Disusun Oleh :
Jl. Gajayana No.50, Dinoyo, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65144
Telepon : (0341)551354
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkanpuji
syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan nikmatnya kepada kita semua,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Biografi Tokoh Mazhab Dalam Fiqh
(Hanabilah dan Syi’ah)” ini. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada teman- teman yang ikut
berkontribusi dan mengeluarkan pendapat serta ide yang menginspirasi kami, sehingga makalah ini
dapat kami selesaikan tepat pada waktunya.
Terlepas dari semua itu, kami hanyalah manusia biasa yang mempunya banyak kekuranganserta
keterbatasan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran yang positif dari para
pembaca, demi kesempurnaan makalah ini.
Kami berharap, semoga pembaca dapat mendapatkan hal yang postif, mengerti, dan mengenal
lebih jauh mengenai “Biografi Tokoh Mazhab dalam Dalam Fiqh (Hananbiah danSyi’ah)” yang kami
bahas dalam makalah ini. Aamiin.
Kelompok 10
ii
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
C. Tujuan ................................................................................................................................ V
BAB II : PEMBAHASAN
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mazhab adalah salah satu bagian dari ilmu fiqih yang perlu diketahui oleh setiap umat
muslim. Melalui mazhab, umat muslim dapat memahami hukum-hukum yang berlaku dalam
agama islam yang mencakup berbagai hal. Tentu mazhab atau pendapat imam mengenai
hukum islam ini digali dari sumber terpercaya, tidak lain adalah Al Qur’an dan hadis.
Diketahui, terdapat 4 mazhab yang ada hingga saat ini, mulai dari mazhab hanafi,
mazhab maliki, mazhab syafi’i, serta mazhab hambali. Masing-masing mazhab ini mempunyai
latar belakang yang berbeda-beda, begitu pula cara pandangnya dalam melihat berbagai hal yang
ada di masyarakat. Di samping itu, setiap mazhab ini juga memiliki tujuan dan kegunaannya
masing-masing.
Namun perlu kita ketahui bahwa mazhab fiqih dalam Islam tidak hanya empat mazhab
seperti yang orang-orang awam ketahui. Lebih dari itu banyak sekali Imam Mujtahid Mutlak
yang sederajat dengan para Imam 4 tersebut bahkan lebih pintar dan cerdas. Hanya saja memang
banyak beberapa mazhab tersebut sudah tidak diikuti, atau fatwa-fatwa mereka sudahtidak lagi
sesuai dengan zaman. Dan yang masyhur sampai hari ini dan masih banyak diikuti oleh
mayoritas Muslim di jagad raya ini ya 4 mazhab popular tersebut.
Walaupun ada juga yang sampai sekarang masih mengikuti pendapat selain Imam yang
4 itu dengan jumlah pengikut yang tidak banyak memang, seperti Imam Ibnu Hazm atau juga
Imam Abu Ja’far yang dikenal dengan Ja’fariyyah, atau juga Imam Zaid bin Ali dengan
madzhab Zaidiyah-nya.1
Dan disini, kami akan membahas mengenai dua mazhab yakni Hanabilah atau yangkita
kenal sebagai Hanbali, dan Syi’ah yang kita ketahui secara umum bahwa syi’ah merupakan
aliran atau paham yang sangat mengidolakan Ali bin Abi Thalib.2
1
Dirasah Madzahib, Ahmad Zarkasih Lc
2
Ensiklopedia Islam 1997
iv
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu mazhab Hanabilah?
a. Bagaimana sejarah lahirnya Mazhab Hanabilah?
b. Bagaimana biografi dari Mazhab Hanabilah?
c. Bagaimana pemikiran Mazhab Hanabilah?
d. Bagaimana karakter Mazhab Hanabilah?
2. Apa itu Madzab Syi’ah?
a. Bagaimana sejarah lahirnya Mazhab Syi’ah?
b. Bagaimana biografi dari Mazhab Syi’ah?
c. Bagaimana pemikiran Mazhab Syi’ah?
d. Bagaimana karakter Mazhab Syi’ah?
C. Tujuan
1.) Untuk mengetahui apa itu Mazhab Hanabilah, baik dari segi sejarah, biografi, pemikiran,
dan karakter mazhabnya.
2.) Untuk mengetahui apa itu Mazhab Syi’ah, dari segi sejarah, biografi, pemikiran, dan
karakter mazhabnya.
v
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mazhab Hanabilah/Hanbali
Dimulai oleh para murid Imam Ahmad bin Hambal. Mazhab ini diikuti oleh sekitar 5%
muslim di dunia dan dominan di daerah semenanjung Arab. Mazhab ini merupakan mazhab
yang saat ini dianut di Arab Saudi.
Pada tahun 195 H Ahmad belajar fiqh dan ushul fiqh pada Imam Syafi’i yang pada
waktu itu berada di Hijaz.3 Di Hijaz pula beliau belajar pada Imam Malik dan Imam al-
Laits ibn Sa’ad al-Misri. Dalam pencarian hadis beliau juga pergi ke Yaman, kepada
Abdurraziq bin Hammam dan ke daerah-daerah lain seperti Khurasan dan Persia.
Ahmad menganggap Imam Syafi’i sebagai guru besarnya, oleh karena itu dalam
pemikiran beliau banyak dipengaruhi oleh Imam Syafi’i. Hal ini dapat diketahui dari kata-
kata Ahmad ibn Hanbal ketika beliau sudah menjadi Imam yang besar, beliau berkata
”Apabila saya ditanya tentang sesuatu yang tidak saya jumpai kabar (yakni hadits dan atsar
para sahabat) yang menjelaskannya, maka saya berpegang kepada pendapat Imam Syafi’i.
Meskipun pemikiran dan metode Ahmad banyak dipengaruhi oleh Imam Syafi’i,
akan tetapi warna fiqh yang dihasilkannya kadang berbeda dengan Imam Syafi’i, hal
tersebut sangat mungkin karena beliau lebih menguasai hadits daripada Imam Syafi’i
Dalam masalah yang sama Ahmad bisa berbeda pendapat dengan Imam Syafi’i, karena
beliau mempunyai hadis tentang masalah tersebut, sementara Imam Syafi’i tidak. Karyanya
yang monumental, Musnad Ahmad juga jauh lebih banyak memuat hadis,sementara karya
Imam Syafi’i adalah percampuran keduanya. Bisa dikatakan posisi Ahmad berada di antara
Imam Syafi’i dan Imam Maliki. Dengan demikian meskipun beliau banyak dipengaruhi oleh
Imam Syafi’i, banyak pula warna-warna Maliki dalam fiqhnya. Dalam metodenya
3
Muhammad Ibn Ulwy al Maliki al Hasani, al Minhaj al Latihf, hlm. 280
1
beliau juga menggunakan qiyas dan istihsan serta mempunyai kecenderungan tekstualis
serta mengembalikan masalah kepada hadis dan athar.4
Ahmad bin Hanbal bukan hanya seorang ahli hadis dan fiqh, beliau juga seorang sufi
yang dipengaruhi oleh pemikiran dan teladan dari seorang sufi besar, Hasan al-Basri (wafat
110 H/728 M) dan Ibrahim ibn Adham (wafat 170 H/786 M). Keduanya memberikan
pengaruh besar dalam memberikan jalan dan metode untuk mencapai hidup yang sejati dan
kewajiban-kewajiban yang benar terhadap Allah.5
Imam Ahmad bin Hanbal hidup pada zaman pemerintahan al Mahdi, al Makmun, al
Mu’tasim, al Wathiq dan al Mutawakil. Pada masa pemerintahan al Makmun dari dinasti
Abbasiyah, beliau menjadi korban mihnah dan sempat dipenjara karena tidak sependapat
dengan penguasa pada waktu itu.6 Kaum Mu’tazilah mempunyai pengaruh yang besar
terhadap pemerintahan khalifah al Ma’mun, al Mu’tasim dan al Wathiq, karena kaum
Mu’tazilah adalah penasihat resmi otokrasi Abbasiyah. Para khalifah tersebut menerima
pandangan Mu’tazilah sebagai akidah dan memaksakannya pada seluruh kaum muslim.
Namun Imam Ahmad selalu melakukan perlawanan terhadap dogma-dogma agama dan
politik yang disebarkan oleh kekhalifahan daulah Abbasiyah yang menurut Imam Ahmad
tidak berdasarkan kepada Al Qur’an dan hadis. Bahkan para penguasa mengeksploitasi
agama sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan hak-hak istimewa mereka dalam
perekonomian.7
2
Pada saat pemerintahan al Mutawakkil (232 H/846 M), ia menarik dekrit resmi
mengenai khalq al Qur’an dan Imam Ahmad pun dibebaskan dari penjara.8 Beliau selalu
menghindari kantor-kantor pemerintahan. Beliau juga menolak bantuan apapun dari
pemerintah. Ketika suatu hari Harun al Rasyid menawarkan jabatan hakim di Yaman atas
dasar rekomendasi dari Imam Syafi’I, Ahmad dengan keras menolaknya.9 Ahmad bin
Hanbal meninggal di Bagdad pada hari Jum’at bulan Rabiul Awal tahun 241 H atau
bertepatan dengan 855 M, ketika berusia 77 tahun.
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Asad bin Idris bin
Abdullah bin Hasan As-Syaibany.10 Beliau masih merupakan keturunan dengan Rasulullah
S.A.W, pada Mazin bin Mu’ad bin ‘Adnan. Nama Hanbal sebetulnya ialah nama datuknya /
kakeknya dan menjadi panggilannya karena dalam rangka menghormati keturunannya.
Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Robiu’l Awal Tahun 164 H.11
Ketika beliau masih kecil, ayahnya meninggal dunia dengan hanya meninggalkan
sedikit harta untuk kehidupan keluarganya. Semenjak kematian ayahnya ibunya tidak
menikah lagi. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar ia bisa memfokuskan perhatian kepada
Ahmad sehingga bisa tumbuh sebagaimana yang ia harapkan. Ibu beliau bernama Safiyyah
binti Maimunah binti Abdul Malik as Syaibany.12 Sejak kecil beliau memang menunjukkan
minat yang mendalam terhadap ilmu pengetahuan, hal ini dapat terlihat dari kebiasaan beliau
yakni selalu membawa tinta dan kertas kemana saja beliau pergi, untuk menulis sesuatu yang
dirasakan bermanfaat baginya. Pada saat itu, Baghdad merupakan kota pusat ilmu
pengetahuan, sehingga beliau tidak melewatkan kesempatan tersebut dengan memperdalam
ilmu pengetahuan, beliau memulai dengan belajar menghafal al-Quran, kemudian belajar
bahasa Arab, dan hadis.13
8
Ahmad Asy Syurbasy, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 214
9
www. blogspot.com ”Pemikiran Ahmad bin Hanbal” (30 September 2021), hlm. 5
10
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Gaung Persada, 2011), hlm. 154
11
Muhammad Abu Zahrah, Ibn Hanbal (Kairo: Dar al Fikr al Araby, 1997), hlm. 15.
12
Ahmad Asy Syurbasy, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 192
13
Abu Zubair, “Biografi Imam Ahmad bin Hanbal”, dalam http://www.wordpress.com (30 September 2021), hlm. 1
3
Imam Ahmad bertubuh tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek serta berkulit
sawo matang.14 Beliau mulai belajar hadis pada tahun 179 H ketika berusia 16 tahun, dan
untuk pertama kalinya beliau belajar hadis pada Abu Yusuf. 15 Abu Yusuf adalah seorang ahl
al-ra’yi dan salah satu sahabat Abu Hanifah. Abu Yusuf juga seorang hakim agung pada
pemerintahan Bani Abbasiyah.
Untuk memperdalam ilmu, beliau pergi ke Basrah untuk beberapa kali, disanalah
beliau bertemu dengan Imam Syafi’i, kemudian beliau pergi menuntut ilmu ke Kufah,
Bashrah, Yaman, Syam, Mesir, Makkah dan Madinah. Diantara guru-guru beliau adalah
Sufyan bin Uyainah, Yusuf alHasan Bin Ziad, Husyaim, Umair, Ibnu Humam, Ibnu Abbas,
Hammam Bin Kholid, Ismail Bin Aliyyah, Muzaffar Bin Mudrik, Walid Bin Muslim,
Muktamar Bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qodhi, Yahya Bin Zaidah, Ibrahim Bin Said,
Muhammad Bin Idris As-Syafii, Abdurrozaq Bin Humam dan Musa Bin Thoriq, dari guru-
gurunya inilah beliau belajar Ilmu Fiqh, Hadis, Tafsir, Kalam, Ushul, dan bahasa Arab. 16
Kondisi kehidupan yang sejak awal sangat sederhana, menjadi salah satu pendorong
bagi Ahmad untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Beliau mempunyai obsesi untuk bisa
segera mengurangi beban sang ibu. Ahmad menikah dan memiliki dua orang putera yang
terkenal dalam bidang hadis yaitu Shalih dan Abdullah. Kedua puteranya banyak menerima
hadis dari sang ayah. Ahmad seorang ilmuwan yang produktif. Beliau banyak menulis kitab
di antaranya ialah kitab al-‘Ilal, al-Tafsir, al-Nasikh wa al-Mansukh, kitab al-Zuhd, al-
Masa’il, kitab Fadhail al-Shahabah, kitab al-Asyribah, kitab al-Fara’id, al-Manasik, kitab al-
Iman, Tha’at al-Rasul, dan kitab al-Ra’d ‘ala al-Jahmiyah. Kitabnya yang paling agung dan
termasyhur ialah al-Musnad karena di dalamnya memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu
hadits.17
14
www.nippontori.multiply.com”Biografi Imam Ahmad bin Hanbal” (29 September 2021), hlm. 1
15
Ahmad Asy Syurbasy, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 193
16
Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Islam, Jilid III, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), hlm. 82
17
www.wikipedia.org”Ahmad bin Hanbal” (25 September 2021), hlm. 5
4
c. Pemikiran Mazhab Hanabilah
Beliau memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap umat Islam, diantara
adalah beliau mengumpulkan dan menyusun hadits secara rapi dan sempurna mengikutkan
nama-nama sahabat Nabi Muhammad SAW yang meriwayatkannya satu persatu dalam
kitab Musnadnya. Sifat ketelitian dan kesungguhan Imam Ahmad bin Hanbal menyelidiki
hadis-hadis Nabi Muhammad SAW dapat membersihkan hadis-hadis dari pemalsuan.
Usaha ini juga menjadikan hadis dan sunah Rasulullah terpelihara dan terhimpun dengan
sempurna.
Dalam memandang al Quran dan as sunnah sebagai sumber hukum Islam, Imam
Ahmad bin Hanbal sependapat dengan gurunya yakni Imam Syafi’i, Imam Ahmad
memandang as sunnah memiliki kedudukan yang sama kuat disamping al-Quran, sehingga
tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum Islam itu adalah Nash, tanpa
menyebutkan al Quran dahulu ataupun as sunnah dahulu, tetapi yang dimaksud olehnya
sebagai Nash adalah al Quran dan as sunnah.19
18
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Gaung Persada, 2011), hlm. 160
19
Rahmad Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), hlm. 53-54
5
al-Quran dan mendengarkan takwilnya dari Rosulullah. Selain itu, para sahabat dinilai
lebih mengetahui as sunnah yang mereka gunakan sebagai penafsir alQuran.20
Dalam hal penerimaan terhadap hadis ahad sebagai sumber hukum Islam, Imam
Ahmad bin Hanbal dan ulama Hanafiyah menerima hadis ahad sebagai sumber hukum
tanpa mensyaratkan sesuatupun, kecuali harus shohih sanadnya sebagaimana Asy-Syafi’i.
Bahkan beliau juga menerima hadis mursal, namun lebih mendahulukan fatwa sahabat
daripada hadis doif.21
Salah satu pemikiran yang dilontarkan adalah tentang status al-Quran yang sampai
menghantarkannya ke penjara. Yang mana apakah al-Quran diciptakan (makhluk) yang
karenanya hadits (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya qodim? Ibnu hambal tidak
mau membahas lanjut tentang status al-Quran, ia hanya mengatakan bahwa al-Quran tidak
diciptakan, hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang
berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan Rosul-Nya.24 Dalam beristinbath hukum,
imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode ahlul hadis dengan dasar-dasar sebagai
berikut :25
20
Ibid., hlm. 54
21
Ibid
22
Abdu Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu kalam, hlm. 112
23
Ibid.,hlm. 113
24
Ibid.,hlm. 114
25
Tim Penyusun, Pengantar Studi Islam, ( Surabaya : IAIN Ampel PRESS, 2006), hlm. 60
6
Pertama, Nash Al Qur-an atau nash hadis. Apabila beliau menghadapi suatu nash dari al
Qur’an dan dari as sunnah shohihah, maka dalam menetapkan hukum adalah dengan nash
tersebut, tidak dengan selainnya.
Kedua, Fatwa sebagian Sahabat. Apabila beliau tidak mendapatkan suatu nash terang,
baik dari al-Qur’an maupun sunnah, barulah menggunakan fatwa dari sahabat yang
dirasa tidak ada fatwa lain yang menandinginya. Katanya “itu bukanlah ijma”. Fatwa
sahabat didahulukan daripada akal atau qiyas. Apabila terjadi perbedaan pendapat
dikalangan sahabat, maka beliau mengambil pendapat yang lebih dekat dengan bunyi
teks al-Qur’an atau hadis dan tidak akan mencari yang lainnya. Akan tetapi bila
semuanya tidak jelas, maka beliau tidak akan mengambil kesimpulan apapun.
Ketiga, Hadith Mursal dan Hadith dho’if. Apabila Imam Ahmad tidak mendapatkan dari
al Qur’an dan as sunnah yang shahihah dan fatwafatwa para sahabat yang disepakati
atau diperselisihkan, maka beliau menetapkan hadis mursal dan hadis dho’if. Yang
dimaksud hadis dho’if oleh Imam Ahmad adalah karena beliau membagi hadis dalam
dua kelompok: shahih dan dho’if, bukan kepada: shahih, hasan dan dho’if seperti
kebanyakan ulama yang lain
Keempat, Qiyas. Beliau menggunakan qiyas bila sudah dalam keadaan terpaksa karena
tidak didapatkan dalam hadith mursal ataupun dho’if dan juga fatwa para sahabat.26
Terkadang Imam Ahmad menggunakan al Mashalih al Mursalah terutama dalam bidang
siyasah. Sebagai contoh Imam Ahmad pernah menetapkan hukum ta’zir terhadap orang
yang selalu berbuat kerusakan dan menetapkan hukum had yang lebih berat terhadap
orang yang minum khamr pada siang hari di bulan Ramadlan.27
Tentang ijma’, pendirian Imam Ahmad ini sebenarnya tidak berbeda dengan
pendirian Imam Syafi’i, karena Imam Syafi’i sendiri pernah berkata “Barang apa yang
belum diketahui ada perselisihan di dalamnya itu belum atau bukan ijma’ namanya”.
Sedangkan Imam Anmad berpendapat bahwa ijma’ tidak diakui keberadaannya setelah
periode sahabat. Beliau berkata, “apa yang dituduh oleh seseorang tentang ijma’ adalah
dusta”. Beliau bukannya tidak mengakui ijma’ setelah periode sahabat, tetapi tidak
memungkinkan akan terjadinya. Karena itu beliau lebih berpegang pada qiyas setelah teks
al-Qur’an, sunnah dan atsar sahabat.28
26
www. blogspot.com ”Pemikiran Ahmad bin Hanbal” (28 September 2021), hlm. 8
27
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Gaung Persada, 2011), hlm. 161
28
Ibid., hlm. 8
7
Imam Hanbali disebut sebagai Imam yang wara’ (berhati-hati dan menjaga diri).
Imam Ahmad juga berhati-hati dalam menerima pendapat, pemikiran orang, atau logika
orang. Ia lebih memilih hadis dho’if kalau tidak ada kaitannya dengan halal dan haram.29
Kalaupun ada kaitannya, ia lebih memilih hadis shahih yang kuat. Imam Ahmad juga
menolak ijma’ kecuali yang dilakukan oleh para sahabat Nabi.
Hadis-hadis Imam Ahmad bin Hanbal banyak diriwayatkan oleh tokoh-tokoh besar
dalam ilmu hadis seperti al Bukhari, Muslim, Abu Dawud Ibn al Mahdi, al Syafi’i, Abu al
Walid, Abd Rozaq, Yahya bin Ma’in, Ali ibn al Madiny dan Husein ibn Mansur.30 Perawi-
perawi hadis diataranya adalah para guru, teman sejawat dan murid-muridnya.
Ushul pertama,
An-Nas. Yang dimaksud dengan An-Nas disini adalah teks hadis Rasulullah Shallahu
Alaihi Wasallam. Ibn Hambal berpendapat bahwa teks hadis (setelah al- Qur‟an
tentunya) menjadi pilihan paling utama diantara sumber-sumber otoritatif yang lain.
Bahkan beliau akan mengedepankan teks hadis sekalipun terdapat legitimasi lain dalam
sebuah masalah-seperti perkataan para sahabat atau klaim ijmak. Dapat dicontohkan
disini dalam masalah apakah orang junub yang tidak bisa menggunakan air boleh
untuk bertayammum sebagai pengganti air?. Dalam hal ini Umar berpendapat tidak
sah untuk menggunakan selain air. Sementara terdapat teks hadis riwayat Ammar bin
Yassir yang melegetimasi bolehnya bertayammum.32 Ibn
29
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Gaung Persada, 2011), hlm 162
30
www.wikipedia.org”Ahmad bin Hanbal” (30 September 2021), hlm. 4
31
Abdul Ka>dir bin bin Badra>n ad –Dimshi>ki > al-Madkhal ila>Madzhabil Ibn Hambal, 121
32
Hadis dikeluarkan oleh Bukhari pada bab at-Tayammum lil Wajhi Wal kaffaini, bab Iza Khafal junub AlaNafsishi
al-Marad Awil al-Maut aw Khafa al-Atash Tayammama
8
Hambal dalam hal ini lebih mengedepankan pendapat boleh bertayammum
berdasarkan hadis dari Ammar bin Yassir.
33
Abdul Kahdir bin bin Badran ad –Dimshiki al-Madkhal ilaMadzhabil Ibn Hambal, 123
9
orang yang menyelisihinya”. Dapat dipahami dari teks pernyataan beliau disini bahwa
ijma yang di ingkari Ahmad disini adalah kalim ijma sementara faktanya masihada yang
berbeda pendapat, dan bukan berarti beliau tidak setuju dengan adanya ijma.
Ushul kedua
Fatwa-fatwa para sahabat nabi Shallahu Alaihi Wasallam dalam madzhab
Hambali, secara hirarkis fatwa-fatwa para sahabat menempati posisi kedua setelah hadis
sahih. dalam madzhab Hambali, fatwa-fatwa sahabat menjadi urgen selama tidak dikenal
adanya sahabat lain yang menyelisihinya, apabila hal itu terbukti validitasnya maka
ibn Hambal tidak akan mendahulukannya atas adanya suatu amalan, pendapat, maupun
kias. Disini terjadi kesamaan antara fatwa para sahabat dalam maslah hukum dengan
fatwa-fatwa yang dirilis ibn Hambal seolah diterbitkan dari satu sumber, sebagai
konsekuensi dari kesamaan beliau dengan fatwa para sahabat beliau akan membuat
statmen versi dua riwayat apabila memang faktanya para sahabat berselisih dan
mengatakan dua pendapat.
Inilah bukti komitmennya terhadap fatwa para sahabat nabi. Bahkan, beliau
akan mendahulukan fatwa yang berbasis sahabat dengan para perawi yang tsab dan jalur
sanadnya bersambung atas hadis mursal (hadis yang langsung disambungkan
kepada nabi tanpa menyebut para perawi di tengah-tengahnya/sahabat) meskipun para
perawinya tsabt juga.
Fakta ini dibuktikan dengan klarifikasi Ibrahim bin Hani: Beliau bertanyakepada
Abu Abdillah (Ahmad bin Hambal) mana yang lebih engakau sukai hadis
mursal dengan para perawi yang tsabt atau hadis dari para sahabat atau tabi’in dengan
jalur sanad muttasil serta rawi yang tsabt? beliau menjawab opsi yang kedua lebih
beliau sukai.
Ushul ketiga
Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam fatwa para sahabat, usul Hambali
akan lebih memilih mana diantara pendapat tersebut yang lebih dekat validitasnya
dengan al-Qur‟an dan hadis. Jika ternyata silang pendapat yang terjadi di kalangan
para sahabat tidak bisa dikompromikan maka sikap ibn Hambal akan mengakui
itu, dan tidak mengharuskannya sebagai basis istinbat. Berkata Ishak bin Ibrahim
10
bin Hani‟: ibn Hambal pernah ditanya tentang seseorang di tengah-tengah kaumnya
dia ditanya tentang sebuah masalah yang terjadi silang pendapat tentangnya, maka ibn
Hambal menjawab hendaknya dia berfatwa dengan pendapat yang di dukung dengan
validitas al-kitab dan as-Sunnah maka jika tidak sesuai denganal-Kitab dan as-Sunnah
hendaknya dia menahan diri (untuk tidak berfatwa) .
Ushul keempat
Memberlakukan hadis mursal dan hadis daif apabila tidak ada yang
menyanggahnya, dan itu lebih dikedepankan (dirajihkan) ibn Hambal.34 Dan kategori
daif versi ibn Hambal disini bukan termasuk daifdengan kreteria hadis bathil dan
mungkar dan bukan pula daif dengan perawi terduga melakukan kebohongan
(muttaham bi al-kazib).35 Jadi, daif yang dipersepsikan ibn Hambaldisini termasuk
dalam kalasifikasi hadis hasan yang merupakan bagian dari hadissahih versi umum.36
Menurut ibn Hambal hadis di bagi menjadi hadis sahih dan
daif bukan seperti pengkalsifikasian konvensional menjadi hadis sahih, hasan dan
daif. Sehingga bisa di pahami daif dalam persepsi ibn Hambal sama dengan hadis
hasan pada klasifikasi konvensional. Dalam masalah hadis daif ibn hambal memiliki
pengklasifikasian berbeda dengan jamaknya para ahli hadis (muhaddisun).
Bagi beliau hadis daif memiliki tingkatan-tingkatan.
Apabila dalam satu kasus hukum tidak ada sanggahan kepada hadis daif baik
dari asar sahabat (perkataan sahabat), maupun ijma‟maka suatu amalan dapat
direkomendasikan sebagai praktik yang legal, dan hal itu lebih utama di banding dengan
keputusan hukum yang berbasis kias. Usul ibn Hambali yang berkaitan dengan amal yang
berbasis hadis daif bukan monopoli beliau namun ternyata secara umum disupport oleh
imam-imam madzhab yang lain seperti Abu Hanifah, dan Shafi‟i.
34
Seperti hadis : يهفدازاذإفمايأةرشعنوكيامرثكأوةثالثبيثالوركبالةيراجللضيحاللقأمستحاضة, hadis ini daif menurut kajian kebanyakan pakar hadis
karena ada perawi yang majhul(tidak di kenal) yaitu perawi yang bernama Abdul Malik, susunan perawinya adalah dari
Hasan bin Ibrahim bin Abdul Malik dari Ala‟bin Kasir dari Makhul. Lihat,al-Madkhal ilaMadhabil Ibn Hambal, 126
35
Salah satu pembagian dari hadis daif, hadis batil berarti lawan kata dari sahih, lihat, Abu Shuhbah, alWasit Fi
Ulumi Must}alahul Hadis, (Bairut : Darul Fikr Arabi ,tt), 265
36
Para ulama hadis berbeda dalam mendefinisikan hadis hasan, diatara mereka ada yang mendefinisikan dengan
hadis hasan sebagai klasisfikasi di bawah hadis sahih. definisi lain adalah hadis yang dikenal mukharrijnya (yang
mengeluarkan) dan para perawinya terkenal/dikenal. Lihat, Abu Shuhbah, al-Wasit Fi Ulumi Musthalahul Hadis,
(Bairut : Darul Fikr „Arabi ,tt), 265
11
Adapun Malik beliau mendahulukan hadis mursal, dan perkataan sahabat daripadahadis
daif.
Ushul kelima
Apabila dalam satu kasus hukum tidak ada pendukung (penguat) dari an-
Nas, perkataan para sahabat, atau salah seorang dari mereka, tidak ada hadis mursal
dan daif, maka beliau akan menggunakan usul kelima yaitu kias. Sebelumnyatelah
disebutkan bahwa ibn Hambal menjadikan kias sebagai basis dalam istinbat apabila
kondisi emergensi. Sikap ini sama dengan Shafi‟i sebagaimana informasi yang dirilis
oleh beliau ketika beliau bertanya kepada Shafi‟i tentang kias kapan diberlakukan
maka, Shafi‟i menjawab : hal itu diberlakukan jika dalam kondisi darurat.
Perlu di tambahkan disini, bahwa sikap ibn Hambal terhadap sebuah keputusan
hukum sangat hati-hati, sikap tersebut di tunjukkan apabila ada perbedaan pendapat yang
terjadi di kalangan para sahabat tentang suatu masalah atau sejauh penelusuran beliau
tidak ada asar maupun perkataan sahabatmaka ibn Hambal tidak akan mengeluarkan
fatwa (keputusan hukum). Dalam kaitannya dengan hal ini beliau juga sangat tidak suka
untuk berfatwa dalam satu masalah yang hampa dari asar, kesan itu sangat nampak pada
statmen beliau kepada murid-muridnya “ hati-hatilah jangan samapai berbicara dalam
satu kasus hukum tanpa ada imam”.
37
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam,116
12
B. Mazhab Syiah
Awalnya Syi’ah pengikut mazhab Sunni, tepatnya mazhab Imam Malik. Tapi, dalam
petualangannya mencari kebenaran dalam Islam, ia akhirnya memilih untuk menjadi pengikut
mazhab Ahlul Bait (orang rumah atau keluarga), yang biasa dikenal dengan Syiah, tepatnya
Syiah Jakfariyah. Mazhab ini merupakan mazhab yang di anut Iran saat ini.
Sebutan Syi’ah ditujukan kepada pengikut Sayidina Ali r.a yang merupakan
pemimpin ahlul bait saat Rasulullah masih hidup. Bermula dari perselisihan terkait siapa
yang paling layak menjadi penerus kepemimpinan setelah Rasulullah saw. wafat. Hal ini
bukan tanpa alasan, umat muslim merasa perlu memiliki pemipin yang akan menyatukan
umat muslim.
Permasalahan muncul kembali saat Ali tidak turut hadir dalam pemilihan tersebut.
Pihak Ali bin Abi Thalib tampak tidak puas setelah mendengar kabar bahwa Abu Bakar yang
akan menjadi penerus kepemimpinan setelah Rasulullah. Mereka berpendapat bahwa
Sayidina Ali lah yang layak menjadi penenrus, karena Sayyidina Ali merupakan keluarga dari
Rosulullah saw., bahkan beliau merupakan menantu dari Rosulullah, orang yang terkenal
akan kebesaran jihadnya, paling banyak ilmunya, dan keluarganya merupakan yang paling
utama di tanah Arab.38
38
Pengantar Studi Teosofi, Aminol Rosid Abdullah, 36
13
Pertama, pandangan bahwa Syiah terbentuk pasca wafatnya Nabi Muhammad saw.,
kalangan yang mendukung pandangan ini antara lain:
1. Ibnu Khaldun, yang berkata, “Syiah muncul ketika Rasulullah saw. wafat. Saat itu Ahlul
Bait memandang dirinya lebih berhak memimpin umat Islam. Kekhalifahan hanyalah hak
mereka, bukan untuk orang Quraisy lain.39
2. Dr. Ahmad Amin, yang berkata, “Benih pertama Syiah adalah sekelompok orang
yangmberpendapat bahwa selepas wafatnya Nabi Muhammad saw, Ahlul Bait beliaulah
yang lebih utama menjadi khalifah dan penerus beliau ketimbang yang lain.40
3. Dr. Hasan Ibrahim, yang berkata, “Tidak disangsikan lagi, setelah Nabi Muhammad
saw., wafat, kaum Muslimin berselisih soal siapa khalifah beliau. Akhirnya, tampak
kekhalifahan itu jatuh ke tangan Abu Bakar, dan keputusan tersebut mengakibatkan
bangsa arab terbelah dalam dua kelompok: Jama’iyah dan Syiah.41
4. Ya’qubi, yang berkata, “Sekelompok individu yang enggan membaiat Abu Bakar
merupakan benih pertama Syiah. Di antara mereka yang paling masyhur adalah Salman
Farisi, Abu Dzar Ghifari, Miqdad bin Aswad, dan Abbas bin Abdil Muttalib.42
Ketiga, pandangan bahwa Syiah terbentuk semasa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib,
beberap pengusung pandangan ini adalah Naubakhti dalam bukunya yang berjudul Firoq
Al-Syî’ah,44 dan Ibnu Nadim dalam buku Al-Fihrist. Dalam bukunya ia mengklaim bahwa
peristiwa di Bashrah dan sebelumnya berpengaruh langsung dalam proses pembentukan
mazhab Syiah.45
39
Ibnu Khaldun, Târîkh Ibn Khaldûn, (Dar-Fikr, Bairut, 1988), Jld. 3, Hlm. 364.
40
Ahmad Amin, Fajr Al-Islâm, (Dar-Kitab Al-‘Arabi, Bairut, 1969), Hlm. 266
41
Hasan Ibrahim, Târîkh Al-Islâm, (Kairo: T.P, 1957), Jld. 1, Hlm. 371.
42
Ahmad Bin Ya’qub, Târîkh Al-Ya’qûbî, (Muassasah ‘Ilmi, Bairut, Libanon, T.T), Jld. 2, Hlm.
43
Ibid., Hasyim Farghal, ‘Awâmil Wa Ahdâf Nasy’ah Ilm Al-Kalâm, (Dar Al-Afaq Al-‘Arabiyyah,
2013), Hlm. 105.
44
Ibid., Naubakhti, Firoq Al-Syî’ah, (Mansyuraat Al-Ridha, Bairut, T.T), Hlm. 36.
45
Ibid., Ibn Nadim, Al-Fihrist Li Ibn Al-Nadim, (Mathba’ah Ar-Rahmaniyah, Mesir, 1990), Hlm. 175
14
Keempat, pandangan bahwa Syiah terbentuk pasca tragedi Thaif (Karbala).
Kalangan pengusung pandangan ini berbeda pendapat soal kronologi pembentukannya.
Menurut sebagian mereka, Syiah diindikasikan eksis sebelum tragedi Thaff tidak memenuhi
syarat–syarat terbentuknya mazhab yang khas dalam segi karakter dan ciri-cirinya. Jadi,
mazhab itu baru terbentuk pasca terjadinya tragedi Thaif.
Dapat disimpulkan bahwa orang-orang syiah pada awalnya mereka adalah orang-
orang yang mencintai nabi dan keturunan nabi. Bahkan mereka berlomba-lomba untuk
memulyakan ahlulbait yang termotivasi dari penjelasan rasulullah Saw sendiri terkait
beberapa tafsir ayat contohnya surat al Bayinah. Dengan kata lain cikal bakal syiah dalam
arti orang-orang yang mencintai ahlulbait telah ada sejak rasulullah Saw hidup. Kemudian
golongan syiah ini mengalami perluasan makna pada pemililihan khalifah di saqifah bani
saidah. Mereka mengusulkan nama Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Rasulullah Saw.
Fakta ini kemudian muncul kembali pada perang siffin yang menghasilkan abritase diantara
kedua belah pihak. Dimana orang-orang syiah ini menampakan jati dirinya sebagai
pendukung Ali dan hingga saat ini faham inilah yang muncul sebagai sebuah madzhab teologi
dalam Islam. 46
Munawir Syadzli menyebutkan bahwa perkembangan sejarah syiah yang paling pesat dan luas
adalah di kalangan orang-orang persia. Budaya mendewa-dewakan raja dan menganggapnya sebagai
orang suci masih berakar di kalangan bangsa Persia, sehingga waktu mereka menerima Islam. Dengan
latar belakang budaya tersebut, mereka memperlakuan Rasulullah dan keluarganya sama sebagaimana
perlakuan mereka kepada raja mereka. Pola pemikiran seperti ini yang mempengaruhi mereka bahwa
tahta kepemimpinan harus diteruskan oleh garis keturunan (nash).1
Abu al-Khair al-Baghdâdi, membagi Syiah dalam empat kelompok besar yaitu
Zaidiyah, Ismailliyah, Isna ‘Asyariyah, Ghulat (ekstremis).2 Perpecahan dalam kelompok
Syiah itu terjadi lebih disebabkan karena pebedaan prinsip keyakinan dalam persoalan imâmah, yaitu
pada pergantian kedudukan Imam dalam Syiah menjadi sangat penting, karena tugas dan tanggung
jawab seorang Imam hampir sejajar dengan kedudukan Nabi.3
Perpecahan Syiah pertama terjadi sesudah kepemimpinan Imam Husein oleh karena perbedaan
1
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta, UI Prees. 1990), Hlm.212.
2
Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna Al-Firoq, (Beirut Dar-Ma’rifah, T-Th), Hlm.76.
3
Rasyidi. Apa Itu Shiah?, (Jakarta: Harian Umum Pelita, 1984.). Hlm.11. M. Quraish Shihab.
Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah: Kajian Atas Konsep Ajaran Dan Pemikiran, Hlm.66
15
pandangan siapa yang lebih berhak menggantikan kepemimpinan imam. Sebagian pengikut
beranggapan bahwa yang berhak memegang kedudukan imam adalah putra Ali yang lahir tidak dari
rahim Fatimah, yaitu yang bernama Muhammad Ibn Hanifah. Sekte ini dikenal dengan nama
Kaisaniyah. Sekte Kaisaniyah selanjutnya tidak berkembang. Sedang golongan lain berpendapat
bahwa yang berhak menggantikan Husein adalah Ali Zaenal Abidin bin Husain. Golongan yang kedua
ini (pendukung Ali Zaenal Abidin) merupakan kelompok yang menjadi cikal bakal dari kelompok
Zaidiyah.4
Setelah kematian Ali Zaenal Abidin, sekte Zaidiyah terbentuk. Golongan Zaidiyah mengusung
Zaid sebagai imam kelima pengganti Ali Zaenal Abidin. Zaid sendiri adalah seorang ulama terkemuka
dan guru dari Imam Abu Hanifah dan merupakan keturunan Ali bin Abi Thalib dari sanad Ali Zaenal
Abidin bin Husain. Syiah Zaidiyah adalah golongan yang paling moderat dibandingkan dengan sekte-
sekte lain dalam Syiah. Paham yang diajarkan oleh Syiah Zaidiyah dipandang paling dekat dengan
paham keagamaannya dengan aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
5
Syiah Zaidiyah menetapkan bahwa hak sebagai imam dapat diberikan kepada siapapun yang memiliki
garis keturunan sampai dengan Fathimah, putri Rasul baik dari putra Hasan bin Ali maupun Husain.
Akan tetapi, sekte Zaidiyah bersikukuh bahwa seorang Imam juga harus memiliki kemampuan secara
keilmuan, adil, dan berani melawan kezaliman dengan cara mengangkat senjata. Bahkan kelompok
Zaidiyah membenarkan adanya dua atau tiga imam dalam dua atau tiga kawasan yang berjauhan dengan
tujuan untuk melemahkan kelompok musuh (penguasa yang zalim).6
Dalam perkembangannya, Syiah Zaidiyyah berubah menjadi ekstrem dengan gambaran bahwa
\ mereka tak mengakui imam yang mafdhul (bukan yang terbaik) seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman,
sehingga hal ini mengakibatkan pengkafiran. Namun, Syiah Zaidiyyah yang berkembang di Yaman
saat ini lebih cenderung kepada Zaidiyyah masa awal yang terkenal moderat.7 Sepeninggal Zaid, Syiah
Zaidiyah pecah menjadi tiga kelompok, Jarudiyah, Sulaimaniyah, dan Batriyah.
Sekte Jarudiyah adalah pengikut Abir Jarud Ziyad bin Abi Ziyad. Konsep imamah aliran ini
menyalahi pendapat Zainal bin Ali sebagai guru dan imam mereka. Bagi kelompok ini Alilah yang
pantas menggantikan Rasulullah dikarenakan kesesuaian ciri-ciri yang diinformasikan oleh Rasulullah,
meski namanya tak disebut, sehingga bagi mereka para sahabat menjadi kafir.
Sekte Sulaimaniyah adalah pengikut Sulaiman bin Jarir. Pemahaman mereka relatif sama
dengan imam mereka Zaid, hanya saja mereka menganggap Utsman kafir karena ia mencitrakan buruk
kekhalifahannya dengan cara memasukkan banyak kerabatnya ke dalam pemerintahan. Demikian
Aisyah, Thalhah dan Zubair, bagi Sulaimaniyah mereka kafir karena telah memerangi Ali.
Sekte Shalihiyah dan Batriyah, adalah pengikut Hasan bin Shaleh dan Katsirun Nawaal-
4
M. Quraish Shihab. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah: Kajian Atas Konsep
Ajaran Dan Pemikiran, Hlm.82
5
Rasyidi. Apa Itu Shiah?, Hlm.52
7
Ahmad Atabik, Melacak Historitas Syiah..., hal. 339
16
Abtar. Mereka memiliki kesamaan dengan paham Sulaymaniyah, hanya saja berbeda dalam penilaian
status Utsman. Utsman memiliki dua sisi, jika ditinjau dari posisinya sebagai 10 sahabat yang
dimasukkan ke dalam surga maka ia mukmin, jika ditinjau dari segi sistem pemerintahannya maka ia
telah kafir.8 Aliran ini tersebar di daerah sekeliling laut Kaspia seperti Dailam, Tabrastan dan Gilan
di timur. Sedangkan di barat tersebar di Hijaz,Mesir dan
Yaman.9
Sekte Ismailliyah dan Isna ‘Asyariyah dapat digolongkan dalam Syiah Imamiyah, karena
keduanya mengakui bahwa pengganti Ali Zaenal Abidin (Imam keempat) adalah Abu Ja’far
Muhammad al-Baqir (Imam kelima). Kemunculan sekte Ismailliyah dan Isna ‘Asyariyah ini terjadi
setelah wafatnya Abu Abdullah Ja’far Sadiq (Imam keenam) pada tahun 148 H. Sekte Ismailliyah
menyakini bahwa Ismail, putra Imam Ja’far ash-Shadiq, adalah imam yang menggantikan ayahnya
sebagai Imam ketujuh. Ismail sendiri telah ditunjuk oleh Ja’far ash-Shadiq, namun Ismail wafat
mendahului ayahnya. Akan tetapi satu kelompok pengikut tetap menganggap Ismail adalah Imam
ketujuh. Kepercayaan pada tujuh Imam Syiah yang terhenti pada Ismail putra Ja’far ash-Shadiq,
menjadikan Syiah Ismailliyah disebut juga Syiah Sab’iyah.10
Dalam beberapa riwayat, dikemukakan bahwa Imam Ja’far telah berupaya untuk meyakinkan
kelompok Syiah yang menyakini bahwa Ismail belum wafat. Menurut Ja’far, Ismail putranya adalah
benar-benar meninggal secara jasad, yaitu hilangnya ruh dari badan. Akan tetapi masih saja ada
kelompok yang meyakini Ismail tidak mati sebagaimana diperlakukan dengan Nabi Isa. Ismail akan
hadir kembali sebagai penyelamat umat di akhir zaman. Syiah Ismailliyah juga diberi gelar dengan al-
Bâṭiniyah, karena kepercayaan bahwa Al-Qur’an dan Sunnah mempunyai makna lahir dan makna batin
(tersembunyi). Syiah Ismailliyah ini pada masa-masa setelah Imam Ja’far mengalami banyak cabang,
diantaranya: kelompok Druz, Ismailliyah Nizary, Ismailliyah Musta’ly.11 Saat ini kelompok Syiah ini
tersebar di Kerman, Khurasan, Tajikistan, Afghanistan dan lain-lain.12
Kelompok lain dari golongan Syiah Imamiyah yaitu Isna ‘Asarîyah atau lebih dikenal dengan
Imâmiyah atau Ja’fariyah, atau kelompok Syiah Imam Dua Belas. Kelompok ini mempercayai
pengganti Ja’far ash-Shadiq adalah Musa al-Kadzam sebagai Imam ketujuh bukan Ismail saudaranya.
Kelompok Syiah inilah yang jumlahnya paling banyak (mayoritas) dari kelompok Syiah yang ada
sekarang.13
Disebut sebagai Syiah Imam dua belas karena kelompok syiah ini meyakini dua belas imam secara
berurutan yaitu:
8
Aminun P. Omolu, Syiah Zaidiyyah : Konsep Imamah dan Ajaran-Ajaran Lainnya, hal. 212-213
9
Aminun P. Omolu, Syiah Zaidiyyah : Konsep Imamah dan Ajaran-Ajaran Lainnya, hal. 216
10
Asy-Syahrastani, Al-Milal Wa An-Nihal, Hlm.191. Moojan Momen, An Introduction To Shi’i
Islam, (United States, Yale University Press, 1985), Hlm.55.
11
M. Quraish Shihab. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah: Kajian Atas Konsep
Ajaran Dan Pemikiran, Hlm.73-78.
12
Ahmad Musonnif, Pemikiran Shi’ah..., hal. 235
13
. M. Quraish Shihab. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah: Kajian Atas Konsep
Ajaran Dan Pemikiran, Hlm.83.
17
1. Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
2. Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
3. Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib.
4. ‘Ali Zaenal ‘Abidin bin Husein bin ‘Ali bin Abi Thalib.
5. Mohd. al-Baqir bin Ali Zaenal Abidin.
6. Ja’far Shadiq bin Muhammad al-Baqir.
7. Musa al-Kazim bin Ja’far Shadiq.
8. Ali Ridla bin Musa al-Kazhim.
9. Muhammad al-Jawwad bin ‘Ali Redha.
10. Ali bin Muhammad bin Ali Ridla.
11. Hasan bin Ali, bin Muhammad al-Askari.
12. Muhammad bin Hasan al-Mahdi.14
Ajaran ini resmi menjadi mazhab negara di Iran, terkhusus pasca Revolusi Iran tahun 1979
yang dilakukan oleh Ayatullah Khomeini.15 Syiah Imamiyah benar-benar menemukan momentumnya
di tangan Khomeini yang menjadi pemimpin republik Islam Iran, hal ini dibuktikan dalam rancangan
undang-undang negaranya mengenai posisi al-Mahdi sebagai pemegang kekuasaan penuh di Republik
Islam Iran.16
Pada praktik keagamannya secara praktis, Adzan di Iran mennambahkan redaksi ayshadu anna
aliyyanwaliyyullah (saya bersaksi bahwa Ali adalah wali Allah), tempat wudhu dimasjid sana juga tak
menyediakan tempat untuk membilas kaki.17
Syiah Imamiyah juga menyebar di Malaysia pasca terjadinya revolusi Iran, tak lama setelah itu
parlemen Malaysia mengeluarkan ketetapan mengenai dilarangnya gerakan Syiah di daerah sana, dan
diharuskannya orang Islam Malaysia berpaham Ahlussunnah wal Jama’ah.18
Sekte selanjutnya adalah syiah Ghulat, merupakan kelompok ekstrim dari paham Syiah, yang
saat ini telah dipandang telah punah, dan sangat sulit untuk dilacak genealogi
pemikiran dari tiga kelompok besar lainnya. (Ismailliyah, Isna ‘Asyariyah, dan Zaidiyah).
Kelompok ekstrim ini banyak yang dipandang telah keluar dari Islam sehingga keberadaaanya saat ini
telah punah. Kelompok paham Syiah yang termasuk Ghulat di antaranya As-Sabaiyah yaitu pengikut-
pengikut Abdullah bin Saba’.19
Di antara Syiah Ghulat yang lain yaitu: AlKhaththâbiyah, mereka adalah penganut
paham Ghulat yang disebarkan oleh Abu al-Khaththâb al-Asady. Kelompok AlKhaththâbiyah
14
Thabathaba’i. Islam Syiah: Asal-Usul Dan Perkembangannya, Hlm.99
15
Abdul Kadir, Syiah dan Politik (Studi Republik Islam Iran), Jurnal Politik Profetik Vol. 5, No. 1, tahun 2015, hal.2
16
Abdul Kadir, Syiah dan Politik..., hal. 9
17
Shohibul Itmam, Pemikiran Islam dalam Perspektif Sunni dan Syiah, Jurnal Penelitian, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013, hal.
325
18
Ibid., Anis Malik Toha, Syiah di Malaysia, ISLAMIA : Jurnal Pemikiran Islam Republika, No. 24, Januari 2012
19
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonsia, Jakarta, Djambatan, Hlm.999
18
menyatakan bahwa Imam Ja’farash-Shadiq dan leluhurnya adalah Tuhan. Imam Ja’far sendiri menolak
dirinya dianggap sebagai Tuhan. Kelompok ini dalam perkembangan sejarahnya juga mengalami
perpecahan dalam kelompok kelompok kecil yang berbeda-beda. Sebagian di antaranya adalah mereka
percaya bahwa dunia ini kekal, tidak akan binasa, surga adalah kenikmatan dunia, mereka tidak
mewajibkan shalat dan membolehkan minuman keras.20
Kelompok lain yang masuk dalam golongan ekstrim yaitu Al- Ghurâbiyah.
Kelompok Al-Ghurâbiyah memiliki ajaran yang sangat bertentangan dengan Islam. AlGhurâbiyah
memandang bahwa sebenarnya malaikat Jibril mengalami kekeliruan dalam
menyampaikan wahyu karena berkhianat terhadap Allah, sehingga wahyu yang seharusnya
diberikan kepada Ali justru disampaikan pada Nabi Muhammad.21
Al-Qarâmithah merupakan kelompok yang sangat keras dan ekstrem. Kelompok Al-
Qarâmithah pempercayai bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan, bahwa setiap
teks yang ada dalam Al-Qur’an memiliki makna lahir dan batin, dan yang terpenting
adalah makna batinnya. Mereka menganjurkan kebebasan seks dan kepemilikan
perempuan dan harta secara bersama-sama dengan dalih mempererat hubungan kasihsayang.
Kelompok Al-Qarâmithah bahkan pernah menyerbu dan menguasai Makkah pada tahun 930M, dengan
melukai para jamaah haji. Al-Qarâmithah beranggapan bahwa ibadah haji adalah sia-sia karena dinilai
sebagai bentuk perbuatan jahiliyah, berthawaf dan mencium Hajar al-Aswat adalah perbuatan syirik.
Karenanya mereka merampas Hajar alAswat. Kelompok Syiah Al-Qarâmithah akhirnya dikalahkan
oleh al-Mu’iz al-Fâthimy ketika melakukan penyerbuan ke Mesir pada tahun 972M, lalu punah sama
sekali di Bahrain pada 1027 M.22
Sebagaimana Ulama Jumhur, Ulama Syi’ah juga menjadikan al-Quran, Sunnah, dan Ijmak
sebagai sumber dan dalil hukum dan menolak keberadaan qiyas. Kualitas pemahaman dan
perbedaan dalam menginterpretasikan sumber-sumber tersebut sering membuat perbedaan
hukum tidak hanya dengan kalangan ulama Syi’ah, tetapi juga antara ulama yang tergabung
dalam Jumhur.
Al-Quran
Dalam pemahaman ulama Syi’ah Imamiyah, al-Quran mempunyai makna bathin yang
berbeda dengan makna zhahirnya. Manusia biasa hanya mampu memahami al-Quran dari sisi
20
Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam (Penterjemah: Abdurrahman
Dahlan Dan Ahmad Qarib, Judul Asli : Tarikh Al-Mazdahib Al-Islamiyyah), (Jakarta: Logos, 1996), Hlm.39
21
. Moojan Momen, An Introduction To Shi’i Islam, Hlm.45
22
M. Quraish Shihab. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah: Kajian Atas Konsep
Ajaran Dan Pemikiran, Hlm.70-73
19
zhahir saja, sedangkan makna bathin hanya mampu dipahami oleh para imam Syi’ah yang tidak
bisa dijangkau oleh manusia biasa. Dengan statemen ini maka setinggi apapun tingkat
kemampuan seorang mujtahid, tetapi mereka bukan termasuk imam-imam Syi’ah, maka dalam
pandangan mereka tidak akan mampu memahami makna bathin al-Quran. Padahal untuk
menetapkan suatu hukum terkadang tidak cukup hanya dengan melihat zahir ayat saja. Dari
hal di atas, ulama Syi’ah Imamiyah membagi pemahaman al-Quran kepada empat tingkatan:23
1. Fahmul ibarah, yaitu pemahaman orang biasa.
2. Fahmul isyarah, yaitu pemahaman oleh ulama yang mendalami ilmu.
3. Fahmul latha`if al-ibarah, yaitu pemahaman yang dilakukan oleh para wali.
4. Fahmul Haqa`iq, yaitu pemahaman yang dikehendaki oleh Allh dan hanya mampu
dilakukan oleh para imam.24
As-Sunnah
Secara terminologi Sunni, Sunnah adalah apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan sifat Nabi.
Akan tetapi bagi mereka Sunnah bukan saja berasal dari perkataan, perbuatan, dan ketetapan
Nabi SAW saja, tetapi juga berasal dari keturunan Nabi melalui Fathimah dan Ali bin Abi
Thalib, atau yang dikenal dengan ahl al-bait.25 Dengan demikian kelompok ulama Syi’ah lebih
memperluas kemungkinan ma’shum yang dimiliki secara khusus oleh Nabi [menurut ulama
ahlsussunnah) kepada selain Nabi Muhammad SAW. Dalam pemahaman ulama Syi’ah mereka
mendapat tugas tersendiri dari Allah SWT melalui lisan Nabi untuk menyampaikan hukum
yang berlaku. Mereka menetapkan hukum berdasarkan ilham yang mereka terima dari Allah
sebagaimana Nabi menerima pesan Allah melalui wahyu, atau apa yang mereka terima dari
imam yang ma’shum sebelumnya. Lebih jauh mereka berpendapat bahwa ahl al-bait itu sendiri
adalah sumber hukum.26
Ijma’ Dalil
selanjutnya yang dipakai oleh Syi’ah Imamiyah adalah ijma’. Dalam Definisi Jumhur
ulama ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid di dunia Islam terhadap suatu kasus setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sedangkan dalam rumusan Syi’ah, ijma’ adalah pendapat
23
Musthafa Muhammad ibn Musthafa, Ushul wa al-Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, ([TTP, 2003), h. 223
24
Asymuni A. Rachman, Ushul Fiqh Imamiyah, (Yogyakarta: Bina Usaha, 1985), Cet. 1, h. 16
25
Muhammad Musthafa Syalabi, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Nahdhah alArabiyyah, 1986), juz 1, h. 109
26
Syekh Ridha al-Muzhaffar, Ushul Fiqh, (Najaf, Dar al-Nu’man, 1967), cet. 2, juz 3, h. 61
20
yang yang menurut riwayatnya disepakati oleh imam yang ma’shum, dan bukan merupakan
dalil yang berdiri sendiri. Lebih jelasnya ijma’ bagi mereka sama dengan Sunnah mutawatir
(tentunya sesuai dengan makna Sunnah dalam terminologi mereka). Oleh karena itu apa yang
dianggap sebagai ijma’ dalam kelompok Jumhur ulama bagi kelompok Syi’ah tidak
dikategorikan ijma’. Jika yang dipahami oleh Jumhur bahwa ijma’ adalah hasil ijtihad yang
disepakati oleh seluruh mujtahid, bagi mereka ijma’ adalah Sunnah yang disepakati oleh imam
yang ma’shum. Lebih lanjut dalam pemahaman mereka bahwa ijma’ tidak harus disepakati
oleh banyak imam ma’shum. Sayyid al-Murtadha (guru al-Thusi, w. 436 H) mengatakan jika
terjadi suatu kesepakatan terhadap sesuatu dan di dalamnya ada imam yang ma’shum, maka
dapat dikategorikan ijma’ yang bernilai hujjah.
hukum selanjutnya yang dipergunakan oleh ulama Syi’ah adalah adalah al-dalil al-
aqliy. Dalam pemahaman Syi’ah al-dalil al-aqliy di sini tidak sama dengan qiyas versi Sunni.
Dalam kajian-kajian ushul fiqh klasik Syi’ah memang tidak menempatkan al-dalil al-aqliy
sebagai salah satu dalil hukum, sebagaimana dinyatakan oleh Syekh al-Mufid (guru al-Thusi,
w. 413 H). Menurutnya ushul al-ahkam itu hanya tiga, yaitu al-Kitab, al-Sunnah Nabawiyah,
dan perkataan para imam, akan tetapi lebih lanjut ia mengatakan bahwa al-dalil al-aqliy adalah
suatu metode yang dipakai dalam rangka memahami kehujjahan al-Quran dan petunjuk hadis.27
Al-Thusi pun tidak mengemukakan al-dalil alaqliy dalam pembahasannya secara khusus.
Ulama Syi’ah yang pertama mengemukakan al-dalil al-aqliy ini adalah Syaikh ibn Idris (w.
598 H). Dalam kitab al-Sara`ir ia mengatakan bahwa jika tidak terdapat ketentuan dalam
alQuran, Sunnah, dan Ijma’, maka pergunakanlah al-dalil al-aqliy. Akan tetapi ia juga tidak
menjelaskan bagaimana mengoperasionalkannya. Penjelasan tentang al-dalil al-aqliy agak
nampak dalam generasi ulama Syi’ah selanjutnya, yaitu al-Muhaqqiq al-Haliy (w. 676 H).
Dalam kitabnya al-Mu’tabar ia membagi al-dalil al-aqliy kepada dua bentuk. Pertama, sesuatu
yang bisa dipahami dari teks (khitab), yaitu lahn al-khitab, fahwa al-khitab, dan dalil al-khitab.
Kedua, petunjuk yang didapatkan akal untuk menentukan baik dan buruk, dalam hal ini yang
dimaksud adalah berpegang kepada al-bara`ah al-ashliyah dan al-istishab. Jika dilihat dari dalil
akal yang dipergunakan agaknya memang benar bahwa aqal dipergunakan untuk memahami
petunjuk alQuran dan Sunnah dengan berpegang kepada zhahir teks. Karena mafhum
muwafaqah, mafhum mukhalafah, isyarat al-nash, dilalah al-nash, dan iqtidha’ al-nash
27
Ibid., h. 106
21
merupakan berdalil secara zhahir dalam versi Syi’ah, maka agaknya rumusan mereka tentang
ini tidak jauh berbeda dengan ulama Sunni.
28
5 Muhammad Musthafa Syalabi, op. cit., h. 337; juga Muhammad Khudhari Beik, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr,
1988), h. 356
29
Syaikh al-Tha`ifah Abu Ja’far Muhammad bin Hasan bin Ali al-Thusi [selanjutnya disebut al-Thusi), al-Mabsuth Fi Fiqh
al-Imamiyyah, (Taheran, al-Maktabah al-Murtdhayyah Li Ihya` al-Atsar al-Ja’fariyyah, [t. th]), juz 1, h. 70
22
waktu shalat fardhu. Penjelasan tentang ini dapat dirinci sebagai berikut:
1. Waktu setelah tergelincir matahari adalah waktu zhuhur, ukurannya adalah kira-kira
melaksanakan shalat 4 rakaat dan setelah itu adalah waktu shalat zhuhur dan Ashar sekaligus
sampai bayang-bayang suatu benda sama panjang dengan benda tersebut.
2. Waktu setelah terbenamnya matahari adalah waktu utnuk shalat maghrib dan berakhir sampai
hilangnya syafaq (mega) merah. Waktu Maghrib ini dimulai setelah terbenamnya matahari
seukuran melakukan shalat 3 rakaat. Apabila telah berlalu hal itu maka masuklah waktu
Maghrib dan Isya` sampai beberapa saat sebelum tengah malam sekedar melakukan shalat 4
rakaat. Pada saat itu habislah waktu Maghrib dan sisanya adalah waktu Isya` sampai
pertengahan malam.30 Dengan demikian waktu Isya` dimulai sejak berakhirnya waktu utama
Maghrib sampai pertengahan malam, dan waktu yang dibolehkan untuk melakukan kedua
shalat itu sampai terbit fajar.31 Dengan demikian ketentuan waktu Maghrib dan Isya` ini sama
dengan ketentuan waktu Zhuhur dan Ashar.
3. Waktu shalat Subuh yang afdhal (utama) dimulai dari terbit fajar shadiq sampai muncul terang
di langit (tanda matahari akan terbit), dan berakhir ketika matahari terbit.32 Agaknya dalam
hal ini pendapat ulama Syi’ah sama dengan pendapat ulama Jumhur.
Nikah Mutah
Nikah mutah adalah perjanjian nikah (aqad) yang ditentukan waktunya dengan
membayar mahar tertentu. Dalam hal ini al-Thusi mengatakan bahwa ada 2 syarat nikah mutah,
yaitu harus jelas batasan waktunya dan harus disebutkan maharnya ketika aqad. Jika dua syarat
itu tidak diikuti maka nikahnya tidak sah. Lebih lanjut ia menambahkan bahwa kedua syarat
itu sekaligus membedakan nikah mutah dengan nikah dawam. Pembahasan lebih lengkap
tentang nikah mutah ini tidak terdapat dalam kitab al-Mabsuth, akan tetapi dijabarkan lebih
luas dalam kitab al-Nihayah yang juga merupakan karya al-Thusi. Karena sulitnya menemukan
kitab al-Nihayah, penulis mencoba mendekati pembahasan ini melalui kitab Syi’ah yang lain
yaitu al-I’tisham bi al-Kitab wa al-Sunnah Dirasah Munasthah fi Masa`il Fiqhiyyah
Muhimmah, karya Ja’far al-Subhani, yang dalam pembahasannya banyak mengutip tulisan-
tulisan alThusi. Sebagaimana diketahui para ulama pada awalnya sepakat atas kehalalan nikah
mutah berdasarkan hadis Rasulullah SAW, tetapi perbedaan itu muncul terkait dengan
kesinambungan halalnya mutah. Dalam hal ini Syi’ah Imamiyah berpegang kepada tetapnya
kehalalan nikah mutah dan menolak pembatalannya. Kehalalan nikah mutah menurut ulama
Syi’ah berdasarkan al-Quran dan Sunnah dan pembatalannya dilakukan oleh Umar bin Khatab
23
tanpa dalil yang dapat dipertanggungjawabkan.30
Dalam Syiah ada tiga dimensi ajaran: akidah, akhlak, dan fiqih (syariat) sebagaimana
pembagian yang disepakati sebagian besar ulama Islam. Syiah telah memformulasikan akidah
dalam tiga prinsip utama, yaitu tauhid, kenabian, dan hari kebangkitan. Dari prinsip dasar
tauhid, muncul prinsip keadilan Ilahi, dari prinsip kenabian, muncul prinsip imamah. Sebagian
ulama memasukkan kedua prinsip ikutan di atas, yakni keadilan dan imamah. Sistematika ini
pada dasarnya mengikuti kaidah idkhalul juz’ ilal kull (menyertakan yang particular kepada
yang universal). Dengan demikian, berkembang menjadi lima prinsip, yaitu: al-tauhid,
30
Ibid., juz 4, h. 246. Lihat juga Sayyid Ruhullah al-Khomeini [selanjutnya disebut Khomeini], Tahrir al-Wasilah, (Qum,
Muassasah al-Nasyar al-Islami, [t. th]), juz 2, h. 258; juga Sayyid Muhammad Shadr, Shirath al-Qawim, (Beirut: Dar al-
Adhwa`, 1998), cet. 1, h. 200
31
6 Al-Thusi, op. cit., juz 3, h. 318
32
Ibid., h. 320. Hal yang sama juga disampaikan oleh Khomeini, lihat Khomeini, loc. cit
24
alnubuwwah, al-imamah, al-‘adl, dan al-ma’ad.33
Tauhid
Dalam prinsip al-tauhid (keesaan Allah), Syiah meyakini bahwa Allah Swt. Adalah Zat
Yang Maha mutlak, yang tidak dapat dijangkau oleh siapa pun (laa tudrikuhul abshar wahua
yudrikul abshar). Dia Maha sempurna. Jauh dari segala cela dan kekurangan. Bahkan, Dia
adalah kesempurnaan itu sendiri dan mutlak sempurna, mutlaq al-kamal wal kamal
almuthlaq. Syiah meyakini bahwa Allah adalah Zat Yang tak terbatas dari segala sisi, ilmu,
kekuasaan, keabadian, dan sebagainya. Oleh karena itu, Dia tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu, karena keduanya terbatas. Tetapi pada waktu yang sama, hadir di setiap ruang dan
waktu karena Dia berada di atas keduanya.34 Syiah meyakini bahwa Allah Swt. tidak dapat
dilihat dengan kasatmata, sebab sesuatu yang dapat dilihat dengan kasatmata adalah jasmani
dan memerlukan ruang, warna, bentuk, dan arah, pada hal semua itu adalah sifat-sifat makhluk,
sedangkan Allah jauh dari segala sifat-sifat makhluk-Nya. Syiah meyakini bahwa Allah Maha
Esa. Esa dalam Zat-Nya, Esa dalam sifat-Nya, dan Esa dalam af’al (perbuatan atau ciptaan)-
Nya.Yang dimaksud Esa dalam zat ialah bahwa tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada
yang menandingi-Nya, dan tidak ada yang menyamai-Nya. Esa dalam sifat, bahwa sifat-sifat
seperti ilmu, kuasa, keabadian, dan sebagainya menyatu dalam Zat-Nya, bahkan adalah Zat-
Nya sendiri. Sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat-sifat makhluk, yang masing-masing berdiri
sendiri dan terpisah dari yang lainnya. Dan Esa dalam af’al atau perbuatan, bahwa segala
perbuatan, gerak, dan wujud apa pun pada alam semesta ini bersumber dari keinginan dan
kehendak-Nya. 35 Dalam pada itu, Syiah juga meyakini bahwa hanya Allah yang boleh
disembah (tauhid al-ibadah) dan tidak boleh menyembah kepada selain Allah (laa ta’buduu
illaiyyahu). Maka barang siapa menyembah selain Allah, dia adalah musyrik.
Kenabian
Dalam prinsip nubuwwah (kenabian), Syiah meyakini bahwa tujuan Allah mengutus
para nabi dan rasul ialah untuk membimbing umat manusia menuju kesempurnaan hakiki dan
kebahagiaan abadi. Syiah meyakini bahwa nabi pertama adalah Adam a.s. dan nabi terakhir
adalah Muhammad Saw. Di antara para nabi itu terdapat lima nabi yang masuk kategori ulul-
33
Tim Ahlul Bait Indonesia, Buku Putih Madzhab Syiah: Menurut Para Ulama Muktabar,
(Jakarta, Dewan Pengurus Pusat Ahlul Bait Indonesia, 2012), Hlm.15
34
Tim Ahlul Bait Indonesia, Buku Putih Madzhab Syiah: Menurut Para Ulama Muktabar,
Hlm.16.
35
Tim Ahlul Bait Indonesia, Buku Putih Madzhab Syiah: Menurut Para Ulama Muktabar, 18-19.
Muhammad Bin Ya’kub Bin Ishaq Al-Kulaini, Al-Kafi Juz Ii, (Teheran:Dar Al-Kutub Al-Islami,1389 H),
Hlm.25
25
azmi atau lima nabi pembawa syariat Allah dan Shuhuf/kitab suci yang baru, yaitu, Nuh,
Ibrahim, Musa, Isa, dan terakhir Nabi Muhammad Saw., yang merupakan nabi-nabi paling
mulia. Syiah meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah nabi terakhir dan penutup para
rasul. Tidak ada nabi atau rasul sesudahnya. Syariatnya ditujukan kepada seluruh umat manusia
dan akan tetap eksis sampai akhir zaman, dalam arti bahwa universalitas ajaran dan hukum
Islam mampu menjawab kebutuhan manusia sepanjang zaman, baik jasmani maupun rohani.
Oleh karena itu, siapa pun yang mengaku sebagai nabi atau membawa risalah baru sesudah
Nabi Muhammad Saw. maka dia sesat dan tidak dapat diterima.36Syiah meyakini bahwa semua
nabi ma’shum, terpelihara dari perbuatan salah, keliru, dan dosa, baik sebelum masa kenabian
maupun sesudahnya. Adapun adanya sejumlah ayat yang mengesankan seolah-olah sejumlah
nabi pernah berbuat dosa difahami sebagai tarkal-awla, meninggalkan yang utama
(meninggalkan sesuatu yang lebih baik, bukan melakukan sesuatu yang buruk).37 Syiah juga
meyakini bahwa para nabi dibekali oleh Allah dengan mukjizat dan kemampuan mengerjakan
perkara-perkara luar biasa dengan izin Allah Swt., seperti menghidupkan orang mati oleh Nabi
Isa a.s., mengubah tongkat menjadi ular oleh Nabi Musa a.s., dan memperbanyak makanan
yang sedikit oleh Nabi Muhammad Saw. Namun dari semua mukjizat itu, Al-Quran, yang
merupakan mukjizat Nabi Muhammad Saw adalah mukjizat terbesar sepanjang masa. Karena
itu, Syiah meyakini bahwa tidak seorang pun dapat membuat kitab seperti Al-Quran atau
bahkan sebuah surat sekalipun.38
Al-Imamah
Dalam prinsip al-imamah (kepemimpinan), Syiah meyakini bahwa kebijakan Tuhan
(al-hikmah al-Ilahiyah) menuntut perlunya kehadiran seorang imam sesudah meninggalnya
seorang rasul guna terus dapat membimbing umat manusia dan memelihara kemurnian ajaran
para nabi dan agama Ilahi dari penyimpangan dan perubahan. Selain itu, untuk menerangkan
kebutuhan-kebutuhan zaman dan menyeru umat manusia ke jalan serta pelaksanaan ajaran para
nabi. Tanpa itu, tujuan penciptaan, yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan (al-takamul wa al-
sa’adah) lebih sulit dicapai. 39 Oleh karena itu, Syiah meyakini bahwa sesudah Nabi
Muhammad Saw. wafat ada seorang imam untuk setiap masa yang melanjutkan misi
Rasulullah Saw. Mereka adalah orang-orang yang terbaik pada masanya. Dalam hal ini, Syiah
36
Joesoef Sou’yb, Pertumbuhan Dan Perkembangan Aliran-Aliran Sekta Syi’ah, (Jakarta:
Pustaka Alhusna, 1982). Hlm. 19.
37
Rosihon Anwar, “Ilmu Kalam Cet.Ii”, Bandung : Pustaka Setia, 2003. Hlm. 60
38
. Tim Ahlul Bait Indonesia, Buku Putih Madzhab Syiah: Menurut Para Ulama Muktabar,
(Jakarta, Dewan Pengurus Pusat Ahlul Bait Indonesia, 2012), Hlm.19-21
39
Ahmad Wa’ili, Huwayyat At-Tasayyu’, Terj.Nasir Dimyati, (Tehran, Muassasah As-Shibthayn,
Al’alamiyyah, 2012), Hlm.32
26
(Imamiyah) meyakini bahwa Allah telah menetapkan garis imamah sesudah Nabi Muhammad
Saw. pada orang-orang suci dari dzuriyat-nya atau keturunannya, yang berjumlah 12. Adapun
pengangkatannya, Syiah meyakini bahwa seorang imam diangkat melalui nash atau
pengangkatan yang jelas oleh Rasulullah Saw. atau oleh imam sebelumnya. Imam Ali ibn Abu
Thalib, misalnya, Syiah meyakini bahwa Nabi Saw. telah mengangkat dan menetapkannya
sebagai imam sesudah beliau. Demikian pula Imam Hasan dan Husain, putra-putra ibn Ali.
Keduanya telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw. dan kemudian dikukuhkan oleh Imam Ali ibn
Abu Thalib dan kemudian oleh Imam Hasan ibn Ali. Syiah meyakini bahwa imamah bukan
sekedar jabatan politik atau kekuasaan formal, tetapi sekaligus sebagai jabatan spiritual yang
sangat tinggi. Selain menyelenggarakan pemerintahan Islam, imam bertanggungjawab
membimbing umat manusia dalam urusan agama dan dunia mereka. Imam juga bertanggung
jawab memelihara syariat Nabi Muhammad Saw Dari kemungkinan penyimpangan atau
perubahan dan bertanggung jawab untuk terus memperjuangkan tercapainya tujuan pengutusan
Nabi Muhammad Saw. Syiah meyakini bahwa seorang imam tidak membawa syariat baru.
Kewajibannya hanyalah menjaga agama Islam, memperkenalkan, mengajarkan,
menyampaikannya, dan membimbing manusia kepada ajaran-ajaran yang luhur. Semua yang
mereka sampaikan adalah apa-apa yang sebelumnya telah disampaikan oleh Rasulullah
Muhammad Saw Syiah juga meyakini bahwa seorang imam wajib
bersifat ma’shum, terpelihara dari perbuatan dosa dan kesalahan, karena seorang yang tidak
maksum tidak dapat dipercaya sepenuhnya untuk diambil darinya prinsip-prinsip agama
maupun cabang-cabangnya. Oleh karena itu, Syiah meyakini bahwa ucapan seorang imam
maksum, perbuatan, dan persetujuannya, adalah hujjah syar’iyyah, kebenaran agama, yang
mesti dipatuhi.
Al-‘Adl (Kemahaadilan Tuhan)
Dalam prinsip al-‘adl (kemahaadilan Tuhan), Syiah meyakini bahwa Allah Swt Maha
Adil. Dia tidak pernah dan tidak akan pernah berbuat zalim atau berbuat sesuatu yangdianggap
jelek oleh akal sehat kepada hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, Syiah meyakini bahwa
manusia tidak terpaksa dalam perbuatan-perbuatannya. Ia melakukannya atas pilihannya
sendiri karena Allah telah memberikannya kebebasan kepadanya dalam perbuatan-
perbuatannya. 40 Oleh karena itu, manusia akan menerima konsekuensi dari perbuatan-
perbuatannya. Yang baik akan mendapatkan balasan kebaikan, sedangkan yang berbuat jahat
akan menanggung akibat perbuatannya.
Al-Ma’ad (hari akhir)
40
Thabathaba’i. Islam Syiah: Asal-Usul Dan Perkembangannya, Hlm.150-152
27
Dalam prinsip al-ma’ad (hari akhir), Syiah meyakini bahwa suatu hari nanti seluruh
umat manusia akan dibangkitkan dari kubur dan dilakukan hisab atas perbuatan-perbuatan
mereka di dunia. Yang berbuat baik akan mendapatkan surga, sementara yang berbuat
keburukan dimasukkan ke neraka. Syiah meyakini bahwa tubuh dan jiwa atau ruh manusia
bersama-sama akan dibangkitkan di akhirat dan bersama-sama pula akan menempuh
kehidupan baru, sebab keduanya telah bersama-sama hidup di dunia, karena itu bersama-sama
pula harus menerima balasan yang setimpal, pahala atau hukuman. Syiah meyakini bahwa pada
hari kiamat nanti setiap orang akan menerima buku catatan amalnya masing-masing. Orang
shalih akan menerimanya dengan tangan kanan, sementara orang fasik akan menerima dengan
tangan kirinya. 41 Syiah meyakini bahwa di akhirat nanti akan ada timbangan amal dan
jembatan sirathal-mustaqim, yaitu jembatan yang terbentang di atas neraka, yang akan dilalui
oleh setiap orang. Akan tetapi, untuk dapat selamat dari timbangan atau mampu melewati
jalanyang amat berbahaya itu bergantung pada amal perbuatan manusia itu sendiri. Syiah
meyakini bahwa para nabi, imam maksum, dan wali-wali Allah akan memberi syafaat kepada
sebagian pendosa dengan izin Allah, sebagai bagian dari pemberian maaf Allah kepada hamba-
hamba-Nya. Akan tetapi, izin itu hanya diberikan kepada orang orang yang tidak memutus
hubungan dengan Allah dan para kekasih-Nya. Dengan demikian, syafaat tidak berlaku mutlak,
tetapi dengan syarat-syarat tertentu, yang ada hubungannya dengan amal dan niat kita. Syiah
meyakini bahwa di antara alam dunia dan alam akhirat ada alam ketiga yang disebut dengan
alam barzakh, yaitu alam di mana ruh manusia bersemayam di sana sesudah kematian hingga
datang Hari Kiamat. Di alam itu, orang yang salih akan hidup nikmat, sedangkan orang yang
kafir dan atau bejat akan hidup sengsara.
41
Abdur Razak Dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), Cet Ke-2,
Hlm.89
28
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hanabilah
Pada tahun 195 H Ahmad belajar fiqh dan ushul fiqh pada Imam Syafi’i yang pada waktu
itu berada di Hijaz.
Ahmad menganggap Imam Syafi’i sebagai guru besarnya, oleh karena itu dalam
pemikiran beliau banyak dipengaruhi oleh Imam Syafi’i.
Meskipun pemikiran dan metode Ahmad banyak dipengaruhi oleh Imam Syafi’i, akan
tetapi warna fiqh yang dihasilkannya kadang berbeda dengan Imam Syafi’i, hal tersebut
sangat mungkin karena beliau lebih menguasai hadits daripada Imam Syafi’i dan dalam
masalah yang sama Ahmad bisa berbeda pendapat dengan Imam Syafi’i, karena beliau
mempunyai hadis tentang masalah tersebut, sementara Imam Syafi’i tidak.
Beliau menggunakan metode qiyas dan istihsan serta mempunyai kecenderungan
tekstualis serta mengembalikan masalah kepada hadis dan athar.
Ahmad bin Hanbal bukan hanya seorang ahli hadis dan fiqh, beliau juga seorang sufi.
Pada tahun 195 H Ahmad belajar fiqh dan ushul fiqh pada Imam Syafi’i yang pada waktu
itu berada di Hijaz.
Ahmad menganggap Imam Syafi’i sebagai guru besarnya, oleh karena itu dalam
pemikiran beliau banyak dipengaruhi oleh Imam Syafi’i.
Meskipun pemikiran dan metode Ahmad banyak dipengaruhi oleh Imam Syafi’i, akan
tetapi warna fiqh yang dihasilkannya kadang berbeda dengan Imam Syafi’i, hal tersebut
sangat mungkin karena beliau lebih menguasai hadits daripada Imam Syafi’i dan dalam
masalah yang sama Ahmad bisa berbeda pendapat dengan Imam Syafi’i, karena beliau
mempunyai hadis tentang masalah tersebut, sementara Imam Syafi’i tidak.
Beliau menggunakan metode qiyas dan istihsan serta mempunyai kecenderungan
tekstualis serta mengembalikan masalah kepada hadis dan athar.
Ahmad bin Hanbal bukan hanya seorang ahli hadis dan fiqh, beliau juga seorang sufi
Beliau mengumpulkan dan menyusun hadits secara rapi dan sempurna mengikutkan
nama-nama sahabat Nabi Muhammad SAW yang meriwayatkannya satu persatu dalam
kitab Musnadnya.
29
Dalam bidang fiqh, beliau mengemukakan hujjah menolak pendapat yang berdasarkan
pemikiran sendiri dan yang tidak sesuai dengan al Quran dan as sunnah. Aliran ini
dikenali dengan nama Madzhab Hambali.
Dalam memandang al-Qur’an dan as sunnah sebagai sumber hukum Islam, Imam Ahmad
bin Hanbal sependapat dengan gurunya yakni Imam Syafi’i, Imam Ahmadmemandang as
sunnah memiliki kedudukan yang sama kuat disamping al-Quran.
Dalam hal penerimaan terhadap hadis ahad sebagai sumber hukum Islam, Imam Ahmad
bin Hanbal dan ulama Hanafiyah menerima hadis ahad sebagai sumber hukum tanpa
mensyaratkan sesuatupun, kecuali harus shohih sanadnya sebagaimana Asy-Syafi’i.
Dalam bidang teologi, pemikiran Ahmad bin Hanbal tentang ayat-ayat mutasyabihat,
lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi / tekstual daripada pendekatan ta’wil,
terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat.
Dalam beristinbath hukum, imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode ahlul hadis
dengan dasar-dasar sebagai berikut :
1. Nash Al Qur-an atau nash hadis.
2. Fatwa sebagian Sahabat
3. Hadith Mursal dan Hadith dho’if
4. Qiyas
Tentang ijma’, pendirian Imam Ahmad ini sebenarnya tidak berbeda dengan pendirian
Imam Syafi’i.
Imam Ahmad berhati-hati dalam menerima pendapat, pemikiran orang, atau logika
orang.
Hadis-hadis Imam Ahmad bin Hanbal banyak diriwayatkan oleh tokoh-tokoh besar
dalam ilmu hadis.
Pada Awal perkembangannya, madzhab Hambali berkembang di Bagdad Irak dan
Mesir dalam waktu yang sangat lama.
Pada abad XII madzhab Hanbali berkembang terutama pada masa pemerintahan Raja
Abdul Aziz As Su’udi.
Dan masa sekarang ini menjadi madzhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan
mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.
Pada Abad ke-19, madzhab Hanbali ditafsirkan dan dipopulerkan kembali oleh
Muhammad bin Abdul Wahhab dan ajarannya disebut “wahhabiyah”.
30
Karaktristik madzhab Hambali dapat diidentifikasi sebagaimana pernyataan Abdul
Kadir Badran berbasis pada lima usul (landasan dasar) setelah melalui proses istinbat,
yaitu :
a. Ushul pertama, An-Nas.
b. Ushul kedua,fatwa-fatwa para sahabat nabi Shallahu Alaihi Wasallam.
c. Ushul ketiga,apabila terjadi perbedaan pendapat dalam fatwa para sahabat,
usul Hambali akan lebih memilih mana diantara pendapat tersebut yang lebih
dekat validitasnya dengan al-Qur‟an dan hadis.
d. Ushul keempat, memberlakukan hadis mursal dan hadis daif apabila tidak ada
yang menyanggahnya, dan itu lebih dikedepankan (dirajihkan) ibn Hambal.
e. Ushul kelima,apabila dalam satu kasus hukum tidak ada pendukung (penguat)
dari an-Nas, perkataan para sahabat, atau salah seorang dari mereka, tidak ada
hadis mursal dan daif, maka beliau akan menggunakan usul kelima yaitu
kias.
2. Syiah
ulama Syi’ah Imamiyah membagi pemahaman al-Quran kepada empat tingkatan:
a. Fahmul ibarah, yaitu pemahaman orang biasa.
b. Fahmul isyarah, yaitu pemahaman oleh ulama yang mendalami ilmu.
c. Fahmul latha`if al-ibarah, yaitu pemahaman yang dilakukan oleh para wali.
d. Fahmul Haqa`iq, yaitu pemahaman yang dikehendaki oleh Allh dan hanya mampu
dilakukan oleh para imam.
bagi SyiahSunnah bukan saja berasal dari perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi SAW
saja, tetapi juga berasal dari keturunan Nabi melalui Fathimah dan Ali bin Abi Thalib, atau
yang dikenal dengan ahl al-bait.
ijma’ adalah pendapat yang yang menurut riwayatnya disepakati oleh imam yang ma’shum.
al-dalil al-aqliy adalah suatu metode yang dipakai dalam rangka memahami kehujjahan al-
Quran dan petunjuk hadis.
Ulama Syi’ah yang pertama mengemukakan al-dalil al-aqliy ini adalah Syaikh ibn Idris (w.
598 H). Dalam kitab al-Sara`ir ia mengatakan bahwa jika tidak terdapat ketentuan dalam
alQuran, Sunnah, dan Ijma’, maka pergunakanlah al-dalil al-aqliy.
Al-Istishab dan Bara`ah al-Ashliyah adalah mengembalikan sesuatu kepada asalnya. Jika
segenap usaha pencarian dalil telah dilakukan dan tidak ada hasilnya, maka kesimpulan
hukum yang diambil dengan mengembalikan sesuatu kepada asalnya, yaitu ibahah.
Beberapa Rumusan Fiqh Syi’ah Imamiyah
31
a. Shalat Safar dan Hadhar Shalat
b. Nikah Mutah
c. Kewarisan Muslim Terhadap Kafir
d. Al-luqathah (Benda Temuan)
mazhab Syiah memiliki lima prinsip, yaitu: al-tauhid, alnubuwwah, al-imamah, al-
‘adl, dan al-ma’ad.
a. Tauhid
Dalam prinsip al-tauhid (keesaan Allah), Syiah meyakini bahwa Allah Swt. Adalah
Zat Yang Maha mutlak, yang tidak dapat dijangkau oleh siapa pun (laa tudrikuhul abshar
wahua yudrikul abshar.
b. Kenabian
Dalam prinsip nubuwwah (kenabian), Syiah meyakini bahwa tujuan Allah
mengutus para nabi dan rasul ialah untuk membimbing umat manusia menuju
kesempurnaan hakiki dan kebahagiaan abadi.
c. Al-Imamah
Dalam prinsip al-imamah (kepemimpinan), Syiah meyakini bahwa kebijakan
Tuhan (al-hikmah al-Ilahiyah) menuntut perlunya kehadiran seorang imam sesudah
meninggalnya seorang rasul guna terus dapat membimbing umat manusia dan memelihara
kemurnian ajaran para nabi dan agama Ilahi dari penyimpangan dan perubahan.
d. Al-‘Adl (Kemahaadilan Tuhan)
Dalam prinsip al-‘adl (kemahaadilan Tuhan), Syiah meyakini bahwa Allah Swt
Maha Adil.
e. Al-Ma’ad (hari akhir)
Dalam prinsip al-ma’ad (hari akhir), Syiah meyakini bahwa suatu hari nanti seluruh
umat manusia akan dibangkitkan dari kubur dan dilakukan hisab atas perbuatan-perbuatan
mereka di dunia.
Perpecahan Syiah pertama terjadi sesudah kepemimpinan Imam Husein.
Sebagian pengikut beranggapan yang berhak memegang kedudukan imam adalah putra Ali
yang lahir tidak dari rahim Fatimah, bernama Muhammad Ibn Hanifah.
Sekte ini dikenal dengan nama Kaisaniyah (sekte Kaisaniyah selanjutnya tidak
berkembang).
Golongan lain berpendapat bahwa yang berhak menggantikan Husein adalah Ali Zaenal
Abidin bin Husain. Kelompok yang menjadi cikal bakal dari kelompok Zaidiyah.
32
Paham yang diajarkan oleh Syiah Zaidiyah dipandang paling dekat dengan paham
keagamaannya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Syiah Zaidiyyah berubah menjadi ekstrem.
Sepeninggal Zaid, Syiah Zaidiyah pecah menjadi tiga kelompok, Jarudiyah, Sulaimaniyah,
dan Batriyah.
Syiah Imamiyah (Sekte Ismailliah dan ‘Asyariyah)karena keduanya mengakui bahwa
pengganti Ali Zaenal Abidin (Imam keempat) adalah Abu Ja’far Muhammad al-Baqir
(Imam kelima). Kemunculan sekte Ismailliyah dan Isna ‘Asyariyah ini terjadi setelah
wafatnya Abu Abdullah Ja’far Sadiq (Imam keenam) pada tahun 148 H.
- Sekte Ismailliyah
Saat ini kelompok Syiah ini tersebar di Kerman, Khurasan, Tajikistan, Afghanistan
dan lain-lain.
- Isna ‘Asyariyah
Ajaran ini resmi menjadi mazhab negara di Iran, terkhusus pasca Revolusi Iran tahun
1979. Imamiyah juga menyebar di Malaysia pasca terjadinya revolusi Iran, tak lama setelah
itu parlemen Malaysia mengeluarkan ketetapan mengenai dilarangnya gerakan Syiah di
daerah sana, dan diharuskannya orang Islam Malaysia berpaham Ahlussunnah wal
Jama’ah.
Syiah Ghulat (sudah dipandang punah, dan termasuk aliran ekstrem)
Kelompok lain yang masuk dalam golongan ekstrim yaitu Al- Ghurâbiyah, AlQarâmitha
B. Saran
Akhirnya, dengan mengucapkan puji syukur alhamdulillah kehadirat Illahi Rabbi karena dengan
taufiq dan hidayahNya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Disadari bahwa makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan, kelemahan, bahkan masih jauh dari kesempurnaan.Mengakhiri
pembahasan ini,penyusun berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada
siapapun khususnya bagi peyusun dan bagi pembaca pada umumnya. Kritik dan saran yang
konstruktif akan selalu dinantikan dengan ikhlas dan lapang dada.
33
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Khaldun, Târîkh Ibn Khaldûn, (Dar-Fikr, Bairut, 1988), Jld. 3, Hlm. 364.
Ahmad Amin, Fajr Al-Islâm, (Dar-Kitab Al-‘Arabi, Bairut, 1969), Hlm. 266
Hasan Ibrahim, Târîkh Al-Islâm, (Kairo: T.P, 1957), Jld. 1, Hlm. 371.
Ahmad Bin Ya’qub, Târîkh Al-Ya’qûbî, (Muassasah ‘Ilmi, Bairut, Libanon, T.T), Jld. 2, Hlm.
Ibid., Hasyim Farghal, ‘Awâmil Wa Ahdâf Nasy’ah Ilm Al-Kalâm, (Dar Al-Afaq Al-
‘Arabiyyah, 2013), Hlm. 105.
Ibid., Naubakhti, Firoq Al-Syî’ah, (Mansyuraat Al-Ridha, Bairut, T.T), Hlm. 36.
34