Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PEMIKIRAN KALAM :

ASLUSSUNNAH IBN HANBAL DAN IBN TAIMIAH

Dosen Pembimbing :

IBU SITI RUKOYAH, S.Ag, M .Si

Disusun Oleh :

TUTI HANDAYANI

STIT TARBIYATUN NISA Sentul Bogor


KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena limpahan rahmat-Nya kami diberi kesehatan
walafiat. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas mata kuliah Ilmu Kalam.
Makalah yang berjudul “Ahlussunah Salaf (Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah)”. Selain untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan juga untuk memberikan pengetahuan bagi kami tentang
“Ahlussunah Salaf (Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah)”.

Selesainya makalah ini tidak lepas dari kerjasama berbagai pihak, baik itu dari dosen pengampu ataupun
pihak-pihak lainnya yang turut serta membantu terselesaikannya makalah ini. Kami mengucapkan
terimakasih karena mereka semualah kami mempunyai motivasi dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
gambaran

Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan memberi pengetahuan dan mengenal “Ahlussunah
Salaf (Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah)”. Dalam makalah ini kami menyadari masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu segala saran dan kritik guna perbaikan dan kesempurnaan sangat kami nantikan. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan para pembaca pada umumnya.

Citeureup, 20 Januari 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..............................................................1

B. Rumusan Masalah ...............................................................1

C. Tujuan Masalah ................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian aliran Salaf ................................................................2

B. Riwayat hidup dan pemikiran teologi Imam Ahmad Ibn Hanbal .......... 3

C. Riwayat hidup dan pemikiran teologi Ibn Taimiyah ............................. 6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................11

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aliran mu’tazilah mencapai puncaknya pada masa kepemimpinan khalifah al-Makmun dari Bani Abbas,
pada masa itu aliran ini mengkampanyekan pemikiran bahwa “Al-Qur’an adalah mahluk”. Semua rakyat
dan ulama’ dipaksa untuk mengikuti pemikiran tersebut, namun ada salah satu ulama’ yang menentang
dengan tegas pendapat tersebut, dia adalah imam Ahmad ibn Hanbal. Akibat penentangan tersebut,
beliau kerap kali disiksa dan masuk penjara. Pemikiran-pemikiran imam Ahmad Ibn Hanbal kemudian
melahirkan sebuah aliran teologi baru yaitu aliran salaf.

Aliran salaf merupakan aliran yang muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal
yang kemudian pemikirannya diformulasikan secara lebih lengkap oleh imam Ahmad Ibn Taimiyah.
Sebagaimana aliran Asy’ariyah, aliran Salaf memberikan reaksi yang keras terhadap pemikiran-pemikiran
ekstrim Mu’tazilah.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan dalam beberapa masalah diantaranya:

1. Apa yang dimaksud aliran salaf?

2. Bagaimana riwayat hidup dan pemikiran teologi Imam Ahmad Ibn Hanbal?

3. Bagaimana riwayat hidup dan pemikiran teologi Ibn Taimiyah?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui aliran Salaf

2. Untuk mengetahui riwayat hidup dan pemikiran teologi Imam Ahmad Ibn Hanbal.

3. Untuuk mengetahui riwayat hidup dan pemikiran teologi Ibn Taimiyah?


BAB II

PEMBAHASAN

A. AHLSSUNAH SALAF

Berkembangnya dakwah Salafiyah dikalangan masyarakat dengan pembinaan yang mengarah kepada
perbaikan ummat di bawah tuntunan Rasulullah SAW adalah suatu hal yang sangat disyukuri. Maka
banyak definisi yang telah dikemukakan para pakar mengenai definisi Salaf .

Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad , Salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk
merujuk generasi sahabat, tabi’i, tabi’ tabi’in,para pemuka abad ke-3 dan para pengikutnya pada abad
ke-4 H yang terdiri atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama Shaleh yang hidup
pada tiga abad pertama Islam. Menurut As-Syahrastani, ulama Salaf adalah yang tidak menggunakan
Ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih. Sedangkan
Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyyah mendefinisikan Salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan
tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat
Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya.[1]

Aliran Salaf terdiri dari orang-orang Hanbaliah yang muncul pada abad keempat HIjrah dengan
mempertalikan dirinya dengan pendapat-pendapat Imam Ahmad bin Hambal, yang dipandang oleh
mereka telah menghidupkan dan mempertahankan pendirian ulama Salaf . karena pendapat ulam Salaf
ini menjadi motif berdirinya, maka orang-orang Hanabilah menamakan dirinya “ aliran SAlaf”.

Antara golongan Hanabilah tersebut dengan aliran Asy’ariah sering-sering terjadi pertentangan, baik
yang bersifat phiysik, karena di mana terdapat aliran Asy’ariah yang kuat, maka di situ pula terdapat
orang-orang Hanabilah. Masing-masing mengaku bahwa dirinya itu yang berhak mewakili ulama Salaf. [2]

W. Montgomery Watt menyatakan bahwa gerakan Salafiyah berkembang terutama di Bagdad pada
abad ke-13. Pada masa itu terjadi gairah menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme kalangan kaum
Hanbali. Sebelum akhir abad itu, terdapat sekolah-sekolah Hanbali di jerusallem dan Damaskus. Di
damaskus, Kaum Hanbali makin kuat dengan kedatangan para pengingsi dari Irak yang disebabkan
serangan Mongol atas Irak. Diantara para pengungsi itu terdapat satu keluarga dari Harran, yaitu
keluarga Ibn Taimiyah adalah seorang ulama besar penganut Imam Hanbali yang Ketat.

Ibrahim Madzkur menguraikan karakteristik ulama salaf atau Salafiyah sebagai berikut:

1. Mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) dari pada dirayah ( aql).

2. Dalam persoalan pokok-pokok agama ( ushuludin )dan persoalan-persoalan cabang agama (furu’
ad-din), mereka hanya bertolak dari penjelasan dari Al-KItab dan Sunnah.

3. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut ( tentang Dzat-Nya). Dan tidak pula
mempunyai faham anthropomorphisme.
4. Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya, dan tidak berupaya untuk
menakwilkannya.

Apabila melihat karakteristik yang dikemukakan Ibrahim Madzkur diatas, tokoh-tokoh berikut ini dapat
diketegorikan sebagai ulma salaf, yaitu: Abdullah Bin Abbas (68 H), Abdullah Bin Umar (74 H), Umar Bin
Abdul Aziz (101 H), Az-Zuhri 124), Ja’far Ash-Shidiq (148 H),dan para Imam Mazhab yang empat (Imam
Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Ahmad Bin Hambal). Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah
bermula dari Imam Ahmad Bin Hambal. Lalu, ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian
disuburkan oleh Imam Muhammad Bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara
sporadis. Di Indonesia sendiri, gerakan ini berkembang lebih banyak dilaksanakan oleh gerakan-gerakan
Persatuan Islam (Persis), atau Muhammadiyah. Gerakan- gerakan lainya, pada dasarnya juga dianggap
sebagai gerakan ulama Salaf, tetapi teologinya sudah dipengaruhi oleh pemikiran yang dikenal dengan
istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan pemikiran dalam membicarakan masalah
teologi (ketuhanan).

Dibawah ini dijelaskan beberapa ulama Salaf dengan beberapa pemikirannya, terutama yang berkaitan
dengan persoalan-persoalan kalam.[3]

B. RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN IMAM AHMAD BIN HANBALI

1. Riwayat singkat hidup Ibn Hanbal

Ia dilahirkan di bagdad tahun 164/780 M, dan meninggal 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah
karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali
karena merupakan pendiri Mazhab Hanbali.

Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik Ibn Sawadah Ibn Hindur Asy-Syaibani,
bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn Anas Ibn Idris Ibn
Abdullah Ibn Hayyan Ibn Abdullah Ibn Anas Ibn Auf Ibn Qasit Ibn Mazin Ibn Syaiban, Ibn Dahal Ibn
Akabah Ibn Sya’ab Ibn Ali bin Jadalah Ibn Asad bn Rabi Al-Hadits Ibn Nizar. Di dalam keluarga Nizar,
Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad SAW.

Ayahnya meninggal ketika Ibn Hanbal masih remaja. Namun, ia telah memberikan pendidikan Al-Quran
kepada Ibn Hanbal. Pada usia 16 tahun, ia belajar Al-Quran dan ilmu-ilmu agama yang lainnya kepada
ulama-ulama terkenal di Khulafah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah, Madinah. Diantara guru-gurunya
adalah Hammad Ibn Khalid, Ismail Ibn ‘Aliyyah, Muzzaffar Ibn Mudrik, Walid Ibn Muslim, Muktamar Ibn
Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya Ibn Zaidah, Ibrahim Ibn Sa’id, Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i, Abd
Razaq Ibn Humam, dan Musa Ibn Thariq. Dari guru-gurunya, Ibn Hanbal mempelajari Ilmu Fiqih, Hadits,
tafsir, kalam, ushul, dan Bahasa Arab.[4]

Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang Zahid. Hampir setiap hari ia berpuasa dan hanya tidur sebentar di
malam hari. Ia juga dikenal sebagai seorang dermawan. Pada suatu hari khalifah Al-Makmun Ar-Rasyid
membagi-bagikan beberapa keeping emas kepada para ulama hadis, yang telah menjadi kebiasaan para
Khalifah masa itu. Namun, Ibn Hanbal menolaknya. Bahkan, Syaikh Abdul Razaq mengambil segenggam
dinar dari kantongnya dan memberikan kepada Ibn Hanbal, tetapi justru Ibn Hanbal mengatakan, “saya
tidak membutuhkannya.”

Karena begitu teguh dalam pendirian, ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan Mazhab Mu’tazilah,
Ibn Hanbal menjadi korban Mihnah (inquistition) karena tidak mengakui bahwa Al-Quran itu makhluk.
Akibatnya, beberapa kali ia harus dipenjara. Nasib serupa dialaminya pada masapemerintahan
pengganti Al-Ma’mun, yakni Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq. Namun, setelah Al-Mutawakil naik tahta, Ibn
Hanbal memperoleh kebebasan. Pada masa ini ia memperoleh penghormatan dan kemuliaan.

Diantara murid-murid Ibn Hanbal adalah Ibn Taimiyah, Hasan Bin Musa, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Abu Zuhrah Ad-Damasyiqi, Abu Zuhrah Ar-Razi, Ibn Abi Ad-Dunia, Abu Bakar Al-Asram, Hanbal bin Ishaq
ASy-Syaibani, Shaleh, dan Abdullahh. Kedua orang yang disebutkan terakhir adalah putra Ibn Hanbal.

Bukunya yang paling utama ialah al-Musnad yang membuktikan keluasan pengetahuan dan
penguasaannya atas ilmu-ilmu agama Islam. Buku tersebut terdiri atas tiga piluh ribu hdis yang
disandarkan kepada lebih dari tujuh ratus orang sahabat, diseleksi oleh Ahmad Bin Hanbal dari tujuh
ribu ratus hadis. Buku ini dan buku lainnya telah membantu menempatkan hadis pada tempat yang
proposional, sebagai salah satu sumber Fikih Islam.[5]

2. Pemikiran Teori Ibn Hanbal

a. Tentang ayat-ayat Mutasyabihat

Dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzy (tekstual)
dari pada pendekatan Ta’wil, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat
Mutsyabihat. Hal itu terbukti ketika ia ditanya tentang penafsiran ayat :

Artinya: “ (yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam diatas Arsy.”(Q.S. Thaha *20+:5)

Dalam hal ini, Ibn Hanbal menjawab:

Artinya: “istawa diatas Arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia khendaki dengan tiada batas
dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.”

Dan ketika ditanya tentang makna Hadits nuzul (Tuhan turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang
beriman melihat Tuhan di akhirat), dan Hadits tentang telapak kaki TUhan, Ibn Hanbal menjawab:

Artinya: “ kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.”
Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn Hanbal bersikap menyerahkan (Tafwid) makna-makna ayat
dan Hadits mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mensucikan-Nya dari keserupaan dengan
makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan pengertian lahirnya.

b. Tentang setatus Al-Quran

Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara
beberapa kali, adalah tentag status Al-Quran, apakah diciptakan (makhluk) yang karenanya hadis (baru)
ataukah tidak dicipakan yang karenanya Qadim? Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti
Abbasiyah di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, dan Al-Wtsiq, adalah faham
Mu’tazilah, yakni Al-Qur’an tidak bersifat Qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya Qadim
disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar
yang tidak diampuni Tuhan.

Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut diatas. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam
kasus Mihnah oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status Al-Quran dapat dilihat dari
dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubrernur Irak: [6]

Ishaq bertanya : Bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an?

Ahmad bin Hambal : Ia adalah kalam Allah.

Ishaq : Apakah ia makhluk?

Ahmad : Ia adalah kalam Allah, aku tidak menambahnya lebih dari itu.

Ishaq : Apakah arti bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha
Melihat?

Ahmad : Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.

Ishaq : Apakah maksudnya?

Ahmad : Aku tidak tahu, Dia seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri- Nya.[7]

Ibn Hanbal, berdasarkan dialog diatas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Ia
hanya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang
menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan Rasul-Nya. [8]

Bagi Ahmad bin Hanbal, iman adalah perkataan dan perbuatan yang dapat berkurang dan bertambah,
dengan kata lain iman itu meliputi perkataan dan perbuatan, iman bertambah dengan melakukan
perbuatan yang baik dan akan berkurang bila mengerjakan kemakiatan. [9]

C. RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN IBN TAIMIYAH

1. Riwayat singkat Ibn Taimiyah


Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin
Abdissalam bin Abdillah bin Abi Qasim Al Khadar bin Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah.
Nama Taimiyah dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang bernama Muhammad bin Al-Khadar
melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari haji, ia mendapati isterinya
melahirkan seorang anak wanita yang kemudian diberi nama Taimiyah. Sejak saat itu keturunannya
dinamai Ibnu Taimiyyah sebagai peringatan perjalanan haji moyangnya itu.[10]

Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal
di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun 729 H. kewafatannya telah menggetarkan
dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya. Ayahnya
bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim Bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang
Syaikh, Khatib dan Hakim di kotanya. Dikatan oleh Ibrahim Madkur bahwa Ibn Taimiyah merupakan
tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak pada akal. Ia adalah murid yang
muttaqi, wara, dan zuhud serta seorang panglima dan penetang bangsa Tartas yang pemberani. Ia
dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir (Ahli tafsir Al-Quran berdasarkan hadits), faqih, teolog,
bahkan memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat. Ia telah mengkritik Khalifah Umar dan Khalifah
Ali bin Abi Thalib. Ia juga menyerang Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Kritiknya ditunjukan pula kepada
kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan kemarahan para ulama sezamannya. Berulang kali
Ibn Taimiyah masuk ke penjara hanya karena bersengketa dengan para ulama sezamannya.

Ibn taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17 tahun ia telah dipercaya masyarakat untuk
memebrikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi. Para ulama merasa sangat
risau oleh serangan-serangannya serta iri hati terhadap kedudukannya di istana gubernur damaskus,
telah menjadikan pemikiran-pemikiran ibn taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan
oleh lawan-lawannya bahwa pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, antropomorpisme sehingga pada
awal 1306 M ibn taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjara.

Masa hidup Ibn Taimiyah bebarengan dengan kondisi dunia Islam yang sedang mengalami disintegrasi,
dislokasi sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima tahun setelah Baghdad
dihancurkan pasukan Mongol, Hulagu Khan. Oleh sebab itu, dalam upayanya mempersatukan umat
islam, mengalami banyakan tantangan, bahkan ia harus wafat di dalam penjara.[11]

2. Pemikiran Teologi Ibnu Taimiyah

Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah sebagai berikut :

a. Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits)

b. Tidak memberikan ruang gerak kepada akal

c. Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama

d. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)

e. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.[12]
Ibnu Taimiyah mengkritik Imam Hanbali yang mengatakan bahwa kalamullah itu qadim, menurut Ibnu
Taimiyah jika kalamullah qadim maka kalamnya juga qadim. Ibnu Taimiyah adalah seorang tekstualis
oleh sebab itu pandangannya oleh Al-Khatib Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim Allah (antropomorpisme)
yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat baha pengakuan
Ibn Taimiyah sebagai Salaf perlu ditinjau kembali.

Berikut ini merupakan pandangan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah :

a. Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Allah sendiri atau oleh
Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah:

1. Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa, mukhalafatul lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyyat.

2. Sifat Ma’ani, yaitu : qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam.

3. Sifat khabariah (sifat yang diterangkan Al-Quran dan Al-Hadits walaupun akal bertanya-tanya
tentang maknanya), seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah ada di langit; Allah di Arasy; Allah
turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang yang beriman di surga kelak; wajah, tangan, dan mata
Allah.

4. Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan) kepada makhluk seperti rabbul
‘alamin, khaliqul kaun dan lain-lain.

b. Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan seperti Al-
Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.

c. Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:

1. Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak dikehendaki lafad (min ghoiri tashrif/
tekstual)

2. Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghoiri ta’thil)

3. Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad)

4. Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera
(min ghairi takyif at-takyif)

5. Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya (min


ghairi tamtsili rabb ‘alal ‘alamin).*13+

Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat.
Menututnya, ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan
sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya dengan Makhluk.,
dan tidak bertanya-tanya tentangnya.

Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan iktiar manusia, yaitu
1. Allah pencipta segala sesuatu;

2. Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak
secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.[14]

3. Allah meridhai pebuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk.

Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn Taimiyah mencapai klimaksnya dalam sosiologi politik yang
mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya terletak pada upayanya membedakan manusia dengan
Tuhan yang mutlak. Oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik
metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan
adalah suatu hal yang mustahil.[15]

Menurut suatu sumber, bahwa Ibnu taimiyah memiliki karangan lebih dari 300 kitab, meliputi masalah
tafsir, fiqh, retorika (jadal), fatwa- fatwa yang merupakan kumpulan jawaban atas pertanyaan
masyarakat. Dia juga melakukan kritikan pedas terhadap berbagai masalah, terutama tentang tasawuf,
filsafat, ziarah kubur, tawassul, dan sebagainya.

Diantara karangan-karangannya, antara lain:

a. Muwafaqah Sharih al-Ma’qul li Shahih al-Manqul

b. Al-jawab al-Shahih Liman Baddala Dina al- Masih

c. Al-Rasail Wa al-Masail

d. Al-Iman

e. Al-Istiqamah

f. Kitab al-Tauhid

g. Naqd al-Mantiq[16]

Menurut Ibn Taimiyah, umat Islam hanya satu umat; tidak ada umat lain. Umat ialah sebuah wadah
anggota yang memiliki tujuan yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan Hadits, yaitu mewujudkan
kehendak Allah swt. Anggota umat Islam harus bekerja sama dengan yang lainnya untuk melakukan
kebaikan dan menjauhi kejahatan. Mereka harus menjadikan kerja sama sebagai dasar bagi perbuatan
yang dilakukan bersama-sama.[17]
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari penjelasan pada bab sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya adalah:

1. Salaf adalah uluma-ulama shaleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam. Atau golongan yang
tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasabbihat) dan tidak mempunyai faham
tasybih (antropomorphisme). Diantara tokoh ulama salaf adalah Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah.

2. Ibnu Hanbal dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855
M. Diantara pemikiran teologi Ibnu Hanbal adalah dalam menanggapi ayat mutasyabihat ia lebih suka
menggunakan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada ta’wil dan ia tidak mau mengatakan bahwa Quran
itu diciptakan.

3. Ibnu Taimiyah mempunyai nama lengkap Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul
Mahasin Abdul Halim, ia lahir di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan
meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729

DAFTAR PUSTAKA

Abbad Sirajudin, I’tiqad Ahlussunah Wal-jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah.

Amin Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2000.

A. Nasir Sahilun. Pemikiran Kalam (Teology Islam ), Jakarta: Rajawali Pers. 2010.

fauzi Ahmad, Ilmu Kalam (sebuah pengantar), Cirebon: STAIN Press,

Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995.

Rozak Abdul, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.

Mustopa, Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, Cirebon: Nurjati IAIN _publisher, 2011.

[1] Mustopa, Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, Cirebon: Nurjati IAIN _publisher, 2011. Hlm. 53

[2] Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995. Hlm. 138

[3] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011. Hlm. 109-110

[4] Mustopa, Op. Cit. hlm. 54

[5] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2000.
Hlm. 83
[6] Abdul rozak, Rosihon Anwar, Op. Cit. Hlm. 111-114

[7] Sahilun A. Nasir. Pemikiran Kalam (Teology Islam ), Jakarta: Rajawali Pers. 2010. Hlm. 126-127

[8] Abdul Rozak, Rosihon Anwar. Op. Cit. hlm. 114

[9] Ahmad fauzi, Ilmu Kalam (sebuah pengantar), Cirebon: STAIN Press, hlm. 99

*10+ Sirajudin Abbad, I’tiqad Ahlussunah Wal-jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah. 1987. Hlm. 261

[11] Abdul rozak, Rosihon Anwar, OP.Cit. hlm. 115

[12] Mustopa, Op. Cit. Hlm. 56

[13] Abdul Rozak, Rosihon Anwar. Op. Cit. hlm. 116-117

[14] Abdul Rozak, Rosihon Anwar. Op. Cit. hlm. 116-117

[15] Mustopa, OP. Cit, hlm. 58

[16] Sahilun A. Nasir, Op. Cit. hlm. 281

[17] Husayn Ahmad Amin. Op.Cit. Hlm. 230

Anda mungkin juga menyukai