Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“PERBANDINGAN MAZHAB MALIKI DAN HAMBALI”


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Perkuliahan Mata Kuliah
Perbandingan Mazhab

Disusun Oleh Kelompok VIII:


ROSMAYANTI 20020100
AFIF ZAIDI AHNAF 20020100
MIA LESTARI 2002010037
JUMARDIN 20020100
NUR MITASARI 20020100

Dosen Pengampu:
Amir Faqihuddin Assafari, S.Ag., M.Pd.I.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALOPO
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur kehadirat Allah swt, yang telah


melimpahkan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Perbandingan Mazhab Maliki dan
Hambali”. Sholawat serta salam, semoga selalu tercurahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad saw, beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang yang
senantiasa istiqomah dijalan-Nya.
Tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada Ustadz kita
Bapak Amir Faqihuddin Assafari, S.Ag., M.Pd.I. selaku dosen pengampu mata
kuliah Perbandingan Mazhab yang telah memberikan tugas ini serta membantu
memberikan masukan dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap
adanya kritik dan saran demi kesempurnaan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca.

Palopo, 10 Juni 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Mazhab Maliki
B. Mazhab Hambali
C. Perbedaan Mazhab Maliki dan Mazhab Hambali
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum perbedaan adalah suatu hal yang bisa terjadi disetiap pensyari'atan
yang membuat kebiasaan (adat-adat), aktivitas-aktivitas manusia, yang ada pada
masyarakat. Sebagai sumber ditetapkannya suatu hukum, disamping itu
pemikiran-pemikiran, pendapat-pendapat, sebagai dasar pijakan dari suatu
pertimbangan manusia. Ini terjadi kerena pekerjaannya bermacam-macam,
kebiasaan manusia berbeda-beda, dan beragam-ragam pendapatnya, sesuai
dengan fitrah mereka yang diciptakan Allah swt.
Masa sesudah Nabi Muhammad saw. wafat, sahabat-sahabat, tabi'in, dan
tabi'it berusaha menjalankan ajaran-ajaran dari Nabi Muhammad saw. untuk
menyikapi permasalahan-permasalahan baru. Disinilah parasahabat, tabi'in, dan
tabi'it dihadapkan pada permasalahan-permasalahan dengan berbagai macam dan
kondisi. Untuk itu para sahabat berpegangan pada pandangan dan perbedaan antar
masalah yang terjadi di masa setelahnya dan masa Rasulullah, serta
mengidentifikasi persamaan yang terjadi antara kedua masa tersebut. Oleh karena
itu, muncullah pendapat tentang hukum-hukum Islam dari para sahabat, tabi’in,
dan juga ulama yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu fikih. Sebuah fenomena dengan
munculnya berbagai mazhab di bidang ilmu fiqih yang membuktikan bahwa
keterbukaannya keilmuan Islam di zaman tersebut sehingga setiap fuqoha’
mampu dan berhak untuk mengemukakan pendapatnya yang berbeda dengan para
fuqoha’ yang lain, meskipun itu adalah gurunya sendiri. Seperti halnya imam
Syafi'i yang menjadi salah satu murid tebaik imam Maliki, beliau mengemukakan
argumen yang berbeda dengan imam Maliki, yang akhirnya kedua pendapat
tersebut memunculkan dua mazhab yang berbeda. Para imam madzhab yang
popular dikalangan umat Islam yaitu Hanifah, Maliki, Syafi'i dan Hambal.1

1
Lu’luatul Badriyah, Ashif Az Zafi, “Perbedaan Mazhab Empat Besar (Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali) dalam Paradigma Hukum Fiqih”, Al-Muaddib : Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan
Keislaman, Vol. 5 No. 1 (2020), hlm. 66.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud Mazhab Maliki ?
2. Apa yang dimaksud Mazhab Hambali ?
3. Apa Perbedaan Mazhab Maliki dan Mazhab Hambali ?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas yang telah dikemukakan, maka
tujuan masalah dalam makalah ini, sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Mazhab Maliki.
2. Untuk mengetahui Mazhab Hambali.
3. Untuk mengetahui Perbedaan Mazhab Maliki dan Mazhab Hambali.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mazhab Maliki dan Mazhab Hambali
Mazhab berasal dari sighot mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan
(kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi'il madhy “zahaba”,
yazhabu, zahaban, zuhuban, mazhaban, yang berarti pergi. Berarti juga al-ra'yu
(pendapat), view (pandangan), kepercayaan, ideologi, doktrin, ajaran, paham, dan
aliran. Sementara pengertian mazhab menurut istilah meliputi dua hal: (1) mazhab
adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid
dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur'an dan
Hadits, (2) mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang
hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur'an dan Hadits. Dari dua
pengertiaan tersebut disimpulkan mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang
digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau
mengistinbathkan hukum Islam.2
1. Biografi Singkat
13 tahun setelah imam Hanafi, lahirlah imam kedua dari imam empat
Islam yaitu imam Maliki dengan nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah
Malik Ibn Anas Ibn Malik Ibn Abi Amir Ibn Amir bin Haris bin Gaiman bin
Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi al-Humairi, yang dilahirkan di kota Madinah,
di negeri Hijaz tahun 93 H/716 M, merupakan keturunan bangsa Himyar, jajahan
negara Yaman. Anas Ibn Malik Ibn Abi Amir Ibn Abi Al-Haris Ibn Sa'ad Ibn Auf
Ibn Ady Ibn Malik Ibn Jazid adalah ayah imam Malik dan ibundanya bernama
Siti Aliyah binti Syuraik Ibn Abdul Rahman Ibn Syuraik Al-Azdiyah. Dan perlu
diterangkan nama Anas bin Malik (ayahanda Imam Malik) bukanlah Anas bin
Malik yang seorang sahabat mulia dan pembantu Nabi saw itu. Karena nama
lengkap Anas bin Malik adalah Anas bin Malik bin an-Nadhar bin Dhamdham bin
Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghunam bin Adiy bin an-Najjar al-
Anshari al-Khazraji seorang sahabat Nabi saw. Anas bin Malik wafat pada tahun

2
Nafiul Lubab, Novita Pancaningrum, “Mazhab: Keterkungkungan Intelektual atau
Kerangka Metodologis (Dinamika Hukum Islam)” Yudisia, Vol. 6 No. 2 (2015), hlm. 397.
yang sama dengan kelahiran Imam Malik bin Anas. Pada hari Ahad tanggal 10
Rabiul Awwal tahun 179 H (798 M), pada usia 87 tahun beliau wafat, beliau
wafat meninggalkan seorang putri dan tiga orang putra yang nama-namanya ialah
Hammadah, Muhammad, Yahya, dan Ummu Abiha.3
Imam Malik terdidik di Kota Madinah, sejak kecil beliau terkenal sebagai
guru dan ulama untuk mempelajari Islam. Imam Malik belajar banyak berbagai
bidang imu pengetahuan seperti ilmu Hadits, fatwa dan para sahabat-sahabat, al-
rad al-ahlil ahwa fatwa, dan ilmu fiqh ahli rayu. Imam Malik juga semenjak kecil
sudah hafal al-Qur'an. Saat menuntut ilmu beliau memiliki banyak guru. Pernah
belajar dengan syeikh dari golongan tabi'in dan tabi'it. Guru beliau yang terkenal
yaitu Muhammad bin Yahya Al- Anshari, Rabi'ah bin Abdul Rahman Furukh,
Nafi', dan Abu Radim Nafi bin Abd Al-Rahman. Banyak sekali murid imam
Malik yang menjadi seorang ahli dalam Islam atau ulama, Qodhi Ilyad dalam
Ahmad al-Syurbasi,4 berkata bahwa “murid imam Malik lebih dari seorang ulama
yang terkenal, diantaranya: Muhammad bin Ajlal, Muhammad bin Muslim Al-
Zuhri, Yahya bin Said AlAnshori, Rabi'ah bin Abdurrahman, Sulaiman bin
Mahram Al-Amasi, Salim bin Abi Umayah, Abdul Malik bin Juraih, Muhammad
bin Ishaq, dan Muhammad bin Idris bin al-Abas, Muhammad bin Abdurrahman
bin Abi Ziab.”
Seiring dengan berkembangnya mazhab Malikiyah oleh para pengikut
serta menyebar ke wilayah-wilayah negara Islam sampai kearah Barat seperti
wilayah Mesir, Andalusia, Afrika, dan ujung Maroko yang dekat dengan Eropa.
Begitu pula wilayah Timur, seperti Baghdad, Basrah, dan lainnya. Meskipun
setelah itu pengaruhnya mulai menyusut.5
2. Sumber Hukum yang Digunakan
Terdapat beberapa pendapat terkait sumber hukum yang digunakan dalam
mazhab maliki, namun pada intinya sama karena tampaknya perbedaan tersebut
3
Wildan Jauhari, Biografi Imam Malik, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018), hlm. 27.
4
Ahmad al-Syurbasi, dalam Lu’luatul Badriyah, Ashif Az Zafi, “Perbedaan Mazhab
Empat Besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dalam Paradigma Hukum Fiqih”, Al-
Muaddib : Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Keislaman, Vol. 5 No. 1 (2020), hlm. 68.
5
Lu’luatul Badriyah, Ashif Az Zafi, “Perbedaan Mazhab Empat Besar (Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali) dalam Paradigma Hukum Fiqih”, Al-Muaddib : Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan
Keislaman, Vol. 5 No. 1 (2020), hlm. 69.
oleh istilah yang digunakan. Terdapat pendapat yang mengatakan sumber hukum
yang digunakan oleh imam Malik sebanyak tujuh belas dan juga ada pendapat lain
terkait sumber hukum yang digunakan. Akan tetapi, berikut ini akan dibahas
menurut pendapat yang terakhir karena dipandang lebih detail.
a. Al-Qur’an
b. Sunnah, adapun ketentuan yang digunakan dalam hadis yakni:
1) Hadis Mutawatir, yaitu hadis hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak
yang keadaan mereka selamat dari kesepakatan untuk berdusta.
2) Hadis Masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan dari nabi oleh satu atau dua
sahabat atau lebih yang tidak sampai derajat mutawatir.
3) Hadis Ahad.
c. Fatwa Sahabat, yaitu sesuatu yang dasarnya diperoleh secara naqlan
(langsung dari nabi), karena menurut Maliki para sahabat tidak mungkin
memberi fatwa kecual atas dasar apa yang dipahami dari Rasul.
d. Ijma Ahli Madinah
e. Qiyas, Maslahah Mursalah dan Istislah
f. Saddu al-Zariat, yaitu segala sesuatu yang hukum asalnya mubah tetapi akan
membawa kepada perbuatan yang haram, maka hukumnya menjadi haram.
g. Urf
h. Syar’u Man Qablana.6

B. Pengertian Mazhab Hambali


Mazhab Hambali merupakan kumpulan dari pemikiran-pemikiran fikih
dan fatwa-fatwa Imam Ahmad bin Hambal. Hasil ijtihad tersebut dibangun atas
pandangan-pandangan usul fikih terhadap dalil yang terdapat di dalam Al-Qur'an
dan hadis, seperti: pemakaian hadis mursal (riwayat seorang tabi' langsung dari
Rasulullah saw.). Ijtihad fikih tersebut tidak dapat lepas dari kondisi sosial yang
ada di sekelilingnya, sebab salah satu syarat atas seorang fakih adalah mengetahui
realitas masyarakatnya dalam penerapan suatu hukum. Ketidakpedulian terhadap
realitas masyarakat akan membuat fatwa atau ijtihad seorang ulama tidak
6
Sapiudin Shidiq, Perbandingan Mazhab dalam Fikih, (Ciputat: Kencana, 2021), hlm.
201.
sempurna dan cenderung keliru, demikian pula ijtihad yang dilontarkan ke tengah
masyarakat dan tidak menjaga realitas yang terjadi, akan cenderung menimbulkan
kontroversi dan kondisi yang kontra produktif.
Mazhab Hambali adalah nisbah kepada Imam Ahmad bin Hambal dan
merupakan hasil-hasil ijtihad fikih dan fatwa-fatwa semasa hidupnya. Pandangan-
pandangan tersebut mulai Imam Ahmad sampaikan ketika berusia 40 tahun yaitu
di tahun 204 H. Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal dilahirkan pada tahun
164 H di kota Baghdad, lalu bersama keluarganya pindah ke kota Basrah ketika
kakeknya diangkat menjadi walikota Sarkhas di wilayah Khurasan pada era
khilafah Umawiyyah. Namun, karena kakeknya ikut bergabung dalam kelompok
Abbasiyah setelah itu, mereka pun dikucilkan dan diintimidasi hingga akhirnya
keluarganya memutuskan untuk kembali ke kota Baghdad.
Imam Ahmad bin Hambal ditingal mati oleh ayahnya sejak berusia 3
tahun, maka ia dirawat oleh ibunya dan dikenalkan pada ilmu pengetahuan sejak
dini. Awalnya beliau menekuni bidang fikih dari al-Qadi Abu Yusuf, murid
ternama dari Imam Abu Hanifah, namun beliau akhirnya lebih tertarik kepada
ilmu hadis dan mempelajarinya dari Imam al-Syafi secara langsung. Selain itu,
Ahmad bin Hambal juga pernah belajar ke negeri Yaman dari Imam 'Abdurrazaq
al-Sana'ani bersama kedua sahabatnya, yaitu Yahya bin Main dan Ishaq bin
Rahawaih. Demikian pula dengan negeri-negeri lainnya, telah pernah dikunjungi
oleh Ahmad.7
a. Biografi Singkat
Imam Ahmad Hambali adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin
Hambal bin Hilal Al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul
Awal tahun 164 H (780 M). Ahmad bin Hambal dibesarkan dalam keadaan yatim
oleh ibu-nya, karena ayahnya meninggal ketika beliau masih baiy. Sejak kecil
beliau telah menunjukkan sifat dan pribadi yang mulia, sehingga menarik simpati
banyak orang. Dan sejak kecil itu pula beliau telah menunjukkan minat yang
besar kepada ilmu pengetahuan, kebetulan pada saat itu Baghdad merupakan kota

7
Rahmat Abd. Rahman, “Latar Belakang Sosial Lahirnya Mazhab Hambali,” Bustanul
Fuqaha: Jurnal Bidang Hukum Islam, Vol. 1, No. 3 (2020), hlm. 508.
pusat ilmu pengetahuan. Beliau memulai dengan belajar menghafal Al-Qur'an,
kemudian belajar bahasa Arab, Hadis, sejarah Nabi dan sejarah sahabat serta para
tabi’in.
Untuk memperdalam ilmu, beliau pergi ke Basrah beberapa kali, di
sanalah beliau bertemu dengan Imam Syafi’i. Beliau juga pergi menuntut ilmu ke
Yaman dan Mesir. Di antaranya guru beliau yang lain adalah Yusuf Al-Hasan bin
Ziad, Husyaim, Umair, Ibn Humam dan Ibn Abbas. Imam Ahmad bin Hambal
banyak mempelajari dan meriwayatkan hadis, dan beliau tidak mengambil hadis
kecuali hadis-hadis yang sudah jelas sahihnya. Oleh karena itu, akhirnya beliau
berhasil mengarang kitab hadis, yang terkenal dengan nama Musnad Ahmad
Hambali, Beliau mulai mengajar ketika berusia empat puluh tahun.
Pada masa pemerintahan Al Muktasim, Khalifah Abbasiyah, beliau
sempat dipenjara, karena sependapat dengan opini yang mengatakan bahwa al-
Qur’an adalah makhluk. Beliau dibebaskan pada masa Khalifah Al-Mutawakkil.
Imam Ahmad Hambali wafat di Baghdad pada usia 77 tahun, tepatnya pada tahun
241 H (55 M) pada masa pemerintahan Khalifah Al-Wathiq. Sepeninggal beliau,
mazhab Hambali berkembang luas dan menjadi salah satu mazhab yang memiliki
banyak penganut.8
b. Sumber Hukum yang Digunakan
Adapun sumber hukum yang digunakan dalam mazhab Hambali, adalah
sebagai berikut:
1) Nash: Qur’an dan Hadis
2) Fatwa Sahabat yang Tidak Dipersilisihkan
3) Fatwa Sahabat yang Lebih Mendekati Kepada Nash
4) Hadis Mursal dan Hadis Dhaif
5) Qiyas.9

C. Perbedaan Mazhab Maliki dan Hambali

8
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2011), hlm. 19.
9
Sapiudin Shidiq, Perbandingan Mazhab dalam Fikih, (Ciputat: Kencana, 2021), hlm.
253.
Adapun aspek yang menjadi pembeda antara mazhab Maliki dan Mazhab
Hambali, dapat kita lihat dari pemikiran hukumya, sebagai berikut:
1. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki dibentuk oleh pemikiran Imam Malik sendiri. Demikian
halnya sebagian besar produk hukum yang dihasilkan ini berbeda dengan mazhab
Hanafi, misalnya yang merupakan hasil dari pembahasan bersama dan pandangan
yang beragam karena terdapat sejumlah mujtahid yang secara bersama-sama
membentuk mazhab Hanafi dengan demikian para ulama mazhab. Hanafi dapat
diposisikan sebagai mujtahid mutlak yang dapat sejajarkan dengan Imam Hanafi
sendiri Imam Malik adalah seorang mujtahid yang masaknya dibangun oleh
metode yang kuat dengan kaidah yang kuku bahkan sebagian dari sumber
hukumnya atau usul hanya dimiliki oleh mazhab nya seperti Maslahah Mursalah
dengan sumber yang tersebut terakhir ini maka menjadikan wawasan mazhab
fiqih semakin luas dengan menjadikan mazhabnya diposisikan antara konsep
Ijtihad yang dikembangkan oleh Imam Malik dalam menentukan hukum adalah
terlebih dahulu meneliti Nash, al-Qur’an sunnah, praktik Penduduk Madinah dan
fatwa sahabat. Jika tidak ditemukan dalam sumber-sumber tersebut maka ia
menggunakan qiyas istihsan istislah atau Maslahah Mursalah dan salat duha.
Syariah Imam Malik adalah Imam mazhab kedua dalam mazhab fiqih besar
dengan urutan sebagai berikut yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki. Imam Syafi'i dan
Imam Ahmad bin Hanbal. Mazhab Maliki dikenal sebagai mazhab aliran ahli
hadis dan bukannya berorientasi kepada kemaslahatan manusia.10
2. Mazhab Hambali
Pemikiran hukum Imam Ahmad tidak terlepas dari pengaruh latar
belakang kehidupan yang beliau alami sebagaimana diketahui bahwa Imam
Ahmad lahir di kota Baghdad sebagai kota Khilafah islamiyah ketika itu yang
memiliki budaya dan peradaban yang lebih maju selalu selain masyarakatnya
yang lebih heterogen dibanding dengan Hijaz. Setting sosial seperti itu
mengakibatkan masalah hukum di kota Baghdad lebih kompleks dibanding

10
Ali Jumuah dalam Sapiudin Shidiq, Perbandingan Mazhab dalam Fikih, (Ciputat:
Kencana, 2021), hlm. 189.
dengan di Hijaz atau Madinah pada umumnya. Persoalannya, pemikiran hukum
yang dikembangkan oleh Imam Ahmad Bukan ra’yi tapi ahli Hadis sehingga
beliau termasuk kelompok mujtahid ahli Hadis. Padahal dengan setting sosial
yang sama dan hidup ditempat yang sama yaitu Baghdad, mujtahid seperti Imam
Abu Hanifah sebagai pendahulunya lebih dominan menggunakan Ra’yi dibanding
Hadis dalam ijtihadnya sehingga imam yang tersebut terakhir ini disebut ahli
Ra’yi. Tampak hal ini menunjukkan bahwa setting sosial tidak menjadi aspek
yang mutlak dalam mempengaruhi pemikiran hukum seorang mujtahid, tapi
tampaknya lebih dipengaruhi oleh faktor internal si mujtahid sendiri.
Dengan menyandang predikat sebagai ahli Hadis, menjadikan ijtihad
Imam Ahmad dipengaruhi oleh Hadis nabi, dan menjadikan dirinya sangat
berhati-hati terhadap Hadis. Bukan hanya terhadap Hadis, Imam Ahmad juga
dalam ijtihadnya terlalu khawatir terhadap atsar. Di antara alasan yang
mengemukakan terhadap sikapnya itu karena Imam Ahmad adalah seorang Faqih
Salafi yang sangat hati-hati untuk melakukan tarji. Maka jika dihadapkan oleh dua
perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan sahabat dan sebagian tabi’in yang
tidak ditemukan penguatnya dalam nash untuk meninggalkan dua pendapat
tersebut, maka beliau tidak berani untuk mentarjih (membandingkan) antara
keduanya. Maka menurut Abu Zahra bahwa pemikiran fiqih Ahmad bin hambal
lebih dekat dengan Hadis.
Namun demikian, sebagai imam yang digelari ahli rihalah itu, dalam hal-
hal tertentu yang sudah jauh berbeda dari zaman Nabi, maka terhadap perubahan
tersebut terutama dalam hal siasat, maka Imam Ahmad juga menggunakan
maslahah mursalah dan istihsan sebagai sumber hukum jika memang tidak
ditemukan nash atau qaul sahabat.11
Perkembangan hukum Islam dalam sejarahnya, yang berkaitan dengan
penetapan hukum banyak pendapat yang berbeda pada kalangan para sahabat
Nabi saat beliau masih hidup. Dengan mengembalikannya ke Nabi Muhammad
saw. masalah-masalah yang ada, dan perbedaan pendapat dapat dipertemukan.

11
Sapiudin Shidiq, Perbandingan Mazhab dalam Fikih, (Ciputat: Kencana, 2021), hlm.
247-248.
Akan tetapi, setelah wafatnya beliau sering timbul perbedaan pendapat dikalangan
sahabat dalam penetapan suatu hukum masalah tertentu. 12 Dalam buku Mahmud
Ismail Muhammad Misy'al yaitu Atsar al-Khilaf al-Fikhi fi al-Qawaid al-
Mukhtalif fiha yang menjelaskan bahwa terdpat empat penyebab terjadinya
perbedaan dikalangan ahli fikih:
a. Dalam penggunaan kaidah ushuliyah dan penggunaan sumber istinbath yang
berbeda;
b. Pada aspek kebahasaan dalam pemahaman nash merupakan suatu perbedaan
yang mencolok;
c. Ijtihad yang berbeda mengenai ilmu hadits;
d. Perbedaan dalam metode kompromi hadits (al-jam’u) dan pentarjihan dengan
cara zhair yang maknanya bertentangan.13
Sebab-sebab khusus perbedaan imam mazhab mengenai Sunnah Rasul
antaralain:
1) Penerimaan hadis yang berbeda;
2) Berbeda dalam penilaian periwayatan hadis;
3) Berbeda tentang kedudukan kepribadian Rasulullah.14
Hukm fikih mempunyai dua standar, pertama dijadikan alat ukur
kenyataan sosial dengan pemikiran syari’at yang berakhir dengan hukum haram
atau halal, tidak boleh dan boleh,15 Berikut beberapa hukum fiqih:
a) Hukum Thaharah (Bersuci)
Suci atau bersih adalah pengertian thaharah menurut bahasa. Pengertian
istilah adalah bersih dari najis, kotoran, dan hadas. Terdapat dua bagian dari
tahaharah yaitu khusus yang berhubungan dengan badan dan bersuci dari najis
yang berkaitan dengan masalah badan, pakaian dan tempat. Jika bersuci dari
12
Mahmud Isma’il Muhammad Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi a[-Qawaid al-Mukhtalif
fiha, (Kairo: Dar As-Salam, 2007), hlm. 59.
13
Mahmud Isma’il Muhammad Misy’al, Atsar al-Khilaf al-Fiqhi a[-Qawaid al-Mukhtalif
fiha, (Kairo: Dar As-Salam, 2007), hlm. 91.
14
Huzaemah Tahido Yanggo dalam Lu’luatul Badriyah, Ashif Az Zafi, “Perbedaan
Mazhab Empat Besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dalam Paradigma Hukum Fiqih”, Al-
Muaddib : Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Keislaman, Vol. 5 No. 1 (2020), hlm. 71.
15
Taufiqur Rohman, “Kontroversi Pemikiran Antara Imam Maliki dengan Imam Syafi’i
tentang Maslahah Mursalah Sebagai Sumber Hukum,” Internatioal Journal Ihya ‘Ulum Al-din,
Vol. 19, No. 1 (2017), hlm. 82.
hadats maka tidak bisa lepas dari dua unsur yang bisa mensucikan, yaitu air dan
tanah. Jenis-jenis air ada tiga yaitu:
1. Air suci mensucikan, yaitu air yang mutlak atau air murni. Air yang berasal
dari bumi atau air yang jatuh dari langit disebut air mutlak.
2. Air suci tidak mensucikan, yaitu air ini tidak sah atau tidak boleh digunakan
untuk bersuci dan menghilangkan najis tetapi air ini boleh digunakan untuk
diminum atau digunakan untuk memasak. Terkecuali hukum dari ulama
Hanafiyah yang menyatakan bahwa air tersebut sah untuk digunakan
menghilangkan najis. Air musta’mal juga termasuk air suci tapi tidak
mensucikan. Air yang telah digunakan untuk menghilangkan hadats disebut
air musta’mal. Syarat tersebut berlaku apabila airnya sedikit. Lain halnya jika
airnya banyak, air banyak tidak termasuk sebagai air musta'mal.
3. Air yang bernajis, yaitu air yang jumlahnya sedikit ketika telah tercampur
dengan najis. Sedangkan apabila airnya banyak tapi najis tersebut telah
mengubah salah satu diantara tiga sifat air, yaitu warna, rasa, dan baunya,
maka tetap dihukumi najis. Ukuran banyaknya air yaitu lebih dari dua kullah
(60cm³). Adapun jika airnya banyak melebihi dua kullah, air bisa menjadi
najis jika telah bercampur dengan najis dan telah berubah tiga sifat air
tersebut.16
Bersuci dari hadats yang khusus berkaitan dengan Badan yaitu Thaharah
(bersuci), dari hadats yang khusus berkaitan dengan badan seperti Wudhu dan
Mandi besar (Junub). Dapat dilakukan dengan menggunakan tanah (debu) atau
yang sring disebut dengan tayamum. Tayamum ini dapat dilakukan disaat tidak
ada air atau sedang sakit.
Dalam bahasa tayamum dapat diartikan menyengaja, dalam istilah
tayamum adalah meratakan debu kekedua tangan dan wajah dengan syarat dan
rukun tertentu. Menurut Tayamum menurut para ulama: pendapat mazhab Maliki
“Tayamum adalah bersuci dengan debu atas wajah dan kedua tangan dengan
disertai niat”. Sedangkan pendapat mazhab Hambaliyah Tayamum adalah
16
Lu’luatul Badriyah, Ashif Az Zafi, “Perbedaan Mazhab Empat Besar (Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali) dalam Paradigma Hukum Fiqih”, Al-Muaddib : Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan
Keislaman, Vol. 5 No. 1 (2020), hlm. 72.
mengusap wajah dan kedua tangan dengan debu yang suci menurut mekanisme
yang khusus.17 Adapun rukun tayamum, ialah: Menurut imam Maliki, niat
mengusap wajah, mengusap wajah sampai rata, mengusap tangan sampai
pergelangan tangan, muwalah (terus menerus). Imam Maliki berpendapat bahwa
tayamum tidak bisa menghilangkan hadast sehingga tidak boleh diniati
(menghilangkan hadast). Dan tayamum hanya bisa dipakai untuk shalat fardu
sekali dan shalat sunnah beberapakali.18
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa air tidak bisa menjadi bernajis baik
sedikit maupun banyak kecuali telah berubah salah satu sifatnya dengan berpijak
pada hadis terdahulu. Fardu wudhu menurut imam Maliki ada tujuh yang pertama
niat, membasuh wajah, kedua tangan dibasuh sampai siku-siku, semua kepala
diusap, kedua kaki dibasuh sampai kemata kaki, dilakukan secara berurutan dan
tidak terputus-putus, semua anggota wudhu digosok. Menurut imam Maliki hal-
hal yang membatalkan wudhu ada tujuh: 1. Keluarnya sesuatu dari dubur dan
qubul, 2. Tidur yang nyenyak, 3. Hilangnya akal, 4. Murtad, 5. Tidak yakin jika
sedang punya hadats, 6. Memegang qubul atau zakar menggunakan telapak
tangan dan 7. Menyentuh orang yang sudah baligh dengan sengaja.
Menurut imam Hambali perkara yang membatalkan wudhu ada lima: 1.
Keluarnya sesuatu dari dubur dan qubul, tapi tidak termasuk air mani, 2. Tidak
sadarkan diri, baik karena mabuk, gila, ayan 3. Tidur, terkecuali tidur dengan
menempelnya kedua pantat ke lantai, 4. Bertemunya kulit perempuan dan kulit
laki-laki yang bukan muhrim, baik bersyahwat ataupun tidak bersyahwat jika, 5
Memegangnya farjinya manusia, menggunakan telapak tangan tanpa adanya
penghalang, baik qubul ataupun dubur.19
Darah haid ialah darah yang keluar dari farji wanita pada kondisi sehat,
tidak dikarenakan robeknya selaput dara atau dikarenkan melahirkan. Darah haid
yang keluar bagi seorang perempuan merupakan sebuah fitrah atau bawaan yang
17
Isnatin Ulfa dalam Lu’luatul Badriyah, Ashif Az Zafi, “Perbedaan Mazhab Empat Besar
(Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dalam Paradigma Hukum Fiqih”, Al-Muaddib : Jurnal Ilmu-
Ilmu Sosial dan Keislaman, Vol. 5 No. 1 (2020), hlm. 75.
18
Abdul Manan, Fiqih Lintas Mazhab, (Kediri: PP. Alfalah, 2011), hlm. 72.
19
Lu’luatul Badriyah, Ashif Az Zafi, “Perbedaan Mazhab Empat Besar (Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali) dalam Paradigma Hukum Fiqih”, Al-Muaddib : Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan
Keislaman, Vol. 5 No. 1 (2020), hlm. 74.
dianugrahkan dari Allah kepada seorang wanita. Adapun pendapat dari Imam
Maliki dan Mazhab Hambali tentang darah haid:
a. Imam Malik, berpendapat seorang wanita pada usia 9-13 tahun yang sudah
mengeluarkan darah, lebih baik ditanyakan seseorang yang lebih
berpengalaman dan lebih dewasa, mengenai darah telah dikeluarkan. Selain
itu Mazhab ini juga berpendapat, wanita yang berusia 13-50 tahun yang
mengeluarkan darah, darah tersebut pasti darah haid. Apabila diusia 70 tahun
wanita tersebut masih mengeluarkan darah, maka darah tersebut pasti bukan
darah haid, melainkan darah istihadhah atau penyakit. Sama halnya dengan
wanita yang berusia di bawah 9 tahun yang sudah mengeluarkan darah, darah
tersebut tidak termasuk darah haid tetapi darah penyakit.
b. Mazhab Hambali, Mazhab ini menjelaskan, bahwa usia menginjak 50 tahun
bagi wanita sudah jatuh masa menopouse atau masa berhentinya haid. Apabila
setelah itu masih mengeluarkan darah dari farjinya, darah tersebut bukan
darah haid tetapi darah penyakit.20
b) Hukum Shalat
Shalat adalah do’a menurut bahasa. Shalat adalah perbuatan atu perkataan
yang dimulai takbiratur ihram dan diakhiri dengan salam pengertian menurut
syara’. Shalat yang diwajibkan itu lima yaitu dzuhur, ashar, magrib, isya’, dan
shubuh. Adapun rukun shalat menurut mazhab Maliki, ada 14, diantaranya: yang
pertama niat, takbiratul ihram, berdiri disaat melakukan shalat fardhu, membaca
surat Al-Fatihah, saat membaca surat Al- Fatihah diakukan dengan cara berdiri,
membungkuk pada waktu shalat dengan tangan diletakkan di lutut atau disebut
dengan rukuk, berdiri dari rukuk, berlutut serta meletakkan dahi ke lantai atau
disebut dengan sujud, duduk iftiros, salam, duduk ketika salam, berhenti sejenak
atau disebut dengan thuma'ninah, i'tidal dari rukuk dan sujud, teratur. Sedangkan
menurut mazhab Hambali rukun shalat ada 14, diantaranya: takbir, berdiri sesuai
kemampuan dalam shalat fardhu, pada setiap rakaat membacakan Surat Al-
Fatihah, membungkuk pada waktu shalat dengan tangan diletakkan di lutut atau
20
Lu’luatul Badriyah, Ashif Az Zafi, “Perbedaan Mazhab Empat Besar (Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali) dalam Paradigma Hukum Fiqih”, Al-Muaddib : Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan
Keislaman, Vol. 5 No. 1 (2020), hlm. 75.
disebut dengan rukuk, itidal, berlutut serta meletakkan dahi ke lantai atau disebut
dengan sujud, bangun dari sujud, duduk iftiros, berhenti sejenak atau disebut
dengan thuma'ninah ditiap-tiap rukunnya, duduk takhiyat akhir, membaca
takhiyat (tasyahud), membaca shalawat Nabi, salam menoleh ke kanan, beruntut
(urut).21
Selain rukunnya shalat ada juga hal-hal yang membatalkan shalat. Secara
garis besar perkara yang dapat membatalkan shalat ada perkara yang disepakati
para mazhab, yaitu:
1) Berkata, sedikit-sedikitnya berkata dua huruf, meskipun tak bermakna. Tapi
imam mazhab berbeda pendapat mengenai bicara karena tidak sengaja atau
lupa. Tidak ada bedanya antara berbicra atau berkata dikarenakan lupa atau
dilakukn secara sengaja menurut dua imam mazhab yaitu mazhab Hanafi dan
mazhab Hambali, menurut Hanafi dan Hambali semuanya tetap menjadikan
batalnya shalat. Sedangkan pendapat mazhab Syafi'i dan mazhab Maliki,
perkataan jika hanya sedikit baik karena lupa atau disengaja tidak
membatalkan sholat.
2) Semua perbuatan atau Tindakan yang dapat mengubah atau menghilangkan
bentuk shalat. Seluruh mazhab menyepakati point ini.
3) Minum dan makan. Semua mazhab setuju bahwa minum dan makan dapat
membatalkan shalat, namun beberapa mazhab berpendapat berbeda mengenai
kadar dari makanan dan minuman sehingga dapat menyebabkan batalnya
shalat. Mazhab Hanafi berpendapat, kegiatan minum dan makan, meskipun
sedikit atau banyak, tidak sengaja atau sengaja semuanya tetap dapat
menjadikan batalnya sholat, walaupun hanya sedikit roti dan sedikit air.
Sedangkan mazhab Syafi'l berpendapat, setiap minuman maupun makanan
yang telah sampai kerongga perutnya seseorang yang sedang shalat meskipun
sedikit atau banyak bisa menjadikan batalnya shalat jika dilakukan secara
sengaja dan seseorang itu telah tau hukumnya. Jika ia tidak sengaja dan tidak
mengetahui hukumnya maka tidak membatalkan shalatnya jika yang ditelan

21
Abdul Qodir Ar-Rahbawi, Fiqih Shalat Empat Mazhab, (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2018), hlm. 210.
hanya sedikit, tetapi apabilaa banyak hal tersebut dapat membatalkan sholat.
Sedangkan pendapat imam Hambali, dapat membatalkan shalat apabila
minum dan makan banyak, meskipun tidak secara kebetulan ataupun secara
kebeulan. Lain halnya apabila sedikit, jika dilakukan dengn tidak secara
kebetulan maka sholatnya batal tapi jikadilakukan secara kebetulan tidak batal
shalatnya.
4) Apabila hadats datang, baik hadats kecil atau hadats besar. Semua mazhab
sepakat kecuali mazhab Hanafi. Jika datang hadats sebelum salam atau ketika
tasyahud, tidak membatalkan shalat.
5) Tertawa yang berlebihan. Semua mazhab ini sepakat kecuali imam Hanafi.22

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

22
Abdul Qodir Ar-Rahbawi, Fiqih Shalat Empat Mazhab, (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2018), hlm. 246.
B. Saran
Makalah ini tentunya banyak sekali koreksi dari para pembaca, karena

kami mnyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kami

mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca yang dengan

itu semua kami harapkan makalah ini akan menjadi lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai