siapa
yang menyalahi kesepakatan ini, maka dia dinyatakan kafir, karena telah
menyalahi ijma’ yang qoth’i.
4. Qiyas adalah menyamakan masalah baru dengan masalah yang sudah jelas
ketetapan hukumnya dalam agama yang didasarkan pada illat yang menyatukan
dua masalah dalam hukum tersebut. Qiyas yang bisa dibuat hujjah adalah qiyas
yang berlandaskan pada nash, ijma‟. Allah berfirman: “Maka ambillah
(kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang orang yang mempunyai
wawasan.” (QS. Al-Hasyr: 2)
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Ahlu Sunnah wal
Jamaah adalah mayoritas umat Islam yang berfahamkan teologi Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah dalam ranah Teologi, serta bermadhabkan empat imam madhab yaitu
Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali dalam bidang fiqh. Menurut mayoritas ulama baik
salaf maupun kholaf, Ahlu Sunnah wal Jamaah merupakan golongan yang moderat jika
dibandingkan pendahulunya. Sehingga ajarannya banyak diterima masyarakat hingga
saat ini.
• Al-Qur’an
• Al-Hadist
• Ijma’
• Qiyas.
B. Saran
Dalam memahami tentang teologi islam kita memang harus benar-benar
bersikap netral agar tidak menimbulkan suatu pemikiran yang negatif terhadap aliran
yang tidak sefaham dengan kita. Aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah dalam doktrinnya
memberikan alternatif jalan tengah untuk menghindari perpecahan agama dan
kehancuran dalam hal akidah. Kita harus bisa memilah-milah mana yang baik dan yang
tidak baik dari aliran tersebut. Wallahu a’lam bishowab.
12
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, A. R., & Qarib, A. (1996). Aliran Politik dan 'Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos
Publishing House.
Nasution, H. (2011). Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta:
UI-Press
Zaman, M. Q. (n.d.). Religion and Politics under The Early 'Abbasids: The Emergence of
the Proto-Sunni Elite. Leiden: Brill Academic Publisher, Incorporated.
13