Anda di halaman 1dari 15

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

Ilmu Kalam Dr. H. Hasni Noor, S.Ag,


M.Ag
(Aliran Teologi dalam Islam)

AJARAN SALAFI DAN PARA TOKOHNYA

Disusun Oleh:

Kelompok 9
Muhammad Zulfahmi Arief 190101010402
Nur Kamelia 190101010716

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS TERBIYAH DAN KEGURUAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah Subahanahu WaTa'ala yang telah
memberikan petunjuk dan karunia-Nya kepada kami tanpa pertolongan-Nya tentu
kami tidak sanggup untuk menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Sholawat serta
salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wasallam sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar.
Syukur alhamdulillah makalah ini berhasil kami buat walaupun kami sadar masih
banyak kekurangan yang harus diperbaiki maka dari itu kiranya kami berharap
kepada dosen pengampu mata kuliah “Ilmu Kalam (Aliran Teologi dalam Islam)”
untuk bersedia menerima dan mengoreksi makalah kami ini agar lebih baik lagi
kedepannya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas dari dosen
pengampu mata kuliah “Perbandingan Agama” Selain itu makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan mengenai “SEJARAH ILMU PERBANDINGAN
AGAMA” untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
terlibat sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari makalah
ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu pintu kritik dan saran selalu
terbuka demi kebaikan kita bersama.

Banjarmasin, April 2022

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii


DAFTAR ISI.................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Kata Pengantar .................................................................................................... 1
B. Rumusa Masalah ................................................................................................. 1
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya Salafi ................................................................................... 2
B. Ajaran Pokok Salafi ............................................................................................ 6
C. Tokoh-Tokoh Salafi ............................................................................................ 7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 11
B. Saran ................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Kata Pengantar
lmu kalam sebagaimana diketahui membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu
agama. Di dalam ilmu kalam itu terdapat sub bahasan tentang perbandingan antara
aliran-aliran serta ajaran-ajarannya. Dari perbandingan antar aliran ini, kita dapat
mengetahui, menelaah dan membandingkan antar paham aliran satu dengan aliran yang
lain. Sehingga kita memahami maksud dari segala polemik yang ada. Dalam Agama
islam kita semuamengetahu bahwa rukun iman ada enam yakni iman kepada Allah,
iman kepada malaikat- malaikat Allah,iman kepada kitab- kitab Allah, iman kepada
rosul- rosul Allah, iman kepada hari akhir dan iman kepada qodho dan qodhar Allah.
Al-ilah berasal dari bahasa arab yang berarti Tuhan dalam bahasa Indonesia dan God
dalam bahasa inggris. Pada dasarnya fitrah manusia telah mengakui tentang adanya
Tuhan karena adanya perbedaan pendapat satu dengan yang lain, sehingga muncullah
berbagai aliran-aliran yangsangat banyak. Disini kami akan sedikit mengulas tentang
aliran salafiyah dan wahabiyah serta bagaimanaajaran-ajaran yang ada di dalamnya
Di dalam Islam perbedaan telah ada sejak zaman Rasulullah SAW, Namun
setiap perbedaan pendapat dan permaslahan umat yang muncul dapat langsung
diselesaikan melalui beliau. Selanjutnya ketika Rasulullah telah tiada, maka beberapa
perbedaan dikalangan umat Islam ketika itu mulai bermunculan. Mulai dari masalah
pemerintahan sampai akhirnya berujung pada aliran keagamaan dalam islam. Dan salah
satu aliran yang ada dalam islam adalah salafi yaitu suatu aliran yang mengajarkan
syariat secara murni tanpa adanya tambahan dan pengurangan, berdasarkan syariat
yang ada pada generasi Muhammad SAW dan para sahabat, setelah mereka dan orang-
orang setelahnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah munculnya kaum salafi?
2. Apa saja ajaran-ajaran pokok yang dibawakan oleh kaum salafi?
3. Siapa saja tokoh-tokoh penganut ajaran salafi?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah munculnya kaum salafi.
2. Untuk mengetahui ajaran-ajaran pokok yang dibawakan oleh kaum salafi.
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh penganut ajaran salafi.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Munculnya Salafi


Istilah Salafiyah berasal dari akar kata bahasa Arab, salafa-yaslufu-salaf, berarti
mendahului, nenek moyang, leluhur, dan mazhab salaf.1 Istilah ini muncul karena
adanya sabda nabi Muhammad saw: sebaik-baik masa (qurun) adalah masaku,
kemudian yang di belakangnya, kemudian yang di belakangnya lagi. 2 Sabda nabi ini
menjadi pedoman bagi orang-orang yang akan diteladani (generasi salaf). Menurut
Ensiklopedi Dunia Islam Modern, generasi salaf terdiri atas tiga generasi Muslim
pertama. Masa itu membentang tiga abad, abad pertama para sahabat nabi Muhammad
saw (sahabah), yang berakhir dengan Anas ibn Malik (w. 91 H/710 M atau 93 H/712
M); selanjutnya pengikut mereka (tabi’in) (180 H/796 M); dan selanjutnya pengikut
dari pengikut mereka (tabi’ al-tabi’in) (241 H/855 M). Ahmad ibn Hanbal (164-241
H/780-955 M) dianggap sebagai orang terakhir dari generasi salaf.3 Generasi ini dikenal
kaum Muslim selanjutnya karena persahabatan mereka dengan nabi Muhammad saw
dan kedekatan mereka dengan masa hidup nabi. Pemahaman dan praktik Islam mereka
yang murni, serta sumbangan mereka bagi Islam kemudian digunakan aliran salaf
sebagai dasar ajaran mereka yang bertujuan untuk mengembalikan ajaran Islam seperti
yang dilakukan generasi salaf, maka gerakan ini dikenal dengan nama gerakan
Salafiyah.
Usaha menghidupkan jejak generasi salaf mulai terjadi sejak abad ke-4 H/ ke-9
M, di mana pada saat itu kemajuan berpikir sangat pesatnya, dan juga munculnya aliran-
aliran paham baru di kalangan umat Islam, baik dipengaruhi atau tidak oleh ajaran di
luar Islam. Pada abad ini Ahmad ibn Hanbal, pendiri mazhab keempat sunni adalah
pelopornya, ia dikenal dengan perjuangannya melawan doktrin Mu’tazilah tentang
penciptaan Qur’an, seperti tersebut dalam dialognya dengan Is-hak ibn Ibrahim,
gubernur Irak, sebagai berikut: Ishak : apa pendapatmu tentang Qur’an?
Ibn Hanbal : sabda Tuhan
Ishak : apakah ia diciptakan?
Ibn Hanbal : sabda Tuhan, saya tidak dapat mengatakan lebih dari itu
Ishak : apa arti ayat : Maha Mendengar (sama’) dan Maha Melihat (basar) (Ishak
ingin menguji Ibn Hanbal tentang paham antropomorphisme)
Ibn Hanbal : Tuhan mensifatkan diri-Nya dengan kata-kata itu
Ishak : apa artinya?
Ibn Hanbal : tidak tahu, Tuhan adalah sebagaimana Tuhan mensifati diri-Nya.4
Sikap Ibn Hanbal yang dengan keberanian dan tak takut mati mempertahankan
keyakinannya tersebut, membuat Ibn Hanbal mempunyai banyak pengikut di kalangan

1
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Pondok
Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1984), 696
2
Abu Bakar Aceh, Salaf: Islam dalam Masa Murni, (Solo: Ramadhani, 1985), Cet. VI, 28
3
John L. Esposito, Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001), Jilid 5, 104
4
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press,
1986), Cet. IV, 62-63

2
umat Islam yang tak sepaham dengan Mu’tazilah. Paham ini selanjutnya dikenal dengan
Salafiyah klasik.
Pada abad ke-7 H/ ke-13 M, Ibn Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M) dengan
kegigihan dan keberanian yang luar biasa melanjutkan paham salafiyah ini. Mula-mula
dalam pengajianpengajian, dan kemudian dalam tulisan yang tersebar luas dan
menggegerkan ulama-ulama dalam mazhab lain.
Ibn Taimiyah mendesak kaum Muslim dengan gencar untuk kembali kepada
ajaran yang utama, Qur’an dan Hadis nabi Muhammad saw. Supaya ajaran Islam tidak
dipertahankan sebagaimana adanya (das sein) di dalam masyarakat. Akan tetapi harus
diwujudkan sebagaimana seharusnya (das sollen) seperti yang dikehendaki oleh
pembawanya, nabi Muhammad saw. Itu semua telah dilakukan oleh generasi salaf.
Para ulama dalam memahami ajaran Islam, menurut Ibn Taimiyah, digolongkan
menjadi empat kelompok. Pertama para filosof, yaitu kelompok yang mengatakan
bahwa Qur’an itu dapat ditempuh dengan jalan menggunakan pengantar yang
memuaskan akal manusia. Kelompok ini menyebut dirinya sebagai ahli keterangan dan
ahli keyakinan. Kedua Mutakallimun, yaitu kelompok Mu’tazilah. Kelompok ini
mendahulukan akal daripada ayat Qur’an. Mereka menggunakan dua sumber, Qur’an
dan akal, hanya saja sumber akal lebih utama dibandingkan Qur’an; dan menggunakan
takwil Qur’an sesuai dengan akal. Namun hal tersebut menurut Ibn Taimiyah tidak
sampai keluar dari akidah Islam. Ketiga kelompok yang melihat apa yang ada dalam
Qur’an sebagai akidah, lalu beriman kepadanya. Kelompok ini menggunakan Qur’an
bukan karena Qur’an itu mengandung dalil-dalil yang pasti dan menunjukkan kepada
kebenaran akal, tetapi karena Qur’an mengandung ayat-ayat yang bersifat berita yang
wajib diimani tanpa menggunakan kandungan ayat sebagai pengantar konklusi akal.
Al-Maturidiyah termasuk dalam kelompok ini, karena kelompok ini menggunakan akal
hanya untuk menjelaskan aqidah Qur’an. Keempat, kelompok yang beriman kepada
Qur’an dan dalil-dalilnya, tetapi tetap menggunakan dalil-dalil akal. Kelompok ini
adalah Asy’ariyah.5
Namun, Ibn Timiyah menetapkan bahwa paham Salafiyah tidak termasuk dalam
keempat kelompok tersebut, karena paham Salafiyah mempunyai metode tersendiri,
yaitu menggunakan sumber utama Qur’an dan Hadis nabi Muhammadsaw, selain itu
tidak menggunakan akal. Akal menurut paham Salafiyah adalah menyesatkan dan
bid’ah.
Kaum Salaf menurut Ibn Taimiyah adalah mereka yang berpendapat bahwa
tidak ada jalan untuk mengetahui aqidah, hukum, dan apa yang ada hubungan dengan
keduanya, kecuali dengan menggunakan Qur’an dan Hadis. Kaum Salaf menerima
semua keterangan yang ada dalam Qur’an dan Hadis. Menolak berarti melepas tali
agama. Akal tidak mempunyai kekuasaan untuk mentakwilkan, menafsirkan, atau
menghukumi Qur’an. Akal hanya mampu membenarkan, mentaati, dan menerangkan
pendekatan antara dalil akal (kontekstual), dengan dalil Qur’an dan Hadis (tekstual)
dengan tidak ada perbedaan antara dalil akal dengan dalil Qur’an dan Hadis. Akal
berkedudukan sebagai saksi bukan hakim, sebagai penetap dan penguat bukan

5
Abu Zahrah, Sejarah Aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, diterjemahkan oleh
Shobahussurur dari Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah fi as-Siyasah wa al-a’aqaid, (Gontor: Pusat Studi Ilmu
dan Amal, 1991), 214

3
penentang, sebagai penjelas dari dalil yang terkandung dalam Qur’an. Kaum Salaf
selalu menjadikan akal berada di belakang Qur’an dan Hadis.
Pada abad ke-12 H/18 M, muncul gerakan-gerakan reformasi untuk menangani
kehancuran moral dan sosial umat Islam. Gerakan Wahabiyah adalah yang terpenting.
Pendirinya, Muhammad Ibn Abdul Wahab (1703-1792 M). Beliau menggunakan ajaran
Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah untuk memurnikan semenanjung Arab dari praktik non-
Islam dan membangun negara Islam yang meneladani negara yang didirikan nabi
Muhammad saw. Wahabiyah mempengaruhi gerakan reformasi lainnya, seperti
Sanusiyah dan Mahdiyah yang memiliki kecenderungan sufi.
Gerakan yang sama dengan Wahabiyah bermunculan di luar dunia Arab.
Gerakan Usuman dan Fodio (1754-1817 M) di Nigeria. Gerakan Ahmad Sirhindi
(1564-1624 M), Syah Wali Allah (1702-1752 M), dan Sayyid Ahmad Barelwi (1786-
1831 M) di anak benua India. Gerakan tersebut menganjurkan pemurnian agama,
reformasi moral, dan sosial, serta persatuan Muslim. Namun, gerakan tersebut tetap
menafsirkan agama secara harfiah dan terikat pada masa lalu; berjuang bukan untuk
membangun model yang bisa hidup pada masa depan, melainkan menciptakan kembali
model awal seperti masa nabi dan para sahabatnya.
Meskipun demikian, gerakan tersebut meninggalkan warisan yang mengilhami
gerakan reformasi pada abad selanjutnya, abad ke-19 dan 20 M, yang dikenal dengan
gerakan Salafiyah Modern.
Gerakan Salafiyah modern didirikan Jamaluddin al-Afghani (1839-1897 M) dan
Muhammad Abduh (1849-1905 M). Tujuan utama gerakan ini adalah menyingkirkan
umat Islam dari mentalitas taqlid (imitasi buta) dan jumud (stagnasi), mengembalikan
Islam pada bentuk murninya, dan mereformasi kondisi moral, budaya, dan politik kaum
Muslim.
Untuk melawan warisan stagnasi, kehancuran moral, sosial, politik, dan
dominasi asing, gerakan Salafiyah modern yang diserukan al-Afghani dan Abduh,
adalah menghidupkan kembali Islam seperti generasi salaf, menjembatani perbedaan
antara Islam historis dan modernitas, dan memulihkan solidaritas dan kekuatan kaum
Muslim.
Selanjutnya gerakan Salafiyah modern memusatkan perhatiannya pada
beberapa persoalan yang membentuk fondasi ideologi Salafiyah modern. Di antaranya
adalah penyebab kelemahan kaum Muslim, reinterpretasi Islam, serta reformasi
komprehensif dan institusional.
Gerakan Salafiyah modern berpendapat bahwa penyebab yang membawa
kepada kemunduran kaum Muslim adalah sikap jumud yang terdapat pada diri umat
Islam. Jumud mengandung arti keadaan membeku, statis, dan tak ada perubahan. Oleh
karena sikap jumud, umat Islam tidak menghendaki adanya perubahan, sebaliknya umat
Islam hanya menerima tradisi yang berkembang pada saat itu.6 Sikap tersebut
menyebabkan umat Islam melupakan ajaran Islam yang sebenarnya, dan berada dalam
fanatik buta, serta mewujudkan penyelewenganpenyelewengan dalam ajaran Islam.
Untuk mengubah keadaan tersebut, gerakan Salafiyah modern berusaha
mengembalikan umat Islam kepada ajaran Islam asli, yaitu ajaran-ajaran Islam yang
terdapat dalam generasi salaf. Selanjutnya disesuaikan dengan keadaan dan situasi yang

6
Harun Nasution, Pengembangan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), 62

4
ada pada saat itu. Gerakan Salafiyah modern melakukan penyesuaian mengikuti cara
Ibn Taimiyah, membedakan antara yang tidak berubah dan yang berubah dalam agama
Islam. Hal yang tidak berubah berkenaan dengan masalah keyakinan dan ibadah ritual
(ibadat), yang telah dirumuskan dalam Qur’an dan Hadis. Menambah sesuatu yang
tidak terdapat dalam Qur’an dan Hadis dianggap sebagai bid’ah yang tidak dapat
diterima. Oleh karena itu, Salafiyah modern melancarkan kampanye sengit melawan
tarekat sufi, menuduh mereka memperkenalkan bid’ah, mempraktikkan ritual asing,
dan menyebarkan sikap pasrah, menyerah dan tahayul.
Bagian agama yang berubah adalah mu’amalat, mencakup transaksi manusia
dan hukum yang mengatur hubungan sosial. Hal ini dianggap sebagai ijtihad yang harus
dilaksanakan sejalan dengan kebutuhan modernitas dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Tetapi yang dimaksud ijtihad di sini adalah tidak setiap orang boleh mengadakan
ijtihad, hanya orang-orang yang memenuhi syarat yang diperlukan yang boleh
berijtihad. Yang tidak memenuhi syarat, harus mengikuti pendapat mujtahid yang
merujuk langsung pada al-Qur’an dan Hadis, dan dilarang meniru buta kepada ulama-
ulama tradisional pada saat itu. Dengan menekankan kembali keyakinan umat Islam
pada kemampuan berpikir untuk merujuk langsung sumber asli, dengan sendirinya akan
membebaskan umat Islam dari taklid buta pada otoritas tradisi saat itu.
Kelemahan umat Islam lainnya adalah menghadapi ancaman budaya
kolonialisme Barat. Salafiyah modern berupaya menegaskan validitas Islam pada masa
modern dan membuktikan kesesuaiannya dengan akal dan ilmu pengetahuan . Salafiyah
modern memandangnya sebagai pesan menyeluruh yang mencakup segala aspek
kehidupan dan sebagai kekuatan pendorong bagi kemajuan . Bagi Salafiyah, Islam
memberikan fondasi kemajuan kepada kaum Muslim. Islam memuliakan dan
menegaskan kedaulatan manusia di bumi, memberkati kaum Muslim dengan tauhid,
dan mendukung pencarian pengetahuan dan kemajuan. Oleh karena itu, para pemikir
Salafiyah modern mencoba mengembalikan kebanggaan kaum Muslim akan agama
mereka, memuluskan jalan untuk reinterpretasi Islam sesuai dengan modernitas, dan
melegitimasi pengambilan pengetahuan sebagai prestasi ilmiah.
Salafiyah mengidentifikasi akar masalah tidak terletak dalam ajaran Islam,
tetapi dalam infiltrasi konsep dan praktik asing, disintegrasi umat Islam, dan praktik
despotisme politik. Distorsi keyakinan Islam adalah dasar penyebaran sikap
kepasrahan, kepasifan, dan ketundukan di kalangan Muslim, yang berujung pada
stagnasi dan taklid buta kepada para ulama tradisionalis. Masalah ini menghambat
kemajuan Muslim dan mencegah mereka mengejar kekuasaan dan kemerdekaan.
Dengan demikian, diberlakukannya ijtihad merupakan kekuatan yang memelihara
vitalitas Islam dan mengaitkannya dengan kehidupan nyata.
Dalam pernyataan tersebut, Salafiyah berupaya menjembatani jurang di
masyarakat dengan memperkenalkan reformasi luas pada tingkat individual dan
institusional. Pendidikan adalah batu loncatan bagi rencana reformasi mereka.
Salafiyah yakin bahwa reformasi tidak akan efektif kecuali nilai moral dan sosial
Muslim dihidupkan kembali melalui pendidikan. Salafiyah beraspirasi untuk mendidik
tipe elit baru, memadukan pendidikan Islam yang modern, guna menutup jarak antara
kaum konservatif dan kaum terbaratkan. Salafiyah berupaya merestrukturisasi sistem
pendidikan dan memodernisasi kurikulum lembaga pendidikan tradisional, serta
mendirikan sekolah baru yang menawarkan mata pelajaran Islam maupun modern.

5
Berkaitan dengan pendidikan di antaranya adalah reformasi bahasa Arab.
Akibat keadaan stagnasi dan imitasi secara keseluruhan, bahasa Arab selama berabad-
abad menderita kekakuan dan gaya artifisial. Reformasi bahasa bertujuan
menghidupkannya kembali dan membebaskannya dari bentuk klasik supaya lebih
mudah dipahami dan menyerap istilah modern. Oleh karena itu, Salafiyah di dunia Arab
berharap mampu melestarikan identitas nasional mereka dan membendung penyebaran
bahasa asing.
Reformasi hukum adalah aspek penting lainnya dalam upaya untuk
menghidupkan kembali Islam murni. Salafiyah menyatakan bahwa hukum harus
mencerminkan semangat bangsa, nilai, dan sistem keyakinan. Hukum impor dan asing
tidak akan pernah mampu menanamkan akar yang dalam, karena tidak akan pernah
mendapatkan penerimaan konsepsual maupun legitimasi. Syariat Islam mengatur
urusan hukum dan menganjurkan reinterpretasi atas akal, maqasid (tujuan), dan
maslahah (kepentingan), khususnya kepentingan yang tidak diatur dalam Qur’an. Pada
tingkat institusional, Salafiyah berupaya mendirikan sekolah khusus untuk hakim
syariah, atau mereformasi sekolah yang sudah ada, dan mereformasi pengadilan
syariah.
Salafiyah menegaskan bahwa reformasi politik sebagai syarat esensial untuk
menghidupkan kembali umat Islam, dan mengecam despotisme dan menuntut tanggung
jawab pemimpin otokratis atas penyebaran sikap pasrah dan disintegrasi kaum Muslim.
Salafiyah menganjurkan rencana bertahap dalam reformasi politik. Mereka yakin
bahwa reformasi politik tidak akan dapat dicapai kecuali rakyat dididik tentang hak dan
kewajiban sebagai bangsa (warga negara).
Salafiyah berupaya merumuskan kembali konsep Islam sambil
mempertimbangkan idealisme dan praktik politik modern. Salafiyah menafsir ulang
konsep-konsep seperti syura (musyawarah) dan ijma’ (konsensus), menyetarakannya
dengan demokrassi dan sistem parlementer. Dalam praktik, Salafiyah menyerukan
perwakilan yang berangsur-angsur meningkat dalam lembaga administratif dan politik.
Kolonialisme dan ancaman penjajahan budaya memberi semangat nasionalisme
yang kuat. Salafiyah berusaha mempertahankan pendirian antikolonial, dan
mempromosikan kesadaran umum tentang nasionalisme Islam dan melestarikan
solidaritas umat, dengan menganjurkan PanIslam dan pemulihan nukleus politik.
Meskipun demikian, Salafiyah harus mengompromikan posisi idealisnya dalam
memenuhi realitas massa, dan menerima perpecahan nasional yang menimpa dunia
Muslim. Oleh karena itu, keberlanjutan pesan reformasi Salafiyah bergantung pada
upaya intelektual Muslim selanjutnya.
Salafiyah telah memiliki banyak bentuk dan pengungkapan yang berbeda-beda
akibat kondisi yang berubah-ubah. Namun, sepanjang fase-fasenya yang berbeda itu,
pada intinya Salafiyah tetap merupakan gerakan reformasi dan pembaharuan yang
berfokus pada masalah keyakinan, kemurnian Islam, dan pemulihan model Islam
seperti masa generasi salaf.

B. Ajaran Pokok Salafi


Pemikiran-pemikiran ulama salafi pada dasarnya adalah sebagai berikut:
1. Memandang keesaan Tuhan merupakan asas pertama dalam Islam

6
2. Al-Qur’an dan As-sunnah ditetapkan sebagai satu-satunya sumber hukum yang
utama
3. Memohon pertolongan kepada selain Allah dilarang secara mutlak
4. Ziarah kekuburan orang saleh dan kuburan Nabi SAW tidak diperbolehkan
apabila dengan maksud mencari keberkahan, keberuntungan dan mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Jika maksudnya untuk mengambil pelajaran maka
hukumnya diperbolehkan.
5. Mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui orang saleh tidak diperbolehkan.
6. Dinyatakan musrik apabila menyembah selain Allah SWT dan tidak mengikuti
ajaranNya
7. Memahami dan mengenal sifat-sifat Allah yang terdapat didalam AlQur’an
tanpa pentakwilan
8. Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT.7

Menurut guru besar Al-Ustadz Kholiful Hadi, pokok ajaran dari paham salafi
adalah bertumpu pada Al-Quran dan hadits, sunnah serta pemahaman dari para sahabat
Nabi (Salafus Shalih). Alasan salafi dijadikan paham keagamaan adalah salafi
merupakan ajaran yang paling benar karena paham tersebut bertumpu pada Al-Quran
dan sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih.8

C. Tokoh-Tokoh Salafi
Setidaknya ada tiga tokoh yang mempunyai kontribusi besar terhadap salafi
diantaranya:
1. Ahmad bin Hanbal
Pada abad ketiga Hijriah, kesuksesan demi kesuksesan dicapai bangsa Arab
dalam perluasan daerah, sehingga wilayah-wilayah Arab Islam meliputi daerah
kekuasaan India dan persia yang kaya dengan filsafat ketuhanan serta tradisi budaya
yang sangat kental. Perkembangan wilayah tersebut mendorong perkembangan
kajian-kajian filsafat dan logika seiring dengan kebutuhan umat Islam pada saat itu.
Perkembangan pesat dalam dunia keilmuan tersebut tidak diimbangi dengan
pemeliharaan prinsip-prinsip dasar beragama sebagaimana zaman rasulullah dan
para sahabatnya, sehingga ditemukan berbagai penyimpangan akidah akibat
interaksi dengan budaya-budaya lokal dan impor. Ahmad bin Hanbal (164-241H)
melihat bahwa umat Islam sudah banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan
dan bid’ah serta mulai melupakan cara ber-Islam nabi dan para sahabatnya.
Metodologi berfikir salaf mulai terlupakan dan diganti dengan penggunaan ta’wil
yang begitu luas dalam memahami al-Qur’an dan sunah sehingga muncul berbagai
penafsiran yang tidak sejalan dengan ruh agama Islam. Disamping munculnya
sekte-sekte Islam yang berseberangan pemikiran seputar masalah iman dan pelaku
dosa besar seperti khawarij, Murji’ah, dan mutazilah.

7
Renaldo, Sulpan. Problematika Interaksi Sosial Masyarakat Salafi di Bengkulu Utara, 40.
8
Novianti, Venny. Skripsi. Implementasi Paham Salafi di Pondok Pesantren Darul Atsar Al-Islamy
dan Respon Masyarakat Desa Banyu Tenga-Panceng-Gresik. (Surabaya. 2020), 64.

7
Kondisi seperti inilah yang menyebabkan Ahmad bin Hanbal merasa
terpanggil untuk menumbuhkan serta menggiatkan pemahaman beragama seperti
zaman nabi dan para sahabatnya, yang diistilahkan dengan pemahaman salafi atau
akidah salafi.
Ahmad bin Hanbal kemudian membuat beberapa pijakan berfikir salafi, seperti:9
1) Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, sesuai
dengan kemurnian akidah dan praktek beragama dalam kehidupan sehari-
hari.
2) Al-Qur’an adalah firman Allah bukan makhluk tetapi juga bukan sekutu
Tuhan.
3) Sifat-sifat Allah diyakini sebagaimana yang dipapaparkan oleh al-Qur’an
dan hadis dan tidak boleh dita’wil berdasarkan pemikiran belaka.
4) Alam ghaib tidak perlu dibahas secara detail tetapi hakikatnya dikembalikan
kepada Allah SWT.
5) Keimanan seseoarang tidak sempurna kecuali beriman
kepada qada’ dan qadar Allah SWT.
Kegigihan Ahmad bin Hanbal dalam mempertahankan akidah Islam dari
perbuatan-perbuatan bid’ah dan khurafat serta seruannya untuk mengembalikan
agama Islam kepada cara beragama generasi salaf, menyebabkan Bin Hanbal
dikenal sebagai pelopor dan tokoh gerakan salafiah.
2. Ibn Taimiyyah
Pada abad ke enam hijriah, dunia Islam dilanda kehancuran ditandai
jatuhnya Bagdad oleh bangsa Mongol dibawah komaondo Khulagukan. Akibat dari
kehancuran itu tersebut, umat Islam banyak yang buta terhadap agamanya, sehingga
penyelewengan dan penyimpangan akidah semakin merajalela, tokoh-tokoh
tasawuf falsafi semakin gencar menyebarkan tarekatnya, para penyambah berhala
semakin marak, bid’ah merajalela, sehingga diperlukan pembaharuan dalam
Islam.10
Ditengah-tengah kehancuran umat Islam tersebut, Pemikiran salafi semakin
dipertegas lagi dengan kemunculan Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah. Binu Taimiyah
menambahkan beberapa hal pemikiran Hanbali sesuai kondisi zamannya. Binu
Taimiyah membuat kerangka-kerangka berfikir yang diyakini sebagai kerangka
teori salaf dalam beragama. Kerangka –kerangka teori tersebut sebagai berikut:
1) Al-Qur’an adalah sumber dalil naqli dan aqli
Binu Taimiyyah menawarkan metode dalam memahami Al-Qur’an,
yaitu harmonitas rasional yang jelas dengan periwayatan yang valid. Maka, jika
terjadi kontraversi diantara nalar dan naql, ia menyerahkan (penyelesaian)
pada naql karena yang mengetahuinya hanyalah Allah semata. Epistemologi

9
Andi Aderus, Karakteristik Pemikiran Salafi di tengah Aliran–aliran Pemikiran Ke-Islaman.
(Kementerian Agama RI: 2001), H. 67

8
Binu Taimiyyah tidak mengizinkan terlalu banyak intelektualisasi, termasuk
menolak interpretasi (ta’wil).
2) Mengikuti salaf dalam menafsirkan nas, sebab mereka hidup dan
menyaksikan turunnya wahyu sehingga mereka lebih paham tentang
pemaknaan Al-Qur’an dan sunah.
3) Keimanan terhadap hal-hal metafisika, terbatas pada penjelasan wahyu, apa
yang telah ditetapkan oleh wahyu yang shahih maka itulah yang meti
diyakini.
4) Masalah nama dan sifat Tuhan mesti diyakini sebagaiman informasi wahyu,
tanpa harus mengkaji lebih jauh bagaimana bentuk dan modelnya.
5) Dalam memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah SWT.,
maka kaedah yang berlaku, adalah mengumpulkan dua hal, yaitu anatara
keyakinan terhadap informasi wahyu tentang sifat dan nama Allah SWT
dengan keyakinan bahwa sifat-sifat tersebut tidak serupa dengan makhluk-
Nya.
3. Muhammad bin Abdul Wahab
Selanjutnya pada abad ke-12 H pemikiran serupa muncul kembali di Jazirah
Arab yang dihidupkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, dari pemikirannya
muncul aliran Wahhabi (Wahhabiyyah). Pemikiran yang dicetuskan oleh
Muhammad bin Abdul Wahab adalah untuk memperbaiki kedudukan umat Islam
timbul bukan sebagai reaksi terhadap suasana politik, tetapi sebagai reaksi terhadap
paham tauhid yang telah menyimpang dikalangan umat Islam di waktu itu.11
Dari pengalamannya berpindah dari satu kota ke kota lain di dunia Islam, ia
melihat bahwa masyarakat sudah jauh menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Penyimpangan itu tampak pada sikap pengkultusan dalam bentuk mencari
keberkatan dari orang-orang tertentu melalui ziarah kubur, disamping bid’ah yang
mendominasi tempat kegamaan dan aktifitas duniawi.
Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab mempunyai pengaruh besar
pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad kesembilan belas.
Pemikirannya yang berpengaruh tersebut adalah:
1) Hanya al-Qur’an dan hadislah yang merupakan sumber asli dari ajaran-
ajaran Islam. Pendapat ulama tidak merupakan sumber
2) Taklid kepada ulama tidak dibenarkan karena taklid mengakibatkan
masyarakat menjadi statis.
3) Pintu ijtihad terbuka dan tidak tertutup bagi siapa saja yang mampu
melakukannya asalkan kembali kepada al-qur’an dan sunah12
Salah satu strategi Muhammad bin Abdul Wahhab dalam berdakwah dan
menanamkan pemikirannya adalah mendekati para penguasa. Dia berprinsip, jika
suatu paham didukung ole penguasa maka paham tersebut dengan mudah dieterima

11
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan
bintang, 1975), H. 21-22
12
Ibid,. H. 25

9
masyarakat, sebaliknya suatu paham yang kontradiktif dengan penguasa akan
mengalami hambatan dan rintangan.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah Salafiyah berasal dari akar kata bahasa Arab, salafa-yaslufu-salaf, berarti
mendahului, nenek moyang, leluhur, dan mazhab salaf. Istilah ini muncul karena
adanya sabda nabi Muhammad saw: sebaik-baik masa (qurun) adalah masaku,
kemudian yang di belakangnya, kemudian yang di belakangnya lagi. Sabda nabi ini
menjadi pedoman bagi orang-orang yang akan diteladani (generasi salaf).
Pemikiran-pemikiran ulama salafi pada dasarnya adalah sebagai berikut:
1) Memandang keesaan Tuhan merupakan asas pertama dalam Islam
2) Al-Qur’an dan As-sunnah ditetapkan sebagai satu-satunya sumber hukum
yang utama
3) Memohon pertolongan kepada selain Allah dilarang secara mutlak
4) Ziarah kekuburan orang saleh dan kuburan Nabi SAW tidak diperbolehkan
apabila dengan maksud mencari keberkahan, keberuntungan dan
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jika maksudnya untuk mengambil
pelajaran maka hukumnya diperbolehkan.
5) Mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui orang saleh tidak
diperbolehkan.
6) Dinyatakan musrik apabila menyembah selain Allah SWT dan tidak
mengikuti ajaranNya
7) Memahami dan mengenal sifat-sifat Allah yang terdapat didalam AlQur’an
tanpa pentakwilan
Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT
ada tiga tokoh yang mempunyai kontribusi besar terhadap salafi diantaranya:
1. Ahmad bin Hanbal
2. Ibn Taimiyah
3. Muhammad bin Abdul Wahab

B. Saran
Kami sebagai penulis dari makalah ini mengharapkan serta menerima kritikan
dan saran dari mahasiswa/mahasiswi demi memperbaiki isi makalah ini, dengan
mengucapkan terimakasih kami kepada Dosen yang telah memberi bimbingan kepada
kami untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar.

11
DAFTAR PUSTAKA

Aderus, Andi. 2001. Karakteristik Pemikiran Salafi di tengah Aliran–aliran Pemikiran


Ke-Islaman. Kementerian Agama RI.
Bakar Aceh, Abu. 1985. Salaf: Islam dalam Masa Murni. Solo: Ramadhani.
L. Esposito, John. 2001. Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan.
Munawir Warson, Ahmad. 1994. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.
Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak
Nasution, Harun. 1975. Pengembangan Dalam Islam: Sejraha Pemikiran dan Gerakan.
Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Airan-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI Press.
Sulpan Renaldo. Problematika Interaksi Sosial Masyarakat Salafi di Bengkulu Utara.
Venny Novianti. 2020. Skripsi. Implementasi Paham Salafi di Pondok Pesantren Darul
Atsar Al-Islamy dan Respon Masyarakat Desa Banyu Tenga-Panceng-Gresik.
Surabaya.
Zahrah, Abu. 1991. Sejarah Aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah.
diterjemahkan oleh Shobahussurur dari Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah fi as-
Siyasah wa al-a’aqaid. Gontor: Pusat Studi Ilmu dan Amal

12

Anda mungkin juga menyukai